"Kalila ... kamu sudah gila, ya? Masak kamu berikan sayur sampah itu padaku!" Kirana membentak.
"Iya, kau saja yang makan. Kami mana sudi memakan itu, dasar aneh ... !" Kak Sulis ikut-ikutan menghardik.
Dengan cepat Kalila mengambil piring itu kembali, kemudian menumpahkan semua isinya pada piring nasinya yang tinggal setengah, tanpa peduli pada Kirana dan Sulis, dia menyuap nasi dan talas itu dengan lahapnya.
"Eemm enak," ucapnya kemudian.
Menurutku, Kalila kali ini benar. Batang talas itu memang enak, apa lagi dimasak santan seperti yang ada di piring itu. Kak Sulis berlebihan, padahal dulu sebelum kami berumah tangga dan masih kumpul di rumah orang tua, ibuku sering memasak batang talas seperti itu.
"Gila ... lalu dengan apa aku menghabiskan nasi ini!" ketus Kak Kirana.
"Iya, semua lauk sudah habis!" Kak Sulis sewot sambil menengok sana-sini, melihat seluruh piring yang sudah kosong.
"Ya, semua lauknya sudah habis," ucap Kak Gufron.
"Kalian terlalu banyak bicara, dan sangat tidak menghormati makanan, kalian berdua berlebihan," tambah ibuku.
Kak Sulis dan Kirana terlihat kesal dengan teguran ibuku, dengan cepat Kak Sulis menjawab.
"Kok jadi menyalahkan kami si, Bu. Seharusnya Kalilalah yang disalahkan, sudah mengambil ayam kami dan diberikan pada anaknya, setelah itu menawarkan lauk lain, tapi dihabiskan olehnya sendiri. Kalila sengaja ingin membuat kami makan tanpa lauk, dia sengaja mempermalukan kami!"Mendengar ucapan Kak Sulis, emosiku terpancing, benar yang dia katakan yang salah memang Kalila.dia yang mengajak buka bersama dia juga yang mengambil lauk saudaraku. Benar-benar tidak bisa dibiarkan.
Karena kesal aku melotot marah pada Kalila, tapi bukannya takut Kalila malah balik memplototi diriku."Ada apa, kenapa Kakak melotot seperti itu. Apa kakak juga ingin menyalahkanku, katakan dimana letak kesalahanku?" ucapnya kemudian.
Sebagai seorang suami, aku telah mengenal Kalila luar dalam. Bila sudah berani mengangkat suara padaku didepan orang banyak begini itu tandanya dia kelewat kesal. Bila aku terus menyalahkannya dalam keadaan seperti ini, maka akan fatal akibatnya bagiku. Pelototan Kalila ini adalah sebuah isyarat apabila aku terus memojokkannya maka jatah malamku akan hangus.
Aku tidak mau itu terjadi, tiga tahun lamanya aku menahan diri puasa untuk melakukan itu. Sungguh aku tidak mau jika malam ini jatahku itu dihancurkan oleh Kalila, untuk itu aku mencari jalan aman dengan meredam emosiku lalu memilih diam.
"Celaka bila diteruskan," lirihku dalam hati.Karena aku diam, ibuku yang kembali angkat bicara.
"Dalam hal ini Kalila tidak bersalah, apa yang dia lakukan itu sudah benar," ucapnya ketus."Lho, kok ibu tetap saja membela Kalila," protes Kak Sulis. Kakakku itu sudah memerah, bertanda dia juga teramat kesal.
"Dalam hal ini kaulah yang berlebihan, Sulis. Kau mengatakan bosan dengan daging ayam, tapi tak hentinya kau jejal mulutmu dengan daging itu. Kau juga mengatakan batang talas itu lauk sampah, tapi ibu melihat air liurmu hendak menetes ketika melihat lauk itu. Jangan termakan gengsi, anakku. Tidakkah kau ingat, kau bisa tumbuh sebesar ini karena jasa batang talas itu." Ibuku bertutur panjang lebar.
