“Ada apa ribut-ribut tadi, Pi? Masih sepagi ini,” tanya Karisma saat Tyo baru masuk ke kamar. Meskipun dia sebenarnya sudah tahu bahwa adik kandung suami sirinya itu datang untuk mengambil motor dan beberapa barang pribadi. Karisma sempat mengintip saat Jagat dan Tyo bertengkar di depan kamar ini.“Ah, biasa orang miskin. Barang enggak seberapa aja diributin,” sahut Tyo kesal. Dia banting badannya sendiri ke atas kasur. Dekat tubuh Karisma.“Kayaknya kita udah perlu satpam deh, Pi, Mami takut nanti kalau pas Papi enggak di rumah, adik Papi itu datang dan ngajak ribut, gimana?”Tyo melenguh panjang. “Iya deh, nanti Papi minta Damar untuk urus ya.”“Terus itu barang-barang mereka di kamar utama segera beresin ya, Pi. Mami enggak nyaman tidur di sini, enakan di kamar sebelah, lebih luas.”“Iya, Papi juga udah bilang sama Mak Wati nanti suruh bereskan semua, dan kirim lagi ke rumah Jagat.”Karisma tersenyum senang. Perempuan cantik itu melingkarkan kedua lengannya di pinggang Tyo, lalu di
Karisma melirik Tyo dengan sebal. Lelaki itu terlihat segera meraih telepon genggamnya dan tergopoh-gopoh menjauh untuk kemudian hilang di balik pintu. Tak berapa lama Tyo kembali lagi dengan wajah cengengesan.“Mi, Papi kayaknya kudu cepet balik Jakarta. Ternyata terbangnya nanti sore, Papi kirain besok,” ujarnya santai.“Terbang? Terbang ke mana?”“Ke Denpasar—““Denpasar?” Karisma memotong ucapan Tyo dengan level kaget yang tinggi, sehingga lebih terdengar seperti jeritan. “Papi mau liburan?”“Loh, kan Papi udah cerita bulan ini Papi mau lib … pergi ke Denpasar, ada sedikit kepentingan. Biasa … bisnis, Mi,” jawab Tyo, hampir saja selip bicara.“Terus Papi mau langsung buru-buru ke Jakarta?” Karisma sudah menekuk tangannya ke depan. Sikap tubuhnya sudah tidak lagi santai.Tyo diam.“Baru … aja tadi bilang ada yang mau akting nyebelin, yang katanya mau memperlihatkan kebosanan.” Bibir Karisma mengerucut. “Ditelpon aja udah girang bukan main dan langsung diiyakan.”“Siapa yang girang?
“Terus kita bisa apa, Mas?” sahut Riana dengan nada sedikit kesal. Entah mengapa dia jadi ikut terpancing emosi dengan suara suaminya yang didengar seperti sebuah bentakan. Mungkin karena efek kurang tidur atau memang sedang lelah secara mental.“Kita udah coba telpon Kak Vivi, tapi emang enggak bisa kan?” Suara Riana menurun. “Bahkan tadi kita coba pakai nomor Maya, biarpun tersambung tapi enggak diangkat juga.”“Apa kita akan diam saja, kalau keluargamu kenapa-napa gimana, Dek?”Riana menghela napas. “Aku justru takut keluargaku jadi korban kalau kita melawan mereka sendirian, Mas. Papa kamu kan lumayan punya pengaruh, punya uang … kita tetap butuh Kak Vivi.”Jagat terdiam. Udara dari mulut dan hidungnya terdengar begitu menderu di telinga Riana. Beberapa saat senyap. Gundah dan bingung menerpa keduanya.Tadi pagi, di teras rumah Maya, baik Jagat maupun Riana akhirnya sepakat untuk membongkar perbuatan busuk Tyo dan Papa kepada Vivi. Bukan hanya semata-mata keinginan untuk membalas
“Dan aku harus percaya semua yang kamu katakan, Ri?” Vivi tertawa fals. “Sebenarnya yang kamu mau itu hanya uang kan? Orang seperti kamu itu memang suka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Orang seperti kamu itu bisanya iri, padahal kami kerja keras, tapi selalu disangka mendapatkan semuanya karena keberuntungan, karena orang tua.”Setelah menyemburkan kalimat yang entah apa maksudnya, Vivi terengah-engah. Dia memang baru saja bicara secepat kereta, seakan-akan takut jika Riana akan menyela.“Terserah Kak Vivi mau berpikir apa. Sedari awal aku tidak pernah minta apa-apa, itu semua murni keinginan Mas Jagat.”“Ya sama aja, kalian itu kan suami istri, dua kepala satu otak,” Vivi menukas. Meski terdengar ada getaran dalam suaranya, perempuan cantik itu memaksa tertawa lagi.“Aku bicara di sini hanya kasihan sama Kak Vi—““Aku tidak perlu dikasihani, Ri!” tukas Vivi dengan nada tinggi, tersinggung berat bahwa orang sesukses dirinya masih perlu dikasihani orang lain. “Aku adal
