"Ayah sudah lama menahan diri untuk tetap bertahan dengan ibumu, Ai. Tapi ternyata ayah tidak bisa. Ayah sudah tidak bisa menahan diri lagi, Ai." Arman menunduk, sembari sesekali mengusap air matanya yang terus keluar.Sedang Aira sedari tadi hanya diam mendengarkan sang ayah mengungkapkan isi hatinya yang terpendam. Dia memberi waktu untuk Arman mengungkapkan semua padanya."Ayah ... bolehkah aku bicara?" tanya Aira pada sang ayah yang masih menangis itu.Arman menolehkan kepala ke arah sang putri, lalu dia pun mengangguk. Memperbolehkan sang putri untuk berbicara.Aira meraih tangan sang ayah, lalu dia menggenggamnya erat tangan itu. Netra Aira pun memandang lembut wajah lelaki yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya itu."Ayah menyayangiku, kan?" tanya Aira dengan suara lembut.Arman kembali mengangguk menanggapi pertanyaan Aira, dia teramat sayang pada putri bungsunya itu. Bahkan kasih sayang Arman untuk Aira jauh lebih besar daripada kasih sayangnya untuk Aina. Tapi Arman tidak
"Ayah tidak kerja?" Aira menatap sang ayah yang sedang fokus mengemudi. Mereka sedang dalam perjalanan menuju butik untuk melihat gaun pengantin Aira.Arman menggeleng, "Tidak, Ra. Sekali-kali ayah ingin libur kerja. Ayah juga bosan terus saja bekerja."Aira tersenyum tipis mendengar jawaban sang ayah. Sebenarnya jika bukan karena sang ayah, dia tidak akan melihat gaun pengantin yang akan dia pakai. Baginya melihat gaun pengantinnya tidaklah penting, hanya membuang waktu saja. Toh pernikahannya bukanlah pernikahan yang dia inginkan. Jadi mau memakai apapun dia tidak masalah sama sekali.Selang empat puluh menit perjalanan akhirnya mereka telah sampai. Arman langsung memarkirkan mobilnya di halaman butik. Setelah mobil terparkir, Arman dan juga Aira turun dari mobil."Ayo, Ai," ajak Arman menggandeng tangan sang putri.Aira mengembangkan senyum ketika Arman menggandeng tangannya. Hati Aira yang beku sedikit menghangat karena perlakuan sang ayah. Dulu, Aira sangat ingin sekali digandeng
"Baiklah, Nak Revan. Kami permisi terlebih dahulu." Arman berpamitan pada calon menantunya. Sudah saatnya mereka pulang.Sementara Revan ingin sekali menahan Aira, dia ingin berbicara berdua dengan gadis tersebut. Entah dia akan mempunyai kesempatan lagi atau tidak untuk bertemu lagi dengan gadis itu, sementara pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari."I-iya, Om." Revan menjawab dengan setengah hati.Ekor mata Aira melirik Revan yang terlihat muram, gadis itu menangkap maksud dari lelaki yang akan segera menghalalkannya itu. Dia berpikir mungkin saja Revan memiliki sesuatu yang penting yang ingin dia bicarakan padanya.Aira menahan lengan sang ayah, lalu berkata, "Ayah, bolehkah aku berbicara sebentar dengan Mas Revan."Arman mengernyitkan keningnya, lalu ditatapnya Aira dan juga Revan bergantian. Dia sangat heran kenapa sang putri ingin berbicara dengan Revan. Tapi Arman menahan pertanyaannya itu, dia sadar jika putrinya itu pasti memiliki banyak hal yang perlu dibahas dengan
