“Nah gitu, paham kan?” Maya mengulur napas lega, setelah panjang lebar menjelaskan langkah-langkah cara memeriksa aplikasi perpesanan. Sahabat Riana sejak kuliah itu pernah menyadap telepon genggam milik mantan suaminya untuk mendapatkan bukti bahwa ayah dari anaknya itu memang punya perempuan lain. “Kalau ternyata benar disadap, kamu kirim pesan ke nomor ini, tapi kalau aman ke nomorku yang biasa. Nanti kita baru cerita, aku penasaran apa yang terjadi sama kamu. Pokoknya kamu harus cerita detail dan lengkap ya, Ri.”Telepon ditutup.Tangan Riana bergetaran seperti melihat hantu paling menyeramkan sedunia. Bulu kuduknya memang tidak meremang, tetapi tengkuknya sudah basah keringat. Ada yang bergolak dalam perutnya, semacam rasa sakit yang merangsang area tenggorokannya menjadi tidak nyaman.Ah … dada yang tadi terasa terhimpit tiba-tiba menjadi lega. Ternyata Jagat tidak menyadap teleponnya. Atau jangan-jangan karena belum sempat? Perut Riana bergolak kembali. (Aman, May.)Segera te
(Done, Ri. Kata pihak rumah sakit kurang lebih makan waktu tiga minggu, semoga bisa lebih cepat ya biar kita segera tau siapa ayah bayi itu yang sebenarnya).Riana membaca pesan dari Maya. Sebelum membalas, dia menoleh pada Anin yang berada dalam gendongan Sus Dian, mengajak bayi cantik itu bercanda sebentar. Meskipun di luar terlihat biasa, namun sesungguhnya batin Riana sedang dag dig dug. Layar laptop di depan Riana terbuka. Sekilas memang menyajikan tulisan-tulisan biasa. Namun di sela-sela tulisan dalam dokumen yang dia bagi secara online dengan Maya itu, mereka sedang saling mengirim pesan.Memakai google doc untuk bicara. Ah, ini ide yang cukup brilian yang melintas di kepala Riana sesaat sebelum berpisah dengan Maya di warung bakso tadi. Sejak berada di rumah ini, Riana jarang sekali berkutat dengan telepon genggam. Pasti akan sangat mencolok jika Riana tiba-tiba terlihat berlama-lama di layar telepon. Riana yakin, ketiga pekerja di rumahnya pasti tidak menyangka jika sesun
“Jangan!”Riana berteriak dalam tidur. Lengkingannya lebih kuat dari sebelumnya. Jagat gegas bangkit, sedikit sempoyongan berjalan ke sisi kanan, mendapatkan wajah Riana.“Dek, Dek.” Jagat mengguncang halus tubuh istrinya. Setelah lenguhan panjang, Riana membuka mata. Mengerjap kebingungan, dadanya naik turun seiring napasnya yang keluar masuk dengan kecepatan tinggi.“Mas,” Riana mendesah kalut. Tangannya mengulur dan sampai ke pundak Jagat. Sedetik kemudian mereka sudah saling berpelukan.“Kamu mimpi buruk?” tanya Jagat. Dielusnya kepala Riana dengan sayang, dia bisa merasakan napas Riana makin lama makin teratur.Hanya kepala perempuan itu yang terangguk menyentuh bahu Jagat sebagai responnya. Dalam beberapa detik seolah mereka membatu, tetap dalam posisi yang sama. “Aku mimpi rumah, Mas. Mimpi Ibu,” bisik Riana sembari mengurai pelukan. “Aku mau telpon Ibu sekarang, mimpinya bener-bener nyata, aku takut.”“Sst … tenanglah dulu, Dek. Masih larut malam, kasihan kalau Ibu terganggu
“Apa sih, Ri? Kok bengong gitu?” Ibu mengulum senyum. Masih berbalas lirikan mata dengan Jagat.“Wah sejak kapan rumah kita jadi bagus gini, Bu? Ibu enggak pernah cerita,” komentar Riana. Pikirannya langsung menuju kepada kelakuan Papa. Inikah yang menyebabkan Ibu dan Bapak begitu gigih memaksa dirinya menerima Anin?“Ayo toh, masuklah! Mau sampai kapan di situ?” Bapak dari arah dalam berteriak. Senyumnya lebih mengembang daripada milik Ibu.Selang beberapa detik, seorang bocah beranjak remaja berlari dari arah belakang Bapak.“Mbak Ri, mana adeknya? Mau liat adek lagi!” Fena, adik bungsunya yang berumur dua belas tahun celingak celinguk mencari keberadaan Anin. Ketika melihat Jagat yang sedang membawa baby seat car, dia berlari menuju mobil.“Dek, bantuin ini, lupa ya kalau sekarang ada Anin?” cetus Jagat yang disambut tawa renyah oleh seluruh keluarga Riana.Satu dua tetangga Riana yang kebetulan lewat menyapa sambil berkomentar tentang mobil. Keramahan ciri khas warga kampung di si
