Terik matahari sudah mulai membakar kulit Aira, tetapi dia masih saja betah duduk berlama-lama di pesisir pantai, menikmati suasana pantai yang sepi karena awal pekan.
Setelah dua jam Aira berkendara tanpa arah, dia memutuskan untuk mengarahkan mobilnya ke arah pantai. Aira ingin mencoba menenangkan dirinya sebelum kembali bekerja.Netra Aira menatap ombak yang bergulung-gulung dengan kuat, dia ingin sekali menenggelamkan tubuhnya di tengah-tengah ombak tersebut. Mungkin dengan begitu dia tidak perlu merasakan penderitaan lagi. Mungkin juga rasa sakitnya akan menghilang bersamaan dengan menghilangnya ombak-ombak tersebut.Hijab Aira berkibar-kibar diterpa angin yang kencang. Dia pun memejamkan mata menikmati suara deburan ombak yang menabrak karang.Rasanya nyaman, tidak ada suara sang Ibu yang memarahi ataupun membentaknya. Sedikit demi sedikit hatinya mulai merasa tenang. Kesendirian membuatnya merasa sangat nyaman.Sendiri juga membuat Aira tidak terluka semakin dalam lagi. Dia merasa lebih leluasa bernafas tanpa merasakan sesak sama sekali.Matahari pun sudah semakin meninggi, panasnya sudah semakin menyengat menembus kulit Aira. Dia pun memutuskan untuk bangkit dari duduk, kakinya melangkah meninggalkan pantai.Sejujurnya Aira masih ingin berlama-lama di sini, tempat ini begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang memecah keheningan. Kaki Aira berat untuk melangkah pergi, tapi dia juga tidak bisa terus berada di sini. Banyak yang harus dia lakukan dengan waktu yang sedikit ini. Aira ingin bebas, dia ingin melakukan apapun yang dia suka sebelum nanti menikah dan menjadi seorang istri.Mungkin setelah menikah, Aira juga tidak akan memiliki kebebasan lagi. Aira tidak mau memikirkan tentang pernikahan ataupun perjodohannya, biarlah semua mengalir apa adanya. Sekarang dia hanya ingin memanfaatkan waktu yang tersisa.Aira masuk ke mobil begitu langkahnya sampai di area parkir. Dia memacu mobilnya meninggalkan area pantai. Meninggalkan ketenangan yang tak berlangsung lama.***"Ai ... kau sudah kembali?" teriak Hani sembari memeluk Aira. Sedang yang dipeluknya hanya diam, tanpa menjawab pertanyaan Hani."Aku senang sekali melihatmu, sungguh, aku seperti melihat cahaya bulan di malam yang gelap. Kau tahu, saat kau tidak ada, Pak Fandi uring-uringan terus. Aku sampai pusing mendengarnya."Hani terus saja berbicara tanpa henti setelah melepas pelukannya dari sahabatnya itu. Dia memang seperti itu, terlalu cerewet, tapi mampu membuat Aira tahan berteman dengannya. Mungkin karena dia satu-satunya teman yang Aira punya selama ini.Walau cerewet, Hani adalah teman yang baik. Aira sering terhibur dengan kecerewetannya. Secara tidak sadar bibir Aira menyunggingkan senyum tipis."Apa sih, Ai? Kenapa malah senyum-senyum dan tidak menjawab ucapanku?" tanya Hani dengan bibir mengerucut."Tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya rindu saja dengan kecerewetanmu itu, Han. Baiklah, katakan, apa yang membuat Pak Fandi uring-uringan?"Hani menyeret kursinya mendekat ke arah Aira, dia mulai berbisik di telinga Aira, "Mungkin dia sedang rindu padamu, Ai." Hani tergelak setelah berkata seperti itu pada Aira.Aira mendecakkan lidah kesal. Hani iseng sekali, sering mengatakan hal yang tidak-tidak tentang bosnya itu. Bahkan dia pernah bilang kalau sang bos menyukai Aira, sehingga dia tidak pernah memarahi jika pekerjaan Aira tidak kunjung selesai.Bukankah itu mustahil? Fandi seorang lelaki yang tampan dan sukses di usia mudanya, mana mungkin dia bisa menyukai wanita seperti Aira.Aira bahkan tidak pernah bermimpi