“Jadi kamu mau ya, Ri?” Suara Mama semerdu nyanyian seorang diva dunia. “Orang tua kamu juga sudah merestui. Jagat pun sudah setuju.”
Semua mata mengarah pada Riana. Namun istri Jagat itu mematung dalam gerakan menunduk. Hatinya masih menimbang-nimbang. Semua ucapan Ibu tadi memang betul, tetapi teringat kata-kata Kak Vivi … pendapat dia juga tidak salah.
Riana memandang Ibu. Rasanya tidak sanggup jika Ibu dan Bapak ikut menanggung malu akibat ulah Papa. Apalagi jaman sekarang, di mana berita seperti angin. Bisa bergerak ke mana pun, mampir di telinga siapa saja dan tiba-tiba berubah menjadi gulungan tornado. Ah, membayangkan saja sudah terasa sakit.
“Kalau seorang perempuan ditanya diam saja, itu tandanya dia mau,” kata Ibu memecah kesunyian. “Begitulah bahasa kami, orang kampung … iya kan, Ri?”
“I-iya,” desis Riana lirih.
“Kamu mau, Ri?” Mama terlonjak dari duduknya. Gegas dia menghampiri menantunya itu, Mama merangkul dan mencium berulang kali. “Beneran kamu mau?”
Riana mengangguk.
“Pa, Riana mau, Pa!” Mama berseru. Kebahagiaan menguar jelas dalam kalimat dan bahasa tubuh wanita yang masih cantik dalam usianya yang sudah lima puluh satu tahun itu.
Semua orang yang ada di ruangan itu menghela napas lega. Papa tanpa sadar sampai bertepuk tangan dan tertawa kecil sebab begitu gembira.
“Tapi dengan satu syarat!” Entah mengapa suara Riana menjadi melengking. Hal itu membuat suasana yang semula heboh, langsung hening kembali.
“Apa pun syaratmu, Mama akan penuhi, Ri. Makasih sudah menyelamatkan keluarga kita.” Mama memeluk Riana kembali. “Sebutkan, Sayang, sebutkan saja. Kita pasti belikan. Iya kan, Pa?”
“Pasti,” sahut Papa mantap.
Riana menatap Jagat dengan mata tajam sambil berkata, “I-ini a-adalah bayi pertama dan terakhir. Semoga tidak ada lagi bayi yang … yang—“
“Iya, Sayang, iya … kami mengerti,” sahut Mama cepat.
“Riana, Jagat, secara pribadi Papa berterima kasih kepada kalian. Pada Ibu Neni dan Bapak Arman juga.” Papa mengangguk pada orang tua Riana. “Papa hari ini benar-benar telah diselamatkan. Peristiwa ini akan menjadi pelajaran buat Papa ke depannya agar lebih eling lagi. Papa terjerumus dalam kehinaan … tapi berkat kebesaran hatimu, Ri, Papa punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”
“Itu sudah seharusnya sebagai bakti seorang anak kepada orang tua,” Ibu menimpali. Senyumnya yang paling lebar di antara semua. “Ibu hanya minta, Nak Jagat lebih menyayangi dan mencintai Riana. Jangan sakiti hati anak Ibu ya.”
“I-iya, Bu,” Jagat menjawab tergagap. Lelaki berkulit putih itu menunduk, saat tak sengaja lirik matanya bersitatap dengan sang istri.
“Alhamdulillah, insyaalloh masalah sudah menemukan solusi,” ceplos Bapak. Yang lain ikut melafalkan kalimat hamdalah.
“Sekarang, tinggal Bu Widya menepati janjinya sama anak saya ya, Bu,” kata Ibu. Dengan wajah berseri-seri Ibu menatap Riana, lalu beralih kepada Jagat. “Kalian akan pindah rumah setelah bayi itu lahir.”
Jagat dan Riana kebingungan. Rumah yang sekarang mereka tempati jangka KPR-nya masih empat belas tahun lagi. Baru juga setahun mereka pindah ke sini, setelah setahun sebelumnya menyewa rumah.
“Kalian jangan bingung, semua Papa yang akan urus. Bayinya mungkin akan lahir tiga bulan lagi, nah saat bayi itu lahir nanti, kalian akan menempati rumah baru,” ujar Papa.
Bapak berderai ringan. “Lebih bagus dari rumah ini nggih, Pak Sulis?”
