Share

Rebutan Oleh-oleh

Penulis: Zohrah Belah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-13 17:16:44

"Kalila ... kembali! Aku belum selesai bicara!" Sebelum Kalila terlalu jauh, aku meneriakinya.

"Ada apa lagi?" tanya Kalila dari luar sana.

Hati yang marah dan kesal menjadi semakin menjadi karena perangai istriku, dia masih sama seperti dulu tak ada takut-takutnya pada suami. Sejak dulu Kalila memang begini, pandai bicara, selalu saja ada alasan yang dia kemukakan bila aku menegurnya, aku selalu kalah bila berdebat dengannya.

Selalu juga seperti ini, tidak pernah becus mengurus keuangan. Sebelum merantaupun, uang yang aku dapati dari nguli sana-sini habis tak tersisa olehnya. Jangankan menabung untuk membeli emas seperti istri orang lainnya, sekedar untuk membeli pakaian dalampun sangat jarang.

Karena Kalila belum juga kembali akulah yang terpaksa bergerak keluar, aku puas karena melihatnya masih berdiri di dekat tembok dapur.

"Tetaplah di situ, masih banyak yang ingin aku bicarakan!" perintahku kemudian.

"Ada apa lagi, si?" tanya Kalila datar.

Akan tetapi sebelum memarahinya lebih lanjut, aku melihat ibuku di halaman depan, sepertinya beliau baru saja tiba.

"Ibuu ... !" seruku seraya melambaikan tangan memintanya ke tempatku.

"Iya, ibu ke situ!" seru ibuku pula.

Ketika ibuku berjalan cepat menuju tempatku, aku melirik Kalila yang menyunggingkan senyum ke arah ibuku. Dalam hati aku membatin melihat senyum dari bibir hitamnya itu. "Senyummu tak berguna Kalila, toh nantinya kau akan didamprat habis-habisan oleh ibuku, tau rasa kau!"

Bahkan aku mencabik ketika Kalila maju menjemput ibuku.

"Ibu sendirian?" tanyanya kemudian dengan ramah.

"Adik dan kakakmu akan segera menyusul," jawab ibuku. Dia kemudian menyodorkan bungkusan pada Kalila.

"Nih, opor ayam kesukaan suamimu. Sebagai ibunya aku tidak tega melihatnya makan dengan lauk pelepah talas. Setelah tiga tahun dia dirantau dan kini baru pulang, seharusnya kau memasak makanan kesukaannya untuk berbuka nanti!" sambung ibuku dengan sengit.

Seketika raut wajah Kalila terlihat kesal, dia seperti hendak membuka mulut untuk membela diri, tapi sebelum suaranya keluar dengan cepat aku menyerobot.

"Peringati dia, Bu. Agar tidak semena-mena pada anak dan suami!"

"Istrimu ini memang keterlaluan, dibilangin seribu kali pun tidak akan mempan," gerutu ibuku.

Wajah Kalila memerah, dia tentu sangat malu, tanpa memberi kesempatan padanya untuk membela diri aku terus berbicara. Saat dia berucap baru sepatah maka aku akan meyerobotnya dengan suara keras. Di depan ibu dan keluarga, aku tidak mau kalah oleh Kalila, sebisa mungkin dilah yang terpojok.

Sebelum Kalila benar-benar berhasil mengucapkan kalimat pembelaan, dari halaman depan adik dan kakakku kemudian nampak.

"Ramlii ... !" seru mereka berbarengan.

"Kami di sini!" seruku pula.

Tiga saudaraku termasuk istri dan suami serta anak-anaknya kemudian datang menghambur.

Kakak tertuaku laki-laki bernama Gufron, istrinya bernama Kirana, anaknya dua orang bernama Ali dan Ana. Kakak keduaku bernama Sulis, suaminya bernama Fatih, dan anaknya bernama Aulia. Adikku bernama Larasati, dia masih gadis.

