“Halo, Yo. Gimana? Berhasil kan?” Papa menjawab dengan nada bercampur, antara antusias dan panik. Panik sebab mendengar suara anak kesayangannya bernada sendu.“Vivi minta kita mengembalikan semua uang yang sudah aku ambil, Pa,” Tyo menjawab dengan lemas. Badan, mental dan perasaannya semua terkulai layu. Lelaki itu kini teronggok di pinggir pembaringan, betul-betul kehabisan tenaga.“Itu gampang, Yo,” kata Papa.“Vivi hanya kasih waktu sampai jam empat sore ini , Pa. Semuanya … gimana dengan uang yang sudah kita pakai untuk membeli tanah dan mobil?”Kali ini Papa tidak langsung menjawab. Namun Tyo mendengar suara Papa dan Mama tampak berdiskusi. Dia menunggu saja dengan pasrah.“Yo, kita akan mengirim mobil dan sertifikat tanah hari ini. Papa akan suruh Pak Rusli mengantarnya ke rumahmu. Pastilah sore hari dia sudah sampai, nanti kamu kasih tau dulu ke Vivi soal ini ya. Untuk uang akan segera Mama transfer,” ucap Papa.Tyo menangis menggugu seperti anak kecil kalah dalam sebuah perma
“Halo selamat pagi suamiku, gimana tidurnya? Nyenyak?” Vivi melempar senyum ketika melihat Tyo beringsut mendekati meja makan. Tyo memaksa tersenyum, dan gagal total, mulutnya malah terlihat seperti mencebik.Lelaki itu sudah berdiri di samping sang istri, membungkuk sedikit lalu memberi sekilas kecupan. Sebelum peristiwa ini terjadi, Tyo melakukan dengan terpaksa sebagai rutinitas belaka, kini malah berubah menjadi semacam beban. Jujur, dia takut Vivi menolak ciumannya, tetapi ternyata tidak. Perempuan cantik itu bahkan tertawa renyah sembari mengusap pipi Tyo saat wajah mereka menyatu beberapa detik.Dengan menghembus napas lega, Tyo melempar senyum dan mengambil duduk di sebelah Vivi. Sang istri tiba-tiba berdiri, mengambilkannya piring, mengisinya dengan beberapa lembar pancake serta menyiramnya dengan selai blueberry yang tidak terlalu kental. Sebelum menyodorkan kepada Tyo, Vivi menambahkan lima biji anggur muscat berwarna hijau.Dalam keadaan normal, Tyo akan berjingkrak sambil
“Brengsek!” Sulis membanting telepon genggamnya. Bunyi jatuhnya benda elektronik itu sangat keras, menandakan seberapa dahsyat sang empunya menggunakan kekuatan untuk menghancurkan benda itu. Hancur lebur berkeping-keping.Widya hanya terlolong di kursinya. Sesungguhnya dia juga ingin mengekspresikan amarah seperti sang suami, tetapi tubuhnya malah kaku. Bukan hanya tubuhnya, semua yang menempel di badannya terasa menjadi kaku. Bahkan untuk menangis, perempuan lima puluh satu tahun itu merasa kesulitan. Ibu kandung dari Tyo dan Jagat itu hanya terus menerus terlolong, menyaksikan suaminya mengamuk. Memporakporandakan isi rumah mereka.“Kita harus balas, Ma!” Sulis mondar mandir sembari memegang kepala, mengusap janggutnya … berjalan ke pojok lain, mondar mandir lagi … terus menerus seperti itu.“Kita harus balas, harus balas.” Mulutnya pun tidak bisa berhenti meracau.Setelah hampir sepuluh menit melakukan hal itu, Sulis duduk terkulai di sisi Widya. Badannya lemas. Serasa emosi telah
“Tapi Nyonya harus makan, Nyonya sudah lemas begini, sedari tadi muntah-muntah terus. Bibi jadi takut,” ucap asisten rumah tangga Vivi. Tangan keriputnya sedang menjelajah tubuh Vivi, membaluri dengan minyak aroma terapi. Memijit setiap inci kulit halus majikannya.“Bibi masakin tim ayam ya, Nya. Kalau Nyonya menolak makan, takut makin parah. Atau Bibi panggil dokter Mayra ke sini ya.”“Jangan!” Vivi berseru. Ide paling buruk adalah membiarkan Mayra tahu soal ini. Meskipun mereka akrab, bahkan mengaku sahabat, tetapi Vivi tahu di belakangnya Mayra suka menjelek-jelekkan dirinya.“Jangan, Bi. Tidak perlu, saya minta dibuatkan jus apel saja,” kata Vivi lagi.“Baik.” Perempuan setengah baya itu sudah selesai memijit. Dia kini membantu Vivi memakai pakaiannya kembali. Kepala Bibi menunduk, sama sekali tidak ingin melihat majikannya dalam keadaan seperti ini. Terakhir kali dia melihat Nyonya Vivi-nya separah ini adalah ketika Nyonya Tua alias Oma meninggal dunia tiga tahun lalu.Selama dia
