“Loh, Dek. Dek, tunggu!” Jagat terpaksa mematikan mesin mobilnya, mengunci dan tergesa menyusul Riana yang berjalan cepat ke arah gerbang.
“Udah sana, Mas. Susul Anin yang begitu berharga untuk keluargamu. Aku bisa pulang sendiri, kalau perlu aku balik lagi ke kampung,” ujar Riana seraya menepis saat tangan suaminya hendak menjamah pundaknya.
“Dek, malu … banyak yang liatin kita loh. Kalau kamu mau pulang, ayo … aku juga mau pulang.”
Riana berhenti melangkah. Kini suami istri itu berhadapan, mata mereka terlihat saling memancarkan luka.
“Yuk kita pulang.” Tangan Jagat terulur lagi. Namun Riana mundur selangkah.
“Anak kandungmu lagi di rumah sakit, mungkin sebentar lagi Karisma juga datang, kesempatan untuk ketemu sama selingkuhanmu jadi terbuka. Udah sana, pergi aja Mas!” jeritnya tertahan.
Perempuan itu sudah tidak dapat lagi membendung emosi yang tiba-tiba berg
“Gila! Berarti bapak dan ibumu terlibat, Ri?” Maya menjerit di ujung telepon.Riana sudah tidak peduli, apakah di kamarnya ada cctv, apakah nanti Jagat tiba-tiba masuk … dia benar-benar butuh seseorang untuk menumpahkan semua sesak yang mengisi dada.“Ya begitulah. Tapi kurasa tugas mereka hanya ikut memaksa aku menerima Anin.”Setelah menjerit, kini Maya tergelak. “Pinter juga sih ibumu, Ri. Anaknya dapat, dirinya sendiri juga dapat. Aku jadi pengen main ke rumahmu, Ri. Pengen liat semewah apa rumahmu sekarang, meskipun dari luar gerbang perumahanmu juga bisa ditebak kira-kiranya.”“Jangan dulu, aku enggak ingin suamiku tau kalau kita berhubungan intens, setidaknya sampai hasil tes DNA keluar.”“Oke.” Nada kecewa terdengar di telinga Riana. “Pastiin itu rumahmu beneran loh, Ri, jangan cuma dipinjemin hihihi. Udah pernah liat sertifikatnya belum?”“Eh, aku e
“Enggak, Pa, maaf … untuk yang satu ini aku enggak setuju.” Suara Jagat tegas menentang rencana kedua orang tuanya.“Tapi ini untuk kebaikan kita bersama, Papa curiga istrimu berhubungan sama istri Mas-mu. Bisa gawat kalau—““Enggak, Pa!” Jagat berseru. Sejenak dua lelaki itu saling diam. Inilah pertama kalinya Jagat berani memotong pembicaraan ayah kandungnya, memakai nada setengah membentak pula.Suami dari Riana itu merasakan jantung dalam dadanya tiba-tiba bergetaran. “Ma-maaf kalau aku lancang. Aku pikir rencana Papa yang satu ini sudah sangat keterlaluan, apakah tidak cukup memata-matai Riana terus menerus? Dan nyatanya selama ini istriku lurus-lurus aja kan?”Papa menghela napas di ujung telepon.“Kurasa tidak ada seorang pun istri di dunia ini, yang melalui hari-harinya dengan mudah setelah menerima bayi orang lain yang punya wajah mirip dengan wajah suaminya sendiri. Semua orang berubah dalam keadaan tertekan, dan tekanan melatih manusia menjadi lebih kuat. Aku pikir itu yan
“Bu, Bu … Bapak, Bu!” Sus Dian datang tanpa permisi dengan ribut. Untung saja, Riana segera menjatuhkan telepon genggam Jagat ke tempat semula ketika telinganya mendengar handle pintu bergerak.“Kenapa Bapak, Sus?” Riana reflek menjerit. Antara kaget dengan kedatangan Sus Dian sekaligus kaget dengan berita yang pengasuh itu bawa. Anin ikut terkejut, tentu saja karena jeritan Riana. Sekejap saja bibir bayi itu sudah menampakkan getaran berulang. Sebentar lagi pasti tangisannya pecah membahana.Sebelum semua itu terjadi Sus Dian sigap mengambil Anin dari tempat tidur dan segera menimangnya, sambil berkata, “Bapak ribut sama tamunya, Bu.”“Hah ribut gimana?” Riana bertanya tanpa memerlukan jawaban. Kedua kaki kurusnya segera berlari keluar, dan benar saja ... suara suaminya berteriak-teriak. Di ujung tangga Riana bertemu Pak Rusli dan Mak Wati yang tampak kebingungan.“Mas, sabar, Mas!” Riana berseru seraya mendekat. Sekuat tenaga dia mendorong badan Jagat yang tengah mencengkeram baju t
