"Iya, Laras. Ambil saja gamis itu, kakak tidak cocok dengan modelnya, gamis itu terlalu bermodel terlihat aneh bila ibu-ibu seperti kakak yang menggunakannya. Gamis model begitu cocoknya untuk gadis belia sepertimu."
Di luar dugaan, ternyata Kalila menyetujui ucapan marahku. Aku pikir dia akan merajuk, memohon atau balik memarahiku, tapi dengan entengnya dia memberikan gamis itu pada Larasati. Aku hanya terbengong melihat kelakuan Kalila yang semakin sombong, bahkan aku melihat Kak Sulis dan Kiranapun mencabik.
"Sombong."
"Pencitraan."
Dua wanita itu mencabik sambil melirih.
Lain halnya dengan Laras, dia berseru kegirangan menanggapi ucapan iparnya yang sok itu."Beneran, kakak memberikan gamis ini padaku?" ujar Laras sambil mengangkat dua gamis itu.
"Iya, ambil saja!" jawab Kalila "Sekalian, ambil saja gamis kecil dan baju untuk Jalal itu! Mereka akan aku belikan yang lain saja, masak ayah mereka yang pulang dari rantauan membawa uang banyak mendapatkan baju murahan seperti itu. Juga apa kakak tidak malu seandainya orang bertanya kenapa baju lebaran anak-anak pada jelek, sementara ayahnya punya uang banyak, masak yang bagus baju keponalan saja, baju anak sendiri tipis murahan seperti itu!"
Kalila menambahkan dengan gerutuan panjang lebar. Belum cukup dengan itu, dia mempengaruhi Jalal dan Salsabila pula.
"Jalal, Bila, besok minta ayah belikan baju lebaran yang bagus dan mahal, ya!"
"Iya, Bu. Yah, besok kita beli, ya!"
Aku ingin menjawab tidak dengan permintaan Jalal, juga ingin marah karena ucapan Kalila. Akan tetapi ucapan Kalila yang terakhir membuatku bertahan untuk tidak melakukan itu. Benar yang dia katakan, tanggapan orang pasti jelek bila melihat dua anakku berpakain jelek, sementara aku baru pulang dan mempunyai uang banyak.
"Baiklah, besok kita pergi," jawabku kemudian.
"Horeeee ... beli baju lebaran!" teriak Jalal, dan Kalilapun tersenyum lebar.
Aku menangkap sesuatu yang aneh dari senyum lebar Kalila, tapi aku tidak tau itu apa.
Sempat aku melirik ibu dan yang lainnya, mereka menanggapi ucapan Kalila dengan cibiran. Sangat pantas Kalila mendapatkan itu dia sok sombong, menolak baju bawaanku padahal dia sendiri tidak becus membelikan dirinya baju, padahal tiap bulan uang selalu aku kirim untuknya.Perhatian kami semua kemudian teralih ketika Kak Gufron membuka suara.
"Ini sudah sangat sore, sebaiknya kita pulang saja! Sebentar lagi waktu berbuka akan tiba." ucapnya.
"Lho, kok pulang? Mengapa tidak berbuka bareng di sini saja!" Kalila menyambut dengan cepat.
"Berbuka di sini? Apa tawarannya itu tidak salah, Kalila. Lidah kami dan kamu tidak sama, kami tidak terbisa berbuka dengan lauk sampah!" Kak Anjani menjawab sengit.
"Lauk sampah, maksud kakak apa? Aku masak op ... "
"Tadi ibu bawa opor ayam, biar kalian berbuka di sini dengan opor yang ibu bawa!"
Kalila ingin membela diri, tapi ibuku lebih dulu bersuara mendahulinya."Aku juga masak opor ayam, Bu." Kalila tidak mau kalah, dia berucap cepat sebelum yang lain angkat bicara.
"Lho, kok kamu jadi mengaku-ngakui masakan ibu, si?" sangkal ibuku.
"Aku tidak mengakui, Bu. Benar ibu memang membawa opor ayam, tapi aku juga masak sekilo ayam. Aku sengaja masak banyak karena tau kalian akan ke sini," jawab Kalila.
"Alahh, tidak perlu berbohong sampai segitunya Kalila. Semua juga tau bagaimana dirimu, kau hanya masak sampah setiap hari!" Kak Kirana menyambut.
"Tapi benar kok, ibuku masak opor ayam. Iya kan, Yah?"