untuk dicintai oleh lelaki mana pun. Apa lagi lelaki tersebut Fandi, Aira tidak pernah membayangkannya sama sekali.Hani masih saja tertawa cekikikan, sedangkan Aira hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya."Selamat pagi ...."Aira berjengit kaget mendengar suara bariton Fandi. Dia tidak menyadari kedatangan dari sang bos. Aira berharap semoga saja Fandi tidak mendengar ucapan Hani tadi. Dia tidak mau ada kesalahpahaman nantinya. Sedang Hani buru-buru menarik kursinya kembali ke tempat semula begitu mendengar suara Fandi."Selamat pagi, Pak." Aira dan Hani menjawabnya serentak.Fandi pun menganggukkan kepala, "Ai, tolong persiapkan berkas-berkas untuk kita meeting nanti. Dan bersiaplah, kamu yang akan mendampingi saya nanti.""Baik, Pak." Aira menjawab cepat, menyanggupi perintah Fandi."Baiklah, saya permisi." Fandi melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang kerjanya.Aira segera menyiapkan berkas yang akan dibutuhkan untuk rapat. Semakin cepat dia siapkan, semakin cepat juga perkerjaannya akan selesai."Ai, apa kau tidak merasa aneh?" Tiba-tiba Hani membuka suaranya kembali.Aira mengernyitkan kening, "Memang apa yang aneh?""Emm ... tidak seperti biasanya Pak Fandi mengajakmu meeting, biasanya Pak Fandi akan pergi dengan Pak Indra. Tapi hari ini dia mengajakmu, bukankah itu aneh?""Aku rasa tidak aneh, mungkin saja Pak Indra sedang sibuk. Jangan terlalu berburuk sangka, Han."Hani mengedikkan bahu mendengar jawaban Aira, dia kembali fokus pada pekerjaannya.Aira memang sedikit merasa aneh, tapi dia juga tidak mau berburuk sangka. Lebih baik dia selesaikan pekerjaannya sebelum sang bos mengajaknya berangkat pergi.Selang beberapa jam bertemu dengan dengan klien, akhirnya meeting pun selesai. Aira segera merapikan kembali berkas-berkas yang telah ditandatangani kedua belah pihak. Setelah selesai, Fandi langsung mengajak Aira keluar dari ruang meeting."Kita makan siang terlebih dahulu, Ai. Waktu makan siang sudah terlewat dari tadi," ucap Fandi sembari masuk ke dalam mobil."Baiklah, Pak," jawab Aira sembari mengikuti Fandi masuk ke dalam mobil."Kamu ingin makan di mana?""Terserah Bapak saja.""Baiklah, kita ke restoran terdekat saja."Aira mengangguk tanda setuju, lalu Fandi langsung memacu mobilnya cepat, dia tidak lagi membuka suaranya.Lima belas menit perjalanan akhirnya Fandi pun menghentikan mobilnya di sebuah restoran yang terlihat mewah. Aira sampai terpana melihat suasana luar restoran yang nampak mewah."Ayo masuk, Ai." Fandi sudah berada di luar mobil, sementara Aira tidak menyadari kapan sang bos turun dari mobilnya."Ah, iya Pak." Aira pun bergegas turun dan melangkah di belakang Fandi. Netranya memandang sekeliling, dia takjub dengan interior dalam restoran yang sangat mewah. Rasanya jika untuk makan siang dengan karyawan sangat berlebihan sekali."Duduklah, Ai," ucap Fandi.Aira mengangguk dan segera duduk. Lalu seorang pelayan datang dan mulai mencatat menu yang dipesan Fandi, sementara Aira hanya diam saja sambil terus menyetujui pesanan yang ditanyakan oleh sang bos."Baiklah, mohon ditunggu pesanannya," ucap pelayan tersebut ramah dan beranjak pergi.Suasana antara Aira dan Fandi hening setelah kepergian pelayan, mereka sama-sama saling terdiam. Aira tidak berniat untuk mengobrol dengan sang bos, dia merasa canggung karena tidak pernah berbicara dengan Fandi di luar kantor."Ai ...," panggil Fandi.Aira mendongak menatap Fandi yang sedang menatapnya intens, "Iya, Pak.""Aku ingin membicarakan sesuatu padamu. Kuharap kamu tidak tersinggung ataupun marah padaku."Aira mengernyit, "Apa, Pak?"Fandi