Bukannya sadar dengan ucapan ibuku, Kak Sulis malah terlihat semakin kesal.
"Keterlaluan," ucapnya "Disini akulah anak ibu, dia hanya menantu. Mengapa ibu malah membela menantu yang merupakan orang lain dan terus-terusan memojokkan dan mempermalukan anak kandung sendiri. Atau memang ada yang salah, aku ini bukan anak kandung melaikan hanya anak pungut!""Tutup mulutmu, Sulis. Kau semakin menjadi-jadi, tak bisa diperingati ... !" Ibuku membentak sulis.
"Sudah- sudah, kok jadi berdebat begini?" lerai Kak Gufron.
"Iya, mengapa jadi seperti ini. Sulis tidak baik menjawab ibu seperti itu." Suami Kak Sulis yang sejak tadi lebih banyak diam ikut bicara juga.
"Teruslah menyalahkan aku, hiks ... hiks ... ibu dan suamiku sama saja. Kalian membela orang luar dan membuang aku. Sungguh menyakitkan, lebih baik aku pergi saja!
Untuk apa tetap di sini bila untuk dipermalukan oleh semua orang, hiks ... hiks ... !"
Kak Sulis bangkit, menyambar bungkusan yang berisi baju-baju yang tadi dia pilih, kemudian dia keluar dengan langkah lebar. Tak ada yang menghentikannya baik ibu maupun suaminya hanya menatap dalam diam, malah setelah dia hilang dari pandangan ibuku menggerutu.
"Dasar keras kepala, susah sekali diatur."
Setelah Kak Sulis pergi, Kak Kiranapun bangkit sambil berucap ketus.
"Lain kali jangan ada buka bersama di rumah ini lagi! Aneh saja aku melihatnya, orang salah malah dibela mati-matian! Ayo, kita pulang saja ... !" Kak Kirana berkata sambil menatap anak dan suaminya.Kak Gufron mengambil nafas panjang, kemudian membuangnya kasar. Dia perlahan bangkit sambil memberi isyarat pada kedua anaknya untuk ikut. Setelah kedua anaknya berdiri dia mendekati istrinya yang beraut kesal itu.
"Bagaimana dengan berbukamu?" bisik Kak Gufron kemudian, meski dia berbisik pelan aku masih bisa mendengar "Bukankah di rumah tidak ada makanan, kau tidak memasak karena akan berbuka di sini," bisiknya lagi.
Kak Kirana memajukan bibirnya, entah berapa lipat kesalnya.
"Jadi Kakak tidak memasak?" tanya Kalila. Sepertinya dia mendengar juga bisikan Kak Gufron hingga bertanya dengan cepat.
"Iya, dia tidak sempat memasak. Apa masih ada sisa laukmu, kasian kakakmu belum kenyang dan di rumah nasipun tidak ada," jawab Kak Gufron.
"Opor ayam tersisa hanya sedikit di wajan sana, tapi bukankah kakak sangat bosan dengan daging ayam? Dari pada dibawa dan mubazir, lebih baik untuk sahur Kak Ramli saja. Yang tersisa hanya sayur sampah itu, tapi aku yakin Kak Kirana tidak akan sudi memakannya, aku takut dia muntah karena jijik!"
Secara tidak langsung Kalila menolak memberikan lauk untuk Kirana. Aku ingin bicara, memaksanya untuk memberikan opor ayam itu pada Kirana, tapi ketika melihat kilatan matanya yang nampak memberi isyarat marah, niat itu aku urungkan. Aku memilih tetap bungkam.
"Jika begitu ya sudah, sesampai rumah nanti dia bisa langsung masak!" ucap Kak Gufron kemudian.
Tanpa kata, Kak Kirana menyambar bungkusan berisi baju-baju pilihannya, tanpa pamit padaku dan pada ibuku dia melangkah pergi membawa raut wajah teramat kesal. Setelah itu Kak Gufron menyusul, tapi pamit dulu pada kami semua. Setelahnya ibu, Larasati dan juga suami serta anak Kak Sulis juga pamit.