Ucapan dan tatapan polos dari Jalal nembutku seolah terhipnotis, aku menangguk, tapi dengan cepat mengalihkan perhatian.
"Sudah-sudah, jangan ributkan ini! Sebaiknya segera saja hidangkan! Kalila kenapa kau hanya bicara saja, keluarkan segera makanannya!" perintahku kemudian."Iya, sebentar lagi kita akan berbuka." Kak Gufron menyambut ucapanku.
Kalila bergerak dengan cepat, dia masuk dapur dan mengeluarkan ini itu. Kalila hanya bergerak seorang diri, empat wanita hanya duduk menonton saja, bahkan kemudian mengeluarkan ponsel dan sibuk dengannya. Mungkin ibuku kasian pada menantunya.
Dia kemudian meminta anak menantunya yang lain untuk membantu.
"Kalian, bantu adikmu!" perintahnya.
"Ihhh, enggak enaklah, Bu. Inilkan rumah Kalila, masak kita mau ikut-ikutan keluar masuk," jawab Kak Kirana.
"Iya ibu ini, masak kita mau ikut mengobrak-abrik dapur orang," timpal Kak Sulis, dan ibuku terdiam dengan jawaban mereka.
Akhirnya tak ada yang membantu Kalila, akupun sangat enggan membantu, masak laki-laki harus ikut bantu-bantu tanggung jawab perempuan. Ogah, nanti aku dikira suami takut istri sama keluargaku.
Beberapa saat setelah makan terhidang, Adzan Magribpun berkumandang.
"Sudah Adzan, mari berbuka!" ucap ibuku.
"Mari, selamat berbuka semuanya," sambut Kalila.
Sebenarnya aku dan Kalila tidak berpuasa, karena sebelum siang tadi aku sudah merusak semuanya. Akan tetapi tidak mungkin kubeberkan semua itu pada keluargaku, bisa-bisa aku diledek dan dijadikan gunjingan. Diantara semua orang malah akulah yang paling bersemangat menyendok nasi.
Opor yang dibuat Kalila dan ibuku sama menggiurkannya, ada juga lauk lain yang dihidangkan Kalila, aku tidak tau itu apa karena letaknya ada di dekat dia, sementara aku duduk di dekat Kak Gufron dan lelaki lainnya, sementara dirinya berdekatan dengan Kak Kirana dan Kak Sulis.
Kak Sulis dan Kak Kirana nampak lahap menikmati opor ayam buatan Kalila, sudah beberapa kali aku melihat mereka menyendok daging ayam itu dan memasukkannya ke mulut dengan penuh. Aku pikir mereka sangat menyukai opor itu, karena rasanya memang sangat nikmat.
Akan tetapi, aku keliru ternyata mereka berucap lain. Sambil mengunyah potongan besar daging ayam, Kak Kirana berujar.
"Sebenarnya aku sudah sangat bosan dengan daging ayam, setiap hari selalu masak ayam," ucapnya, tapi tak henti dia mengunyah ayam itu dengan lahapnya."Sama, Kak. Aku juga sudah sangat bosan. Di rumah opor ayam sudah mubazir, selalu kebuang karena tidak ada yang mau memakannya." Kak Sulis menyambut, sama dengan Kak Kirana mulut Kak Sulispun sedang penuh oleh daging ayam.
Mereka terlihat lahap, tapi ternyata mereka sudah bosan.
"Jadi, setiap hari Kakak masak ayam?" tanya Kalila.
"Kami tidak sepertimu Kalila, selalu memasak sampah. Daging ayam bukan barang langka, kami selalu membuangnya karena selalu tersisa," ucap Kak Sulis.
"Ihhh ... Iya, pokoknya daging-dagingan bagiku sudah sangat membosankan, aku lebih senang bila memakan sayur-mayur," Kak Kirana menyambung.
Mendengar jawaban dari dua iparnya, Kalila tersenyum. Tangannya Kemudian bergerak mengambil piring yang berisi opor ayam yang berada di depan Kak Kirana dan Sulis. Melihat itu, Kirana dan Sulis melotot, dengan serempak mereka membentak.
"Lho, mau kau kemanakan opor ayam itu?"
Dengan senyum yang masih mengembang di bibirnya, Kalila menjawab.