“Fen, kalau Mbak nganter kamu ke sekolah bareng Anin, kamu malu enggak?” Riana mulai melancarkan aksinya. Dia sudah bangun pagi hari dan bersiap, semoga rencananya lancar tanpa kendala.“Dianter naik mobil? Lah sekolah aku kan deket banget Mbak, jalan kaki aja sepuluh menit,” sahut Fena mengernyit.Riana tertawa. “Maksudnya jalan kaki bareng, Mbak pengen sekalian jalan-jalan.”“Ya ayuk! Kenapa malu, kan jalan sama Mbak-nya sendiri.”“Soalnya kalau ketemu temenmu, Mbak akan bilang kalau kamu sekarang udah jadi tante, Tante Fena.” Riana berderai. Terlebih melihat ekspresi wajah adiknya yang menjadi sedikit kesal.“Anin panggil aku ‘Mbak’ aja kenapa sih?” protesnya mengerucutkan bibir.“Ya enggak bisa, dia kan anak Mbak Riana ya berarti kamu tantenya.” Agung ikut ambil suara. “Tante-tante kok masih SD.”“Hei, kamu juga Om kan?”“Aku kan udah SMP.”“Udah, enggak papa Tante Fena, nanti sama Anin dikasih uang jajan yang banyak.”Fena seketika bersorak suka cita. Dia menjulurkan lidah kepada
“Ini, Ri.” Ibu mengulurkan sebuah amplop coklat. “Ini adalah tes DNA Anin, Jagat dan Pak Sulis. Di situ sudah terbukti semua, bahwa prosentasi kemiripan Jagat dan Anin hanya tujuh puluh empat koma. Kalau yang punya Pak Sulis itu sembilan puluh sembilan persen. Kata dokternya kemiripan Jagat dipicu karena dia satu ayah sama Anin.”Riana terlolong. Kenapa ibunya yang orang kampung ini tiba-tiba begitu lancar menjelaskan soal tes DNA? Sejenak perempuan itu membaca kertas yang sesungguhnya dia tidak paham sepenuhnya. Tanggal pengambilan tes dan hasil tes, tertera sekitar dua bulan yang lalu. “Berarti tes dilakukan setelah Anin lahir?” tanya Riana lirih. Saat Ibu mengangguk Riana melenguh. “Jadi Ibu sudah percaya sebelum ada tes ini? Jangan-jangan ini rekayasa.”“Rekayasa gimana? Itu tes asli, Ibu sama Bapak yang milih rumah sakitnya. Sebelum tes, Ibu minta semua disumpah di atas al quran, termasuk dokternya. Biar pun Ibu diketawain, enggak apa-apa … demi kamu. Ibu juga enggak mau anak Ib
“Loh, Dek. Dek, tunggu!” Jagat terpaksa mematikan mesin mobilnya, mengunci dan tergesa menyusul Riana yang berjalan cepat ke arah gerbang.“Udah sana, Mas. Susul Anin yang begitu berharga untuk keluargamu. Aku bisa pulang sendiri, kalau perlu aku balik lagi ke kampung,” ujar Riana seraya menepis saat tangan suaminya hendak menjamah pundaknya.“Dek, malu … banyak yang liatin kita loh. Kalau kamu mau pulang, ayo … aku juga mau pulang.”Riana berhenti melangkah. Kini suami istri itu berhadapan, mata mereka terlihat saling memancarkan luka.“Yuk kita pulang.” Tangan Jagat terulur lagi. Namun Riana mundur selangkah.“Anak kandungmu lagi di rumah sakit, mungkin sebentar lagi Karisma juga datang, kesempatan untuk ketemu sama selingkuhanmu jadi terbuka. Udah sana, pergi aja Mas!” jeritnya tertahan.Perempuan itu sudah tidak dapat lagi membendung emosi yang tiba-tiba berg