“Hah? Ke Surabaya?” Tyo membulatkan mata. “Kok mendadak?”Vivi tertawa. “Sejak kapan Mas kaget dengan jadwal mendadak? Bukannya sejak dulu jadwal mendadak adalah orang ketiga dalam pernikahan kita ya?”Tyo berderai. “Tapi kamu lagi sakit, Sayang. Kupikir kita cancel liburan ke Denpasar supaya kamu bisa istirahat.”“Siapa bilang aku sakit? Kemarin itu aku hanya lupa makan. Sekarang istrimu yang hebat ini sudah siap melibas tantangan dunia,” ujar Vivi sembari merapikan pakaiannya. Dress hijau gelap berpotongan simple yang membuat kulit cemerlang Vivi tampak lebih berkilau.“Kamu memang luar biasa, Sayang. Mau berangkat jam berapa?”Vivi tersenyum dengan kepala mendongak. Menghalau kecewa yang menyiram sepasang mata milik perempuan cantik itu. Bahkan Tyo sama sekali tidak tampak kuatir dengan keadaannya. Alih-alih menawari untuk menemaninya, lelaki itu malah terkesan ingin supaya dirinya lekas pergi.Seperti apa sih bentukan perempuan yang sudah berhasil menyingkirkan dirinya dari hati T
“Kenapa, Mi? Kok kayaknya Mami enggak seneng gitu? Harusnya seneng dong, kan nanti malam kita bisa bobo bareng lagi.”Karisma menceplos tawa sedetik. “Ya seneng dong, Pi.”“Tau enggak, Mi? Papi udah berhasil nyuekin dia. Bahkan Papi berani nolak keinginan dia untuk ke Denpasar, kemarin dan hari ini Papi marah-marah terus ke dia.”“Masa?” Kali ini tawa Karisma memercik dengan jujur. Dia senang sekali kalau mendengar kabar bahwa Tyo menjadi semakin jauh dengan istri sahnya. “Dia enggak curiga, Pi?”“Enggak lah, kayaknya malah jadi agak takut sama Papi, terus waktu Papi bilang mau ke situ, dia oke-oke aja, enggak cerewet kayak biasanya. Semoga dia di Surabaya lama jadi Papi bisa sama Mami terus.”Karisma tergelak. Hatinya yang sempit gegara ucapan Riana tadi menjadi sedikit terobati.“Papi mungkin sampai situ malam ya, Papi perlu setor muka dulu ke kantor biar dia enggak curiga. Bukan Papi enggak berani sama dia, males lah buang-buang waktu untuk ngomong sama dia.”“Ya, Papi ganteng.”Te
“HAAAH!”“KURANG AJAR.”“PEREMPUAN SIALAN!”Karisma kesal bukan main. Sudah hampir tiga puluh menit lamanya dia berteriak-teriak sendiri. Seakan belum puas, tangan perempuan cantik itu bergerak mengobrak abrik kamar. Tidak ada satu barang pun yang selamat dari amukannya.Dia begitu kesal mengingat kejadian yang dia alami. Setelah Vivi memanggil namanya dengan lantang dan menyebut papanya, dia mendengar high heel milik Vivi bergema semakin dekat, namun kedua kakinya justru terpaku di lantai restaurant. Sampai Vivi berhasil berdiri di hadapannya, dia tetap membeku. Tinggi tubuh mereka yang hampir sama membuat kedua mata mereka menjadi sejajar.Karisma masih ingat betul, bagaimana pandangan Vivi yang tajam seperti hendak memangsa dirinya. Bahkan dia masih ingat kata demi kata yang diucapkan Vivi dengan intonasi penuh ancaman.“Dengar Karisma. Kalau Pak dosen Sulis mengajarkan kamu bagaimana cara mendapatkan uang dengan cepat, maka aku akan memberimu pelajaran bagaimana caranya menjadi gi