malah terdiam tidak menjawab Aira, dia ragu untuk memulai dari mana mengutarakan isi hatinya. Sejak tadi dia merasa gugup. Sudah sekian lama dia memendam rasa untuk gadis di depannya itu."Ai, a-ku men-cin-taimu. A-ku ingin kamu menjadi pendamping hidupku. Sudah lama aku memendam perasaan ini padamu, Ai, mungkin sejak pertama kita bertemu," ucap Fandi dengan terbata, akhirnya dia mampu mengeluarkan isi hatinya walau dengan terbata-bata.Bagai mendengar petir di siang hari Aira mendengar ungkapan perasaan dari Fandi. Tidak pernah dia mengira bahwa sang bos memiliki perasaan padanya.Terlebih lagi Aira tidak pernah memikirkan masalah percintaan selama ini. Dia terlalu fokus dengan lukanya sendiri dan tidak pernah berminat untuk membangun hubungan dengan siapapun."Ai, aku mencintaimu."Kata-kata yang tak pernah Aira bayangkan keluar dari mulut Fandi. Aira bahkan tidak pernah lagi mengharapkan kata-kata tersebut diucap seseorang padanya.Sejak seringkali dikecewakan oleh harapan semu membuat hati Aira beku. Dia tak lagi memimpikan kebahagiaan dicintai oleh orang lain. Hatinya seperti mati rasa sejak itu.Hening.Hanya keheningan yang Aira rasakan walaupun suasana restoran cukup ramai. Dia sedang sibuk merangkai kata untuk menolak Fandi dengan sopan. Dia tidak mau hubungannya dengan sang bos berakhir buruk sebelum dia resign dari perusahaan yang selama ini menaunginya."Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima perasaan Bapak. Karena sebentar lagi saya akan menikah. Orang tua saya sudah menjodohkan saya dengan lelaki pilihan mereka," ucap Aira dengan suara pelan. Takut membuat Fandi semakin kecewa padanya.Hati Fandi langsung mencelos mendengar penolakan dari wanita pujaannya itu. Tidak disangka kalau dia telah terlambat mengutarakan isi hatinya pada
"Ai, kamu tahu nggak Pak Fandi kenapa? Dari kemarin raut wajahnya terlihat suram," tanya Hani sembari menyesap minuman di tangannya.Hani dan Aira sedang berada di sebuah restoran, mereka baru saja pulang kerja dan mampir untuk mencari makan.Aira tersentak mendengar pertanyaan Hani, dia merasa bersalah telah membuat Fandi berubah seperti yang dikatakan oleh Hani. Tapi dia pun tidak bisa berbuat apa-apa tentang perasaan Fandi itu."Sejak pulang dari meeting denganmu itu, dia selalu uring-uringan. Ada saja yang salah di depannya. Aku jadi makin takut jika berhadapan dengannya, Ai," tambah Hani makin membuat Aira tidak enak hati.Tapi Aira juga tidak bisa mengubah semuanya, dia tidak bisa menerima perasaan Fandi di saat dia sudah berjanji akan menerima perjodohan yang diatur oleh keluarganya."Aku tidak tahu, Han. Mungkin Pak Fandi sedang ada masalah pribadi." Aira tidak bisa jujur pasa Hani tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak mau jika Hani mengetahui apapun tentangnya."Apa
"Kamu tidak lupa kan jika dua minggu lagi kamu akan menikah?" tanya Dewi melalui sambungan ponsel.Aira memutar bola matanya jengah dengan pertanyaan Dewi, mana mungkin dia bisa lupa jika sebentar lagi dia akan menikah. Sudah berkali-kali Dewi menelfonnya hanya untuk mengingatkannya tentang pernikahan. Padahal Aira hanya ingin merasakan ketenangan untuk sebentar saja, sebelum dia menikah."Apa kamu tuli, hingga tidak bisa menjawab pertanyaanku?" sentak Dewi.Hati Aira berdenyut nyeri mendengar suara sang Ibu meninggi. Hal yang biasa Aira terima tapi masih mampu menggetarkan tubuhnya."Aku mendengarnya, Bu. Ibu jangan khawatir, aku pasti akan segera pulang sebelum hari pernikahanku. Bukankah aku sudah bilang kalau aku tidak akan kabur dari perjodohan ini, jadi Ibu tenang saja," sahut Aira benar-benar sudah merasa jengah dengan semuanya."Jika kamu berani kabur, aku pasti akan mencarimu dan mematahkan kakimu itu!" ancam Dewi pada Aira, lalu dia pun memutuskan sambungan telfon.Aira menu