“Oh, tidak,” desis Riana. Mata perempuan itu membeliak sempurnaPada bagan yang diberi nama ‘Mas Tyo’ itu tidak ada tulisan apa-apa. Kosong! Jagat telah dengan sengaja menghapusnya. Tapi kenapa? Apa yang dia rahasiakan? Perut Riana bertambah mulas.Belum menyerah, Riana mengulik riwayat telepon. Dan benar, panggilan terakhir memang dilakukan kepada kakak kandungnya itu, bukan dengan Karisma. Namun secara jelas semalam dia mendengar nama selingkuhan Papa itu disebutkan.Jari Riana lincah mengetik nama Karisma. Entah harus kecewa atau senang, ternyata dia tidak menemukan nama ibu kandung Anin di kontak telepon suaminya.“Tapi bisa jadi kan, Mas Jagat menyembunyikan dengan cara menuliskan nama palsu.”Riana mengetikkan nama Anin, tetapi nama itu pun tidak ada. Jarinya menggulir ke bawah, mencari nomor asing yang pernah berbalas pesan dengan si empunya telepon. Ada beberapa, namun saat Riana baca isinya hanya soal pembicaraan kerjaan belaka.Alexander Damar. Mata Riana berhenti pada nama
“Ah gila aja, enggak mungkin lah,” tolak Riana. “Kamu bisa nongkrong di depan kantor suamimu, Ri. Kayaknya ada kedai es di situ. Pura-puralah kamu jajan di kedai itu. Nanti begitu mobil suamimu keluar, kamu ikutin. Udah pasti dia mau ke kantor notaris.”“Ck, kamu tau sendiri kan aku dikuntit Pak Rusli, May. Baru masuk ke kedai aja udah pasti Pak Rusli laporan ke Mas Jagat. Abis udah. Konyol idemu kali ini.”“Eh siapa tau sekarang udah enggak, Ri. Cobalah dulu, kupikir soal rumah ini perlu kamu perjuangkan loh. Minimal—““Iya!” Riana menukas galak, kemudian buru-buru mengakhiri panggilan. Telinganya malas mendengar kata ‘perceraian’ dari mulut sahabatnya itu. Apalagi yang dibicarakan adalah perceraian antara dirinya dan Jagat. Padahal mungkin saja ujung penyelidikannya ini akan mengarah ke situ.Ah, mengetahui kenyataan itu membuat hati Riana bergetaran. Tanda-tandanya jelas mengarah ke sana. Bagaimana mungkin dalam pernikahan suami dan istri tidak saling terbuka begini. Mungkin benar
“Begini balasanmu ke aku, Mas? Aku sudah bersedia mengalah, bahkan aku bohongi istriku demi ambisi Papa dan ambisimu!” Jagat bergerak cepat menyerang maju. Tentu saja yang menjadi sasarannya adalah kakaknya sendiri.Damar sigap berdiri di tengah mereka. Menghalangi Jagat untuk mencapai bosnya.Tyo tidak mundur sama sekali. Kini dia malah tertawa, nadanya mengejek. “Apa katamu? Ambisiku? Ambisiku atau ambisimu?”Jagat menyerang lagi. Damar pun kembali tangkas memegang bahu Jagat dan mendorong mundur. Pengacara itu berbeda sekali sikapnya. Jika tadi malam dia tampak mengalah dan tenang, namun kali ini dia begitu terlihat sama agresifnya dengan Jagat. Bedanya dia bertahan, suami Riana menyerang.“Minggir kamu, pengacara brengsek mata duitan!” hardik Jagat. Matanya nyalang.Tyo dan Damar spontan tertawa bersama mendengar dua kata terakhir yang muncul dari bibir Jagat dengan nada tinggi.“Ngaca, woi kalau ngatain orang, Gat. Kalau kamu ikuti semua aturanku kamu akan selamat. Kamu itu kacun
“Karisma adalah istri kedua Mas Tyo.”Riana spontan melangkah mundur. Mulutnya melongo meski matanya bekerja untuk memindai Jagat. Perempuan itu menatap suaminya, dari atas ke bawah, lalu berbalik lagi dari bawah ke atas. Seakan mata Riana adalan scanning yang ingin mendeteksi bahwa informasi yang baru dia dengar itu valid.“Jadi Anin—““Ya, Anin anak Karis dan Mas Tyo.”Kaki Riana serasa tak bertulang. Lunglai dan layu seketika. Perempuan itu harus menggunakan tangannya untuk mencengkeram tepian ranjang agar tubuhnya masih bisa tersangga dengan baik. Perlahan dia kembali duduk. “Ya Alloh,” desis Riana. Bahkan ucapan itu dia ulang-ulang terus, sampai gelombang jantungnya dirasa lebih stabil. Di lain sisi dia bersyukur bahwa ternyata Anin benar bukan darah daging suaminya, tetapi tidak menampik jika hal ini sangat membuatnya terkejut.“Itulah kenapa Anin mirip aku, kami sebagai adik kakak memang mirip kan?”Kali ini Riana mengangguk mengiyakan. Tyo dan Jagat memang mirip, wajahnya men