Aira memandang cermin yang memantulkan dirinya. Dia melihat pantulan tersebut dari atas sampai bawah. Aira terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin yang berwarna putih, wajahnya pun dihias sedemian rupa. Aira bahkan sampai tidak mengenali dirinya sendiri. Dia seperti melihat orang lain saja.Aira termenung melihat patulan dirinya di cermin, sebentar lagi dia akan menjadi seorang istri dari lelaki yang telah mengaku mempunyai kekasih. Hidup Aira sungguh miris, bagaimana tidak miris keluarganya tidak pernah menyayanginya dan sekarang dia pun harus menikah dengan lelaki yang masih memiliki kekasih. Akan seperti apa kehidupan pernikahan yang akan menantinya kelak? Entah, Aira sungguh tidak tahu. Tapi yang pasti dia bisa keluar dari rumah yang membuatnya seperti berada di neraka.Aira menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Dia pun tersenyum miris, "Bukankah memang aku tidak ditakdirkan mendapatkan kebahagiaan? Lalu, apa yang mau aku harapkan lagi? Kamu bodoh Aira. Kamu b
Aira menatap langit-langit kamar yang telah dihias sedemikian rupa, kini dia telah berada di kamar pengantin. Setelah acara pernikahan selesai, Revan langsung membawa Aira ke rumahnya.Rumah yang Revan tinggali sendiri, karena dia memilih keluar dari rumah keluarga besarnya semenjak keluarganya menentang hubungannya dengan sang kekasih.Aira menghela napas panjang, dia merasa tidak nyaman dengan tempat asing. Tapi sebisa mungkin dia harus terbiasa mulai sekarang. Paling tidak di rumah asing itu Aira tidak lagi merasakan penderitaan diperlakukan buruk oleh sang ibu.Aira mencoba memejamkan mata karena waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Dia harus mengistirahatkan tubuhnya agar siap menjalani hari esok dengan status barunya. Entah apa yang akan menantinya nanti, kebahagiaan atau malah penderitaan yang tak berujung. Aira tidak tahu pasti. Dia hanya berharap bisa merasakan sedikit ketenangan tanpa ada lagi gangguan dari sang ibu. *** "Tidak perlu memasak untukku dan mengurus
"Ada apa meneleponku, Han? Apalagi pagi-pagi seperti ini," tanya Aira.Hani menghela napas berat mendengar pertanyaan Aira. Dia sedang merasa kesal pada sang bos. Sebenarnya hari ini mereka bisa langsung kembali ke kota, tapi tiba-tiba Fandi membatalkan kepulangan mereka. Jadilah hari ini Hani merasa bosan di tempat yang tidak dikenalinya itu."Aku tidak jadi pulang, Ai. Hari ini tiba-tiba si bos membatalkan kepulangan kami. Nggak mungkin aku pulang sendiri, sementara aku berangkatnya bareng sama Pak Fandi. Aneh betul itu orang, apalagi sejak kamu keluar, dia jadi pendiem, jarang marah-marah lagi, kerjaannya cuma melamun aja," papar Hani membuat kening Aira berkerut.Aira tidak bisa menanggapi ucapan Hani, dia tidak tahu harus menjawab apa celotehan sahabatnya itu. Dia tidak mungkin bercerita jika dialah penyebab dari perubahan Fandi. Bisa heboh Hani nanti mengetahuinya."Jika kamu bosan, aku bisa menemanimu berkeliling, Han," cetus Aira. Dia juga sedang tidak ada pekerjaan. Mungkin b
"Aku tahu kamu pasti sudah pulang." Sosok wanita tersebut membalikkan badan dengan senyum lebarnya ketika mendengar suara langkah kaki, tapi seketika dia membelalakkan matanya menatap Aira dengan pandangan penuh tanya."Siapa kamu?" tanya wanita tersebut sembari menatap Aira dari atas sampai bawah.Tadi saat mendengar suara langkah kaki, dia pikir jika orang tersebut adalah sosok yang sangat dirindukannya, bukan sosok gadis berkerudung yang tidak dikenalinya sama sekali.Aira pun berbalik bertanya pada wanita tersebut "Kamu sendiri siapa? Kenapa ada di rumah ini? Apakah kamu salah satu keluarga Mas Revan?" tanya Aira bertubi-tubi memandang wanita cantik berambut hitam itu."Mas Revan? Kamu ternyata mengenal Revan? Siapa kamu sebenarnya?" tanya wanita itu heran. Lalu, dia terdiam sejenak sembari menatap tajam ke arah Aira. "Kamu belum menjawab pertanyaanku, siapa kamu? Kenapa kamu ada di sini? Aku Helen, calon istri dari lelaki yang kau panggil Mas itu," lanjutnya. Lalu dia melangkah
