“Kamu serius mengundurkan diri, Ri? Udah dipikir bener-bener?” Maya, rekan kerja Riana bertanya lagi.
Riana mengangguk. Malas menjawab. Maya sudah bertanya empat kali, sejak tadi pagi Riana memberitahukan hal tersebut kepadanya. Single parent dengan satu anak itu bahkan telah melihat surat pengunduran diri Riana, dan tahu betul jika Riana sudah menghadap bagian personalia untuk menyerahkan surat tersebut.
“Apa suamimu yang mendesakmu untuk berhenti kerja?” Maya masih mencecar.
Riana menghela napas panjang, kemudian menatap Maya. “Oke, aku kasih tahu alasan sesungguhnya karena kamu teman aku sedari dulu, tapi janji ini rahasia ya.”
“Iya, iya,” jawab Maya. Air mukanya berbinar penuh pengharapan.
Riana malah tertawa. “Dasar tukang gosip, kalau dikabarin ada rahasia langsung responnya girang banget kayak menang undian,” tukas Riana.
“Hish, apaan sih. Udah cepet kasih tau.”
“Ya emang bener, Mas Jagat dan keluarganya yang minta aku resign—“
“Tuh kan, udah aku duga. Enggak ada masalah apa-apa tiba-tiba resign.” Ganti Maya yang menukas tajam. “Aku kasih tau kamu ya, Ri, jangan mau disetir sama suami dan keluarganya. Kita sebagai perempuan harus punya prinsip, apalagi kalau mereka nyuruh resign. Beuh … itu perangkap paling bahaya. Kamu itu hanya akan dijadiin babu di keluarga mereka, udah gitu nanti direndahin karena kamu enggak punya uang sendiri!”
Riana terkikik.
“Eh, aku serius loh, Ri. Cukup aku aja yang gini, kamu jangan. Lelaki jaman sekarang susah banget dipercaya, meski udah resmi jadi suami kita. Jadi kita harus tetap mandiri, punya pegangan sendiri,” tambahnya berapi-api.
“Ini kamu lagi kasih tau apa lagi curhat soal hidup kamu sih, May?” ledek Riana, masih dengan derai tawa.
Maya meringis. “Ya sekalian lah, Ri. Tapi bener, aku enggak ingin kamu mengalami nasib yang sama kayak aku.”
“Insyaalloh enggak, May. Aku resign karena ada rencana bisnis sendiri, Mas Jagat dan keluarganya mau kasih aku modal.”
“Waaa, keren banget. Ih beruntungnya kamu dapat jodoh orang bener, keluarganya juga bener.” Suara Maya yang semula penuh nada kebencian, berubah total menjadi suka cita dan ceria.
“Iri aku sama kamu, Ri. Iri yang positif ya, bukan iri dengki,” kata Maya lagi seraya tertawa. “Udah dapat suami ganteng, kaya … eh masih ditambah bonus keluarganya baik pula. Emang beda ya kalau orang berpendidikan sama enggak. Secara papa mertuamu dosen, mama mertuamu kepala sekolah, pasti beda cara pikirnya sama mantanku dan keluarganya yang enggak ngerti ilmu dan adab.”
Reflek Riana menyeringai kecut. Seandainya Maya tahu yang sebenarnya ….
“Eh, betewe mau usaha apa, Ri?”
“Mungkin aku mau buka toko roti,” jawab Riana mantap.
“Heh, kok masih mungkin, ini baru rencana atau gimana? Kalau baru rencana jangan resign dulu, Ri. Takut kamu dibohongin, kayak mantan ….” Maya sengaja tidak meneruskan ucapannya. Tiba-tiba dia tertawa sendiri. “Oh, lupa. Suamimu beda ya sama mantan suamiku, apalagi mertua kamu.”
“Mertua aku udah transfer uangnya kok, makanya aku berani resign.”
“Mantap!” Maya berseru.
“Doain aku ya, May. Jangan lupa sama aku,” ujar Riana tulus.
“Hmm … paling yang ada juga kamu yang lupa sama aku, Ri. Bentar lagi sukses jadi juragan roti.”
Mereka tertawa berbarengan.