“Saya di sini, untuk mengklarifikasi berita-berita simpang siur tentang berita putri saya, Nawangsari Karisma Dewi. Memang betul putri saya ada hubungan dengan dosen yang sedang gencar diberitakan, tetapi perlu saya tegaskan hubungan mereka benar-benar hanya sebatas dosen dan mahasiswinya.”Papa Karisma sengaja berhenti bicara sejenak. Lelaki itu menoleh ke kanan dan ke kiri, senyumnya lebar diumbar tanpa batas. Kelihatan betul bahwa dia menikmati antusias para wartawan yang mengerubutinya.“Yang sebenarnya terjadi adalah putri saya sudah menikah dan kini mempunyai seorang bayi cantik, dan yang jelas itu bukan bayinya Pak Dosen ya ….” Papa Karisma ikut tertawa ketika para wartawan tertawa. “Ini dia suaminya.”Seorang lelaki, dengan wajah biasa, penampilan biasa dengan gestur tubuh gugup dan bibir bergetar, menggandeng tangan Karisma maju. Kedua pasangan itu terlihat bertatapan sejenak dan saling tersenyum. Senyum yang sangat dipaksakan“Kenalin dong Pak menantunya!” teriak wartawan ya
“Minumlah, Mas, semoga jadi lebih tenang,” kata Riana.Jagat mengambil cangkir berisi teh hangat yang disodorkan sang istri dengan tangan bergetar. Saking bergetarnya hingga permukaan air menimbulkan titik gelombang. Riana gegas membantu sang suami dengan memegangi cangkir tersebut, Jagat sempat mengulas senyum senang. Seteguk dua teguk masuk ke mulut lelaki itu. Setelah itu Jagat kembali menyandarkan punggungnya ke sofa ruang tamu Maya, membiarkan Riana mengambil alih cangkir itu dan meletakkan kembali ke meja.“Mas sudah makan?”Jagat menggeleng.“Enggak usah, Dek, aku enggak lapar,” kata Jagat saat melihat Riana berdiri. Dia sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh istrinya.“Kalau boleh aku cuma pengen bicara sama kamu,” Jagat bicara lagi. Pandangannya menuju Riana, meski badannya terkulai lemas.Maya dan Riana bertatapan. Ibu kandung dari Tian itu mengedipkan mata, lalu mengangguk.Riana menghela napas dalam-dalam. “Mas, sebaiknya cuci muka dulu sana. Kita makan di luar yuk, aku t
“Maya ….” Riana gegas berdiri, dia merentangkan tangan saat melihat sahabatnya itu berlari menuju ke arahnya. “Mas Jagat, May, Mas Jagat ….”Tangisan Riana melolong panjang, membuat siapa saja yang mendengarnya menjadi teriris. Kedua perempuan itu saling menautkan lengan. Maya membiarkan Riana menangis beberapa lama dalam pelukannya.“May, ini semua salahku, salahku ….” Riana meracau di sela-sela tangisannya.“Ssst … jangan ngomong gitu, Ri. Kamu sama sekali enggak salah,” sahut Maya lembut. Tangannya terus mengelus-elus punggung Riana dengan sayang. “Tapi ini salahku, udah teledor enggak ngunci pintu rumah.” Tangis Riana pecah lagi. Tangisan yang demikian menyayat hati, membuat Maya ikut meneteskan air mata.“Sudah, Ri, sabarlah, ayo kita duduk.” Maya membawa Riana pada bangku di mana tadi perempuan dengan rambut sebahu itu duduk. Maya sibuk menghalau air mata yang tumpah ruah di wajah sahabatnya, meski pipinya sendiri pun sudah basah.Dengan tangan bergetar, Riana susah payah membu
“Hah?”“Apa?”Riana terpekik. Begitu kencang hingga petugas yang berada dalam ruangan itu mendatangi dia dan memperingatkan untuk tidak berbicara terlalu kencang sebab dikuatirkan akan mengganggu pasien lainnya.“Kalau Ibu tidak bisa tertib, saya terpaksa akan meminta Ibu keluar dari sini,” tukas petugas itu judes. Dia petugas yang lain, bukan lelaki yang tadi mengantar Riana masuk. Lirikan mata petugas itu tajam mengintimidasi.“Maafkan saya, barusan saya terkejut, jadi spontan menjerit. Saya janji enggak akan berisik lagi,” sahut Riana seraya mengangguk, disusul dengan bentuk mulutnya yang membuat seringai malu. Sedetik kemudian dia merasa bodoh, kenapa harus memberi alasan panjang begitu? Sebenarnya cukup dengan ucapan maaf saja.Saat pandangannya kembali kepada Jagat, lelaki itu tengah tersenyum kecil.“Terus kita harus gimana, Mas?” Riana bertanya. Nadanya terselimut segaris kekalutan.“Yah, sekarang aku akan buktikan sama kamu, Dek.”“Buktikan apa? Dengan membahayakan diri Mas s