“Loh kok bisa begitu Bu Viona? Rasanya kok Anda jadi melakukan wanprestasi ya,” seru Mahardika, Papa Karisma kesal.“Wanprestasi itu lebih tepat ditujukan kepada Anda Pak Dika!” tukas Vivi. “Dalam perjanjian kita jelas-jelas sepakat bahwa Anda harus menjauhkan anak perempuan Anda dari mantan suami saya, dalam bentuk apa pun.”“Mana buktinya? Harus ada bukti konkrit dong, enggak bisa hanya berdasarkan katanya-katanya.”Vivi berdecak kesal. Dasar politikus, cuma pintar mendebat tetapi argumennya sama sekali tidak ada isi.“Pak Dika, saya ketemu anak Bapak di kantor polisi, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Anda bisa cek daftar pengunjung di kantor polisi, bisa tanya sama si Dudung. Saya yakin menantu Bapak itu tidak akan bohong. Dudung yang saya kenal orang jujur, entah kalau sudah terpengaruh sama Bapak dan anak Bapak.”Vivi menunggu jawaban dari seberang, namun hingga detik ke empat Papa Karisma itu belum juga menjawab. Jadi perempuan cantik berkulit putih itu bicara lagi.
“Karis, tau enggak kalau suamimu ini sebenarnya bukan asisten rumah tangga biasa.”Karisma terperangah. Begitu pula dengan Dudung.“Jangan kamu pikir, Papah hanya setuju dengan usulan Viona dan mengabaikan kehidupan kamu,” kata Mahardika. Setelah menatap putri tunggalnya itu, dia beralih kepada Dudung. “Kamu pernah drop out kuliah karena biaya kan, Dung?”Dudung bergerak kikuk, dia melirik kepada Karisma. Tangannya kembali meremas celananya sendiri.“Papah tau, sudah Papah selidiki semua soal Dudung, Karis.”Mendengar hal itu, Dudung merasa tubuhnya makin mengkerut, getaran di kakinya kini menjalar semakin naik, lalu berubah menjadi guncangan. Dudung menggigil ketakutan, titik-titik air mulai muncul di dahinya.Karisma melirik tak berselera kepada lelaki kerempeng di sebelahnya yang terlihat pucat pasi. Kenapa bisa ayah kandungnya berpikir untuk menukar sosok Tyo yang begitu tampan, dengan lelaki modelan kuli seperti Dudung. Mau dipoles sampai seratus lapisan belum tentu bisa menyamai
“Keadaan fisik Pak Jagat sudah jauh lebih baik dari saat pertama dia datang,” kata Reinald kepada Riana. “Mungkin satu atau dua hari lagi sudah bisa pulang.”“Syukurlah, terima kasih, Dok,” ucap Riana tulus.“Tetapi … tadi saya menemukan Pak Jagat sedang menangis … bahkan hampir di setiap jam pemeriksaan saya, Pak Jagat tampak habis menangis.”Riana menunduk, menghela napas.“Ya, suami saya memang akhir-akhir ini jadi lebih cengeng. Sebenarnya karena memang ada persoalan yang lumayan ruwet sebelum kasus penganiayaan yang dia alami. Dan persoalan itu belum seratus persen selesai,” tutur Riana.Entah mengapa dia berkata jujur kepada Reinald. Hati perempuan itu merasa bahwa sang dokter adalah orang baik. Buktinya Reinald peduli pada mental Jagat, padahal dia hanya dokter umum biasa. Seharusnya dia hanya memeriksa yang menjadi bagiannya saja, selesai. Toh dia digaji memang hanya untuk itu. Namun kenyataannya dokter Reinald berbeda.“Mohon maaf, Bu, apakah hubungan Ibu dengan Pak Jagat sed
“Masalah ini sebenarnya bisa selesai, kalau kamu kembali ke rumah dan kita menjalani hidup kita seperti dulu lagi. Yang punya perasaan beda kepada pernikahan kita kan kamu, Dek. Yang perasaannya berubah ke aku juga kamu. Kalau aku tidak berubah, aku masih seperti Jagat yang kamu kenal dulu,” ucap Jagat. Nadanya kentara sekali jika dia menjadi jengkel, tetapi masih dia usahakan untuk bicara seperti tidak terjadi apa-apa.“Jadi menurutku, yang butuh psikolog itu justru kamu,” tukas Jagat pada akhirnya. Dia mendongak, menahan air mata yang tiba-tiba berkumpul di ujung matanya.Riana mengangguk. “Iya, kita berdua, Mas. Supaya sembuh semua luka batin kita berdua.”Jagat menggeleng. Dia menggapai-gapai tangan Riana, dan sang istri tampak menyambutnya dengan setengah hati. “Dek, percayalah sama aku. Ayo kita jalani pernikahan kita seperti dulu lagi. Kamu maafkan kesalahan-kesalahan aku, dan akan aku pastikan aku tidak akan menyakiti kamu lagi. Itulah yang akan membuat kita berdua baik, Dek.”