"Perkenalkan nama saya Aira dan sebelum saya menjelaskan semuanya, saya harap Mbak Helen mau menahan diri hingga saya selesai menjelaskan. Bagaimana, Mbak? Apa Mbak Helen bersedia?" Tanpa menunggu lama, Aira pun memulai membuka suaranya setelah mereka bertiga duduk di ruang tamu.Helen pun mengangguk, dia tidak punya pilihan lain selain menyetujui apa yang Aira katakan. Dia ingin segera tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia sudah terlalu lama menahan semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di pikirannya tentang siapa Aira dan tentang apa hubungannya dengan Revan, kekasihnya.Aira pun menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan, dia mempersiapkan diri untuk menjelaskan semuanya pada Helen. Dia tidak mau kalau sampai salah berkata hingga membuat Helen marah padanya ataupun Revan. Aira bisa dalam masalah besar jika sampai Helen salah paham dan marah padanya."Sebelumnya saya minta maaf, Mbak. Jika apa yang saya jelaskan ini tidak berkenan di hati Mbak Helen dan tolong jangan salah p
Arman hanya memandangi piring yang berisi nasi dan lauk pauknya. Dari tadi pikirannya sedang melayang, mengingat putri bungsunya yang telah berada di rumah suaminya.Arman pun belum menyentuh makanannya sama sekali. Sejak bangun tidur tadi, hatinya terasa tidak enak. Dia selalu teringat dengan Aira. Entah pikirannya selalu terngiang akan wajah sang putri. Arman ingin sekali mengetahui keadaan Aira saat ini, tapi dia bingung sekali harus bagaimana.Aina yang melihat ayahnya sedang melamun pun meletakkan sendok makannya di atas piring. "Ayah tidak makan?" tanya Aina pada sang ayah.Arman pun tersentak, lalu segera melihat ke arah piring di depannya dengan tak berselera. Piring tersebut masih terlihat penuh, tanpa berkurang sedikitpun. Nafsu makannya benar-benar telah hilang."Ada apa, Yah? Kenapa Ayah tidak makan?" tanya Aina lagi.Dewi yang mendengar pertanyaan Aina pun melirik sang suami, sejak pertengkarannya beberapa waktu lalu dengan sang suami membuat hubungan keduanya menjadi din
Revan mengerjapkan matanya, dia mendesis merasakan pusing begitu matanya terbuka sempurna. Kepalanya pun terasa sangat berat. Efek dari minuman haram yang ditenggaknya sungguh buruk.Revan bukanlah seorang pemabuk, baru semalam dia menyentuh minuman haram itu untuk melampiaskan rasa frustasinya. Dengan perlahan Revan mulai bangun dari posisinya, lalu dia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika menyadari bahwa dia tidak mengenakan apapun.Pandangan matanya beralih menatap sisi ranjangnya yang kosong, terdapat noda bercak merah. Mata Revan langsung membulat, lalu dia mencoba menggali ingatannya lebih dalam.Samar-samar gambaran tentang perbuatan buruknya pada Aira melintas di ingatannya. Revan tersentak begitu mengingat apa yang telah dilakukannya pada Aira."Apa yang telah kamu lakukan, Van! Bodoh sekali kamu," maki Revan pada dirinya sendiri sembari memukul-mukul kepalanya.Tidak pernah terbayangkan di benak Revan untuk mengambil kesucian Aira wa
