“Halo selamat pagi suamiku, gimana tidurnya? Nyenyak?” Vivi melempar senyum ketika melihat Tyo beringsut mendekati meja makan. Tyo memaksa tersenyum, dan gagal total, mulutnya malah terlihat seperti mencebik.Lelaki itu sudah berdiri di samping sang istri, membungkuk sedikit lalu memberi sekilas kecupan. Sebelum peristiwa ini terjadi, Tyo melakukan dengan terpaksa sebagai rutinitas belaka, kini malah berubah menjadi semacam beban. Jujur, dia takut Vivi menolak ciumannya, tetapi ternyata tidak. Perempuan cantik itu bahkan tertawa renyah sembari mengusap pipi Tyo saat wajah mereka menyatu beberapa detik.Dengan menghembus napas lega, Tyo melempar senyum dan mengambil duduk di sebelah Vivi. Sang istri tiba-tiba berdiri, mengambilkannya piring, mengisinya dengan beberapa lembar pancake serta menyiramnya dengan selai blueberry yang tidak terlalu kental. Sebelum menyodorkan kepada Tyo, Vivi menambahkan lima biji anggur muscat berwarna hijau.Dalam keadaan normal, Tyo akan berjingkrak sambil
“Brengsek!” Sulis membanting telepon genggamnya. Bunyi jatuhnya benda elektronik itu sangat keras, menandakan seberapa dahsyat sang empunya menggunakan kekuatan untuk menghancurkan benda itu. Hancur lebur berkeping-keping.Widya hanya terlolong di kursinya. Sesungguhnya dia juga ingin mengekspresikan amarah seperti sang suami, tetapi tubuhnya malah kaku. Bukan hanya tubuhnya, semua yang menempel di badannya terasa menjadi kaku. Bahkan untuk menangis, perempuan lima puluh satu tahun itu merasa kesulitan. Ibu kandung dari Tyo dan Jagat itu hanya terus menerus terlolong, menyaksikan suaminya mengamuk. Memporakporandakan isi rumah mereka.“Kita harus balas, Ma!” Sulis mondar mandir sembari memegang kepala, mengusap janggutnya … berjalan ke pojok lain, mondar mandir lagi … terus menerus seperti itu.“Kita harus balas, harus balas.” Mulutnya pun tidak bisa berhenti meracau.Setelah hampir sepuluh menit melakukan hal itu, Sulis duduk terkulai di sisi Widya. Badannya lemas. Serasa emosi telah
“Tapi Nyonya harus makan, Nyonya sudah lemas begini, sedari tadi muntah-muntah terus. Bibi jadi takut,” ucap asisten rumah tangga Vivi. Tangan keriputnya sedang menjelajah tubuh Vivi, membaluri dengan minyak aroma terapi. Memijit setiap inci kulit halus majikannya.“Bibi masakin tim ayam ya, Nya. Kalau Nyonya menolak makan, takut makin parah. Atau Bibi panggil dokter Mayra ke sini ya.”“Jangan!” Vivi berseru. Ide paling buruk adalah membiarkan Mayra tahu soal ini. Meskipun mereka akrab, bahkan mengaku sahabat, tetapi Vivi tahu di belakangnya Mayra suka menjelek-jelekkan dirinya.“Jangan, Bi. Tidak perlu, saya minta dibuatkan jus apel saja,” kata Vivi lagi.“Baik.” Perempuan setengah baya itu sudah selesai memijit. Dia kini membantu Vivi memakai pakaiannya kembali. Kepala Bibi menunduk, sama sekali tidak ingin melihat majikannya dalam keadaan seperti ini. Terakhir kali dia melihat Nyonya Vivi-nya separah ini adalah ketika Nyonya Tua alias Oma meninggal dunia tiga tahun lalu.Selama dia
“Saya di sini, untuk mengklarifikasi berita-berita simpang siur tentang berita putri saya, Nawangsari Karisma Dewi. Memang betul putri saya ada hubungan dengan dosen yang sedang gencar diberitakan, tetapi perlu saya tegaskan hubungan mereka benar-benar hanya sebatas dosen dan mahasiswinya.”Papa Karisma sengaja berhenti bicara sejenak. Lelaki itu menoleh ke kanan dan ke kiri, senyumnya lebar diumbar tanpa batas. Kelihatan betul bahwa dia menikmati antusias para wartawan yang mengerubutinya.“Yang sebenarnya terjadi adalah putri saya sudah menikah dan kini mempunyai seorang bayi cantik, dan yang jelas itu bukan bayinya Pak Dosen ya ….” Papa Karisma ikut tertawa ketika para wartawan tertawa. “Ini dia suaminya.”Seorang lelaki, dengan wajah biasa, penampilan biasa dengan gestur tubuh gugup dan bibir bergetar, menggandeng tangan Karisma maju. Kedua pasangan itu terlihat bertatapan sejenak dan saling tersenyum. Senyum yang sangat dipaksakan“Kenalin dong Pak menantunya!” teriak wartawan ya