“Oh!”Satu kata dari mulut Maya yang membuat dirinya sendiri menjadi melongo lebar. Terlihat seperti orang yang sangat syok. Perempuan itu mengerjapkan mata dan bertanya, “Terus?”“Entahlah, May, aku merasa Mas Tyo tidak berbohong—““Jadi kamu lebih membela kakak iparmu dibanding suamimu sendiri, Ri?”Riana melenguh. “Bukan begitu, Maya …. Maksudku, kalau ternyata memang Mas Jagat yang berbohong, itu namanya fitnah dong.”“Terus di ubun-ubun kamu itu muncul kalimat bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan,” cibir Maya. Tiba-tiba dia menjadi ikut emosi jiwa, plus sedikit gemas. Dia tidak mengerti jalan pikiran Riana. “Itu namanya sama aja kamu lebih percaya sama kakak iparmu, dan itu berarti sama dengan kamu lebih membela kakak iparmu. Huh, Riana Nurmalasari, kurujak juga kamu nih!”Maya menggerakkan tangan. Tangan kanannya mengepal, lalu dipukul-pukulkan berulang kali kepada tangan kirinya sendiri. Matanya mendelik sebal.Melihat ekspresi yang berlebihan itu Riana malah tertawa.
(Dung, apa yang mertuamu katakan memang benar. Perjanjian itu kita batalkan saja. Kamu kalau mau pergi dari Karisma tidak apa-apa. Tuanmu sebentar lagi juga masuk penjara, jadi perkara ini saya anggap sudah selesai. Sebagai tanda terima kasih, saya sudah transfer kamu ya. Untuk ongkos kamu pulang, atau bekal untuk mencari pekerjaan baru, sebab kamu tidak bisa lagi kerja di rumah saya).Dudung membaca pesan itu berkali-kali agar dia tidak salah mengartikannya.“Jadi semua ini akan berakhir?” desis Dudung. “Bahkan kesenangan sesungguhnya baru saja dimulai.”Lelaki itu mengedikkan bahu. Baik Vivi maupun Tyo bukanlah majikannya lagi, jadi untuk apa dia menurut perintah mereka? Lagi pula sedari dulu majikan sesungguhnya adalah uang, jadi di mana uang mengalir di situlah dia akan letakkan kesetiaannya.“Kamu kontak sama perempuan culas itu lagi ya?”Dudung terlonjak mendengar suara Karisma yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya.“I-iya, Mbak.”Karisma tertawa. “Apa katanya?”Dudung meringi
“Mau ngapain kamu, Dung?”Dudung terperanjat kaget. Langkahnya terhenti seketika. Dia pun berbalik badan dengan hati-hati, dan mendapati sosok bapak mertuanya dengan jaket tebal. Sepertinya dia akan pergi untuk kasak kusuk dengan tim pemenangannya. Memang begitu kegiatan Mahardika akhir-akhir ini.“Mau ngerokok di belakang, Pak. Lagi enggak bisa tidur. Mikirin besok mau kuliah lagi.”Mahardika tergelak sekejap. “Terus ini mau ngerokok lagi sama si Wahyu?”Dudung mengangguk sopan. “Iya, Pak. Cuma sebentar.”“Kamu itu jangan terlalu bergaul akrab sama pembantu, kastamu sekarang beda, Dung. Kamu menantuku, hati-hati bergaul sama mereka.”“Ta-tapi, Pak … mohon maaf, kata Bapak kita akan menampilkan welas asih* kepada wong cilik.”Mahardika tertawa menggelegar. “Dudung, Dudung … dasar hatimu polos dan baik ya! Peran itu ditampilkan di muka publik saja, bukan dihayati sepanjang hari. Eh, tapi … bagus juga idemu itu, nanti aku akan bilang sama tim, kayaknya ini bisa dijadikan iklan kampanye.