“Oh iya, pasti, Pak Arman. Atau Riana yang akan pilih sendiri perumahannya, enggak apa-apa,” jawab Papa.
“Enggak ya, Ri?” Bapak menyahut, melihat ke arah putrinya sekejap, lalu kembali memandang besannya. “Anak saya ini penurut kok, Pak Sulis saja yang atur. Ya … asal beneran lebih bagus dari yang ini, kalau bisa yang luasan dikit hehe.”
“Maaf, tapi kenapa aku dan Riana harus pindah rumah?” Jagat menyela.
“Iya, kami betah kok tinggal di sini. Lingkungannya baik,” dukung Riana.
Ibu tersenyum. “Nak Jagat, Riana, Ibu hanya ingin nama baik kalian juga ikut terjaga. Jadi nanti bilang saja sama tetangga baru kalian bahwa bayi itu adalah anak kandung kalian, supaya tidak ada pertanyaan aneh-aneh. Kalau tetap tinggal di sini kan enggak bisa, karena tetangga sudah pada tau Riana tidak hamil.”
“Oh, begitu,” jawab Jagat dengan nada samar. Kepalanya mengangguk dua kali.
“Iya, nanti juga Riana resign saja dari pekerjaan. Supaya enggak ribet juga ngurusi mulut-mulut usil di kantornya,” sambung Mama. Tangan Mama bergerak mengelus pundak Riana. “Ri, sebaiknya mulai besok aja kamu ajukan resign-nya, bila perlu kasih sinyal-sinyal bahwa kamu lagi hamil gitu.”
Riana menatap Jagat. Namun Jagat sedang menunduk.
“Tapi nanti Riana dikasih modal kan, Bu? Untuk mulai bisnis online atau apa gitu?” Ibu menyambar. “Yah, bukan gimana-gimana, kami beneran susah payah loh berusaha menyekolahkan Riana sampai lulus kuliah. Maklum kami orang susah, beda sama Ibu Widya dan Pak Sulis. Jadi rasanya agak nyesek, kalau sarjana-nya Riana cuma untuk jadi ibu rumah tangga.”
“Oh, tenang aja. Kalau sekadar usaha kecil-kecilan nanti Papa bantu, Ri.”
Wajah Ibu dan Bapak Riana terlihat terang benderang. Keduanya saling lirik dan melempar senyum girang.
Basa basi dilanjutkan sampai menjelang mahrib. Setelah menunaikan ibadah, kedua orang tua Riana pamit untuk pulang.
“Apa enggak sebaiknya menginap saja, Pak?” Jagat berkata tulus. Mengingat perjalanan menuju kampung Riana cukup jauh.
“Iya, Pak, Bu. Besok pagi saja pulangnya, ini sudah gelap,” sahut Riana mendukung perkataan suaminya.
Meskipun hati dongkol luar biasa atas keputusan sepihak orang tuanya, tetapi bagaimana pun juga orang tua tetaplah orang tua. Riana membayangkan jalan yang harus ditempuh Bapak. Selain cukup menanjak, lampu jalan yang ada juga tidak begitu terang. Selain rawan kecelakaan, tentu saja rawan kejahatan.
“Halah, masih sore gini ya, Bu. Yang terpenting masalah dalam keluarga kita sudah terselesaikan dengan sangat baik.”
Perkataan Bapak disambut tawa lega. Kali ini Jagat sudah bisa ikut tertawa, meski belum terlihat lepas.
“Hati-hati ya, Pak. Tolong nanti kabari aku kalau sudah sampai rumah,” kata Riana mengantar kepergian Bapak dan Ibunya.
Sebelum naik ke motor, Ibu memeluk Riana. Dia berbisik di telinga anak sulungnya itu, “Begjo, kamu, Ri. Tuhan kalau kasih jalan rejeki memang selalu enggak disangka-sangka.”