“Duh, iri sama hidup kamu. Amalan apa sih yang kamu punya sampai bisa dapat suami baik sekaligus mertua idaman gitu. Bagi rahasianya, Ri.”
Riana mencelos mendengar ucapan Maya tersebut.
Hari berganti.
Tepat tiga bulan dari pengajuan surat pengunduran dirinya, Riana telah resmi menyandang ibu rumah tangga sejati. Proses untuk membuka toko rotinya masih dalam tahap perencanaan. Menurut Jagat, meskipun Riana hobi membuat roti dan kue, namun untuk tujuan komersil Riana perlu mengikuti semacam kursus atau pelatihan seluk beluk bisnis tersebut. Saran yang sangat masuk akal, sehingga Riana memutuskan untuk mengikuti masukan dari suaminya tersebut.
Riana membuka telepon genggamnya. Sembari beristirahat setelah dia mengepak barang-barang yang akan dibawa ke rumah baru, dia memanfaatkan waktu untuk membaca lagi materi yang dia dapat semalam saat mengikuti webinar ‘membangun bisnis kuliner’.
Tiba-tiba layar teleponnya berganti menjadi panggilan telepon dari Jagat.
“Dek, bayinya Karisma sudah lahir.”
Riana terbengong.
“Dek … Dek!”
“Eh, iya, Mas. Gimana?”
“Bayinya Karisma udah lair, perempuan,” ucap Jagat lagi.
“Oh.” Hanya itu yang mampu Riana ucapkan. Dia bingung, mendadak isi kepalanya bersliweran macam-macam pikiran. Rencana untuk menikmati hari pertamanya menganggur dengan santai, pupus sudah.
“Papa akan kirim dua orang ke rumah kita, mereka suami istri yang akan bantu kamu agar beres-beresnya selesai hari ini, sebab besok siang kita akan langsung pindah ke rumah baru, setelah ambil bayinya.”
“Mungkin setengah jam lagi mereka sampai,” kata Jagat lagi setelah menunggu Riana beberapa detik belum juga merespon. “Kamu enggak usah bingung makan siang mereka dan lain-lainya udah diurus sama Mama.”
Riana tidak menyahut.
“Dek ….”
“Iya.”
Riana masih terbengong. Bahkan sampai panggilan itu berakhir.
Besok dia akan jadi ibu, dari anak yang … ah, entahlah. Tidak ada persiapan apa-apa mengenai hari besar besok. Selama tiga bulan ini, Riana menjalani hidup seperti biasa saja. Jagat dan dirinya tidak pernah membicarakan soal bayi atau kelakuan Papa setelah pertemuan yang dulu.
Yang berbeda justru perhatian Jagat. Lelakinya itu menjadi lebih lembut dan cenderung berlebihan memanjakan dia. Pun dengan Papa dan Mama.
Mata Riana berkaca-kaca. Entah mengapa dia merasa menjadi boneka yang tengah dimanfaatkan.
Riana dijemput jam sebelas lebih dua puluh menit. Dia menyangka Jagat akan membawanya ke rumah sakit terlebih dahulu, ternyata saat membuka pintu mobil bayinya sudah berada dalam pangkuan Mama. “Ayo, Ri, masuklah,” kata Papa yang duduk di sebelah Jagat. “Ma, biar Riana yang gendong si bayi, kan Riana mamanya.”“Oh iya,” sahut Mama. Segera dia ulurkan bayi itu kepada Riana. “Wah, Gat, ternyata Riana luwes juga bawa bayinya. Wah, wah emang udah pantas banget jadi Mama.”Jagat tertawa senang, lalu menoleh sebentar ke arah belakang, namun saat dilihatnya wajah Riana yang kaku tanpa ekspresi, tawa Jagat segera lenyap.“Ri, liatlah, dia cantik sekali kan? Namanya Anindya Rahisma, dipanggilnya Anin.”“Udah langsung diberi nama?” seru Riana, tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.Mama tertawa sumbang. “Iya … Karisma yang kasih nama.”Riana diam tidak merespon, sibuk memandangi mahluk mungil yang tengah terlelap tenang dalam pangkuannya. Kulit bersih, hidung mancung dan bibir yang merah