“Gila! Berarti bapak dan ibumu terlibat, Ri?” Maya menjerit di ujung telepon.Riana sudah tidak peduli, apakah di kamarnya ada cctv, apakah nanti Jagat tiba-tiba masuk … dia benar-benar butuh seseorang untuk menumpahkan semua sesak yang mengisi dada.“Ya begitulah. Tapi kurasa tugas mereka hanya ikut memaksa aku menerima Anin.”Setelah menjerit, kini Maya tergelak. “Pinter juga sih ibumu, Ri. Anaknya dapat, dirinya sendiri juga dapat. Aku jadi pengen main ke rumahmu, Ri. Pengen liat semewah apa rumahmu sekarang, meskipun dari luar gerbang perumahanmu juga bisa ditebak kira-kiranya.”“Jangan dulu, aku enggak ingin suamiku tau kalau kita berhubungan intens, setidaknya sampai hasil tes DNA keluar.”“Oke.” Nada kecewa terdengar di telinga Riana. “Pastiin itu rumahmu beneran loh, Ri, jangan cuma dipinjemin hihihi. Udah pernah liat sertifikatnya belum?”“Eh, aku e
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu
“Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka
“Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp
“Jagat.”Tyo tercekat ketika tahu siapa orang yang menjenguknya.“Mas.”Jagat tergesa mendekati Tyo, lalu mereka berpelukan. Sama-sama menggerungkan tangis tertahan, sama-sama saling menepuk punggung dengan kasih sayang yang tertahan.“Maafkan aku, Gat. Maafkan selama ini aku dengan sengaja dan tanpa sengaja telah melukai perasaan kamu.”Pelukan Jagat bertambah kencang. Sampai akhirnya Tyo melepaskan diri dan menuntun Jagat untuk duduk di sebuah bangku yang sudah disediakan. Kakak beradik itu pun duduk berjejeran.“Kamu sendirian, Gat?” tanya Tyo. Leher lelaki itu sedikit menjulur, melihat jauh ke bangku yang disediakan untuk tamu, sekitar tiga meter di belakang mereka.“Ada Bapak sama Ibu di luar, Mas. Kalau Riana enggak bisa ikut, dia sudah banyak membolos kerja, jadi jatah cutinya habis,” jawab Jagat. Dia gosok matanya yang masih berair dengan punggung telapak tangannya. &
“Astaga, kau serius, Ri?” Vivi terpekik. “Aku sudah dandan cantik begini, mubazir dong.”Riana terkikik lirih. Antara rasa geli dan juga merasa bersalah.“Dasar Jagat. Bilang sama dia ya, Ri, dia hutang traktir sama aku! Dan aku pasti menagihnya suatu hari.”Riana berderai-derai. “Maafin ya, Kak.”Vivi menutup telepon dengan bersungut-sungut. Ah, dia tadi bersungguh-sungguh sudah dandan secantik mungkin untuk malam ini. Sengaja dia memakai dress biru yang dipilihkan oleh Reinald ….“Astaga!” Vivi terpekik lagi. Dia ingat sudah mengundang Reinald dan lelaki itu pun sudah menyanggupinya. Mata indah Vivi memandang jam tangannya.Kurang dari tiga puluh menit dari waktu yang sudah ditetapkan. Rasanya sungguh tidak sopan membatalkan undangan di menit-menit terakhir begini. Bagaimana kalau Rienald sudah berdandan seperti dia? Bagaimana kalau Reinald sudah membatalkan suatu acara ata
“Nak Jagat, Ibu sudah masak ayam bakar kesukaan Nak Jagat loh, apa enggak mau makan dulu?” Neni memberanikan diri mengetuk pintu kamar.Sejak pulang dari mengurus peralihan kepemilikan kebun salak, Jagat langsung mengurung diri di kamar. Kebetulan Riana juga sudah berangkat ke kantornya terlebih dahulu.Jagat membuka pintu. Wajahnya sedikit kusut.“Apa Nak Jagat sakit?” Neni bertanya lagi dengan sedikit nada was was. “Atau mau Ibu bikinin kopi aja ya? Biar sedikit seger di badan.”Lelaki itu tersenyum. “Kopi boleh, Bu. Tadi aku udah makan bareng Bu Reni.”Neni pun tersenyum. Kelegaan menguar di wajahnya.“Tuh kebetulan Bapak juga lagi ngopi, Ibu bikin getuk loh, singkongnya dari kebun kita sendiri. Bentar ya, Ibu bikinin kopi.”Jagat mengangguk. Lalu dia berjalan ke ruang tamu, menjejeri bapak mertuanya yang tengah santai sambil merokok. Di meja sudah terhidang segelas kopi dan getuk singkong yang Neni sebutkan tadi.“Nak Jagat, enggak pa-pa ya Bapak ngerokok di dalam rumah?” seloroh