“Kamu serius mengundurkan diri, Ri? Udah dipikir bener-bener?” Maya, rekan kerja Riana bertanya lagi.Riana mengangguk. Malas menjawab. Maya sudah bertanya empat kali, sejak tadi pagi Riana memberitahukan hal tersebut kepadanya. Single parent dengan satu anak itu bahkan telah melihat surat pengunduran diri Riana, dan tahu betul jika Riana sudah menghadap bagian personalia untuk menyerahkan surat tersebut.“Apa suamimu yang mendesakmu untuk berhenti kerja?” Maya masih mencecar.Riana menghela napas panjang, kemudian menatap Maya. “Oke, aku kasih tahu alasan sesungguhnya karena kamu teman aku sedari dulu, tapi janji ini rahasia ya.”“Iya, iya,” jawab Maya. Air mukanya berbinar penuh pengharapan.Riana malah tertawa. “Dasar tukang gosip, kalau dikabarin ada rahasia langsung responnya girang banget kayak menang undian,” tukas Riana.“Hish, apaan sih. Udah cepet kasih tau.”“Ya emang bener, Mas Jagat dan keluarganya yang minta aku resign—““Tuh kan, udah aku duga. Enggak ada masalah apa-ap
Riana dijemput jam sebelas lebih dua puluh menit. Dia menyangka Jagat akan membawanya ke rumah sakit terlebih dahulu, ternyata saat membuka pintu mobil bayinya sudah berada dalam pangkuan Mama. “Ayo, Ri, masuklah,” kata Papa yang duduk di sebelah Jagat. “Ma, biar Riana yang gendong si bayi, kan Riana mamanya.”“Oh iya,” sahut Mama. Segera dia ulurkan bayi itu kepada Riana. “Wah, Gat, ternyata Riana luwes juga bawa bayinya. Wah, wah emang udah pantas banget jadi Mama.”Jagat tertawa senang, lalu menoleh sebentar ke arah belakang, namun saat dilihatnya wajah Riana yang kaku tanpa ekspresi, tawa Jagat segera lenyap.“Ri, liatlah, dia cantik sekali kan? Namanya Anindya Rahisma, dipanggilnya Anin.”“Udah langsung diberi nama?” seru Riana, tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.Mama tertawa sumbang. “Iya … Karisma yang kasih nama.”Riana diam tidak merespon, sibuk memandangi mahluk mungil yang tengah terlelap tenang dalam pangkuannya. Kulit bersih, hidung mancung dan bibir yang merah
“Riana percayalah, Anin itu bukan anak kandung Jagat. Tapi adik Jagat lain ibu, kan wajar jika Jagat dan Anin mirip. Jagat, Tyo dan Anin kalau disandingkan sudah pasti akan mirip, karena memang mereka satu ayah,” kata Mama. “Adapun kulitnya yang sama-sama putih itu karena Karisma berkulit putih.”Wanita lima puluh satu tahun itu tergopoh-gopoh datang saat Jagat menelepon. Jagat mengabarkan bahwa dia sudah kewalahan saat Riana terus menerus mendesak sambil mengamuk. “Tidak ada yang Jagat sembunyikan dari kamu, Sayang. Jangan curiga kepada suamimu sendiri,” ucap Mama. “Mama pun bersumpah, demi Alloh Anin itu bukan anak kandung Jagat. Kalau kamu kurang percaya, dan Jagat harus disumpah di bawah kitab suci, ya ayo kita lakukan. Kamu pasti bersedia kan, Gat?”“Bersedia, Ma,” jawab Jagat. Pelan tapi tegas.Riana menatap dengan mata meradang. “Kalau begitu aku mau tes DNA untuk mencari kebenarannya.”Mama tersenyum. “Ri, DNA Anin tentu saja akan mirip dengan Jagat. Kan sudah Mama bilang, An
“Mbak Riana?”Riana menoleh. Mata bundarnya melihat sesosok perempuan cantik berkulit putih dengan badan berisi. Riasan naturalnya begitu sempurna dipadu dengan dress panjang semata kaki yang tampak casual. Tidak ada kesan centil sama sekali, seperti yang Riana pikirkan.Dalam bayangan Riana, Karisma adalah wanita muda yang centil dengan dandanan cetar ala-ala pelakor di drama yang sering dia tonton. Ternyata perempuan yang diakui sebagai selingkuhan Papa ini terlihat kalem dan dewasa. Apakah ini yang dinamakan air tenang menghanyutkan? “Saya Karisma, panggil saja Karis,” katanya lagi seraya mengulurkan tangan. “Boleh saya duduk?”“Oh, iya iya, silakan,” jawab Riana tergagap-gagap.Perempuan bernama Karis itu menggeser kursi dan duduk dengan anggun. Jari jemarinya bergerak berirama untuk merapikan rambutnya. Mata Riana sempat menyipit ketika cincin cantik di salah satu jari Karisma terkena paparan cahaya. Begitu berkilau cemerlang. Mungkin itu cincin berlian asli.“Sebelum memulai pe