Revan menggebrak pintu rumah dengan keras, dia melakukannya berkali-kali. "Buka ... buka pintunya!" seru Revan sembari terus menggebrak pintu rumahnya.Revan berdiri sembari bersandar ke pintu, dia tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.Sementara Aira tergopoh-gopoh menuju pintu. Dia terkejut ketika mendengar pintu rumahnya digedor dengan keras, padahal waktu sudah sangat malam. Aira segera membuka pintu begitu memastikan jika yang menggedor pintu adalah Revan, bukan orang yang berniat jahat padanya."Ya Allah, Mas ...!" seru Aira ketika pintu sudah terbuka. Revan terjatuh, tubuhnya membentur lantai yang dingin. Aira memandang Revan dengan tatapan kasihan, suaminya itu pulang dalam keadaan yang sangat berantakan dan mabuk berat.Buru-buru Aira membantu Revan berdiri, dia memapah Revan yang berdiri dengan sempoyongan karena mabuk. Tadi Revan menuju bar setelah pertengkarannya dengan Helen. Dia pun menenggak minuman haram demi melampiaskan rasa frustasinya karena sang kekasih tidak m
"Tunggu ...!" teriak Aira.Revan menghentikan langkahnya ketika akan menaiki tangga. Dia pun segera menoleh ke arah Aira yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Revan mengernyitkan keningnya saat melihat wanita yang bergelar istrinya itu berjalan mendekat ke arahnya."Ada yang ingin aku bicarakan padamu," ucap Aira ketika sudah sampai di dekat Revan."Ada apa?" tanya Revan dingin, tampak tidak tertarik untuk berbicara dengan Aira. Sebenarnya Revan sangatlah lelah setelah pulang dari tempat kerjanya. Ada sedikit masalah di kantornya. Dia ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur. Tapi dia tidak bisa mengabaikan Aira begitu saja. Walaupun Aira hanyalah istri di atas kertas, secara tidak langsung Revan mempunyai tanggung jawab pada gadis itu.Aira pun menghela napas berat, andai saja tadi Helen tidak datang, tentu dia tidak akan menahan Revan seperti itu. Aira pasti akan enggan untuk berbicara dengan lelaki dingin macam Revan."Apakah kamu tidak memberitahu Helen tentang pernikahan
"Jaga dirimu baik-baik, Ai. Jika kamu tidak sanggup lagi menjalani pernikahanmu, jangan diteruskan lagi, hiduplah dengan baik. Aku siap mendengarkan apapun keluhanmu, jangan pernah merasa sendiri," pesan Hani, ketika Aira mengantarkannya kembali ke penginapan. Sebenarnya Hani merasa sangat berat meninggalkan Aira dalam keadaan yang buruk, tapi mau bagaimanapun Hani ingin, dia tidak bisa tetap berada di samping Aira, dia harus kembali pulang.Aira hanya mengangguk, dia sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Aira sudah teramat lelah menghadapi masalahnya yang tiada habisnya."Ah ... aku jadi tidak rela meninggalkanmu di sini, Ai." Hani memeluk Aira sembari meneteskan air mata kembali. Dia teramat sedih mendengar cerita dari sahabatnya itu. Hani kira selama ini kehidupan Aira tidaklah setragis itu, dia kira kehidupan Aira menyenangkan. Hani tidak pernah menyangka jika di balik sosok Aira yang cuek itu tersimpan kesedihan yang mendalam akibat perlakuan tidak baik dari keluarganya sendiri.A
"Perkenalkan nama saya Aira dan sebelum saya menjelaskan semuanya, saya harap Mbak Helen mau menahan diri hingga saya selesai menjelaskan. Bagaimana, Mbak? Apa Mbak Helen bersedia?" Tanpa menunggu lama, Aira pun memulai membuka suaranya setelah mereka bertiga duduk di ruang tamu.Helen pun mengangguk, dia tidak punya pilihan lain selain menyetujui apa yang Aira katakan. Dia ingin segera tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia sudah terlalu lama menahan semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di pikirannya tentang siapa Aira dan tentang apa hubungannya dengan Revan, kekasihnya.Aira pun menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan, dia mempersiapkan diri untuk menjelaskan semuanya pada Helen. Dia tidak mau kalau sampai salah berkata hingga membuat Helen marah padanya ataupun Revan. Aira bisa dalam masalah besar jika sampai Helen salah paham dan marah padanya."Sebelumnya saya minta maaf, Mbak. Jika apa yang saya jelaskan ini tidak berkenan di hati Mbak Helen dan tolong jangan salah p