"Bukankah kakak-kakak sudah sangat bosan dengan daging ayam, untuk itu biar Jalal dan Salsabila saja yang memakannya, kasian mereka selalu makan berlauk sampah setiap hari."Tak sedikitpun terlihat beban di wajah Kalila saat berucap begitu, dengan cepat dia meletakkan piring opor itu di depan kedua anakku.
"Makan opor ayamnya yang banyak ya, sayang! Kalian sudah sangat lama tidak memakan daging ayam," ucapnya lagi sambil membelai kepala kedua anakku secara bergantian."Iya, Bu. Akan aku habiskan daging ayam yang ada di piring ini," ucap Jalal.
"Lalu, kami harus makan dengan lauk apa!" seru Kak Kirana.
Kalila berpaling menghadap Kak Kirana lagi, dengan senyum yang semakin mengembang dia mengambil piring sayur yang ada di dekatnya kemudian meletakkannya di depan Kak Kirana dan Sulis, menggantikan piring opor tadi. Dengan lembut Kalila kemudian berkata.
"Karena kakak-kakak sudah sangat bosan dengan daging ayam, maka makanlah berlauk sayur ini. Bukankah tadi kakak juga berkata begitu, lebih suka sama sayur."
Kirana dan Sulis melotot.
"Sayur apa ini?" tanya mereka bersamaan."Pelepah talas, sisa kemarin," jawab Kalila.
Bersambung.
"Kalila ... kamu sudah gila, ya? Masak kamu berikan sayur sampah itu padaku!" Kirana membentak."Iya, kau saja yang makan. Kami mana sudi memakan itu, dasar aneh ... !" Kak Sulis ikut-ikutan menghardik.Dengan cepat Kalila mengambil piring itu kembali, kemudian menumpahkan semua isinya pada piring nasinya yang tinggal setengah, tanpa peduli pada Kirana dan Sulis, dia menyuap nasi dan talas itu dengan lahapnya."Eemm enak," ucapnya kemudian.Menurutku, Kalila kali ini benar. Batang talas itu memang enak, apa lagi dimasak santan seperti yang ada di piring itu. Kak Sulis berlebihan, padahal dulu sebelum kami berumah tangga dan masih kumpul di rumah orang tua, ibuku sering memasak batang talas seperti itu."Gila ... lalu dengan apa aku menghabiskan nasi ini!" ketus Kak Kirana."Iya, semua lauk sudah habis!" Kak Sulis sewot sambil menengok sana-sini, melihat seluruh piring yang sudah kosong."Ya, semua lauknya sudah habis," ucap Kak Gufron."Kalian terlalu banyak bicara, dan sangat tidak m
."Astagfirulloh ... sepagi ini sudah gibah, Ibu-ibu! Tak sayangkah dengan puasanya, lelah lho menahan lapar dan haus seharian penuh, kenapa ibu-ibu rela menyia-nyiakan haus dan dahaga itu dengan membicarakan keburukan saudara kira sendiri!" Sebelum aku mengeluarkan suara, Nadya, istri dari Ustadz Ikrom mengingatkan. Ustadz Ikrom adalah penceramah muda yang biasa mengisi kajian di kampung ini, Ibu-ibu yang sedang berbelanja ini adalah jamaah ustadz tersebut. Termasuk juga Kalila, malah Kalila sangat dekat dengan Nadya."Astagfirulloh ... ""Astagfirulloh ... "Serentak ibu-ibu beristigfar, dan ibu yang membicarakan kejelekan Kalila tadi bergumam pelan."Aku tidak sadar jika Nadya ada di sini.""Ibu-ibu, saya pamit dulu ya, belanja saya sudah selesai, Assalamualaikum ... " ucap Nadya kemudian.Mungkin karena yang sedang berbelanja saat ini adalah ibu-ibu yang lebih tua darinya, hingga Nadya tidak meneruskan menegur terlalu jauh, mungkin Nadya segan karena ibu-ibu ini hampir semuanya s