Pagi ini, Aira sudah selesai bersiap. Ia sudah selesai mengemas barang-barang yang akan dibawanya pulang dan hanya tinggal berangkat saja.Tidak terasa waktu cepat sekali berlalu, pernikahan Aira sudah ada di depan mata. Satu minggu lagi, dia akan benar-benar terbebas dari belenggu sang ibu. Tapi siapa yang tahu masa depan, mungkin saja Dewi masih tetap mengganggu kehidupan Aira meski dia sudah menikah. Entahlah.Rencananya Aira akan berangkat setelah selesai sarapan, bukankah dia harus mengumpulkan banyak tenaga untuk perjalanan yang akan dia tempuh sekaligus untuk menghadapi Dewi jika dia sudah sampai di rumah? Bisa saja kan di saat Aira baru tiba Dewi langsung berbuat buruk pada Aira?Aira masih berkutat di dapur, dia memasak nasi goreng sebagai sarapan paginya. Dia tidak mau ribet, cukup membuat masakan sederhana untuk menghemat waktu. Setelah selesai memasak, Aira memindahkan nasi goreng tersebut ke atas piring. Lalu dia membawanya ke meja makan, dan memulai sarapannya.Saat akan
Aira menghela napas panjang, lalu mengeluarkannya secara perlahan. Dia sudah sampai di rumah, tapi belum beranjak keluar dari mobilnya. Aira masih menyiapkan mentalnya untuk memasuki rumah yang seperti neraka baginya. Dia harus menyiapkan mentalnya jika sewaktu-waktu mendapat amukan dari sang ibu lagi."Bismillah, Ya Allah semoga hamba-Mu ini bisa melewati seminggu ini dengan baik," gumam Aira. Lalu dia pun memutuskan untuk keluar dari mobilnya.Aira menatap ke dalam rumah yang terbuka pintunya dari kejauhan, di sana sudah tampak ramai. Banyak sanak saudara yang sudah datang untuk membantu persiapan pernikahan Aira.Aira pun melangkahkan kaki ke arah pintu, tangan Aira membawa tas ransel yang berisi barang-barangnya. Setelah sampai di depan pintu dia langsung melangkah masuk, dan berhenti sejenak ketika melihat kesibukan orang-orang. Hampir tidak ada yang menyadari kedatangan Aira, semua orang sedang fokus dengan pekerjaannya masing-masing. Hingga tak berapa lama, sebuah tangan menyam
"Kamu sudah sangat keterlaluan, Wi." Arman menggelengkan kepalanya, dia sudah tidak bisa mentolelir kelakuan istrinya itu.Sedangkan Dewi hanya diam, menatap sang suami yang biasanya hanya diam saja ketika dia melakukan hal buruk pada Aira. Biasanya Arman hanya menegurnya sesaat, lalu setelahnya Arman memilih diam.Arman menyugar rambutnya kasar, lalu menatap sang istri yang masih menatapnya juga. "Ayo berpisah, Wi."Dewi membulatkan matanya mendengar ucapan Arman. Dia tidak percaya Arman akan mengatakan kalimat itu. Kalimat yang bahkan dalam mimpi saja tidak pernah Dewi bayangkan akan keluar dari mulut sang suami."Apa? Apa maksudmu, Mas?" tanya Dewi memperjelas pendengarannya."Aku sudah tidak bisa menahan diri lagi, Wi. Sudah cukup aku melihat kelakuan burukmu pada Aira. Kukira, setelah Aira dewasa kamu akan berubah. Kamu tidak akan lagi memperlakukannya dengan buruk. Nyatanya, sampai sekarang pun kamu masih tetap memperlakukannya dengan buruk. Aku tidak bisa lagi hidup denganmu, W