“Loh, kok Mas ada di rumah?” Riana terkejut bukan main saat melihat Jagat tengah makan siang sendiri. Bagaimana bisa lelakinya secepat itu sudah berada di rumah? Jika Jagat mengantar Karisma ke suatu tempat, seharusnya Riana yang sampai terlebih dulu. Mengingat jalanan pada jam segini lumayan padat, apalagi mengendarai mobil. “Kamu udah makan, Dek? Eh, iya kamu abis ketemuan di resto ya pastilah udah makan,” seloroh Jagat dengan suara tanpa beban. Tidak menjawab pertanyaan istrinya. Riana memindai isi piring Jagat, mungkin tinggal satu atau dua suapan. Dengan porsi makan Jagat yang dia tahu betul, sudah pasti suaminya mulai makan sekitar sepuluh menit yang lalu. Rasanya mustahil …. “Apa ada sesuatu, Dek?” Jagat membuyarkan lamunan Riana, dia terlihat meletakkan sendok untuk menjeda makannya. Menatap Riana bulat-bulat. “Apa Karisma ngomong macam-macam sama kamu?” “Macam-macam gimana?” tukas Riana cepat. Mata perempuan itu segera memicing waspada saat melihat sang suami sedikit ter
“Jadi kamu ditanya juga sama Ibu?”“Iya, tapi aku jawab sesuai yang diajarkan Bu Widya aja. Cari aman lah, Mak.” Riana mendengar suara Mak Wati dan Sus Dian. Kaki perempuan dua puluh enam tahun itu spontan berhenti melangkah. Niatnya untuk pergi ke kamar Anin, dia urungkan. Riana ingin mendengar pembicaraan mereka lebih lanjut. Sebutan ‘Ibu’ sudah pasti ditujukan kepada dirinya. Yang membuat dia lebih tertarik adalah jawaban dari Sus Dian. Memangnya Mama mengajarkan apa kepada pengasuh Anin itu?“Suruh jawab mirip putihnya doang ya?” tebak Mak Wati.Sus Dian tertawa. “Iya. Mak juga disuruh gitu?”Riana hanya mendengar derai Mak Wati. Mungkin di balik tembok ini Mak Wati sedang mengangguk. Hati Riana mencelos, bukankah suaminya juga berucap yang sama? “Mirip dari mananya coba? Putihnya mungkin iya,” batin Riana melagukan ucapan Jagat tadi.“Kasihan Ibu, dia baru dengar dari satu orang aja udah kebakaran jenggot. Padahal kalau pas aku yang ajak Anin keluar, semua orang kompleks selal
“Gimana menurut kamu, Dek?” Jagat memandang istrinya dengan mata berbinar. Seolah dia baru saja menemukan bongkahan berlian. Riana mengangguk ringan. Bibirnya melebar, membuat senyum seluas mungkin. “Wah kapan, Mas? Aku jadi enggak sabar. Hitung-hitung bulan madu kedua ya!” ujarnya berseru. Terdengar terlalu antusias. Jagat tertawa. “Sabar, Dek, aku perlu mengajukan cuti dulu. Kamu kan tau proses cuti di kantorku lumayan ribet. Paling cepat tiga minggu ke depan, kecuali kalau kita pergi ke tempat dekat aja, misal Jogja atau Dieng? Kita bisa pergi jumat sore, dan pulang minggu siang.” “Tapi aku pengennya ke Lombok atau Labuan Bajo, boleh ya?” Mata Riana membesar, lagi-lagi menunjukkan ekspresi antusias yang begitu tinggi. Meskipun jauh di dalam hatinya dia ingin muntah mendengar suaranya sendiri. Semoga Jagat tidak dapat mendeteksi kebohongannya. “Boleh, boleh … tempatnya kamu yang tentuin, tapi ya itu sabar ya. Duh, aku kebelet pipis,” ujar Jagat seraya berdiri, lalu berlari menuj