"Apa, dua juta lebih, hahaha ... ! Bisa-bisanya Bibi percaya pada candaan Kak Ramli."Aku pikir Kalila akan marah dengan ucapan mertua Indah, dia malah tertawa geli."Asal ibu-ibu tau, jatahku sebulan itu hanya satu juta pas, tidak kurang tidak lebih." Kalila menambahkan."Lalu, mengapa Ramli berkata dua juta lebih, bahkan mertuamu juga berkata seperti itu. Tidak mungkinkan dua orang itu bercanda atau berbohong?" Mertua Indah masih kukuh dengan pendapatnya, sementara hatiku sudah tak karu-karuan. Aku berpikir keras bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini, bila Kalila terus-terusan dikatai seperti ini, aku yakin dia akan menyerangku."Astagfirulloh ... Bi, mana mungkin aku bohong, di bulan suci pula. Seandainya dua juta lebih bagianku, tidak mungkin aku selalu ke sawah Bibi untuk mencari siput, kayu bakar, dan talas. Bibi-bibi semua bisa menghitung pengeluaran perbulan dan uang satu juta itu hanya cukup untuk beras dan jajan anak-anak." Keterangan Kalila membuat ibu-ibu s
"Lho, Dek. Rumah kita kok kosong melompong, hampir enggak ada isinya?"Ketika memasuki rumah aku bertanya heran.Tiga tahun lamanya aku dirantauan, rutin mengirim uang setiap bulannya, tapi mengapa setelah aku pulang tak kutemui satupun barang berharga di rumahku ini. Tidak seperti rumah Tohir yang aku singgah tadi, rumahnya sudah penuh dengan barang berharga. Sofa, lemari besar, kulkas, dan elektronik lainnya memenuhi rumahnya."Barang berharga seperti apa yang Kakak maksud?" Istriku bertanya, raut wajahnya terlihat bingung pula.Sebenarnya aku sangat kesal dan ingin sekali membentaknya, mengatakan apa yang mengganjal di hati. Akan tetapi mengingat aku ini baru saja pulang dari rantauan jauh selama bertahun-tahun pula, aku redam rasa kesalku. Aku biarkan rasa kesal itu menguap dengan kembali mengedepankan hasrat yang terpendam sejak lama."Bukan apa-apa, sebaiknya kita ke kamar saja!" Aku meraih tangannya, bermaksud membawanya ke kamar untuk menumpahkan hasrat yang kembali menggebu.
"Hahaha ... jadi rak piringpun Kalila tidak punya?"Sartika langsung terbahak begitu mendengar keluh-kesahku. Kini di rumahnyalah aku berada."Iya, masak aku bohong," sungutku. "Dia meletakkan perabot dapurnya yang kusam itu di rak bambu yang aku buat tiga tahun yang lalu," sambungku dengan nada kesal."Aku jadi bingung, Kalila kemanakan uang kirimanmu?" Tohir bertanya dengan raut serius."Itulah yang aku bingungkan, Toh. Aku tidak tau dia apakan uang itu," jawabku ketus."Sebelumnya aku kurang percaya tentang gosip di kampung ini, gosip tentang istrimu yang tidak becus mengurus keuangan dan selalu menghamburkan uang untuk ibunya. Akan tetapi setelah mendengar ceritamu aku jadi percaya, yang orang-orang katakan ternyata benar, si Kalila memang tidak becus menjadi istri!" Sartika berujar sengit."Aku penasaran, memangnya berapa uang yang selalu kau kirim untuk istrimu?" Sebelum menjawab ucapan Sartika, Tohir telah memotong lebih dulu."Ee ... du ... dua juta, iya dua juta kadang lebih.