“Minumlah, Mas, semoga jadi lebih tenang,” kata Riana.Jagat mengambil cangkir berisi teh hangat yang disodorkan sang istri dengan tangan bergetar. Saking bergetarnya hingga permukaan air menimbulkan titik gelombang. Riana gegas membantu sang suami dengan memegangi cangkir tersebut, Jagat sempat mengulas senyum senang. Seteguk dua teguk masuk ke mulut lelaki itu. Setelah itu Jagat kembali menyandarkan punggungnya ke sofa ruang tamu Maya, membiarkan Riana mengambil alih cangkir itu dan meletakkan kembali ke meja.“Mas sudah makan?”Jagat menggeleng.“Enggak usah, Dek, aku enggak lapar,” kata Jagat saat melihat Riana berdiri. Dia sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh istrinya.“Kalau boleh aku cuma pengen bicara sama kamu,” Jagat bicara lagi. Pandangannya menuju Riana, meski badannya terkulai lemas.Maya dan Riana bertatapan. Ibu kandung dari Tian itu mengedipkan mata, lalu mengangguk.Riana menghela napas dalam-dalam. “Mas, sebaiknya cuci muka dulu sana. Kita makan di luar yuk, aku t
“Maya ….” Riana gegas berdiri, dia merentangkan tangan saat melihat sahabatnya itu berlari menuju ke arahnya. “Mas Jagat, May, Mas Jagat ….”Tangisan Riana melolong panjang, membuat siapa saja yang mendengarnya menjadi teriris. Kedua perempuan itu saling menautkan lengan. Maya membiarkan Riana menangis beberapa lama dalam pelukannya.“May, ini semua salahku, salahku ….” Riana meracau di sela-sela tangisannya.“Ssst … jangan ngomong gitu, Ri. Kamu sama sekali enggak salah,” sahut Maya lembut. Tangannya terus mengelus-elus punggung Riana dengan sayang. “Tapi ini salahku, udah teledor enggak ngunci pintu rumah.” Tangis Riana pecah lagi. Tangisan yang demikian menyayat hati, membuat Maya ikut meneteskan air mata.“Sudah, Ri, sabarlah, ayo kita duduk.” Maya membawa Riana pada bangku di mana tadi perempuan dengan rambut sebahu itu duduk. Maya sibuk menghalau air mata yang tumpah ruah di wajah sahabatnya, meski pipinya sendiri pun sudah basah.Dengan tangan bergetar, Riana susah payah membu
“Hah?”“Apa?”Riana terpekik. Begitu kencang hingga petugas yang berada dalam ruangan itu mendatangi dia dan memperingatkan untuk tidak berbicara terlalu kencang sebab dikuatirkan akan mengganggu pasien lainnya.“Kalau Ibu tidak bisa tertib, saya terpaksa akan meminta Ibu keluar dari sini,” tukas petugas itu judes. Dia petugas yang lain, bukan lelaki yang tadi mengantar Riana masuk. Lirikan mata petugas itu tajam mengintimidasi.“Maafkan saya, barusan saya terkejut, jadi spontan menjerit. Saya janji enggak akan berisik lagi,” sahut Riana seraya mengangguk, disusul dengan bentuk mulutnya yang membuat seringai malu. Sedetik kemudian dia merasa bodoh, kenapa harus memberi alasan panjang begitu? Sebenarnya cukup dengan ucapan maaf saja.Saat pandangannya kembali kepada Jagat, lelaki itu tengah tersenyum kecil.“Terus kita harus gimana, Mas?” Riana bertanya. Nadanya terselimut segaris kekalutan.“Yah, sekarang aku akan buktikan sama kamu, Dek.”“Buktikan apa? Dengan membahayakan diri Mas s