"Kok masih di luar, kenapa ibu belum membuka koper oleh-olehnya?" Sambil berjalan Kak Gufron bertanya.

"Ibu menunggu kalian," jawab ibuku.

"Ayo, langsung saja masuk!" Dengan antusias aku mengajak saudara-saudariku masuk untuk membuka koper yang isinya oleh-oleh yang sengaja aku beli untuk mereka.

"Ayo ... ayo ... !" Merekapun menyambut dengan girang.

Semua orang kemudian masuk, termasuk Kalila dan anak-anakku. Begitu mereka sudah berada di dalam rumah aku meminta pada Kalila untuk mengeluarkan kopernya. Dengan gesit Kalila bergerak, memasuki kamar dan keluar lagi sambil menyeret koper.

Jemari Kalila sudah bergerak hendak membuka, tapi dengan cepat Kak Kirana mencegah.

"Tunggu, biar aku saja yang membuka! Aku takut kau salah dan merusak koper mahal itu!"

Sebenarnya Kalila tak sebodoh yang Kak Kirana pikirkan, sekarang Kalila memang lusuh dan jelek dan karena penampilannya itu dia terlihat bodoh. Sejatinya, ketika masih gadis dulu, Kalila adalah kembang desa yang terkenal cerdas.

Dengan raut wajah yang tidak sedap dipandang, Kalila menarik tangannya, dia bahkan mundur dan membiarkan Kirana meraih koper itu.

"Cepat buka!" pinta ibuku, dia terlihat tidak sabar.

Dengan tergesa Kak Kirana membuka koper, setelah koper terbuka semuanya berebutan mengambil barang-barang yang ada di dalamnya. Baju anak, sarung, gamis, jilbab, mukena, bahkan sandal ada dalam koper itu. Mereka semua berebut dan mengambil barang yang diinginkan.

Hatiku puas dan bahagia melihat keluargaku seperti ini, tak hentinya bibirku menyunggingkan senyum bangga.

"Gamisnya bagus semua, ingin rasanya memiliki semuanya!" Larasati berseru. 

"Sisakan untukku, Laras!" ucap Kak Sulis sambil merebut gamis yang ada dalam genggaman Larasati.

"Tidak perlu berebutan, gamis dan sandal untuk satu orang satu. Semua pasti kebagian!" Dengan cepat aku melerai Sulis dan Larasati yang sedang berebutan.

"Ohh, jadi sama-sama satu, ya?" tanya Larasati sambil mengalah memberikan satu gamis untuk Sulis.

"Iya," jawabku.

"Lalu untukku mana?" Dari belakang keluargaku yang berkerumun memenuhi depan koper, Kalila bertanya.

"Iya, baju lebaran untukku mana?" rengek Jalal yang tidak ikut berebutan, anakku itu memilih duduk di dekat ibunya.

"Ada kok, untuk Jalal dan Salsabila ada," jawabku cepat.

"Yang mana, sisanya cuma ini," sambut Kak Sulis sambil mengangkat baju koko dan gamis kecil. Diantara semua yang aku beli, baju yang sedang diangkat Kak Sulis itulah yang paling jelek dan harganya murah. Waktu itu aku kehabisan uang, uang yang aku bawa kurang. Karena bajunya belum cukup akhirnya aku membeli yang murah saja.

"Apa sisanya hanya itu? Apa tidak ada yang lebih bagus untuk Jalal dan Salsabila?" tanya Kalila, nadanya terdengar ketus.

"Iya, cuma ini," jawab Kak Sulis.

Kalila hendak berucap lagi, tapi ibuku menyerobot duluan.

"Sudah, diambil saja mana yang ada! Lagian mengapa sejak tadi kau bengong saja tidak mengambil untuk anakmu. Baju itu juga bagus, berikan saja untuk baju lebaran anakmu. Masih syukur dibawakan, toh kamupun tidak pernah mau membeli baju buat anak-anakmu, meski setiap bulan kiriman selalu datang." 

