“Oh, tidak,” desis Riana. Mata perempuan itu membeliak sempurnaPada bagan yang diberi nama ‘Mas Tyo’ itu tidak ada tulisan apa-apa. Kosong! Jagat telah dengan sengaja menghapusnya. Tapi kenapa? Apa yang dia rahasiakan? Perut Riana bertambah mulas.Belum menyerah, Riana mengulik riwayat telepon. Dan benar, panggilan terakhir memang dilakukan kepada kakak kandungnya itu, bukan dengan Karisma. Namun secara jelas semalam dia mendengar nama selingkuhan Papa itu disebutkan.Jari Riana lincah mengetik nama Karisma. Entah harus kecewa atau senang, ternyata dia tidak menemukan nama ibu kandung Anin di kontak telepon suaminya.“Tapi bisa jadi kan, Mas Jagat menyembunyikan dengan cara menuliskan nama palsu.”Riana mengetikkan nama Anin, tetapi nama itu pun tidak ada. Jarinya menggulir ke bawah, mencari nomor asing yang pernah berbalas pesan dengan si empunya telepon. Ada beberapa, namun saat Riana baca isinya hanya soal pembicaraan kerjaan belaka.Alexander Damar. Mata Riana berhenti pada nama
“Ah gila aja, enggak mungkin lah,” tolak Riana. “Kamu bisa nongkrong di depan kantor suamimu, Ri. Kayaknya ada kedai es di situ. Pura-puralah kamu jajan di kedai itu. Nanti begitu mobil suamimu keluar, kamu ikutin. Udah pasti dia mau ke kantor notaris.”“Ck, kamu tau sendiri kan aku dikuntit Pak Rusli, May. Baru masuk ke kedai aja udah pasti Pak Rusli laporan ke Mas Jagat. Abis udah. Konyol idemu kali ini.”“Eh siapa tau sekarang udah enggak, Ri. Cobalah dulu, kupikir soal rumah ini perlu kamu perjuangkan loh. Minimal—““Iya!” Riana menukas galak, kemudian buru-buru mengakhiri panggilan. Telinganya malas mendengar kata ‘perceraian’ dari mulut sahabatnya itu. Apalagi yang dibicarakan adalah perceraian antara dirinya dan Jagat. Padahal mungkin saja ujung penyelidikannya ini akan mengarah ke situ.Ah, mengetahui kenyataan itu membuat hati Riana bergetaran. Tanda-tandanya jelas mengarah ke sana. Bagaimana mungkin dalam pernikahan suami dan istri tidak saling terbuka begini. Mungkin benar
“Begini balasanmu ke aku, Mas? Aku sudah bersedia mengalah, bahkan aku bohongi istriku demi ambisi Papa dan ambisimu!” Jagat bergerak cepat menyerang maju. Tentu saja yang menjadi sasarannya adalah kakaknya sendiri.Damar sigap berdiri di tengah mereka. Menghalangi Jagat untuk mencapai bosnya.Tyo tidak mundur sama sekali. Kini dia malah tertawa, nadanya mengejek. “Apa katamu? Ambisiku? Ambisiku atau ambisimu?”Jagat menyerang lagi. Damar pun kembali tangkas memegang bahu Jagat dan mendorong mundur. Pengacara itu berbeda sekali sikapnya. Jika tadi malam dia tampak mengalah dan tenang, namun kali ini dia begitu terlihat sama agresifnya dengan Jagat. Bedanya dia bertahan, suami Riana menyerang.“Minggir kamu, pengacara brengsek mata duitan!” hardik Jagat. Matanya nyalang.Tyo dan Damar spontan tertawa bersama mendengar dua kata terakhir yang muncul dari bibir Jagat dengan nada tinggi.“Ngaca, woi kalau ngatain orang, Gat. Kalau kamu ikuti semua aturanku kamu akan selamat. Kamu itu kacun
