"Kamu sudah sangat keterlaluan, Wi." Arman menggelengkan kepalanya, dia sudah tidak bisa mentolelir kelakuan istrinya itu.Sedangkan Dewi hanya diam, menatap sang suami yang biasanya hanya diam saja ketika dia melakukan hal buruk pada Aira. Biasanya Arman hanya menegurnya sesaat, lalu setelahnya Arman memilih diam.Arman menyugar rambutnya kasar, lalu menatap sang istri yang masih menatapnya juga. "Ayo berpisah, Wi."Dewi membulatkan matanya mendengar ucapan Arman. Dia tidak percaya Arman akan mengatakan kalimat itu. Kalimat yang bahkan dalam mimpi saja tidak pernah Dewi bayangkan akan keluar dari mulut sang suami."Apa? Apa maksudmu, Mas?" tanya Dewi memperjelas pendengarannya."Aku sudah tidak bisa menahan diri lagi, Wi. Sudah cukup aku melihat kelakuan burukmu pada Aira. Kukira, setelah Aira dewasa kamu akan berubah. Kamu tidak akan lagi memperlakukannya dengan buruk. Nyatanya, sampai sekarang pun kamu masih tetap memperlakukannya dengan buruk. Aku tidak bisa lagi hidup denganmu, W
Arman mengusap wajahnya kasar, kini dia sedang berada di belakang rumah, tepatnya dia sedang duduk di samping kolam renang. Dia berada di situ sejak keluar dari kamarnya, setelah bertengkar dengan Dewi.Arman merenungi semua yang telah terjadi, dia teramat menyesal karena telah membiarkan Aira menderita sejak kecil. Arman ingin sekali menebus semua kesalahannya itu. Andai saja dia bisa memutar waktu, tentu Arman sudah memutarnya. Dia akan membawa putrinya itu pergi jauh sejak dulu. Agar Dewi tidak bisa menyakitinya lagi.Tapi semua sudah terlambat, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Kini Arman hanya bisa menyesali ketidakpeduliannya pada Aira. Entah harus bagaimana Arman menebus kesalahannya itu.Udara dingin semakin menusuk tulang Arman, tapi dia tidak juga beranjak dari duduknya. Seolah dia sedang menghukum dirinya sendiri. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Arman masih betah menikmati kesunyian, sembari merenungi kesalahannya."A-yah," panggil Aira.Arman menoleh,
"Ayah sudah lama menahan diri untuk tetap bertahan dengan ibumu, Ai. Tapi ternyata ayah tidak bisa. Ayah sudah tidak bisa menahan diri lagi, Ai." Arman menunduk, sembari sesekali mengusap air matanya yang terus keluar.Sedang Aira sedari tadi hanya diam mendengarkan sang ayah mengungkapkan isi hatinya yang terpendam. Dia memberi waktu untuk Arman mengungkapkan semua padanya."Ayah ... bolehkah aku bicara?" tanya Aira pada sang ayah yang masih menangis itu.Arman menolehkan kepala ke arah sang putri, lalu dia pun mengangguk. Memperbolehkan sang putri untuk berbicara.Aira meraih tangan sang ayah, lalu dia menggenggamnya erat tangan itu. Netra Aira pun memandang lembut wajah lelaki yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya itu."Ayah menyayangiku, kan?" tanya Aira dengan suara lembut.Arman kembali mengangguk menanggapi pertanyaan Aira, dia teramat sayang pada putri bungsunya itu. Bahkan kasih sayang Arman untuk Aira jauh lebih besar daripada kasih sayangnya untuk Aina. Tapi Arman tidak
"Ayah tidak kerja?" Aira menatap sang ayah yang sedang fokus mengemudi. Mereka sedang dalam perjalanan menuju butik untuk melihat gaun pengantin Aira.Arman menggeleng, "Tidak, Ra. Sekali-kali ayah ingin libur kerja. Ayah juga bosan terus saja bekerja."Aira tersenyum tipis mendengar jawaban sang ayah. Sebenarnya jika bukan karena sang ayah, dia tidak akan melihat gaun pengantin yang akan dia pakai. Baginya melihat gaun pengantinnya tidaklah penting, hanya membuang waktu saja. Toh pernikahannya bukanlah pernikahan yang dia inginkan. Jadi mau memakai apapun dia tidak masalah sama sekali.Selang empat puluh menit perjalanan akhirnya mereka telah sampai. Arman langsung memarkirkan mobilnya di halaman butik. Setelah mobil terparkir, Arman dan juga Aira turun dari mobil."Ayo, Ai," ajak Arman menggandeng tangan sang putri.Aira mengembangkan senyum ketika Arman menggandeng tangannya. Hati Aira yang beku sedikit menghangat karena perlakuan sang ayah. Dulu, Aira sangat ingin sekali digandeng