Arman mengusap wajahnya kasar, kini dia sedang berada di belakang rumah, tepatnya dia sedang duduk di samping kolam renang. Dia berada di situ sejak keluar dari kamarnya, setelah bertengkar dengan Dewi.Arman merenungi semua yang telah terjadi, dia teramat menyesal karena telah membiarkan Aira menderita sejak kecil. Arman ingin sekali menebus semua kesalahannya itu. Andai saja dia bisa memutar waktu, tentu Arman sudah memutarnya. Dia akan membawa putrinya itu pergi jauh sejak dulu. Agar Dewi tidak bisa menyakitinya lagi.Tapi semua sudah terlambat, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Kini Arman hanya bisa menyesali ketidakpeduliannya pada Aira. Entah harus bagaimana Arman menebus kesalahannya itu.Udara dingin semakin menusuk tulang Arman, tapi dia tidak juga beranjak dari duduknya. Seolah dia sedang menghukum dirinya sendiri. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Arman masih betah menikmati kesunyian, sembari merenungi kesalahannya."A-yah," panggil Aira.Arman menoleh,
"Ayah sudah lama menahan diri untuk tetap bertahan dengan ibumu, Ai. Tapi ternyata ayah tidak bisa. Ayah sudah tidak bisa menahan diri lagi, Ai." Arman menunduk, sembari sesekali mengusap air matanya yang terus keluar.Sedang Aira sedari tadi hanya diam mendengarkan sang ayah mengungkapkan isi hatinya yang terpendam. Dia memberi waktu untuk Arman mengungkapkan semua padanya."Ayah ... bolehkah aku bicara?" tanya Aira pada sang ayah yang masih menangis itu.Arman menolehkan kepala ke arah sang putri, lalu dia pun mengangguk. Memperbolehkan sang putri untuk berbicara.Aira meraih tangan sang ayah, lalu dia menggenggamnya erat tangan itu. Netra Aira pun memandang lembut wajah lelaki yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya itu."Ayah menyayangiku, kan?" tanya Aira dengan suara lembut.Arman kembali mengangguk menanggapi pertanyaan Aira, dia teramat sayang pada putri bungsunya itu. Bahkan kasih sayang Arman untuk Aira jauh lebih besar daripada kasih sayangnya untuk Aina. Tapi Arman tidak
Arman hanya memandangi piring yang berisi nasi dan lauk pauknya. Dari tadi pikirannya sedang melayang, mengingat putri bungsunya yang telah berada di rumah suaminya.Arman pun belum menyentuh makanannya sama sekali. Sejak bangun tidur tadi, hatinya terasa tidak enak. Dia selalu teringat dengan Aira. Entah pikirannya selalu terngiang akan wajah sang putri. Arman ingin sekali mengetahui keadaan Aira saat ini, tapi dia bingung sekali harus bagaimana.Aina yang melihat ayahnya sedang melamun pun meletakkan sendok makannya di atas piring. "Ayah tidak makan?" tanya Aina pada sang ayah.Arman pun tersentak, lalu segera melihat ke arah piring di depannya dengan tak berselera. Piring tersebut masih terlihat penuh, tanpa berkurang sedikitpun. Nafsu makannya benar-benar telah hilang."Ada apa, Yah? Kenapa Ayah tidak makan?" tanya Aina lagi.Dewi yang mendengar pertanyaan Aina pun melirik sang suami, sejak pertengkarannya beberapa waktu lalu dengan sang suami membuat hubungan keduanya menjadi din
Revan mengerjapkan matanya, dia mendesis merasakan pusing begitu matanya terbuka sempurna. Kepalanya pun terasa sangat berat. Efek dari minuman haram yang ditenggaknya sungguh buruk.Revan bukanlah seorang pemabuk, baru semalam dia menyentuh minuman haram itu untuk melampiaskan rasa frustasinya. Dengan perlahan Revan mulai bangun dari posisinya, lalu dia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika menyadari bahwa dia tidak mengenakan apapun.Pandangan matanya beralih menatap sisi ranjangnya yang kosong, terdapat noda bercak merah. Mata Revan langsung membulat, lalu dia mencoba menggali ingatannya lebih dalam.Samar-samar gambaran tentang perbuatan buruknya pada Aira melintas di ingatannya. Revan tersentak begitu mengingat apa yang telah dilakukannya pada Aira."Apa yang telah kamu lakukan, Van! Bodoh sekali kamu," maki Revan pada dirinya sendiri sembari memukul-mukul kepalanya.Tidak pernah terbayangkan di benak Revan untuk mengambil kesucian Aira wa