Rumah Kemudin menjadi sepi, yang tertinggal hanya piring berserakan dan pelototan tajam dari Kalila. Aku tau Kalila marah, karena sejak tadi aku selalu momojokkannya, aku tau dia akan ceramah panjang lebar untuk memperingati tentang kelakuanku tadi. Untuk itu sebelum ceramah dari mulutnya keluar, dengan buru-buru aku keluar rumah.
Bukannya takut dengan amarah dan ceramahnya, aku hanya sedang tidak berselera untuk berdebat dan bertikai dengannya. Sebenarnya jika mau, aku tetap saja tinggal di rumah untuk menumpahkan juga rasa kesalku padanya karena ulah memalukannya tadi. Akan tetapi, lagi-lagi aku mengingat jatah malamku yang harus hangus bila dia sangat marah.
***
Malam semakin larut, setelah merasa Kalila tidak marah lagi akupun pulang dan menemuinya. Malam berlalu dengan cepatnya, pagi kemudian tiba bersama cerahnya surya Ramadhan. Baru saja aku rapi karena hendak main ke rumah Tohir, Kalila sudah menahan.
"Sebelum kakak pergi, alangkah baiknya membeli lauk-pauk dulu!"
"Ck." Aku berdecak kesal mendapat perintah dari Kalila, tapi karena merasa Kalila tidak becus mengurus keuangan, mau tidak mau aku menurut juga. Tanpa menjawab aku beranjak ke warung Bu Diah.
"Ramli, kau mau beli apa?" tanya Bu Diah begitu aku tiba.
Aku kesal dan sedikit malu, karena warung Bu Diah sedang ramai-ramainya. Sejenak aku berpikir hendak membeli apa, "Oh, iya. Kata Kalila beras sudah habis, biar aku beli beras sekilo saja, itu cukup untuk sehari, aku harus pandai mengelola keuangan, aku tidak mau seperti Kalila yang entah membuang uang kemana," gumamku dalam hati.
Aku juga ingin beli ayam karena ketagihan dengan opor ayam kemarin. Akan tetapi sebelum aku mengeluarkan suara Bu Diah lebih dulu berucap.
"Jangan sama dengan istrimu yang pelit itu, Ramli. Belikan ayam atau daging yang banyak untuk anak-anakmu!" ucapnya.
"Iya, itu sebabnya aku yang belanja. Bila mengandalkan Kalila bisa-bisa kedua anakku busung lapar, entah apa saja yang dibeli istriku itu dengan uangku, sedang anak-anaknya selalu dimasukin talas," timpalku.
Seorang ibu kemudian ikut bicara.
"Ehh, iya. Bahkan aku dengar cerita dari Sulis, kemarin saat mereka buka bersama di rumah Kalila, hanya batang talas yang dia masak, kan keterlaluan sekali ya ibu-ibu?""Iya, malu-maluin saja istrimu itu, Ramli." Ibu yang lain menyambut cepat.
Aku bingung, hendak berkata seperti apa menanggapi ucapan ibu-ibu. Apa membela Kalila dengan mengatakan keberananya, atau membiarkan saja ibu-ibu percaya dengan ucapan kakakku. Aku yakin Kak Sulis pasti punya tujuan berbicara seperti itu, mungkin dia ingin agar Kalila berubah, menjadi lebih bisa mengurus keluargaku.
Bersambung.