“Riana percayalah, Anin itu bukan anak kandung Jagat. Tapi adik Jagat lain ibu, kan wajar jika Jagat dan Anin mirip. Jagat, Tyo dan Anin kalau disandingkan sudah pasti akan mirip, karena memang mereka satu ayah,” kata Mama. “Adapun kulitnya yang sama-sama putih itu karena Karisma berkulit putih.”Wanita lima puluh satu tahun itu tergopoh-gopoh datang saat Jagat menelepon. Jagat mengabarkan bahwa dia sudah kewalahan saat Riana terus menerus mendesak sambil mengamuk. “Tidak ada yang Jagat sembunyikan dari kamu, Sayang. Jangan curiga kepada suamimu sendiri,” ucap Mama. “Mama pun bersumpah, demi Alloh Anin itu bukan anak kandung Jagat. Kalau kamu kurang percaya, dan Jagat harus disumpah di bawah kitab suci, ya ayo kita lakukan. Kamu pasti bersedia kan, Gat?”“Bersedia, Ma,” jawab Jagat. Pelan tapi tegas.Riana menatap dengan mata meradang. “Kalau begitu aku mau tes DNA untuk mencari kebenarannya.”Mama tersenyum. “Ri, DNA Anin tentu saja akan mirip dengan Jagat. Kan sudah Mama bilang, An
“Mbak Riana?”Riana menoleh. Mata bundarnya melihat sesosok perempuan cantik berkulit putih dengan badan berisi. Riasan naturalnya begitu sempurna dipadu dengan dress panjang semata kaki yang tampak casual. Tidak ada kesan centil sama sekali, seperti yang Riana pikirkan.Dalam bayangan Riana, Karisma adalah wanita muda yang centil dengan dandanan cetar ala-ala pelakor di drama yang sering dia tonton. Ternyata perempuan yang diakui sebagai selingkuhan Papa ini terlihat kalem dan dewasa. Apakah ini yang dinamakan air tenang menghanyutkan? “Saya Karisma, panggil saja Karis,” katanya lagi seraya mengulurkan tangan. “Boleh saya duduk?”“Oh, iya iya, silakan,” jawab Riana tergagap-gagap.Perempuan bernama Karis itu menggeser kursi dan duduk dengan anggun. Jari jemarinya bergerak berirama untuk merapikan rambutnya. Mata Riana sempat menyipit ketika cincin cantik di salah satu jari Karisma terkena paparan cahaya. Begitu berkilau cemerlang. Mungkin itu cincin berlian asli.“Sebelum memulai pe
“Loh, kok Mas ada di rumah?” Riana terkejut bukan main saat melihat Jagat tengah makan siang sendiri. Bagaimana bisa lelakinya secepat itu sudah berada di rumah? Jika Jagat mengantar Karisma ke suatu tempat, seharusnya Riana yang sampai terlebih dulu. Mengingat jalanan pada jam segini lumayan padat, apalagi mengendarai mobil. “Kamu udah makan, Dek? Eh, iya kamu abis ketemuan di resto ya pastilah udah makan,” seloroh Jagat dengan suara tanpa beban. Tidak menjawab pertanyaan istrinya. Riana memindai isi piring Jagat, mungkin tinggal satu atau dua suapan. Dengan porsi makan Jagat yang dia tahu betul, sudah pasti suaminya mulai makan sekitar sepuluh menit yang lalu. Rasanya mustahil …. “Apa ada sesuatu, Dek?” Jagat membuyarkan lamunan Riana, dia terlihat meletakkan sendok untuk menjeda makannya. Menatap Riana bulat-bulat. “Apa Karisma ngomong macam-macam sama kamu?” “Macam-macam gimana?” tukas Riana cepat. Mata perempuan itu segera memicing waspada saat melihat sang suami sedikit ter