Revan menggebrak pintu rumah dengan keras, dia melakukannya berkali-kali. "Buka ... buka pintunya!" seru Revan sembari terus menggebrak pintu rumahnya.Revan berdiri sembari bersandar ke pintu, dia tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.Sementara Aira tergopoh-gopoh menuju pintu. Dia terkejut ketika mendengar pintu rumahnya digedor dengan keras, padahal waktu sudah sangat malam. Aira segera membuka pintu begitu memastikan jika yang menggedor pintu adalah Revan, bukan orang yang berniat jahat padanya."Ya Allah, Mas ...!" seru Aira ketika pintu sudah terbuka. Revan terjatuh, tubuhnya membentur lantai yang dingin. Aira memandang Revan dengan tatapan kasihan, suaminya itu pulang dalam keadaan yang sangat berantakan dan mabuk berat.Buru-buru Aira membantu Revan berdiri, dia memapah Revan yang berdiri dengan sempoyongan karena mabuk. Tadi Revan menuju bar setelah pertengkarannya dengan Helen. Dia pun menenggak minuman haram demi melampiaskan rasa frustasinya karena sang kekasih tidak m
"Tunggu ...!" teriak Aira.Revan menghentikan langkahnya ketika akan menaiki tangga. Dia pun segera menoleh ke arah Aira yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Revan mengernyitkan keningnya saat melihat wanita yang bergelar istrinya itu berjalan mendekat ke arahnya."Ada yang ingin aku bicarakan padamu," ucap Aira ketika sudah sampai di dekat Revan."Ada apa?" tanya Revan dingin, tampak tidak tertarik untuk berbicara dengan Aira. Sebenarnya Revan sangatlah lelah setelah pulang dari tempat kerjanya. Ada sedikit masalah di kantornya. Dia ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur. Tapi dia tidak bisa mengabaikan Aira begitu saja. Walaupun Aira hanyalah istri di atas kertas, secara tidak langsung Revan mempunyai tanggung jawab pada gadis itu.Aira pun menghela napas berat, andai saja tadi Helen tidak datang, tentu dia tidak akan menahan Revan seperti itu. Aira pasti akan enggan untuk berbicara dengan lelaki dingin macam Revan."Apakah kamu tidak memberitahu Helen tentang pernikahan
"Jaga dirimu baik-baik, Ai. Jika kamu tidak sanggup lagi menjalani pernikahanmu, jangan diteruskan lagi, hiduplah dengan baik. Aku siap mendengarkan apapun keluhanmu, jangan pernah merasa sendiri," pesan Hani, ketika Aira mengantarkannya kembali ke penginapan. Sebenarnya Hani merasa sangat berat meninggalkan Aira dalam keadaan yang buruk, tapi mau bagaimanapun Hani ingin, dia tidak bisa tetap berada di samping Aira, dia harus kembali pulang.Aira hanya mengangguk, dia sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Aira sudah teramat lelah menghadapi masalahnya yang tiada habisnya."Ah ... aku jadi tidak rela meninggalkanmu di sini, Ai." Hani memeluk Aira sembari meneteskan air mata kembali. Dia teramat sedih mendengar cerita dari sahabatnya itu. Hani kira selama ini kehidupan Aira tidaklah setragis itu, dia kira kehidupan Aira menyenangkan. Hani tidak pernah menyangka jika di balik sosok Aira yang cuek itu tersimpan kesedihan yang mendalam akibat perlakuan tidak baik dari keluarganya sendiri.A