."Astagfirulloh ... sepagi ini sudah gibah, Ibu-ibu! Tak sayangkah dengan puasanya, lelah lho menahan lapar dan haus seharian penuh, kenapa ibu-ibu rela menyia-nyiakan haus dan dahaga itu dengan membicarakan keburukan saudara kira sendiri!" Sebelum aku mengeluarkan suara, Nadya, istri dari Ustadz Ikrom mengingatkan. Ustadz Ikrom adalah penceramah muda yang biasa mengisi kajian di kampung ini, Ibu-ibu yang sedang berbelanja ini adalah jamaah ustadz tersebut. Termasuk juga Kalila, malah Kalila sangat dekat dengan Nadya."Astagfirulloh ... ""Astagfirulloh ... "Serentak ibu-ibu beristigfar, dan ibu yang membicarakan kejelekan Kalila tadi bergumam pelan."Aku tidak sadar jika Nadya ada di sini.""Ibu-ibu, saya pamit dulu ya, belanja saya sudah selesai, Assalamualaikum ... " ucap Nadya kemudian.Mungkin karena yang sedang berbelanja saat ini adalah ibu-ibu yang lebih tua darinya, hingga Nadya tidak meneruskan menegur terlalu jauh, mungkin Nadya segan karena ibu-ibu ini hampir semuanya s
"Apa, dua juta lebih, hahaha ... ! Bisa-bisanya Bibi percaya pada candaan Kak Ramli."Aku pikir Kalila akan marah dengan ucapan mertua Indah, dia malah tertawa geli."Asal ibu-ibu tau, jatahku sebulan itu hanya satu juta pas, tidak kurang tidak lebih." Kalila menambahkan."Lalu, mengapa Ramli berkata dua juta lebih, bahkan mertuamu juga berkata seperti itu. Tidak mungkinkan dua orang itu bercanda atau berbohong?" Mertua Indah masih kukuh dengan pendapatnya, sementara hatiku sudah tak karu-karuan. Aku berpikir keras bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini, bila Kalila terus-terusan dikatai seperti ini, aku yakin dia akan menyerangku."Astagfirulloh ... Bi, mana mungkin aku bohong, di bulan suci pula. Seandainya dua juta lebih bagianku, tidak mungkin aku selalu ke sawah Bibi untuk mencari siput, kayu bakar, dan talas. Bibi-bibi semua bisa menghitung pengeluaran perbulan dan uang satu juta itu hanya cukup untuk beras dan jajan anak-anak." Keterangan Kalila membuat ibu-ibu s
"Lho, Dek. Rumah kita kok kosong melompong, hampir enggak ada isinya?"Ketika memasuki rumah aku bertanya heran.Tiga tahun lamanya aku dirantauan, rutin mengirim uang setiap bulannya, tapi mengapa setelah aku pulang tak kutemui satupun barang berharga di rumahku ini. Tidak seperti rumah Tohir yang aku singgah tadi, rumahnya sudah penuh dengan barang berharga. Sofa, lemari besar, kulkas, dan elektronik lainnya memenuhi rumahnya."Barang berharga seperti apa yang Kakak maksud?" Istriku bertanya, raut wajahnya terlihat bingung pula.Sebenarnya aku sangat kesal dan ingin sekali membentaknya, mengatakan apa yang mengganjal di hati. Akan tetapi mengingat aku ini baru saja pulang dari rantauan jauh selama bertahun-tahun pula, aku redam rasa kesalku. Aku biarkan rasa kesal itu menguap dengan kembali mengedepankan hasrat yang terpendam sejak lama."Bukan apa-apa, sebaiknya kita ke kamar saja!" Aku meraih tangannya, bermaksud membawanya ke kamar untuk menumpahkan hasrat yang kembali menggebu.