“Karisma adalah istri kedua Mas Tyo.”Riana spontan melangkah mundur. Mulutnya melongo meski matanya bekerja untuk memindai Jagat. Perempuan itu menatap suaminya, dari atas ke bawah, lalu berbalik lagi dari bawah ke atas. Seakan mata Riana adalan scanning yang ingin mendeteksi bahwa informasi yang baru dia dengar itu valid.“Jadi Anin—““Ya, Anin anak Karis dan Mas Tyo.”Kaki Riana serasa tak bertulang. Lunglai dan layu seketika. Perempuan itu harus menggunakan tangannya untuk mencengkeram tepian ranjang agar tubuhnya masih bisa tersangga dengan baik. Perlahan dia kembali duduk. “Ya Alloh,” desis Riana. Bahkan ucapan itu dia ulang-ulang terus, sampai gelombang jantungnya dirasa lebih stabil. Di lain sisi dia bersyukur bahwa ternyata Anin benar bukan darah daging suaminya, tetapi tidak menampik jika hal ini sangat membuatnya terkejut.“Itulah kenapa Anin mirip aku, kami sebagai adik kakak memang mirip kan?”Kali ini Riana mengangguk mengiyakan. Tyo dan Jagat memang mirip, wajahnya men
“Coba saja, Gat! Aku sama sekali tidak takut,” seru Tyo tertawa. Namun semua tahu bahwa tawa Tyo terdengar terlalu dibuat-buat.Sampai di luar pagar rumah, ada mobil jenis city car baru berwarna merah menyala. Mungkin ini mobil yang pernah dijanjikan Papa. Riana melirik Jagat, ternyata lelaki itu juga sedang memandang kendaraan cantik di depan mereka. Tatapannya nanar, entah apa yang ada dalam hati suaminya. Perempuan dengan rambut sebahu itu bisa mendengar lenguhan panjang dari mulut Jagat.“Ayo kita pulang, Dek!” lirih Jagat.“Pulang kemana?” “Rumah kita. Rumah kita yang dulu.”Riana tertawa. “Aku serius, rumah kita yang dulu masih milik kita. Niatnya akan aku sewakan tapi berhubung belum ada yang sewa jadi kupakai untuk tempat usaha kecil-kecilan,” sahut Jagat. “Aku tidak berminat satu rumah lagi dengan orang yang sudah tega sama aku,” kata Riana pelan. Dia tekan keinginannya untuk bertanya tentang usaha yang baru saja Jagat ceritakan.“Dek—“Riana menyentak keras saat Jagat hen
“Ada apa ribut-ribut tadi, Pi? Masih sepagi ini,” tanya Karisma saat Tyo baru masuk ke kamar. Meskipun dia sebenarnya sudah tahu bahwa adik kandung suami sirinya itu datang untuk mengambil motor dan beberapa barang pribadi. Karisma sempat mengintip saat Jagat dan Tyo bertengkar di depan kamar ini.“Ah, biasa orang miskin. Barang enggak seberapa aja diributin,” sahut Tyo kesal. Dia banting badannya sendiri ke atas kasur. Dekat tubuh Karisma.“Kayaknya kita udah perlu satpam deh, Pi, Mami takut nanti kalau pas Papi enggak di rumah, adik Papi itu datang dan ngajak ribut, gimana?”Tyo melenguh panjang. “Iya deh, nanti Papi minta Damar untuk urus ya.”“Terus itu barang-barang mereka di kamar utama segera beresin ya, Pi. Mami enggak nyaman tidur di sini, enakan di kamar sebelah, lebih luas.”“Iya, Papi juga udah bilang sama Mak Wati nanti suruh bereskan semua, dan kirim lagi ke rumah Jagat.”Karisma tersenyum senang. Perempuan cantik itu melingkarkan kedua lengannya di pinggang Tyo, lalu di
Karisma melirik Tyo dengan sebal. Lelaki itu terlihat segera meraih telepon genggamnya dan tergopoh-gopoh menjauh untuk kemudian hilang di balik pintu. Tak berapa lama Tyo kembali lagi dengan wajah cengengesan.“Mi, Papi kayaknya kudu cepet balik Jakarta. Ternyata terbangnya nanti sore, Papi kirain besok,” ujarnya santai.“Terbang? Terbang ke mana?”“Ke Denpasar—““Denpasar?” Karisma memotong ucapan Tyo dengan level kaget yang tinggi, sehingga lebih terdengar seperti jeritan. “Papi mau liburan?”“Loh, kan Papi udah cerita bulan ini Papi mau lib … pergi ke Denpasar, ada sedikit kepentingan. Biasa … bisnis, Mi,” jawab Tyo, hampir saja selip bicara.“Terus Papi mau langsung buru-buru ke Jakarta?” Karisma sudah menekuk tangannya ke depan. Sikap tubuhnya sudah tidak lagi santai.Tyo diam.“Baru … aja tadi bilang ada yang mau akting nyebelin, yang katanya mau memperlihatkan kebosanan.” Bibir Karisma mengerucut. “Ditelpon aja udah girang bukan main dan langsung diiyakan.”“Siapa yang girang?