"Perkenalkan nama saya Aira dan sebelum saya menjelaskan semuanya, saya harap Mbak Helen mau menahan diri hingga saya selesai menjelaskan. Bagaimana, Mbak? Apa Mbak Helen bersedia?" Tanpa menunggu lama, Aira pun memulai membuka suaranya setelah mereka bertiga duduk di ruang tamu.Helen pun mengangguk, dia tidak punya pilihan lain selain menyetujui apa yang Aira katakan. Dia ingin segera tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia sudah terlalu lama menahan semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di pikirannya tentang siapa Aira dan tentang apa hubungannya dengan Revan, kekasihnya.Aira pun menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan, dia mempersiapkan diri untuk menjelaskan semuanya pada Helen. Dia tidak mau kalau sampai salah berkata hingga membuat Helen marah padanya ataupun Revan. Aira bisa dalam masalah besar jika sampai Helen salah paham dan marah padanya."Sebelumnya saya minta maaf, Mbak. Jika apa yang saya jelaskan ini tidak berkenan di hati Mbak Helen dan tolong jangan salah p
"Aku tahu kamu pasti sudah pulang." Sosok wanita tersebut membalikkan badan dengan senyum lebarnya ketika mendengar suara langkah kaki, tapi seketika dia membelalakkan matanya menatap Aira dengan pandangan penuh tanya."Siapa kamu?" tanya wanita tersebut sembari menatap Aira dari atas sampai bawah.Tadi saat mendengar suara langkah kaki, dia pikir jika orang tersebut adalah sosok yang sangat dirindukannya, bukan sosok gadis berkerudung yang tidak dikenalinya sama sekali.Aira pun berbalik bertanya pada wanita tersebut "Kamu sendiri siapa? Kenapa ada di rumah ini? Apakah kamu salah satu keluarga Mas Revan?" tanya Aira bertubi-tubi memandang wanita cantik berambut hitam itu."Mas Revan? Kamu ternyata mengenal Revan? Siapa kamu sebenarnya?" tanya wanita itu heran. Lalu, dia terdiam sejenak sembari menatap tajam ke arah Aira. "Kamu belum menjawab pertanyaanku, siapa kamu? Kenapa kamu ada di sini? Aku Helen, calon istri dari lelaki yang kau panggil Mas itu," lanjutnya. Lalu dia melangkah
"Ada apa meneleponku, Han? Apalagi pagi-pagi seperti ini," tanya Aira.Hani menghela napas berat mendengar pertanyaan Aira. Dia sedang merasa kesal pada sang bos. Sebenarnya hari ini mereka bisa langsung kembali ke kota, tapi tiba-tiba Fandi membatalkan kepulangan mereka. Jadilah hari ini Hani merasa bosan di tempat yang tidak dikenalinya itu."Aku tidak jadi pulang, Ai. Hari ini tiba-tiba si bos membatalkan kepulangan kami. Nggak mungkin aku pulang sendiri, sementara aku berangkatnya bareng sama Pak Fandi. Aneh betul itu orang, apalagi sejak kamu keluar, dia jadi pendiem, jarang marah-marah lagi, kerjaannya cuma melamun aja," papar Hani membuat kening Aira berkerut.Aira tidak bisa menanggapi ucapan Hani, dia tidak tahu harus menjawab apa celotehan sahabatnya itu. Dia tidak mungkin bercerita jika dialah penyebab dari perubahan Fandi. Bisa heboh Hani nanti mengetahuinya."Jika kamu bosan, aku bisa menemanimu berkeliling, Han," cetus Aira. Dia juga sedang tidak ada pekerjaan. Mungkin b
Aira menatap langit-langit kamar yang telah dihias sedemikian rupa, kini dia telah berada di kamar pengantin. Setelah acara pernikahan selesai, Revan langsung membawa Aira ke rumahnya.Rumah yang Revan tinggali sendiri, karena dia memilih keluar dari rumah keluarga besarnya semenjak keluarganya menentang hubungannya dengan sang kekasih.Aira menghela napas panjang, dia merasa tidak nyaman dengan tempat asing. Tapi sebisa mungkin dia harus terbiasa mulai sekarang. Paling tidak di rumah asing itu Aira tidak lagi merasakan penderitaan diperlakukan buruk oleh sang ibu.Aira mencoba memejamkan mata karena waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Dia harus mengistirahatkan tubuhnya agar siap menjalani hari esok dengan status barunya. Entah apa yang akan menantinya nanti, kebahagiaan atau malah penderitaan yang tak berujung. Aira tidak tahu pasti. Dia hanya berharap bisa merasakan sedikit ketenangan tanpa ada lagi gangguan dari sang ibu. *** "Tidak perlu memasak untukku dan mengurus