"Hahaha ... jadi rak piringpun Kalila tidak punya?"Sartika langsung terbahak begitu mendengar keluh-kesahku. Kini di rumahnyalah aku berada."Iya, masak aku bohong," sungutku. "Dia meletakkan perabot dapurnya yang kusam itu di rak bambu yang aku buat tiga tahun yang lalu," sambungku dengan nada kesal."Aku jadi bingung, Kalila kemanakan uang kirimanmu?" Tohir bertanya dengan raut serius."Itulah yang aku bingungkan, Toh. Aku tidak tau dia apakan uang itu," jawabku ketus."Sebelumnya aku kurang percaya tentang gosip di kampung ini, gosip tentang istrimu yang tidak becus mengurus keuangan dan selalu menghamburkan uang untuk ibunya. Akan tetapi setelah mendengar ceritamu aku jadi percaya, yang orang-orang katakan ternyata benar, si Kalila memang tidak becus menjadi istri!" Sartika berujar sengit."Aku penasaran, memangnya berapa uang yang selalu kau kirim untuk istrimu?" Sebelum menjawab ucapan Sartika, Tohir telah memotong lebih dulu."Ee ... du ... dua juta, iya dua juta kadang lebih.
"Kalila ... kembali! Aku belum selesai bicara!" Sebelum Kalila terlalu jauh, aku meneriakinya."Ada apa lagi?" tanya Kalila dari luar sana.Hati yang marah dan kesal menjadi semakin menjadi karena perangai istriku, dia masih sama seperti dulu tak ada takut-takutnya pada suami. Sejak dulu Kalila memang begini, pandai bicara, selalu saja ada alasan yang dia kemukakan bila aku menegurnya, aku selalu kalah bila berdebat dengannya.Selalu juga seperti ini, tidak pernah becus mengurus keuangan. Sebelum merantaupun, uang yang aku dapati dari nguli sana-sini habis tak tersisa olehnya. Jangankan menabung untuk membeli emas seperti istri orang lainnya, sekedar untuk membeli pakaian dalampun sangat jarang.Karena Kalila belum juga kembali akulah yang terpaksa bergerak keluar, aku puas karena melihatnya masih berdiri di dekat tembok dapur."Tetaplah di situ, masih banyak yang ingin aku bicarakan!" perintahku kemudian."Ada apa lagi, si?" tanya Kalila datar.Akan tetapi sebelum memarahinya lebih l
"Iya, Laras. Ambil saja gamis itu, kakak tidak cocok dengan modelnya, gamis itu terlalu bermodel terlihat aneh bila ibu-ibu seperti kakak yang menggunakannya. Gamis model begitu cocoknya untuk gadis belia sepertimu."Di luar dugaan, ternyata Kalila menyetujui ucapan marahku. Aku pikir dia akan merajuk, memohon atau balik memarahiku, tapi dengan entengnya dia memberikan gamis itu pada Larasati. Aku hanya terbengong melihat kelakuan Kalila yang semakin sombong, bahkan aku melihat Kak Sulis dan Kiranapun mencabik."Sombong.""Pencitraan."Dua wanita itu mencabik sambil melirih. Lain halnya dengan Laras, dia berseru kegirangan menanggapi ucapan iparnya yang sok itu."Beneran, kakak memberikan gamis ini padaku?" ujar Laras sambil mengangkat dua gamis itu."Iya, ambil saja!" jawab Kalila "Sekalian, ambil saja gamis kecil dan baju untuk Jalal itu! Mereka akan aku belikan yang lain saja, masak ayah mereka yang pulang dari rantauan membawa uang banyak mendapatkan baju murahan seperti itu. Jug