"Bagaimana aku hendak mengambil, semuanya menyero ... "

"Sudah, tidak perlu membantah! Tidak perlu banyak alasan, ini bulan suci seharusnya kamu tau itu dan menerima saja apa yang ada!" Belum selesai ucapan Kalila, kembali ibumu memotong.

"Heh, tau rasa kau Kalila," ketusku dalam hati.

"Iya, bukankah selama ini uang untuk Kalila selalu mengalir, kita saja yang sebagai saudara tak pernah mendapat jatah kiriman. Selama ini tak pernah sekalipun Kalila berbagi uang kiriman itu pada kami. Jika tidak untuk kami para iparnya, setidaknya untuk keponakannya yang masih kecil ini. Seharusnya Kalila tidak perlu mendapat gamis, toh dia bisa membeli dengan uang yang setiap bulan dia terima." Kak Sulis menyambut ucapan ibuku.

Hatiku meradang mendengar penuturan Kak Sulis, ternyata Kalila benar-benar tega dan pelit. Pada saudara kandungku sendiripun dia perhitungan, benar kata Kak Sulis, jika tidak memberi untuk mereka yang sudah pada dewasa, setidaknya memberi pada para keponakanku.

"Bukankah aku selalu memberi anak-anak setiap kali uang kiriman datang." Kalila angkat bicara.

"Kau memang memberi Kalila, tapi hanya sepuluh ribu saja. Uang segitu tidak berguna bagi anak-anak kami!" Giliran Kak Kirana yang menyambut.

"Entah kau kemanakan kiriman suamimu, Kalila. Selama ini kau selalu kekurangan, berhutang dan membuat malu dengan menelusuri sawah orang untuk mencari bahan lauk!" Ibuku menimpali dengan sengit.

Mendapat serangan dari semua orang, Kalila nampak kesal, dia kemudian membela diri dengan suara tinggi.

"Uang yang dikirim itu tidak cukup, itu sebabnya aku berhutang dan mencari siput atau kayu bakar di sawah orang."

"Alahh, alasanmu selangit! Kau memang pintar membuat alasan sejak dulu!" sergahku segera.

"Aku benar-benar tidak suka dengan cara-caramu ini, Kalila. Laras, ambil saja gamis bagiannya, biar dia membeli sendiri dengan uang yang dulu aku kirim!" perintahku kemudian.

Bersambung.

Bab terkait

  • Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim    Lauk Sampah

    "Iya, Laras. Ambil saja gamis itu, kakak tidak cocok dengan modelnya, gamis itu terlalu bermodel terlihat aneh bila ibu-ibu seperti kakak yang menggunakannya. Gamis model begitu cocoknya untuk gadis belia sepertimu."Di luar dugaan, ternyata Kalila menyetujui ucapan marahku. Aku pikir dia akan merajuk, memohon atau balik memarahiku, tapi dengan entengnya dia memberikan gamis itu pada Larasati. Aku hanya terbengong melihat kelakuan Kalila yang semakin sombong, bahkan aku melihat Kak Sulis dan Kiranapun mencabik."Sombong.""Pencitraan."Dua wanita itu mencabik sambil melirih. Lain halnya dengan Laras, dia berseru kegirangan menanggapi ucapan iparnya yang sok itu."Beneran, kakak memberikan gamis ini padaku?" ujar Laras sambil mengangkat dua gamis itu."Iya, ambil saja!" jawab Kalila "Sekalian, ambil saja gamis kecil dan baju untuk Jalal itu! Mereka akan aku belikan yang lain saja, masak ayah mereka yang pulang dari rantauan membawa uang banyak mendapatkan baju murahan seperti itu. Jug

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-13
  • Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim    Buka Bersama yang Berantakan