“Mmm … ak ak ak … mmm.”Dudung menghentikan gerakannya dalam membasuh badan. Telinganya dipasang pada pemancar yang paling tinggi. Suara itu terdengar lagi, hilang timbul, suara seperti orang yang ingin bicara tetapi mulutnya sedang disumpal sesuatu.“Ak ak ak.”Dudung mematikan shower. Setelah yakin bahwa sumber suara berasal dari balik pintu kamar mandi ini, alias kamarnya sendiri, Dudung bergegas mengambil handuk. Terburu-buru dia memakai pakaiannya kembali. Karisma pernah mengeluarkan peraturan untuk Dudung, yaitu dirinya tidak boleh terlihat hanya berhanduk, atau memakai pakaian tidak lengkap. Tentu saja Dudung menuruti semua perintah yang dikeluarkan dari mulut Karisma, demi memuluskan aktingnya menjadi orang lugu,.Begitu keluar dari kamar mandi, dia melihat kepala Karisma bergerak-gerak.“Mmm … ak ak ak ….”“Loh, Mbak Karisma!” Dudung gegas berlari ke arah istrinya itu. Ternyata suara yang dia dengar berasal dari mulut Karisma. “Mbak Karisma ken—“Lelaki itu membeliak, bola ma
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu
“Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka
“Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp
“Jagat.”Tyo tercekat ketika tahu siapa orang yang menjenguknya.“Mas.”Jagat tergesa mendekati Tyo, lalu mereka berpelukan. Sama-sama menggerungkan tangis tertahan, sama-sama saling menepuk punggung dengan kasih sayang yang tertahan.“Maafkan aku, Gat. Maafkan selama ini aku dengan sengaja dan tanpa sengaja telah melukai perasaan kamu.”Pelukan Jagat bertambah kencang. Sampai akhirnya Tyo melepaskan diri dan menuntun Jagat untuk duduk di sebuah bangku yang sudah disediakan. Kakak beradik itu pun duduk berjejeran.“Kamu sendirian, Gat?” tanya Tyo. Leher lelaki itu sedikit menjulur, melihat jauh ke bangku yang disediakan untuk tamu, sekitar tiga meter di belakang mereka.“Ada Bapak sama Ibu di luar, Mas. Kalau Riana enggak bisa ikut, dia sudah banyak membolos kerja, jadi jatah cutinya habis,” jawab Jagat. Dia gosok matanya yang masih berair dengan punggung telapak tangannya. &
“Astaga, kau serius, Ri?” Vivi terpekik. “Aku sudah dandan cantik begini, mubazir dong.”Riana terkikik lirih. Antara rasa geli dan juga merasa bersalah.“Dasar Jagat. Bilang sama dia ya, Ri, dia hutang traktir sama aku! Dan aku pasti menagihnya suatu hari.”Riana berderai-derai. “Maafin ya, Kak.”Vivi menutup telepon dengan bersungut-sungut. Ah, dia tadi bersungguh-sungguh sudah dandan secantik mungkin untuk malam ini. Sengaja dia memakai dress biru yang dipilihkan oleh Reinald ….“Astaga!” Vivi terpekik lagi. Dia ingat sudah mengundang Reinald dan lelaki itu pun sudah menyanggupinya. Mata indah Vivi memandang jam tangannya.Kurang dari tiga puluh menit dari waktu yang sudah ditetapkan. Rasanya sungguh tidak sopan membatalkan undangan di menit-menit terakhir begini. Bagaimana kalau Rienald sudah berdandan seperti dia? Bagaimana kalau Reinald sudah membatalkan suatu acara ata
“Nak Jagat, Ibu sudah masak ayam bakar kesukaan Nak Jagat loh, apa enggak mau makan dulu?” Neni memberanikan diri mengetuk pintu kamar.Sejak pulang dari mengurus peralihan kepemilikan kebun salak, Jagat langsung mengurung diri di kamar. Kebetulan Riana juga sudah berangkat ke kantornya terlebih dahulu.Jagat membuka pintu. Wajahnya sedikit kusut.“Apa Nak Jagat sakit?” Neni bertanya lagi dengan sedikit nada was was. “Atau mau Ibu bikinin kopi aja ya? Biar sedikit seger di badan.”Lelaki itu tersenyum. “Kopi boleh, Bu. Tadi aku udah makan bareng Bu Reni.”Neni pun tersenyum. Kelegaan menguar di wajahnya.“Tuh kebetulan Bapak juga lagi ngopi, Ibu bikin getuk loh, singkongnya dari kebun kita sendiri. Bentar ya, Ibu bikinin kopi.”Jagat mengangguk. Lalu dia berjalan ke ruang tamu, menjejeri bapak mertuanya yang tengah santai sambil merokok. Di meja sudah terhidang segelas kopi dan getuk singkong yang Neni sebutkan tadi.“Nak Jagat, enggak pa-pa ya Bapak ngerokok di dalam rumah?” seloroh