"Apa, dua juta lebih, hahaha ... ! Bisa-bisanya Bibi percaya pada candaan Kak Ramli."Aku pikir Kalila akan marah dengan ucapan mertua Indah, dia malah tertawa geli."Asal ibu-ibu tau, jatahku sebulan itu hanya satu juta pas, tidak kurang tidak lebih." Kalila menambahkan."Lalu, mengapa Ramli berkata dua juta lebih, bahkan mertuamu juga berkata seperti itu. Tidak mungkinkan dua orang itu bercanda atau berbohong?" Mertua Indah masih kukuh dengan pendapatnya, sementara hatiku sudah tak karu-karuan. Aku berpikir keras bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini, bila Kalila terus-terusan dikatai seperti ini, aku yakin dia akan menyerangku."Astagfirulloh ... Bi, mana mungkin aku bohong, di bulan suci pula. Seandainya dua juta lebih bagianku, tidak mungkin aku selalu ke sawah Bibi untuk mencari siput, kayu bakar, dan talas. Bibi-bibi semua bisa menghitung pengeluaran perbulan dan uang satu juta itu hanya cukup untuk beras dan jajan anak-anak." Keterangan Kalila membuat ibu-ibu s
."Astagfirulloh ... sepagi ini sudah gibah, Ibu-ibu! Tak sayangkah dengan puasanya, lelah lho menahan lapar dan haus seharian penuh, kenapa ibu-ibu rela menyia-nyiakan haus dan dahaga itu dengan membicarakan keburukan saudara kira sendiri!" Sebelum aku mengeluarkan suara, Nadya, istri dari Ustadz Ikrom mengingatkan. Ustadz Ikrom adalah penceramah muda yang biasa mengisi kajian di kampung ini, Ibu-ibu yang sedang berbelanja ini adalah jamaah ustadz tersebut. Termasuk juga Kalila, malah Kalila sangat dekat dengan Nadya."Astagfirulloh ... ""Astagfirulloh ... "Serentak ibu-ibu beristigfar, dan ibu yang membicarakan kejelekan Kalila tadi bergumam pelan."Aku tidak sadar jika Nadya ada di sini.""Ibu-ibu, saya pamit dulu ya, belanja saya sudah selesai, Assalamualaikum ... " ucap Nadya kemudian.Mungkin karena yang sedang berbelanja saat ini adalah ibu-ibu yang lebih tua darinya, hingga Nadya tidak meneruskan menegur terlalu jauh, mungkin Nadya segan karena ibu-ibu ini hampir semuanya s
"Kalila ... kamu sudah gila, ya? Masak kamu berikan sayur sampah itu padaku!" Kirana membentak."Iya, kau saja yang makan. Kami mana sudi memakan itu, dasar aneh ... !" Kak Sulis ikut-ikutan menghardik.Dengan cepat Kalila mengambil piring itu kembali, kemudian menumpahkan semua isinya pada piring nasinya yang tinggal setengah, tanpa peduli pada Kirana dan Sulis, dia menyuap nasi dan talas itu dengan lahapnya."Eemm enak," ucapnya kemudian.Menurutku, Kalila kali ini benar. Batang talas itu memang enak, apa lagi dimasak santan seperti yang ada di piring itu. Kak Sulis berlebihan, padahal dulu sebelum kami berumah tangga dan masih kumpul di rumah orang tua, ibuku sering memasak batang talas seperti itu."Gila ... lalu dengan apa aku menghabiskan nasi ini!" ketus Kak Kirana."Iya, semua lauk sudah habis!" Kak Sulis sewot sambil menengok sana-sini, melihat seluruh piring yang sudah kosong."Ya, semua lauknya sudah habis," ucap Kak Gufron."Kalian terlalu banyak bicara, dan sangat tidak m
"Iya, Laras. Ambil saja gamis itu, kakak tidak cocok dengan modelnya, gamis itu terlalu bermodel terlihat aneh bila ibu-ibu seperti kakak yang menggunakannya. Gamis model begitu cocoknya untuk gadis belia sepertimu."Di luar dugaan, ternyata Kalila menyetujui ucapan marahku. Aku pikir dia akan merajuk, memohon atau balik memarahiku, tapi dengan entengnya dia memberikan gamis itu pada Larasati. Aku hanya terbengong melihat kelakuan Kalila yang semakin sombong, bahkan aku melihat Kak Sulis dan Kiranapun mencabik."Sombong.""Pencitraan."Dua wanita itu mencabik sambil melirih. Lain halnya dengan Laras, dia berseru kegirangan menanggapi ucapan iparnya yang sok itu."Beneran, kakak memberikan gamis ini padaku?" ujar Laras sambil mengangkat dua gamis itu."Iya, ambil saja!" jawab Kalila "Sekalian, ambil saja gamis kecil dan baju untuk Jalal itu! Mereka akan aku belikan yang lain saja, masak ayah mereka yang pulang dari rantauan membawa uang banyak mendapatkan baju murahan seperti itu. Jug