“Dek?” Jagat membulatkan mata. Riana meringis tipis. Dia tahu, pasti suaminya kaget sekaligus senang. Reaksi yang sama baru saja ditunjukkan oleh Sus Dian. Sedari subuh Anin menangis, dan sepertinya profesionalitas dan pengalaman Sus Dian tidak banyak menolong. Riana mencuri dengar ketika Mak Wati menceplos ,”Anin pasti kangen sama mamanya, bayi mana ngerti kan kalau Bu Riana bukan mama kandungnya. Orang dari melek Anin ngertinya mama dia adalah Ibu Riana.” Hati perempuan ramping itu bergetar. Langsung mengucap istigfar sebanyak yang dia bisa. Apa pun yang terjadi, seharusnya dia tidak boleh begini kepada Anin. Bayi suci ini hanya korban ketidakwarasan orang-orang dewasa. Akhirnya Riana mendekat dan Anin langsung riang ketika berpindah tangan dari Sus Dian kepada dirinya. “Anin seneng ya digendong Mama? Berarti kita sama, Nin,” Jagat menyeringai sambil mendekat. “Papa juga seneng digendong Mama.” Riana mencubit perut Jagat dengan samar, dan lelaki itu tergelak. Tanpa malu, Jagat
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu
“Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka
“Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp
“Jagat.”Tyo tercekat ketika tahu siapa orang yang menjenguknya.“Mas.”Jagat tergesa mendekati Tyo, lalu mereka berpelukan. Sama-sama menggerungkan tangis tertahan, sama-sama saling menepuk punggung dengan kasih sayang yang tertahan.“Maafkan aku, Gat. Maafkan selama ini aku dengan sengaja dan tanpa sengaja telah melukai perasaan kamu.”Pelukan Jagat bertambah kencang. Sampai akhirnya Tyo melepaskan diri dan menuntun Jagat untuk duduk di sebuah bangku yang sudah disediakan. Kakak beradik itu pun duduk berjejeran.“Kamu sendirian, Gat?” tanya Tyo. Leher lelaki itu sedikit menjulur, melihat jauh ke bangku yang disediakan untuk tamu, sekitar tiga meter di belakang mereka.“Ada Bapak sama Ibu di luar, Mas. Kalau Riana enggak bisa ikut, dia sudah banyak membolos kerja, jadi jatah cutinya habis,” jawab Jagat. Dia gosok matanya yang masih berair dengan punggung telapak tangannya. &
“Astaga, kau serius, Ri?” Vivi terpekik. “Aku sudah dandan cantik begini, mubazir dong.”Riana terkikik lirih. Antara rasa geli dan juga merasa bersalah.“Dasar Jagat. Bilang sama dia ya, Ri, dia hutang traktir sama aku! Dan aku pasti menagihnya suatu hari.”Riana berderai-derai. “Maafin ya, Kak.”Vivi menutup telepon dengan bersungut-sungut. Ah, dia tadi bersungguh-sungguh sudah dandan secantik mungkin untuk malam ini. Sengaja dia memakai dress biru yang dipilihkan oleh Reinald ….“Astaga!” Vivi terpekik lagi. Dia ingat sudah mengundang Reinald dan lelaki itu pun sudah menyanggupinya. Mata indah Vivi memandang jam tangannya.Kurang dari tiga puluh menit dari waktu yang sudah ditetapkan. Rasanya sungguh tidak sopan membatalkan undangan di menit-menit terakhir begini. Bagaimana kalau Rienald sudah berdandan seperti dia? Bagaimana kalau Reinald sudah membatalkan suatu acara ata
“Nak Jagat, Ibu sudah masak ayam bakar kesukaan Nak Jagat loh, apa enggak mau makan dulu?” Neni memberanikan diri mengetuk pintu kamar.Sejak pulang dari mengurus peralihan kepemilikan kebun salak, Jagat langsung mengurung diri di kamar. Kebetulan Riana juga sudah berangkat ke kantornya terlebih dahulu.Jagat membuka pintu. Wajahnya sedikit kusut.“Apa Nak Jagat sakit?” Neni bertanya lagi dengan sedikit nada was was. “Atau mau Ibu bikinin kopi aja ya? Biar sedikit seger di badan.”Lelaki itu tersenyum. “Kopi boleh, Bu. Tadi aku udah makan bareng Bu Reni.”Neni pun tersenyum. Kelegaan menguar di wajahnya.“Tuh kebetulan Bapak juga lagi ngopi, Ibu bikin getuk loh, singkongnya dari kebun kita sendiri. Bentar ya, Ibu bikinin kopi.”Jagat mengangguk. Lalu dia berjalan ke ruang tamu, menjejeri bapak mertuanya yang tengah santai sambil merokok. Di meja sudah terhidang segelas kopi dan getuk singkong yang Neni sebutkan tadi.“Nak Jagat, enggak pa-pa ya Bapak ngerokok di dalam rumah?” seloroh