    "Kalila ... kamu sudah gila, ya? Masak kamu berikan sayur sampah itu padaku!" Kirana membentak."Iya, kau saja yang makan. Kami mana sudi memakan itu, dasar aneh ... !" Kak Sulis ikut-ikutan menghardik.Dengan cepat Kalila mengambil piring itu kembali, kemudian menumpahkan semua isinya pada piring nasinya yang tinggal setengah, tanpa peduli pada Kirana dan Sulis, dia menyuap nasi dan talas itu dengan lahapnya."Eemm enak," ucapnya kemudian.Menurutku, Kalila kali ini benar. Batang talas itu memang enak, apa lagi dimasak santan seperti yang ada di piring itu. Kak Sulis berlebihan, padahal dulu sebelum kami berumah tangga dan masih kumpul di rumah orang tua, ibuku sering memasak batang talas seperti itu."Gila ... lalu dengan apa aku menghabiskan nasi ini!" ketus Kak Kirana."Iya, semua lauk sudah habis!" Kak Sulis sewot sambil menengok sana-sini, melihat seluruh piring yang sudah kosong."Ya, semua lauknya sudah habis," ucap Kak Gufron."Kalian terlalu banyak bicara, dan sangat tidak m

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-13
  • Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim    Satu Juta Untuk Satu Bulan

    ."Astagfirulloh ... sepagi ini sudah gibah, Ibu-ibu! Tak sayangkah dengan puasanya, lelah lho menahan lapar dan haus seharian penuh, kenapa ibu-ibu rela menyia-nyiakan haus dan dahaga itu dengan membicarakan keburukan saudara kira sendiri!" Sebelum aku mengeluarkan suara, Nadya, istri dari Ustadz Ikrom mengingatkan. Ustadz Ikrom adalah penceramah muda yang biasa mengisi kajian di kampung ini, Ibu-ibu yang sedang berbelanja ini adalah jamaah ustadz tersebut. Termasuk juga Kalila, malah Kalila sangat dekat dengan Nadya."Astagfirulloh ... ""Astagfirulloh ... "Serentak ibu-ibu beristigfar, dan ibu yang membicarakan kejelekan Kalila tadi bergumam pelan."Aku tidak sadar jika Nadya ada di sini.""Ibu-ibu, saya pamit dulu ya, belanja saya sudah selesai, Assalamualaikum ... " ucap Nadya kemudian.Mungkin karena yang sedang berbelanja saat ini adalah ibu-ibu yang lebih tua darinya, hingga Nadya tidak meneruskan menegur terlalu jauh, mungkin Nadya segan karena ibu-ibu ini hampir semuanya s

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-01
  • Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim    Kaliala Memborong Pakaian

    "Apa, dua juta lebih, hahaha ... ! Bisa-bisanya Bibi percaya pada candaan Kak Ramli."Aku pikir Kalila akan marah dengan ucapan mertua Indah, dia malah tertawa geli."Asal ibu-ibu tau, jatahku sebulan itu hanya satu juta pas, tidak kurang tidak lebih." Kalila menambahkan."Lalu, mengapa Ramli berkata dua juta lebih, bahkan mertuamu juga berkata seperti itu. Tidak mungkinkan dua orang itu bercanda atau berbohong?" Mertua Indah masih kukuh dengan pendapatnya, sementara hatiku sudah tak karu-karuan. Aku berpikir keras bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini, bila Kalila terus-terusan dikatai seperti ini, aku yakin dia akan menyerangku."Astagfirulloh ... Bi, mana mungkin aku bohong, di bulan suci pula. Seandainya dua juta lebih bagianku, tidak mungkin aku selalu ke sawah Bibi untuk mencari siput, kayu bakar, dan talas. Bibi-bibi semua bisa menghitung pengeluaran perbulan dan uang satu juta itu hanya cukup untuk beras dan jajan anak-anak." Keterangan Kalila membuat ibu-ibu s