"Kalila ... kembali! Aku belum selesai bicara!" Sebelum Kalila terlalu jauh, aku meneriakinya."Ada apa lagi?" tanya Kalila dari luar sana.Hati yang marah dan kesal menjadi semakin menjadi karena perangai istriku, dia masih sama seperti dulu tak ada takut-takutnya pada suami. Sejak dulu Kalila memang begini, pandai bicara, selalu saja ada alasan yang dia kemukakan bila aku menegurnya, aku selalu kalah bila berdebat dengannya.Selalu juga seperti ini, tidak pernah becus mengurus keuangan. Sebelum merantaupun, uang yang aku dapati dari nguli sana-sini habis tak tersisa olehnya. Jangankan menabung untuk membeli emas seperti istri orang lainnya, sekedar untuk membeli pakaian dalampun sangat jarang.Karena Kalila belum juga kembali akulah yang terpaksa bergerak keluar, aku puas karena melihatnya masih berdiri di dekat tembok dapur."Tetaplah di situ, masih banyak yang ingin aku bicarakan!" perintahku kemudian."Ada apa lagi, si?" tanya Kalila datar.Akan tetapi sebelum memarahinya lebih l
"Hahaha ... jadi rak piringpun Kalila tidak punya?"Sartika langsung terbahak begitu mendengar keluh-kesahku. Kini di rumahnyalah aku berada."Iya, masak aku bohong," sungutku. "Dia meletakkan perabot dapurnya yang kusam itu di rak bambu yang aku buat tiga tahun yang lalu," sambungku dengan nada kesal."Aku jadi bingung, Kalila kemanakan uang kirimanmu?" Tohir bertanya dengan raut serius."Itulah yang aku bingungkan, Toh. Aku tidak tau dia apakan uang itu," jawabku ketus."Sebelumnya aku kurang percaya tentang gosip di kampung ini, gosip tentang istrimu yang tidak becus mengurus keuangan dan selalu menghamburkan uang untuk ibunya. Akan tetapi setelah mendengar ceritamu aku jadi percaya, yang orang-orang katakan ternyata benar, si Kalila memang tidak becus menjadi istri!" Sartika berujar sengit."Aku penasaran, memangnya berapa uang yang selalu kau kirim untuk istrimu?" Sebelum menjawab ucapan Sartika, Tohir telah memotong lebih dulu."Ee ... du ... dua juta, iya dua juta kadang lebih.
"Lho, Dek. Rumah kita kok kosong melompong, hampir enggak ada isinya?"Ketika memasuki rumah aku bertanya heran.Tiga tahun lamanya aku dirantauan, rutin mengirim uang setiap bulannya, tapi mengapa setelah aku pulang tak kutemui satupun barang berharga di rumahku ini. Tidak seperti rumah Tohir yang aku singgah tadi, rumahnya sudah penuh dengan barang berharga. Sofa, lemari besar, kulkas, dan elektronik lainnya memenuhi rumahnya."Barang berharga seperti apa yang Kakak maksud?" Istriku bertanya, raut wajahnya terlihat bingung pula.Sebenarnya aku sangat kesal dan ingin sekali membentaknya, mengatakan apa yang mengganjal di hati. Akan tetapi mengingat aku ini baru saja pulang dari rantauan jauh selama bertahun-tahun pula, aku redam rasa kesalku. Aku biarkan rasa kesal itu menguap dengan kembali mengedepankan hasrat yang terpendam sejak lama."Bukan apa-apa, sebaiknya kita ke kamar saja!" Aku meraih tangannya, bermaksud membawanya ke kamar untuk menumpahkan hasrat yang kembali menggebu.