"Aku tahu kamu pasti sudah pulang." Sosok wanita tersebut membalikkan badan dengan senyum lebarnya ketika mendengar suara langkah kaki, tapi seketika dia membelalakkan matanya menatap Aira dengan pandangan penuh tanya."Siapa kamu?" tanya wanita tersebut sembari menatap Aira dari atas sampai bawah.Tadi saat mendengar suara langkah kaki, dia pikir jika orang tersebut adalah sosok yang sangat dirindukannya, bukan sosok gadis berkerudung yang tidak dikenalinya sama sekali.Aira pun berbalik bertanya pada wanita tersebut "Kamu sendiri siapa? Kenapa ada di rumah ini? Apakah kamu salah satu keluarga Mas Revan?" tanya Aira bertubi-tubi memandang wanita cantik berambut hitam itu."Mas Revan? Kamu ternyata mengenal Revan? Siapa kamu sebenarnya?" tanya wanita itu heran. Lalu, dia terdiam sejenak sembari menatap tajam ke arah Aira. "Kamu belum menjawab pertanyaanku, siapa kamu? Kenapa kamu ada di sini? Aku Helen, calon istri dari lelaki yang kau panggil Mas itu," lanjutnya. Lalu dia melangkah
"Ada apa meneleponku, Han? Apalagi pagi-pagi seperti ini," tanya Aira.Hani menghela napas berat mendengar pertanyaan Aira. Dia sedang merasa kesal pada sang bos. Sebenarnya hari ini mereka bisa langsung kembali ke kota, tapi tiba-tiba Fandi membatalkan kepulangan mereka. Jadilah hari ini Hani merasa bosan di tempat yang tidak dikenalinya itu."Aku tidak jadi pulang, Ai. Hari ini tiba-tiba si bos membatalkan kepulangan kami. Nggak mungkin aku pulang sendiri, sementara aku berangkatnya bareng sama Pak Fandi. Aneh betul itu orang, apalagi sejak kamu keluar, dia jadi pendiem, jarang marah-marah lagi, kerjaannya cuma melamun aja," papar Hani membuat kening Aira berkerut.Aira tidak bisa menanggapi ucapan Hani, dia tidak tahu harus menjawab apa celotehan sahabatnya itu. Dia tidak mungkin bercerita jika dialah penyebab dari perubahan Fandi. Bisa heboh Hani nanti mengetahuinya."Jika kamu bosan, aku bisa menemanimu berkeliling, Han," cetus Aira. Dia juga sedang tidak ada pekerjaan. Mungkin b
Aira menatap langit-langit kamar yang telah dihias sedemikian rupa, kini dia telah berada di kamar pengantin. Setelah acara pernikahan selesai, Revan langsung membawa Aira ke rumahnya.Rumah yang Revan tinggali sendiri, karena dia memilih keluar dari rumah keluarga besarnya semenjak keluarganya menentang hubungannya dengan sang kekasih.Aira menghela napas panjang, dia merasa tidak nyaman dengan tempat asing. Tapi sebisa mungkin dia harus terbiasa mulai sekarang. Paling tidak di rumah asing itu Aira tidak lagi merasakan penderitaan diperlakukan buruk oleh sang ibu.Aira mencoba memejamkan mata karena waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Dia harus mengistirahatkan tubuhnya agar siap menjalani hari esok dengan status barunya. Entah apa yang akan menantinya nanti, kebahagiaan atau malah penderitaan yang tak berujung. Aira tidak tahu pasti. Dia hanya berharap bisa merasakan sedikit ketenangan tanpa ada lagi gangguan dari sang ibu. *** "Tidak perlu memasak untukku dan mengurus