"Baiklah, Nak Revan. Kami permisi terlebih dahulu." Arman berpamitan pada calon menantunya. Sudah saatnya mereka pulang.Sementara Revan ingin sekali menahan Aira, dia ingin berbicara berdua dengan gadis tersebut. Entah dia akan mempunyai kesempatan lagi atau tidak untuk bertemu lagi dengan gadis itu, sementara pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari."I-iya, Om." Revan menjawab dengan setengah hati.Ekor mata Aira melirik Revan yang terlihat muram, gadis itu menangkap maksud dari lelaki yang akan segera menghalalkannya itu. Dia berpikir mungkin saja Revan memiliki sesuatu yang penting yang ingin dia bicarakan padanya.Aira menahan lengan sang ayah, lalu berkata, "Ayah, bolehkah aku berbicara sebentar dengan Mas Revan."Arman mengernyitkan keningnya, lalu ditatapnya Aira dan juga Revan bergantian. Dia sangat heran kenapa sang putri ingin berbicara dengan Revan. Tapi Arman menahan pertanyaannya itu, dia sadar jika putrinya itu pasti memiliki banyak hal yang perlu dibahas dengan
Aira memandang cermin yang memantulkan dirinya. Dia melihat pantulan tersebut dari atas sampai bawah. Aira terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin yang berwarna putih, wajahnya pun dihias sedemian rupa. Aira bahkan sampai tidak mengenali dirinya sendiri. Dia seperti melihat orang lain saja.Aira termenung melihat patulan dirinya di cermin, sebentar lagi dia akan menjadi seorang istri dari lelaki yang telah mengaku mempunyai kekasih. Hidup Aira sungguh miris, bagaimana tidak miris keluarganya tidak pernah menyayanginya dan sekarang dia pun harus menikah dengan lelaki yang masih memiliki kekasih. Akan seperti apa kehidupan pernikahan yang akan menantinya kelak? Entah, Aira sungguh tidak tahu. Tapi yang pasti dia bisa keluar dari rumah yang membuatnya seperti berada di neraka.Aira menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Dia pun tersenyum miris, "Bukankah memang aku tidak ditakdirkan mendapatkan kebahagiaan? Lalu, apa yang mau aku harapkan lagi? Kamu bodoh Aira. Kamu b
Aira menatap langit-langit kamar yang telah dihias sedemikian rupa, kini dia telah berada di kamar pengantin. Setelah acara pernikahan selesai, Revan langsung membawa Aira ke rumahnya.Rumah yang Revan tinggali sendiri, karena dia memilih keluar dari rumah keluarga besarnya semenjak keluarganya menentang hubungannya dengan sang kekasih.Aira menghela napas panjang, dia merasa tidak nyaman dengan tempat asing. Tapi sebisa mungkin dia harus terbiasa mulai sekarang. Paling tidak di rumah asing itu Aira tidak lagi merasakan penderitaan diperlakukan buruk oleh sang ibu.Aira mencoba memejamkan mata karena waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Dia harus mengistirahatkan tubuhnya agar siap menjalani hari esok dengan status barunya. Entah apa yang akan menantinya nanti, kebahagiaan atau malah penderitaan yang tak berujung. Aira tidak tahu pasti. Dia hanya berharap bisa merasakan sedikit ketenangan tanpa ada lagi gangguan dari sang ibu. *** "Tidak perlu memasak untukku dan mengurus
"Ada apa meneleponku, Han? Apalagi pagi-pagi seperti ini," tanya Aira.Hani menghela napas berat mendengar pertanyaan Aira. Dia sedang merasa kesal pada sang bos. Sebenarnya hari ini mereka bisa langsung kembali ke kota, tapi tiba-tiba Fandi membatalkan kepulangan mereka. Jadilah hari ini Hani merasa bosan di tempat yang tidak dikenalinya itu."Aku tidak jadi pulang, Ai. Hari ini tiba-tiba si bos membatalkan kepulangan kami. Nggak mungkin aku pulang sendiri, sementara aku berangkatnya bareng sama Pak Fandi. Aneh betul itu orang, apalagi sejak kamu keluar, dia jadi pendiem, jarang marah-marah lagi, kerjaannya cuma melamun aja," papar Hani membuat kening Aira berkerut.Aira tidak bisa menanggapi ucapan Hani, dia tidak tahu harus menjawab apa celotehan sahabatnya itu. Dia tidak mungkin bercerita jika dialah penyebab dari perubahan Fandi. Bisa heboh Hani nanti mengetahuinya."Jika kamu bosan, aku bisa menemanimu berkeliling, Han," cetus Aira. Dia juga sedang tidak ada pekerjaan. Mungkin b