“Mau ngapain kamu, Dung?”Dudung terperanjat kaget. Langkahnya terhenti seketika. Dia pun berbalik badan dengan hati-hati, dan mendapati sosok bapak mertuanya dengan jaket tebal. Sepertinya dia akan pergi untuk kasak kusuk dengan tim pemenangannya. Memang begitu kegiatan Mahardika akhir-akhir ini.“Mau ngerokok di belakang, Pak. Lagi enggak bisa tidur. Mikirin besok mau kuliah lagi.”Mahardika tergelak sekejap. “Terus ini mau ngerokok lagi sama si Wahyu?”Dudung mengangguk sopan. “Iya, Pak. Cuma sebentar.”“Kamu itu jangan terlalu bergaul akrab sama pembantu, kastamu sekarang beda, Dung. Kamu menantuku, hati-hati bergaul sama mereka.”“Ta-tapi, Pak … mohon maaf, kata Bapak kita akan menampilkan welas asih* kepada wong cilik.”Mahardika tertawa menggelegar. “Dudung, Dudung … dasar hatimu polos dan baik ya! Peran itu ditampilkan di muka publik saja, bukan dihayati sepanjang hari. Eh, tapi … bagus juga idemu itu, nanti aku akan bilang sama tim, kayaknya ini bisa dijadikan iklan kampanye.
“Mmm … ak ak ak … mmm.”Dudung menghentikan gerakannya dalam membasuh badan. Telinganya dipasang pada pemancar yang paling tinggi. Suara itu terdengar lagi, hilang timbul, suara seperti orang yang ingin bicara tetapi mulutnya sedang disumpal sesuatu.“Ak ak ak.”Dudung mematikan shower. Setelah yakin bahwa sumber suara berasal dari balik pintu kamar mandi ini, alias kamarnya sendiri, Dudung bergegas mengambil handuk. Terburu-buru dia memakai pakaiannya kembali. Karisma pernah mengeluarkan peraturan untuk Dudung, yaitu dirinya tidak boleh terlihat hanya berhanduk, atau memakai pakaian tidak lengkap. Tentu saja Dudung menuruti semua perintah yang dikeluarkan dari mulut Karisma, demi memuluskan aktingnya menjadi orang lugu,.Begitu keluar dari kamar mandi, dia melihat kepala Karisma bergerak-gerak.“Mmm … ak ak ak ….”“Loh, Mbak Karisma!” Dudung gegas berlari ke arah istrinya itu. Ternyata suara yang dia dengar berasal dari mulut Karisma. “Mbak Karisma ken—“Lelaki itu membeliak, bola ma
“Nyonya Karisma mengalami kelumpuhan syaraf, dugaan sementara sebab dia overdosis obat penenang. Dalam darahnya ada zat yang banyak terkandung obat tersebut. Apakah beberapa hari ini yang bersangkutan menunjukkan gejala depresi?” Dokter menatap Mahardika, lalu Sinta, dan … mengernyit saat sampai pada sosok Dudung.Mahardika menghela napas. “Yah … memang anak kami sedang dalam tekanan yang berat. Istilahnya ada kasus begitu, yang sedang menimpanya.”“Oh, kenapa tidak langsung ditangani psikiater? Atau obat penenang itu justru dari psikiater?” Dokter menyelidik lagi.Serempak Mahardika dan sang istri menggeleng.“Apa anak kami akan bisa sembuh seperti sediakala, Dok?” tanya Sinta.“Kita harus selalu optimis, Ibu, namun dalam kejadian Nyonya Karisma ini … jujur harus saya sampaikan bahwa hanya keajaiban Tuhan yang akan ….” Sang dokter sengaja tidak menuntaskan pembicaraannya. Kedua tangan yang tertumpu di atas meja, membuka membentuk bunga yang merekah. Lalu menangkup lagi dalam dua deti
“Tuan,” panggil Dudung dengan nada sedang. Kepalanya tetap menunduk, namun dia pastikan bahwa suaranya sampai pada syaraf pendengaran milik Tyo. Damar masih berada jauh di sana, tentu tidak akan mendengar, lagi pun lelaki itu sedang sibuk sendiri dengan teleponnya.“Aku setiap malam mencicipi Nyonya Karisma. Setiap inci dagingnya memang terasa enak sekali ya,” kata Dudung lagi. Kepala lelaki itu tetap menunduk.Tyo bangkit. Tanpa babibu tinjunya menghunjam Dudung bertubi-tubi.“Nyonya Karisma hamil anak aku,” bisik Dudung sebelum ambruk.Tyo menendang perut Dudung yang sudah terduduk dengan sekuat tenaga, sampai Dudung muntah. Kalau saja Damar dan orang-orang di sekitar situ tidak segera memisahkan mereka, Dudung bisa kehilangan nyawa akibat amukan Tyo.“Apa yang Anda lakukan, Pak Tyo?” Damar marah luar biasa. Lelaki itu sampai harus menampar pipi Tyo dengan keras supaya klien-nya itu lepas dari cengkeram kemurkaan.“Liatlah! Liat!” Damar berteriak sambil menunjuk Dudung yang terkapa
