“Ah gila aja, enggak mungkin lah,” tolak Riana. “Kamu bisa nongkrong di depan kantor suamimu, Ri. Kayaknya ada kedai es di situ. Pura-puralah kamu jajan di kedai itu. Nanti begitu mobil suamimu keluar, kamu ikutin. Udah pasti dia mau ke kantor notaris.”“Ck, kamu tau sendiri kan aku dikuntit Pak Rusli, May. Baru masuk ke kedai aja udah pasti Pak Rusli laporan ke Mas Jagat. Abis udah. Konyol idemu kali ini.”“Eh siapa tau sekarang udah enggak, Ri. Cobalah dulu, kupikir soal rumah ini perlu kamu perjuangkan loh. Minimal—““Iya!” Riana menukas galak, kemudian buru-buru mengakhiri panggilan. Telinganya malas mendengar kata ‘perceraian’ dari mulut sahabatnya itu. Apalagi yang dibicarakan adalah perceraian antara dirinya dan Jagat. Padahal mungkin saja ujung penyelidikannya ini akan mengarah ke situ.Ah, mengetahui kenyataan itu membuat hati Riana bergetaran. Tanda-tandanya jelas mengarah ke sana. Bagaimana mungkin dalam pernikahan suami dan istri tidak saling terbuka begini. Mungkin benar
“Begini balasanmu ke aku, Mas? Aku sudah bersedia mengalah, bahkan aku bohongi istriku demi ambisi Papa dan ambisimu!” Jagat bergerak cepat menyerang maju. Tentu saja yang menjadi sasarannya adalah kakaknya sendiri.Damar sigap berdiri di tengah mereka. Menghalangi Jagat untuk mencapai bosnya.Tyo tidak mundur sama sekali. Kini dia malah tertawa, nadanya mengejek. “Apa katamu? Ambisiku? Ambisiku atau ambisimu?”Jagat menyerang lagi. Damar pun kembali tangkas memegang bahu Jagat dan mendorong mundur. Pengacara itu berbeda sekali sikapnya. Jika tadi malam dia tampak mengalah dan tenang, namun kali ini dia begitu terlihat sama agresifnya dengan Jagat. Bedanya dia bertahan, suami Riana menyerang.“Minggir kamu, pengacara brengsek mata duitan!” hardik Jagat. Matanya nyalang.Tyo dan Damar spontan tertawa bersama mendengar dua kata terakhir yang muncul dari bibir Jagat dengan nada tinggi.“Ngaca, woi kalau ngatain orang, Gat. Kalau kamu ikuti semua aturanku kamu akan selamat. Kamu itu kacun
“Karisma adalah istri kedua Mas Tyo.”Riana spontan melangkah mundur. Mulutnya melongo meski matanya bekerja untuk memindai Jagat. Perempuan itu menatap suaminya, dari atas ke bawah, lalu berbalik lagi dari bawah ke atas. Seakan mata Riana adalan scanning yang ingin mendeteksi bahwa informasi yang baru dia dengar itu valid.“Jadi Anin—““Ya, Anin anak Karis dan Mas Tyo.”Kaki Riana serasa tak bertulang. Lunglai dan layu seketika. Perempuan itu harus menggunakan tangannya untuk mencengkeram tepian ranjang agar tubuhnya masih bisa tersangga dengan baik. Perlahan dia kembali duduk. “Ya Alloh,” desis Riana. Bahkan ucapan itu dia ulang-ulang terus, sampai gelombang jantungnya dirasa lebih stabil. Di lain sisi dia bersyukur bahwa ternyata Anin benar bukan darah daging suaminya, tetapi tidak menampik jika hal ini sangat membuatnya terkejut.“Itulah kenapa Anin mirip aku, kami sebagai adik kakak memang mirip kan?”Kali ini Riana mengangguk mengiyakan. Tyo dan Jagat memang mirip, wajahnya men
“Coba saja, Gat! Aku sama sekali tidak takut,” seru Tyo tertawa. Namun semua tahu bahwa tawa Tyo terdengar terlalu dibuat-buat.Sampai di luar pagar rumah, ada mobil jenis city car baru berwarna merah menyala. Mungkin ini mobil yang pernah dijanjikan Papa. Riana melirik Jagat, ternyata lelaki itu juga sedang memandang kendaraan cantik di depan mereka. Tatapannya nanar, entah apa yang ada dalam hati suaminya. Perempuan dengan rambut sebahu itu bisa mendengar lenguhan panjang dari mulut Jagat.“Ayo kita pulang, Dek!” lirih Jagat.“Pulang kemana?” “Rumah kita. Rumah kita yang dulu.”Riana tertawa. “Aku serius, rumah kita yang dulu masih milik kita. Niatnya akan aku sewakan tapi berhubung belum ada yang sewa jadi kupakai untuk tempat usaha kecil-kecilan,” sahut Jagat. “Aku tidak berminat satu rumah lagi dengan orang yang sudah tega sama aku,” kata Riana pelan. Dia tekan keinginannya untuk bertanya tentang usaha yang baru saja Jagat ceritakan.“Dek—“Riana menyentak keras saat Jagat hen