“Wah, ngawur sekali tuduhan Anda. Anak saya itu terpelajar, lulusan dari luar negeri, jadi tidak mungkin berbuat semacam itu. Apalagi Jagat adalah adik kandungnya sendiri. Sudah jelas mustahil sangkaan Anda, sama sekali tidak berdasar!” Sulis menyangkal mati-matian informasi dari dua orang lelaki yang sedang duduk di ruang tamunya.Sementara sang suami terus menerus membantah, Widya hanya terpaku di sofa. Air mata sudah merembes keluar sedari tadi, ketika perempuan lima puluh satu tahun itu membuka pintu rumahnya. Menemukan dua orang yang mengaku dari kepolisian, yang datang untuk mencari anak sulungnya.“Pak Junantyo dilaporkan karena kasus penganiayaan dan tuduhan percobaan pembunuhan.”Rasanya seperti sedang bermimpi bermain air hujan lalu tiba-tiba tersambar petir. Itulah gambaran yang sedang dirasakan Widya. Badannya menggigil dingin , namun dadanya terbakar emosi. Bagaimana mungkin Tyo dituduh melakukan penganiayaan kepada Jagat?“Maka dari itu kami datang kemari untuk melakuka
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu
“Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka
“Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp
“Jagat.”Tyo tercekat ketika tahu siapa orang yang menjenguknya.“Mas.”Jagat tergesa mendekati Tyo, lalu mereka berpelukan. Sama-sama menggerungkan tangis tertahan, sama-sama saling menepuk punggung dengan kasih sayang yang tertahan.“Maafkan aku, Gat. Maafkan selama ini aku dengan sengaja dan tanpa sengaja telah melukai perasaan kamu.”Pelukan Jagat bertambah kencang. Sampai akhirnya Tyo melepaskan diri dan menuntun Jagat untuk duduk di sebuah bangku yang sudah disediakan. Kakak beradik itu pun duduk berjejeran.“Kamu sendirian, Gat?” tanya Tyo. Leher lelaki itu sedikit menjulur, melihat jauh ke bangku yang disediakan untuk tamu, sekitar tiga meter di belakang mereka.“Ada Bapak sama Ibu di luar, Mas. Kalau Riana enggak bisa ikut, dia sudah banyak membolos kerja, jadi jatah cutinya habis,” jawab Jagat. Dia gosok matanya yang masih berair dengan punggung telapak tangannya. &
“Astaga, kau serius, Ri?” Vivi terpekik. “Aku sudah dandan cantik begini, mubazir dong.”Riana terkikik lirih. Antara rasa geli dan juga merasa bersalah.“Dasar Jagat. Bilang sama dia ya, Ri, dia hutang traktir sama aku! Dan aku pasti menagihnya suatu hari.”Riana berderai-derai. “Maafin ya, Kak.”Vivi menutup telepon dengan bersungut-sungut. Ah, dia tadi bersungguh-sungguh sudah dandan secantik mungkin untuk malam ini. Sengaja dia memakai dress biru yang dipilihkan oleh Reinald ….“Astaga!” Vivi terpekik lagi. Dia ingat sudah mengundang Reinald dan lelaki itu pun sudah menyanggupinya. Mata indah Vivi memandang jam tangannya.Kurang dari tiga puluh menit dari waktu yang sudah ditetapkan. Rasanya sungguh tidak sopan membatalkan undangan di menit-menit terakhir begini. Bagaimana kalau Rienald sudah berdandan seperti dia? Bagaimana kalau Reinald sudah membatalkan suatu acara ata
“Nak Jagat, Ibu sudah masak ayam bakar kesukaan Nak Jagat loh, apa enggak mau makan dulu?” Neni memberanikan diri mengetuk pintu kamar.Sejak pulang dari mengurus peralihan kepemilikan kebun salak, Jagat langsung mengurung diri di kamar. Kebetulan Riana juga sudah berangkat ke kantornya terlebih dahulu.Jagat membuka pintu. Wajahnya sedikit kusut.“Apa Nak Jagat sakit?” Neni bertanya lagi dengan sedikit nada was was. “Atau mau Ibu bikinin kopi aja ya? Biar sedikit seger di badan.”Lelaki itu tersenyum. “Kopi boleh, Bu. Tadi aku udah makan bareng Bu Reni.”Neni pun tersenyum. Kelegaan menguar di wajahnya.“Tuh kebetulan Bapak juga lagi ngopi, Ibu bikin getuk loh, singkongnya dari kebun kita sendiri. Bentar ya, Ibu bikinin kopi.”Jagat mengangguk. Lalu dia berjalan ke ruang tamu, menjejeri bapak mertuanya yang tengah santai sambil merokok. Di meja sudah terhidang segelas kopi dan getuk singkong yang Neni sebutkan tadi.“Nak Jagat, enggak pa-pa ya Bapak ngerokok di dalam rumah?” seloroh