“Jagat!”Papa menggedor-gedor pintu rumah Jagat. Pagi masih buta, perbuatan bar bar itu tentu saja memancing para tetangga menampakkan diri. Jagat tinggal di perumahan biasa, di mana bangunan rumah yang ada saling berdempetan satu sama lain, nyaris tidak mempunyai jeda.“Jagat! Riana! Keluar kalian!”“Astaga, Papa. Kenapa harus teriak-teriak? Malu sama tetangga, Pa.” Jagat membuka pintu.“Alah, enggak usah banyak ngomong kamu, Gat. Papa hanya memperingatkan kamu, menyingkirlah jauh-jauh dari urusan kakakmu. Peringatkan juga istrimu. Kalau Papa sudah mau repot datang langsung untuk memperingatkan kamu ke sini, berarti ini sangat serius. Peringatan keras, bukan main-main!”“Ta—““Mana Riana? Kau tau, istrimu sudah berbuat onar. Sekarang keluarga Karisma marah dan mengancam kakakmu. Keluarga Karisma itu bukan orang sembarangan, bukan seperti mertuamu yang kampungan tapi mata duitan.” Papa menyembur penuh emosi. “Belum lagi nanti kakakmu harus berhadapan dengan istrinya! Ini semua gara-ga
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu
“Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka
“Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp
“Jagat.”Tyo tercekat ketika tahu siapa orang yang menjenguknya.“Mas.”Jagat tergesa mendekati Tyo, lalu mereka berpelukan. Sama-sama menggerungkan tangis tertahan, sama-sama saling menepuk punggung dengan kasih sayang yang tertahan.“Maafkan aku, Gat. Maafkan selama ini aku dengan sengaja dan tanpa sengaja telah melukai perasaan kamu.”Pelukan Jagat bertambah kencang. Sampai akhirnya Tyo melepaskan diri dan menuntun Jagat untuk duduk di sebuah bangku yang sudah disediakan. Kakak beradik itu pun duduk berjejeran.“Kamu sendirian, Gat?” tanya Tyo. Leher lelaki itu sedikit menjulur, melihat jauh ke bangku yang disediakan untuk tamu, sekitar tiga meter di belakang mereka.“Ada Bapak sama Ibu di luar, Mas. Kalau Riana enggak bisa ikut, dia sudah banyak membolos kerja, jadi jatah cutinya habis,” jawab Jagat. Dia gosok matanya yang masih berair dengan punggung telapak tangannya. &
“Astaga, kau serius, Ri?” Vivi terpekik. “Aku sudah dandan cantik begini, mubazir dong.”Riana terkikik lirih. Antara rasa geli dan juga merasa bersalah.“Dasar Jagat. Bilang sama dia ya, Ri, dia hutang traktir sama aku! Dan aku pasti menagihnya suatu hari.”Riana berderai-derai. “Maafin ya, Kak.”Vivi menutup telepon dengan bersungut-sungut. Ah, dia tadi bersungguh-sungguh sudah dandan secantik mungkin untuk malam ini. Sengaja dia memakai dress biru yang dipilihkan oleh Reinald ….“Astaga!” Vivi terpekik lagi. Dia ingat sudah mengundang Reinald dan lelaki itu pun sudah menyanggupinya. Mata indah Vivi memandang jam tangannya.Kurang dari tiga puluh menit dari waktu yang sudah ditetapkan. Rasanya sungguh tidak sopan membatalkan undangan di menit-menit terakhir begini. Bagaimana kalau Rienald sudah berdandan seperti dia? Bagaimana kalau Reinald sudah membatalkan suatu acara ata
“Nak Jagat, Ibu sudah masak ayam bakar kesukaan Nak Jagat loh, apa enggak mau makan dulu?” Neni memberanikan diri mengetuk pintu kamar.Sejak pulang dari mengurus peralihan kepemilikan kebun salak, Jagat langsung mengurung diri di kamar. Kebetulan Riana juga sudah berangkat ke kantornya terlebih dahulu.Jagat membuka pintu. Wajahnya sedikit kusut.“Apa Nak Jagat sakit?” Neni bertanya lagi dengan sedikit nada was was. “Atau mau Ibu bikinin kopi aja ya? Biar sedikit seger di badan.”Lelaki itu tersenyum. “Kopi boleh, Bu. Tadi aku udah makan bareng Bu Reni.”Neni pun tersenyum. Kelegaan menguar di wajahnya.“Tuh kebetulan Bapak juga lagi ngopi, Ibu bikin getuk loh, singkongnya dari kebun kita sendiri. Bentar ya, Ibu bikinin kopi.”Jagat mengangguk. Lalu dia berjalan ke ruang tamu, menjejeri bapak mertuanya yang tengah santai sambil merokok. Di meja sudah terhidang segelas kopi dan getuk singkong yang Neni sebutkan tadi.“Nak Jagat, enggak pa-pa ya Bapak ngerokok di dalam rumah?” seloroh