“Terus kita bisa apa, Mas?” sahut Riana dengan nada sedikit kesal. Entah mengapa dia jadi ikut terpancing emosi dengan suara suaminya yang didengar seperti sebuah bentakan. Mungkin karena efek kurang tidur atau memang sedang lelah secara mental.“Kita udah coba telpon Kak Vivi, tapi emang enggak bisa kan?” Suara Riana menurun. “Bahkan tadi kita coba pakai nomor Maya, biarpun tersambung tapi enggak diangkat juga.”“Apa kita akan diam saja, kalau keluargamu kenapa-napa gimana, Dek?”Riana menghela napas. “Aku justru takut keluargaku jadi korban kalau kita melawan mereka sendirian, Mas. Papa kamu kan lumayan punya pengaruh, punya uang … kita tetap butuh Kak Vivi.”Jagat terdiam. Udara dari mulut dan hidungnya terdengar begitu menderu di telinga Riana. Beberapa saat senyap. Gundah dan bingung menerpa keduanya.Tadi pagi, di teras rumah Maya, baik Jagat maupun Riana akhirnya sepakat untuk membongkar perbuatan busuk Tyo dan Papa kepada Vivi. Bukan hanya semata-mata keinginan untuk membalas
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu
“Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka
“Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp
“Jagat.”Tyo tercekat ketika tahu siapa orang yang menjenguknya.“Mas.”Jagat tergesa mendekati Tyo, lalu mereka berpelukan. Sama-sama menggerungkan tangis tertahan, sama-sama saling menepuk punggung dengan kasih sayang yang tertahan.“Maafkan aku, Gat. Maafkan selama ini aku dengan sengaja dan tanpa sengaja telah melukai perasaan kamu.”Pelukan Jagat bertambah kencang. Sampai akhirnya Tyo melepaskan diri dan menuntun Jagat untuk duduk di sebuah bangku yang sudah disediakan. Kakak beradik itu pun duduk berjejeran.“Kamu sendirian, Gat?” tanya Tyo. Leher lelaki itu sedikit menjulur, melihat jauh ke bangku yang disediakan untuk tamu, sekitar tiga meter di belakang mereka.“Ada Bapak sama Ibu di luar, Mas. Kalau Riana enggak bisa ikut, dia sudah banyak membolos kerja, jadi jatah cutinya habis,” jawab Jagat. Dia gosok matanya yang masih berair dengan punggung telapak tangannya. &
“Astaga, kau serius, Ri?” Vivi terpekik. “Aku sudah dandan cantik begini, mubazir dong.”Riana terkikik lirih. Antara rasa geli dan juga merasa bersalah.“Dasar Jagat. Bilang sama dia ya, Ri, dia hutang traktir sama aku! Dan aku pasti menagihnya suatu hari.”Riana berderai-derai. “Maafin ya, Kak.”Vivi menutup telepon dengan bersungut-sungut. Ah, dia tadi bersungguh-sungguh sudah dandan secantik mungkin untuk malam ini. Sengaja dia memakai dress biru yang dipilihkan oleh Reinald ….“Astaga!” Vivi terpekik lagi. Dia ingat sudah mengundang Reinald dan lelaki itu pun sudah menyanggupinya. Mata indah Vivi memandang jam tangannya.Kurang dari tiga puluh menit dari waktu yang sudah ditetapkan. Rasanya sungguh tidak sopan membatalkan undangan di menit-menit terakhir begini. Bagaimana kalau Rienald sudah berdandan seperti dia? Bagaimana kalau Reinald sudah membatalkan suatu acara ata
“Nak Jagat, Ibu sudah masak ayam bakar kesukaan Nak Jagat loh, apa enggak mau makan dulu?” Neni memberanikan diri mengetuk pintu kamar.Sejak pulang dari mengurus peralihan kepemilikan kebun salak, Jagat langsung mengurung diri di kamar. Kebetulan Riana juga sudah berangkat ke kantornya terlebih dahulu.Jagat membuka pintu. Wajahnya sedikit kusut.“Apa Nak Jagat sakit?” Neni bertanya lagi dengan sedikit nada was was. “Atau mau Ibu bikinin kopi aja ya? Biar sedikit seger di badan.”Lelaki itu tersenyum. “Kopi boleh, Bu. Tadi aku udah makan bareng Bu Reni.”Neni pun tersenyum. Kelegaan menguar di wajahnya.“Tuh kebetulan Bapak juga lagi ngopi, Ibu bikin getuk loh, singkongnya dari kebun kita sendiri. Bentar ya, Ibu bikinin kopi.”Jagat mengangguk. Lalu dia berjalan ke ruang tamu, menjejeri bapak mertuanya yang tengah santai sambil merokok. Di meja sudah terhidang segelas kopi dan getuk singkong yang Neni sebutkan tadi.“Nak Jagat, enggak pa-pa ya Bapak ngerokok di dalam rumah?” seloroh