"Kalila ... kembali! Aku belum selesai bicara!" Sebelum Kalila terlalu jauh, aku meneriakinya."Ada apa lagi?" tanya Kalila dari luar sana.Hati yang marah dan kesal menjadi semakin menjadi karena perangai istriku, dia masih sama seperti dulu tak ada takut-takutnya pada suami. Sejak dulu Kalila memang begini, pandai bicara, selalu saja ada alasan yang dia kemukakan bila aku menegurnya, aku selalu kalah bila berdebat dengannya.Selalu juga seperti ini, tidak pernah becus mengurus keuangan. Sebelum merantaupun, uang yang aku dapati dari nguli sana-sini habis tak tersisa olehnya. Jangankan menabung untuk membeli emas seperti istri orang lainnya, sekedar untuk membeli pakaian dalampun sangat jarang.Karena Kalila belum juga kembali akulah yang terpaksa bergerak keluar, aku puas karena melihatnya masih berdiri di dekat tembok dapur."Tetaplah di situ, masih banyak yang ingin aku bicarakan!" perintahku kemudian."Ada apa lagi, si?" tanya Kalila datar.Akan tetapi sebelum memarahinya lebih l
"Apa, dua juta lebih, hahaha ... ! Bisa-bisanya Bibi percaya pada candaan Kak Ramli."Aku pikir Kalila akan marah dengan ucapan mertua Indah, dia malah tertawa geli."Asal ibu-ibu tau, jatahku sebulan itu hanya satu juta pas, tidak kurang tidak lebih." Kalila menambahkan."Lalu, mengapa Ramli berkata dua juta lebih, bahkan mertuamu juga berkata seperti itu. Tidak mungkinkan dua orang itu bercanda atau berbohong?" Mertua Indah masih kukuh dengan pendapatnya, sementara hatiku sudah tak karu-karuan. Aku berpikir keras bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini, bila Kalila terus-terusan dikatai seperti ini, aku yakin dia akan menyerangku."Astagfirulloh ... Bi, mana mungkin aku bohong, di bulan suci pula. Seandainya dua juta lebih bagianku, tidak mungkin aku selalu ke sawah Bibi untuk mencari siput, kayu bakar, dan talas. Bibi-bibi semua bisa menghitung pengeluaran perbulan dan uang satu juta itu hanya cukup untuk beras dan jajan anak-anak." Keterangan Kalila membuat ibu-ibu s
."Astagfirulloh ... sepagi ini sudah gibah, Ibu-ibu! Tak sayangkah dengan puasanya, lelah lho menahan lapar dan haus seharian penuh, kenapa ibu-ibu rela menyia-nyiakan haus dan dahaga itu dengan membicarakan keburukan saudara kira sendiri!" Sebelum aku mengeluarkan suara, Nadya, istri dari Ustadz Ikrom mengingatkan. Ustadz Ikrom adalah penceramah muda yang biasa mengisi kajian di kampung ini, Ibu-ibu yang sedang berbelanja ini adalah jamaah ustadz tersebut. Termasuk juga Kalila, malah Kalila sangat dekat dengan Nadya."Astagfirulloh ... ""Astagfirulloh ... "Serentak ibu-ibu beristigfar, dan ibu yang membicarakan kejelekan Kalila tadi bergumam pelan."Aku tidak sadar jika Nadya ada di sini.""Ibu-ibu, saya pamit dulu ya, belanja saya sudah selesai, Assalamualaikum ... " ucap Nadya kemudian.Mungkin karena yang sedang berbelanja saat ini adalah ibu-ibu yang lebih tua darinya, hingga Nadya tidak meneruskan menegur terlalu jauh, mungkin Nadya segan karena ibu-ibu ini hampir semuanya s
"Kalila ... kamu sudah gila, ya? Masak kamu berikan sayur sampah itu padaku!" Kirana membentak."Iya, kau saja yang makan. Kami mana sudi memakan itu, dasar aneh ... !" Kak Sulis ikut-ikutan menghardik.Dengan cepat Kalila mengambil piring itu kembali, kemudian menumpahkan semua isinya pada piring nasinya yang tinggal setengah, tanpa peduli pada Kirana dan Sulis, dia menyuap nasi dan talas itu dengan lahapnya."Eemm enak," ucapnya kemudian.Menurutku, Kalila kali ini benar. Batang talas itu memang enak, apa lagi dimasak santan seperti yang ada di piring itu. Kak Sulis berlebihan, padahal dulu sebelum kami berumah tangga dan masih kumpul di rumah orang tua, ibuku sering memasak batang talas seperti itu."Gila ... lalu dengan apa aku menghabiskan nasi ini!" ketus Kak Kirana."Iya, semua lauk sudah habis!" Kak Sulis sewot sambil menengok sana-sini, melihat seluruh piring yang sudah kosong."Ya, semua lauknya sudah habis," ucap Kak Gufron."Kalian terlalu banyak bicara, dan sangat tidak m