“Jadi kamu ditanya juga sama Ibu?”“Iya, tapi aku jawab sesuai yang diajarkan Bu Widya aja. Cari aman lah, Mak.” Riana mendengar suara Mak Wati dan Sus Dian. Kaki perempuan dua puluh enam tahun itu spontan berhenti melangkah. Niatnya untuk pergi ke kamar Anin, dia urungkan. Riana ingin mendengar pembicaraan mereka lebih lanjut. Sebutan ‘Ibu’ sudah pasti ditujukan kepada dirinya. Yang membuat dia lebih tertarik adalah jawaban dari Sus Dian. Memangnya Mama mengajarkan apa kepada pengasuh Anin itu?“Suruh jawab mirip putihnya doang ya?” tebak Mak Wati.Sus Dian tertawa. “Iya. Mak juga disuruh gitu?”Riana hanya mendengar derai Mak Wati. Mungkin di balik tembok ini Mak Wati sedang mengangguk. Hati Riana mencelos, bukankah suaminya juga berucap yang sama? “Mirip dari mananya coba? Putihnya mungkin iya,” batin Riana melagukan ucapan Jagat tadi.“Kasihan Ibu, dia baru dengar dari satu orang aja udah kebakaran jenggot. Padahal kalau pas aku yang ajak Anin keluar, semua orang kompleks selal
“Gimana menurut kamu, Dek?” Jagat memandang istrinya dengan mata berbinar. Seolah dia baru saja menemukan bongkahan berlian. Riana mengangguk ringan. Bibirnya melebar, membuat senyum seluas mungkin. “Wah kapan, Mas? Aku jadi enggak sabar. Hitung-hitung bulan madu kedua ya!” ujarnya berseru. Terdengar terlalu antusias. Jagat tertawa. “Sabar, Dek, aku perlu mengajukan cuti dulu. Kamu kan tau proses cuti di kantorku lumayan ribet. Paling cepat tiga minggu ke depan, kecuali kalau kita pergi ke tempat dekat aja, misal Jogja atau Dieng? Kita bisa pergi jumat sore, dan pulang minggu siang.” “Tapi aku pengennya ke Lombok atau Labuan Bajo, boleh ya?” Mata Riana membesar, lagi-lagi menunjukkan ekspresi antusias yang begitu tinggi. Meskipun jauh di dalam hatinya dia ingin muntah mendengar suaranya sendiri. Semoga Jagat tidak dapat mendeteksi kebohongannya. “Boleh, boleh … tempatnya kamu yang tentuin, tapi ya itu sabar ya. Duh, aku kebelet pipis,” ujar Jagat seraya berdiri, lalu berlari menuj
“Dek?” Jagat membulatkan mata. Riana meringis tipis. Dia tahu, pasti suaminya kaget sekaligus senang. Reaksi yang sama baru saja ditunjukkan oleh Sus Dian. Sedari subuh Anin menangis, dan sepertinya profesionalitas dan pengalaman Sus Dian tidak banyak menolong. Riana mencuri dengar ketika Mak Wati menceplos ,”Anin pasti kangen sama mamanya, bayi mana ngerti kan kalau Bu Riana bukan mama kandungnya. Orang dari melek Anin ngertinya mama dia adalah Ibu Riana.” Hati perempuan ramping itu bergetar. Langsung mengucap istigfar sebanyak yang dia bisa. Apa pun yang terjadi, seharusnya dia tidak boleh begini kepada Anin. Bayi suci ini hanya korban ketidakwarasan orang-orang dewasa. Akhirnya Riana mendekat dan Anin langsung riang ketika berpindah tangan dari Sus Dian kepada dirinya. “Anin seneng ya digendong Mama? Berarti kita sama, Nin,” Jagat menyeringai sambil mendekat. “Papa juga seneng digendong Mama.” Riana mencubit perut Jagat dengan samar, dan lelaki itu tergelak. Tanpa malu, Jagat
“Pak Rusli,” desah Riana. Dia langsung setuju dengan Abang sangar bahwa dirinya telah dibuntuti. Memangnya mau apa asisten rumah tangganya di depan mini market dengan leher menjulur ke sana ke mari, kalau tidak sedang mencari tahu keberadaan dirinya?Riana tersenyum lega, setidaknya dia belum sampai ke rumah sakit. “Terima kasih ya, Bang,” kata Riana kepada si Abang yang ternyata tukang parkir di situ. “Sebaiknya Ibu hati-hati, keluarnya nanti aja setelah orang itu pergi,” kata pramuniaga. “Semoga Bang Herman bisa mengusirnya.”Mata mereka berdua menyaksikan Bang Sangar, eh namanya Bang Herman, mendekati Pak Rusli. Entah apa yang mereka bicarakan, terlihat Pak Rusli mengeluarkan sebungkus rokok. Tangan Bang Herman mengulur santai menerima, dan cus … rokok menyala di sela bibir lelaki bertato itu.“Menurut saya, Ibu telpon suami atau saudara Ibu saja, supaya mereka jemput di sini,” ucap pramuniaga lagi. “Oh, iya.” Riana berbinar, bagi telinganya ide itu sungguh cemerlang. Dia mengel