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-02
  • Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim    Uang Kiriman

    "Lho, Dek. Rumah kita kok kosong melompong, hampir enggak ada isinya?"Ketika memasuki rumah aku bertanya heran.Tiga tahun lamanya aku dirantauan, rutin mengirim uang setiap bulannya, tapi mengapa setelah aku pulang tak kutemui satupun barang berharga di rumahku ini. Tidak seperti rumah Tohir yang aku singgah tadi, rumahnya sudah penuh dengan barang berharga. Sofa, lemari besar, kulkas, dan elektronik lainnya memenuhi rumahnya."Barang berharga seperti apa yang Kakak maksud?" Istriku bertanya, raut wajahnya terlihat bingung pula.Sebenarnya aku sangat kesal dan ingin sekali membentaknya, mengatakan apa yang mengganjal di hati. Akan tetapi mengingat aku ini baru saja pulang dari rantauan jauh selama bertahun-tahun pula, aku redam rasa kesalku. Aku biarkan rasa kesal itu menguap dengan kembali mengedepankan hasrat yang terpendam sejak lama."Bukan apa-apa, sebaiknya kita ke kamar saja!" Aku meraih tangannya, bermaksud membawanya ke kamar untuk menumpahkan hasrat yang kembali menggebu.

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-13
  • Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim    Istri yang Tidak Becus

    "Hahaha ... jadi rak piringpun Kalila tidak punya?"Sartika langsung terbahak begitu mendengar keluh-kesahku. Kini di rumahnyalah aku berada."Iya, masak aku bohong," sungutku. "Dia meletakkan perabot dapurnya yang kusam itu di rak bambu yang aku buat tiga tahun yang lalu," sambungku dengan nada kesal."Aku jadi bingung, Kalila kemanakan uang kirimanmu?" Tohir bertanya dengan raut serius."Itulah yang aku bingungkan, Toh. Aku tidak tau dia apakan uang itu," jawabku ketus."Sebelumnya aku kurang percaya tentang gosip di kampung ini, gosip tentang istrimu yang tidak becus mengurus keuangan dan selalu menghamburkan uang untuk ibunya. Akan tetapi setelah mendengar ceritamu aku jadi percaya, yang orang-orang katakan ternyata benar, si Kalila memang tidak becus menjadi istri!" Sartika berujar sengit."Aku penasaran, memangnya berapa uang yang selalu kau kirim untuk istrimu?" Sebelum menjawab ucapan Sartika, Tohir telah memotong lebih dulu."Ee ... du ... dua juta, iya dua juta kadang lebih.

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-13

Bab terbaru

  • Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim    Kaliala Memborong Pakaian

    "Apa, dua juta lebih, hahaha ... ! Bisa-bisanya Bibi percaya pada candaan Kak Ramli."Aku pikir Kalila akan marah dengan ucapan mertua Indah, dia malah tertawa geli."Asal ibu-ibu tau, jatahku sebulan itu hanya satu juta pas, tidak kurang tidak lebih." Kalila menambahkan."Lalu, mengapa Ramli berkata dua juta lebih, bahkan mertuamu juga berkata seperti itu. Tidak mungkinkan dua orang itu bercanda atau berbohong?" Mertua Indah masih kukuh dengan pendapatnya, sementara hatiku sudah tak karu-karuan. Aku berpikir keras bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini, bila Kalila terus-terusan dikatai seperti ini, aku yakin dia akan menyerangku."Astagfirulloh ... Bi, mana mungkin aku bohong, di bulan suci pula. Seandainya dua juta lebih bagianku, tidak mungkin aku selalu ke sawah Bibi untuk mencari siput, kayu bakar, dan talas. Bibi-bibi semua bisa menghitung pengeluaran perbulan dan uang satu juta itu hanya cukup untuk beras dan jajan anak-anak." Keterangan Kalila membuat ibu-ibu s

  • Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim    Satu Juta Untuk Satu Bulan