“Coba saja, Gat! Aku sama sekali tidak takut,” seru Tyo tertawa. Namun semua tahu bahwa tawa Tyo terdengar terlalu dibuat-buat.Sampai di luar pagar rumah, ada mobil jenis city car baru berwarna merah menyala. Mungkin ini mobil yang pernah dijanjikan Papa. Riana melirik Jagat, ternyata lelaki itu juga sedang memandang kendaraan cantik di depan mereka. Tatapannya nanar, entah apa yang ada dalam hati suaminya. Perempuan dengan rambut sebahu itu bisa mendengar lenguhan panjang dari mulut Jagat.“Ayo kita pulang, Dek!” lirih Jagat.“Pulang kemana?” “Rumah kita. Rumah kita yang dulu.”Riana tertawa. “Aku serius, rumah kita yang dulu masih milik kita. Niatnya akan aku sewakan tapi berhubung belum ada yang sewa jadi kupakai untuk tempat usaha kecil-kecilan,” sahut Jagat. “Aku tidak berminat satu rumah lagi dengan orang yang sudah tega sama aku,” kata Riana pelan. Dia tekan keinginannya untuk bertanya tentang usaha yang baru saja Jagat ceritakan.“Dek—“Riana menyentak keras saat Jagat hen
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu
“Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka
“Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp
“Jagat.”Tyo tercekat ketika tahu siapa orang yang menjenguknya.“Mas.”Jagat tergesa mendekati Tyo, lalu mereka berpelukan. Sama-sama menggerungkan tangis tertahan, sama-sama saling menepuk punggung dengan kasih sayang yang tertahan.“Maafkan aku, Gat. Maafkan selama ini aku dengan sengaja dan tanpa sengaja telah melukai perasaan kamu.”Pelukan Jagat bertambah kencang. Sampai akhirnya Tyo melepaskan diri dan menuntun Jagat untuk duduk di sebuah bangku yang sudah disediakan. Kakak beradik itu pun duduk berjejeran.“Kamu sendirian, Gat?” tanya Tyo. Leher lelaki itu sedikit menjulur, melihat jauh ke bangku yang disediakan untuk tamu, sekitar tiga meter di belakang mereka.“Ada Bapak sama Ibu di luar, Mas. Kalau Riana enggak bisa ikut, dia sudah banyak membolos kerja, jadi jatah cutinya habis,” jawab Jagat. Dia gosok matanya yang masih berair dengan punggung telapak tangannya. &
“Astaga, kau serius, Ri?” Vivi terpekik. “Aku sudah dandan cantik begini, mubazir dong.”Riana terkikik lirih. Antara rasa geli dan juga merasa bersalah.“Dasar Jagat. Bilang sama dia ya, Ri, dia hutang traktir sama aku! Dan aku pasti menagihnya suatu hari.”Riana berderai-derai. “Maafin ya, Kak.”Vivi menutup telepon dengan bersungut-sungut. Ah, dia tadi bersungguh-sungguh sudah dandan secantik mungkin untuk malam ini. Sengaja dia memakai dress biru yang dipilihkan oleh Reinald ….“Astaga!” Vivi terpekik lagi. Dia ingat sudah mengundang Reinald dan lelaki itu pun sudah menyanggupinya. Mata indah Vivi memandang jam tangannya.Kurang dari tiga puluh menit dari waktu yang sudah ditetapkan. Rasanya sungguh tidak sopan membatalkan undangan di menit-menit terakhir begini. Bagaimana kalau Rienald sudah berdandan seperti dia? Bagaimana kalau Reinald sudah membatalkan suatu acara ata
“Nak Jagat, Ibu sudah masak ayam bakar kesukaan Nak Jagat loh, apa enggak mau makan dulu?” Neni memberanikan diri mengetuk pintu kamar.Sejak pulang dari mengurus peralihan kepemilikan kebun salak, Jagat langsung mengurung diri di kamar. Kebetulan Riana juga sudah berangkat ke kantornya terlebih dahulu.Jagat membuka pintu. Wajahnya sedikit kusut.“Apa Nak Jagat sakit?” Neni bertanya lagi dengan sedikit nada was was. “Atau mau Ibu bikinin kopi aja ya? Biar sedikit seger di badan.”Lelaki itu tersenyum. “Kopi boleh, Bu. Tadi aku udah makan bareng Bu Reni.”Neni pun tersenyum. Kelegaan menguar di wajahnya.“Tuh kebetulan Bapak juga lagi ngopi, Ibu bikin getuk loh, singkongnya dari kebun kita sendiri. Bentar ya, Ibu bikinin kopi.”Jagat mengangguk. Lalu dia berjalan ke ruang tamu, menjejeri bapak mertuanya yang tengah santai sambil merokok. Di meja sudah terhidang segelas kopi dan getuk singkong yang Neni sebutkan tadi.“Nak Jagat, enggak pa-pa ya Bapak ngerokok di dalam rumah?” seloroh