“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.
Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.
“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.
Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.
“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.
“Heh, kamu nguping?”
Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”
Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.
“Nah itu
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Papa kalian telah khilaf,” kata Mama lirih, “Papa menghamili mahasiswinya.”“Apa?” Teriakan kaget langsung keluar dari empat mulut di ruangan itu.“Ti-tidak mungkin,” seru Tyo, anak pertama.“Menjijikkan, tidak tau malu,” desis istri Tyo yang akrab dipanggil Vivi.Jagat, adik Tyo, hanya menutup wajahnya seraya mendengkus kasar. Kemudian lelaki itu menoleh pada istrinya, Riana, yang terlolong melongo. Telinga Riana seakan masih tidak percaya atas apa yang baru disampaikan oleh Mama. Papa mertua yang dia kenal selama ini begitu religius, berpendidikan dan terlihat sangat menyayangi keluarga, ternyata bisa berkelakuan serendah itu.Dengan susah payah Mama berusaha tegar meskipun terlihat sia-sia, bibirnya bergetaran dengan jelas. Air mata sudah tak terbendung lagi, tetes-tetes meluncur bebas dengan deras. Isak Mama pun mulai terdengar.“Sekarang Papa di mana, Ma?” tanya Jagat. Suaranya bergetar, menahan sesuatu.“Jangan bilang Papa sedang bersama mahasiswi itu,” tukas Vivi. Matanya meny
“Kalau sampai Riana mau mengambil bayi itu, betul-betul perempuan bodoh dia!” seru Vivi sengit.Tyo yang tengah memegang kemudi hanya melirik seraya mengumbar kesabaran. Sekarang mereka ada di dalam mobil, menuju pulang ke Jakarta. Sedari Vivi mengangkat koper dan keluar dari rumah Mama, hingga sekarang, perempuan cantik berkulit putih itu terus saja mengomel.“Vi, aku minta maaf kalau ada ucapan Mama yang menyinggung kamu. Cobalah tenang sedikit. Setidaknya hormati Mama. Aku pun bisa tersinggung kalau kamu terus menerus menjelek-jelekkan Papa. Aku tau Papa salah, tapi enggak ada gunanya juga kalau kamu begini. Sama sekali enggak menyelesaikan masalah kan?” Tyo akhirnya terpaksa menaikkan nada bicara.Vivi mendengkus. Tangannya dilipat depan dadanya sendiri.Suara pendingin mobil berbaur dengan hembusan napas Vivi. Semakin lama napas perempuan cantik itu semakin cepat. Tiba-tiba dia mulai terisak.“Aku benci perselingkuhan. Aku pikir, cukup keluargaku yang tercerai berai karena perbua
Dengan pelan Riana meluruskan tangan untuk menjauhkan telepon genggamnya dari telinganya sendiri.“Ngapain Kak Vivi nelpon kamu, Dek?” Riana meringis linglung. Ujaran dari kakak iparnya barusan, ada benarnya juga walaupun disampaikan dengan cara yang menyakitkan hati. Namun dia tahu jika Jagat mendengar yang sebenarnya, pasti akan tersinggung. Perempuan itu memutar otak untuk memilah kata yang lebih enak di telinga suaminya.“Dek, apa Kak Vivi ngomong yang enggak-enggak ke kamu?” Riana menggeleng, kemudian meringis lagi. “Kak Vivi bilang ... kalau kita mengadopsi bayi itu, dikuatirkan tahun depan Papa … Papa punya bayi lain lagi.”Spontan Jagat menghela napas. Dia mengucap istigfar dengan nada panjang.“Kalau Kak Vivi berkeras enggak mau, berarti kan kita yang harus mau ya, Mas?” ujar Riana. Matanya sudah berkabut. Teringat tadi Vivi telah mengatai dirinya sebagai perempuan lembek.“Kalau kamu enggak mau, ya jangan dipaksa, Dek. Sini ….” Jagat merentangkan lengannya.Riana gegas men
“Kejutan, Ri!” Riana terlonjak, benar-benar terkejut. “Ibu? Bapak?” Mata perempuan ramping itu membola sempurna, menatap dua sosok yang sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Baru sekitar dua jam lalu Riana membawa nama mereka dalam menghindari bujuk rayu mertuanya di telepon, dan kini …. Apakah Mama benar-benar menyuruh orang tuanya ke sini? “Haish, kita enggak disuruh masuk, Bu,” kata Bapak seraya tertawa. “Yang punya rumah malah melotot tok.” “Boro-boro, Pak, dari tadi salim aja enggak,” sahut Ibu. Mencetuskan tawa lebih kencang daripada Bapak. “Eh, ma-maaf … masuk, Bu, Pak.” Riana membuka daun pintu lebih lebar, setelah itu gegas dia ambil tangan Bapak dan Ibu bergantian. Dicium satu per satu dengan takzim. “Loh, ada Bapak dan Ibu. Baru sampai?” Jagat datang dari arah luar rumah, menenteng tas kresek. Dia baru saja membeli cemilan di warung dekat rumah. Lelaki itu pun sama terkejutnya dengan sang istri. Mata Jagat dan Riana saling bertatap sembari memberi kode satu sama lai
“Jadi kamu mau ya, Ri?” Suara Mama semerdu nyanyian seorang diva dunia. “Orang tua kamu juga sudah merestui. Jagat pun sudah setuju.”Semua mata mengarah pada Riana. Namun istri Jagat itu mematung dalam gerakan menunduk. Hatinya masih menimbang-nimbang. Semua ucapan Ibu tadi memang betul, tetapi teringat kata-kata Kak Vivi … pendapat dia juga tidak salah.Riana memandang Ibu. Rasanya tidak sanggup jika Ibu dan Bapak ikut menanggung malu akibat ulah Papa. Apalagi jaman sekarang, di mana berita seperti angin. Bisa bergerak ke mana pun, mampir di telinga siapa saja dan tiba-tiba berubah menjadi gulungan tornado. Ah, membayangkan saja sudah terasa sakit.“Kalau seorang perempuan ditanya diam saja, itu tandanya dia mau,” kata Ibu memecah kesunyian. “Begitulah bahasa kami, orang kampung … iya kan, Ri?”“I-iya,” desis Riana lirih.“Kamu mau, Ri?” Mama terlonjak dari duduknya. Gegas dia menghampiri menantunya itu, Mama merangkul dan mencium berulang kali. “Beneran kamu mau?”Riana mengangguk.
“Kamu serius mengundurkan diri, Ri? Udah dipikir bener-bener?” Maya, rekan kerja Riana bertanya lagi.Riana mengangguk. Malas menjawab. Maya sudah bertanya empat kali, sejak tadi pagi Riana memberitahukan hal tersebut kepadanya. Single parent dengan satu anak itu bahkan telah melihat surat pengunduran diri Riana, dan tahu betul jika Riana sudah menghadap bagian personalia untuk menyerahkan surat tersebut.“Apa suamimu yang mendesakmu untuk berhenti kerja?” Maya masih mencecar.Riana menghela napas panjang, kemudian menatap Maya. “Oke, aku kasih tahu alasan sesungguhnya karena kamu teman aku sedari dulu, tapi janji ini rahasia ya.”“Iya, iya,” jawab Maya. Air mukanya berbinar penuh pengharapan.Riana malah tertawa. “Dasar tukang gosip, kalau dikabarin ada rahasia langsung responnya girang banget kayak menang undian,” tukas Riana.“Hish, apaan sih. Udah cepet kasih tau.”“Ya emang bener, Mas Jagat dan keluarganya yang minta aku resign—““Tuh kan, udah aku duga. Enggak ada masalah apa-ap