    ."Astagfirulloh ... sepagi ini sudah gibah, Ibu-ibu! Tak sayangkah dengan puasanya, lelah lho menahan lapar dan haus seharian penuh, kenapa ibu-ibu rela menyia-nyiakan haus dan dahaga itu dengan membicarakan keburukan saudara kira sendiri!" Sebelum aku mengeluarkan suara, Nadya, istri dari Ustadz Ikrom mengingatkan. Ustadz Ikrom adalah penceramah muda yang biasa mengisi kajian di kampung ini, Ibu-ibu yang sedang berbelanja ini adalah jamaah ustadz tersebut. Termasuk juga Kalila, malah Kalila sangat dekat dengan Nadya."Astagfirulloh ... ""Astagfirulloh ... "Serentak ibu-ibu beristigfar, dan ibu yang membicarakan kejelekan Kalila tadi bergumam pelan."Aku tidak sadar jika Nadya ada di sini.""Ibu-ibu, saya pamit dulu ya, belanja saya sudah selesai, Assalamualaikum ... " ucap Nadya kemudian.Mungkin karena yang sedang berbelanja saat ini adalah ibu-ibu yang lebih tua darinya, hingga Nadya tidak meneruskan menegur terlalu jauh, mungkin Nadya segan karena ibu-ibu ini hampir semuanya s

  • Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim    Buka Bersama yang Berantakan

    "Kalila ... kamu sudah gila, ya? Masak kamu berikan sayur sampah itu padaku!" Kirana membentak."Iya, kau saja yang makan. Kami mana sudi memakan itu, dasar aneh ... !" Kak Sulis ikut-ikutan menghardik.Dengan cepat Kalila mengambil piring itu kembali, kemudian menumpahkan semua isinya pada piring nasinya yang tinggal setengah, tanpa peduli pada Kirana dan Sulis, dia menyuap nasi dan talas itu dengan lahapnya."Eemm enak," ucapnya kemudian.Menurutku, Kalila kali ini benar. Batang talas itu memang enak, apa lagi dimasak santan seperti yang ada di piring itu. Kak Sulis berlebihan, padahal dulu sebelum kami berumah tangga dan masih kumpul di rumah orang tua, ibuku sering memasak batang talas seperti itu."Gila ... lalu dengan apa aku menghabiskan nasi ini!" ketus Kak Kirana."Iya, semua lauk sudah habis!" Kak Sulis sewot sambil menengok sana-sini, melihat seluruh piring yang sudah kosong."Ya, semua lauknya sudah habis," ucap Kak Gufron."Kalian terlalu banyak bicara, dan sangat tidak m

  • Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim    Lauk Sampah

    "Iya, Laras. Ambil saja gamis itu, kakak tidak cocok dengan modelnya, gamis itu terlalu bermodel terlihat aneh bila ibu-ibu seperti kakak yang menggunakannya. Gamis model begitu cocoknya untuk gadis belia sepertimu."Di luar dugaan, ternyata Kalila menyetujui ucapan marahku. Aku pikir dia akan merajuk, memohon atau balik memarahiku, tapi dengan entengnya dia memberikan gamis itu pada Larasati. Aku hanya terbengong melihat kelakuan Kalila yang semakin sombong, bahkan aku melihat Kak Sulis dan Kiranapun mencabik."Sombong.""Pencitraan."Dua wanita itu mencabik sambil melirih. Lain halnya dengan Laras, dia berseru kegirangan menanggapi ucapan iparnya yang sok itu."Beneran, kakak memberikan gamis ini padaku?" ujar Laras sambil mengangkat dua gamis itu."Iya, ambil saja!" jawab Kalila "Sekalian, ambil saja gamis kecil dan baju untuk Jalal itu! Mereka akan aku belikan yang lain saja, masak ayah mereka yang pulang dari rantauan membawa uang banyak mendapatkan baju murahan seperti itu. Jug

  • Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim    Rebutan Oleh-oleh

    "Kalila ... kembali! Aku belum selesai bicara!" Sebelum Kalila terlalu jauh, aku meneriakinya."Ada apa lagi?" tanya Kalila dari luar sana.Hati yang marah dan kesal menjadi semakin menjadi karena perangai istriku, dia masih sama seperti dulu tak ada takut-takutnya pada suami. Sejak dulu Kalila memang begini, pandai bicara, selalu saja ada alasan yang dia kemukakan bila aku menegurnya, aku selalu kalah bila berdebat dengannya.Selalu juga seperti ini, tidak pernah becus mengurus keuangan. Sebelum merantaupun, uang yang aku dapati dari nguli sana-sini habis tak tersisa olehnya. Jangankan menabung untuk membeli emas seperti istri orang lainnya, sekedar untuk membeli pakaian dalampun sangat jarang.Karena Kalila belum juga kembali akulah yang terpaksa bergerak keluar, aku puas karena melihatnya masih berdiri di dekat tembok dapur."Tetaplah di situ, masih banyak yang ingin aku bicarakan!" perintahku kemudian."Ada apa lagi, si?" tanya Kalila datar.Akan tetapi sebelum memarahinya lebih l

  • Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim    Istri yang Tidak Becus

    "Hahaha ... jadi rak piringpun Kalila tidak punya?"Sartika langsung terbahak begitu mendengar keluh-kesahku. Kini di rumahnyalah aku berada."Iya, masak aku bohong," sungutku. "Dia meletakkan perabot dapurnya yang kusam itu di rak bambu yang aku buat tiga tahun yang lalu," sambungku dengan nada kesal."Aku jadi bingung, Kalila kemanakan uang kirimanmu?" Tohir bertanya dengan raut serius."Itulah yang aku bingungkan, Toh. Aku tidak tau dia apakan uang itu," jawabku ketus."Sebelumnya aku kurang percaya tentang gosip di kampung ini, gosip tentang istrimu yang tidak becus mengurus keuangan dan selalu menghamburkan uang untuk ibunya. Akan tetapi setelah mendengar ceritamu aku jadi percaya, yang orang-orang katakan ternyata benar, si Kalila memang tidak becus menjadi istri!" Sartika berujar sengit."Aku penasaran, memangnya berapa uang yang selalu kau kirim untuk istrimu?" Sebelum menjawab ucapan Sartika, Tohir telah memotong lebih dulu."Ee ... du ... dua juta, iya dua juta kadang lebih.

  • Kemana Uang yang Rutin Aku Kirim    Uang Kiriman

    "Lho, Dek. Rumah kita kok kosong melompong, hampir enggak ada isinya?"Ketika memasuki rumah aku bertanya heran.Tiga tahun lamanya aku dirantauan, rutin mengirim uang setiap bulannya, tapi mengapa setelah aku pulang tak kutemui satupun barang berharga di rumahku ini. Tidak seperti rumah Tohir yang aku singgah tadi, rumahnya sudah penuh dengan barang berharga. Sofa, lemari besar, kulkas, dan elektronik lainnya memenuhi rumahnya."Barang berharga seperti apa yang Kakak maksud?" Istriku bertanya, raut wajahnya terlihat bingung pula.Sebenarnya aku sangat kesal dan ingin sekali membentaknya, mengatakan apa yang mengganjal di hati. Akan tetapi mengingat aku ini baru saja pulang dari rantauan jauh selama bertahun-tahun pula, aku redam rasa kesalku. Aku biarkan rasa kesal itu menguap dengan kembali mengedepankan hasrat yang terpendam sejak lama."Bukan apa-apa, sebaiknya kita ke kamar saja!" Aku meraih tangannya, bermaksud membawanya ke kamar untuk menumpahkan hasrat yang kembali menggebu.

DMCA.com Protection Status