"Iya, Laras. Ambil saja gamis itu, kakak tidak cocok dengan modelnya, gamis itu terlalu bermodel terlihat aneh bila ibu-ibu seperti kakak yang menggunakannya. Gamis model begitu cocoknya untuk gadis belia sepertimu."Di luar dugaan, ternyata Kalila menyetujui ucapan marahku. Aku pikir dia akan merajuk, memohon atau balik memarahiku, tapi dengan entengnya dia memberikan gamis itu pada Larasati. Aku hanya terbengong melihat kelakuan Kalila yang semakin sombong, bahkan aku melihat Kak Sulis dan Kiranapun mencabik."Sombong.""Pencitraan."Dua wanita itu mencabik sambil melirih. Lain halnya dengan Laras, dia berseru kegirangan menanggapi ucapan iparnya yang sok itu."Beneran, kakak memberikan gamis ini padaku?" ujar Laras sambil mengangkat dua gamis itu."Iya, ambil saja!" jawab Kalila "Sekalian, ambil saja gamis kecil dan baju untuk Jalal itu! Mereka akan aku belikan yang lain saja, masak ayah mereka yang pulang dari rantauan membawa uang banyak mendapatkan baju murahan seperti itu. Jug
"Kalila ... kembali! Aku belum selesai bicara!" Sebelum Kalila terlalu jauh, aku meneriakinya."Ada apa lagi?" tanya Kalila dari luar sana.Hati yang marah dan kesal menjadi semakin menjadi karena perangai istriku, dia masih sama seperti dulu tak ada takut-takutnya pada suami. Sejak dulu Kalila memang begini, pandai bicara, selalu saja ada alasan yang dia kemukakan bila aku menegurnya, aku selalu kalah bila berdebat dengannya.Selalu juga seperti ini, tidak pernah becus mengurus keuangan. Sebelum merantaupun, uang yang aku dapati dari nguli sana-sini habis tak tersisa olehnya. Jangankan menabung untuk membeli emas seperti istri orang lainnya, sekedar untuk membeli pakaian dalampun sangat jarang.Karena Kalila belum juga kembali akulah yang terpaksa bergerak keluar, aku puas karena melihatnya masih berdiri di dekat tembok dapur."Tetaplah di situ, masih banyak yang ingin aku bicarakan!" perintahku kemudian."Ada apa lagi, si?" tanya Kalila datar.Akan tetapi sebelum memarahinya lebih l
"Hahaha ... jadi rak piringpun Kalila tidak punya?"Sartika langsung terbahak begitu mendengar keluh-kesahku. Kini di rumahnyalah aku berada."Iya, masak aku bohong," sungutku. "Dia meletakkan perabot dapurnya yang kusam itu di rak bambu yang aku buat tiga tahun yang lalu," sambungku dengan nada kesal."Aku jadi bingung, Kalila kemanakan uang kirimanmu?" Tohir bertanya dengan raut serius."Itulah yang aku bingungkan, Toh. Aku tidak tau dia apakan uang itu," jawabku ketus."Sebelumnya aku kurang percaya tentang gosip di kampung ini, gosip tentang istrimu yang tidak becus mengurus keuangan dan selalu menghamburkan uang untuk ibunya. Akan tetapi setelah mendengar ceritamu aku jadi percaya, yang orang-orang katakan ternyata benar, si Kalila memang tidak becus menjadi istri!" Sartika berujar sengit."Aku penasaran, memangnya berapa uang yang selalu kau kirim untuk istrimu?" Sebelum menjawab ucapan Sartika, Tohir telah memotong lebih dulu."Ee ... du ... dua juta, iya dua juta kadang lebih.
"Lho, Dek. Rumah kita kok kosong melompong, hampir enggak ada isinya?"Ketika memasuki rumah aku bertanya heran.Tiga tahun lamanya aku dirantauan, rutin mengirim uang setiap bulannya, tapi mengapa setelah aku pulang tak kutemui satupun barang berharga di rumahku ini. Tidak seperti rumah Tohir yang aku singgah tadi, rumahnya sudah penuh dengan barang berharga. Sofa, lemari besar, kulkas, dan elektronik lainnya memenuhi rumahnya."Barang berharga seperti apa yang Kakak maksud?" Istriku bertanya, raut wajahnya terlihat bingung pula.Sebenarnya aku sangat kesal dan ingin sekali membentaknya, mengatakan apa yang mengganjal di hati. Akan tetapi mengingat aku ini baru saja pulang dari rantauan jauh selama bertahun-tahun pula, aku redam rasa kesalku. Aku biarkan rasa kesal itu menguap dengan kembali mengedepankan hasrat yang terpendam sejak lama."Bukan apa-apa, sebaiknya kita ke kamar saja!" Aku meraih tangannya, bermaksud membawanya ke kamar untuk menumpahkan hasrat yang kembali menggebu.