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu
“Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka
“Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp
“Jagat.”Tyo tercekat ketika tahu siapa orang yang menjenguknya.“Mas.”Jagat tergesa mendekati Tyo, lalu mereka berpelukan. Sama-sama menggerungkan tangis tertahan, sama-sama saling menepuk punggung dengan kasih sayang yang tertahan.“Maafkan aku, Gat. Maafkan selama ini aku dengan sengaja dan tanpa sengaja telah melukai perasaan kamu.”Pelukan Jagat bertambah kencang. Sampai akhirnya Tyo melepaskan diri dan menuntun Jagat untuk duduk di sebuah bangku yang sudah disediakan. Kakak beradik itu pun duduk berjejeran.“Kamu sendirian, Gat?” tanya Tyo. Leher lelaki itu sedikit menjulur, melihat jauh ke bangku yang disediakan untuk tamu, sekitar tiga meter di belakang mereka.“Ada Bapak sama Ibu di luar, Mas. Kalau Riana enggak bisa ikut, dia sudah banyak membolos kerja, jadi jatah cutinya habis,” jawab Jagat. Dia gosok matanya yang masih berair dengan punggung telapak tangannya. &
“Astaga, kau serius, Ri?” Vivi terpekik. “Aku sudah dandan cantik begini, mubazir dong.”Riana terkikik lirih. Antara rasa geli dan juga merasa bersalah.“Dasar Jagat. Bilang sama dia ya, Ri, dia hutang traktir sama aku! Dan aku pasti menagihnya suatu hari.”Riana berderai-derai. “Maafin ya, Kak.”Vivi menutup telepon dengan bersungut-sungut. Ah, dia tadi bersungguh-sungguh sudah dandan secantik mungkin untuk malam ini. Sengaja dia memakai dress biru yang dipilihkan oleh Reinald ….“Astaga!” Vivi terpekik lagi. Dia ingat sudah mengundang Reinald dan lelaki itu pun sudah menyanggupinya. Mata indah Vivi memandang jam tangannya.Kurang dari tiga puluh menit dari waktu yang sudah ditetapkan. Rasanya sungguh tidak sopan membatalkan undangan di menit-menit terakhir begini. Bagaimana kalau Rienald sudah berdandan seperti dia? Bagaimana kalau Reinald sudah membatalkan suatu acara ata
“Nak Jagat, Ibu sudah masak ayam bakar kesukaan Nak Jagat loh, apa enggak mau makan dulu?” Neni memberanikan diri mengetuk pintu kamar.Sejak pulang dari mengurus peralihan kepemilikan kebun salak, Jagat langsung mengurung diri di kamar. Kebetulan Riana juga sudah berangkat ke kantornya terlebih dahulu.Jagat membuka pintu. Wajahnya sedikit kusut.“Apa Nak Jagat sakit?” Neni bertanya lagi dengan sedikit nada was was. “Atau mau Ibu bikinin kopi aja ya? Biar sedikit seger di badan.”Lelaki itu tersenyum. “Kopi boleh, Bu. Tadi aku udah makan bareng Bu Reni.”Neni pun tersenyum. Kelegaan menguar di wajahnya.“Tuh kebetulan Bapak juga lagi ngopi, Ibu bikin getuk loh, singkongnya dari kebun kita sendiri. Bentar ya, Ibu bikinin kopi.”Jagat mengangguk. Lalu dia berjalan ke ruang tamu, menjejeri bapak mertuanya yang tengah santai sambil merokok. Di meja sudah terhidang segelas kopi dan getuk singkong yang Neni sebutkan tadi.“Nak Jagat, enggak pa-pa ya Bapak ngerokok di dalam rumah?” seloroh