“Ada apa ribut-ribut tadi, Pi? Masih sepagi ini,” tanya Karisma saat Tyo baru masuk ke kamar. Meskipun dia sebenarnya sudah tahu bahwa adik kandung suami sirinya itu datang untuk mengambil motor dan beberapa barang pribadi. Karisma sempat mengintip saat Jagat dan Tyo bertengkar di depan kamar ini.“Ah, biasa orang miskin. Barang enggak seberapa aja diributin,” sahut Tyo kesal. Dia banting badannya sendiri ke atas kasur. Dekat tubuh Karisma.“Kayaknya kita udah perlu satpam deh, Pi, Mami takut nanti kalau pas Papi enggak di rumah, adik Papi itu datang dan ngajak ribut, gimana?”Tyo melenguh panjang. “Iya deh, nanti Papi minta Damar untuk urus ya.”“Terus itu barang-barang mereka di kamar utama segera beresin ya, Pi. Mami enggak nyaman tidur di sini, enakan di kamar sebelah, lebih luas.”“Iya, Papi juga udah bilang sama Mak Wati nanti suruh bereskan semua, dan kirim lagi ke rumah Jagat.”Karisma tersenyum senang. Perempuan cantik itu melingkarkan kedua lengannya di pinggang Tyo, lalu di
Karisma melirik Tyo dengan sebal. Lelaki itu terlihat segera meraih telepon genggamnya dan tergopoh-gopoh menjauh untuk kemudian hilang di balik pintu. Tak berapa lama Tyo kembali lagi dengan wajah cengengesan.“Mi, Papi kayaknya kudu cepet balik Jakarta. Ternyata terbangnya nanti sore, Papi kirain besok,” ujarnya santai.“Terbang? Terbang ke mana?”“Ke Denpasar—““Denpasar?” Karisma memotong ucapan Tyo dengan level kaget yang tinggi, sehingga lebih terdengar seperti jeritan. “Papi mau liburan?”“Loh, kan Papi udah cerita bulan ini Papi mau lib … pergi ke Denpasar, ada sedikit kepentingan. Biasa … bisnis, Mi,” jawab Tyo, hampir saja selip bicara.“Terus Papi mau langsung buru-buru ke Jakarta?” Karisma sudah menekuk tangannya ke depan. Sikap tubuhnya sudah tidak lagi santai.Tyo diam.“Baru … aja tadi bilang ada yang mau akting nyebelin, yang katanya mau memperlihatkan kebosanan.” Bibir Karisma mengerucut. “Ditelpon aja udah girang bukan main dan langsung diiyakan.”“Siapa yang girang?
“Terus kita bisa apa, Mas?” sahut Riana dengan nada sedikit kesal. Entah mengapa dia jadi ikut terpancing emosi dengan suara suaminya yang didengar seperti sebuah bentakan. Mungkin karena efek kurang tidur atau memang sedang lelah secara mental.“Kita udah coba telpon Kak Vivi, tapi emang enggak bisa kan?” Suara Riana menurun. “Bahkan tadi kita coba pakai nomor Maya, biarpun tersambung tapi enggak diangkat juga.”“Apa kita akan diam saja, kalau keluargamu kenapa-napa gimana, Dek?”Riana menghela napas. “Aku justru takut keluargaku jadi korban kalau kita melawan mereka sendirian, Mas. Papa kamu kan lumayan punya pengaruh, punya uang … kita tetap butuh Kak Vivi.”Jagat terdiam. Udara dari mulut dan hidungnya terdengar begitu menderu di telinga Riana. Beberapa saat senyap. Gundah dan bingung menerpa keduanya.Tadi pagi, di teras rumah Maya, baik Jagat maupun Riana akhirnya sepakat untuk membongkar perbuatan busuk Tyo dan Papa kepada Vivi. Bukan hanya semata-mata keinginan untuk membalas
“Dan aku harus percaya semua yang kamu katakan, Ri?” Vivi tertawa fals. “Sebenarnya yang kamu mau itu hanya uang kan? Orang seperti kamu itu memang suka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Orang seperti kamu itu bisanya iri, padahal kami kerja keras, tapi selalu disangka mendapatkan semuanya karena keberuntungan, karena orang tua.”Setelah menyemburkan kalimat yang entah apa maksudnya, Vivi terengah-engah. Dia memang baru saja bicara secepat kereta, seakan-akan takut jika Riana akan menyela.“Terserah Kak Vivi mau berpikir apa. Sedari awal aku tidak pernah minta apa-apa, itu semua murni keinginan Mas Jagat.”“Ya sama aja, kalian itu kan suami istri, dua kepala satu otak,” Vivi menukas. Meski terdengar ada getaran dalam suaranya, perempuan cantik itu memaksa tertawa lagi.“Aku bicara di sini hanya kasihan sama Kak Vi—““Aku tidak perlu dikasihani, Ri!” tukas Vivi dengan nada tinggi, tersinggung berat bahwa orang sesukses dirinya masih perlu dikasihani orang lain. “Aku adal