“Oh, jadi Pak Jagat menolak?”“Bukan menolak, Dok, tapi belum menerima.”Reinald terkekeh. “Kalau boleh nebak Bu Riana ini orang marketing, media … atau semacamnya ya? Pintar sekali mencari padanan kalimat.”Ganti Riana yang berderai.Mendadak sunyi, setelah kedua insan itu berhenti tertawa.“Bu Riana, saya peduli dengan Pak Jagat, sebab ingat kepada kembaran saya. Kami masih awal-awal kuliah saat itu. Saya, Papa dan Mama saya sebenarnya tau bahwa kakak kembar saya itu sering menangis diam-diam. Tapi kalau di depan kami, dia tampak seolah biasa. Masih bisa bercanda, tertawa … jadi kami pun berpura-pura tidak tau. Yang ada dalam pikiran kami dulu, dia ingin menyelesaikan masalahnya sendiri, sebab buktinya kakak saya tidak pernah minta tolong ….”Reinald menoleh ke arah lain. Sementara Riana menunduk. Tanpa perlu melihat wajah sang dokter, Riana tahu Reinald sedang berjuang menyelesaikan ceritanya.“Saya tidak ada maksud apa-apa, selain … eee saya tidak ingin lagi berada dalam keadaan m
“Alhamdulillah, akhirnya Nak Jagat pulang juga,” Ibu menyambut dengan senyum merekah di pintu depan. “Pas banget rumah sudah selesai di renovasi.”Jagat tersenyum kecil. Dia melirik Bapak yang tengah duduk di sebelah Ibu. Lelaki itu sedang menyeruput kopi, tampak tidak merespon kedatangan dia dan Riana. Sampai mereka bertiga masuk ke dalam rumah, Bapak tidak berkata apa-apa. Tetap duduk anteng di kursi teras.“Cat-nya bau,” desis Jagat begitu kakinya masuk ke dalam.Ibu menceplos tawa berdurasi sedikit. “Iya, Nak … baru selesai pagi tadi, ngebut biar pas Nak Jagat pulang sudah rapi, jadi nyaman untuk istirahat.”“Tapi baunya bikin pusing,” tukas Jagat. “Apa di kamar juga dicat baru?”“I-iya,” jawab Ibu seraya memandang Riana.“Seharusnya dapur aja yang direnovasi,” desis Jagat lagi. “Kok malah keseluruhan rumah gini.”“Eh, kami pikir—““Maaf ya, Mas. Semua ini aku kok yang minta. Ibu sama Bapak hanya mengikuti perintahku,” tutur Riana memotong ucapan Ibu. Tangannya mengelus pundak Ibu
“Bapak makin enggak suka sama sikapnya Jagat. Dia itu sudah salah, tapi bukannya memperbaiki diri tapi adaaa aja yang bikin repot Riana,” cetus Arman.“Jangan gitu lah, Pak. Gimana pun juga Jagat itu sudah jadi anak kita, kalau memang dirasa salah ya tolong diingatkan baik-baik,” sahut Neni, sembari mengiris ketupat. “Bapak ketupatnya satu atau dua?”“Dua. Lapar dari pagi belum makan, malah yang punya rumah pulang-pulang wajahnya gitu,” tukas Arman. “Bikin malas.”Orang tua Riana itu belum jauh dari rumah anaknya, mereka sekarang terdampar di warung bakso, sebab sudah kelaparan. Itulah alasan mereka nekat pamit di saat matahari sedang berada di puncak langit.Sedianya Neni sudah memasak makanan lumayan banyak, dengan maksud ketika Jagat dan Riana pulang mereka bisa makan bersama. Namun Arman sudah terlanjur sebal melihat tingkah Jagat yang seperti tidak menghargainya.Menurut Arman, kesalahan Jagat yang pertama adalah, dia tidak bersalaman saat pertama mereka bertemu. Lalu dia sakit h
“Bukannya itu Bu Widya … kok sama laki-laki lain? Lebih muda lagi.”Sekitar tiga meter dari hadapan mereka, Neni melihat Widya sedang menangis dan sibuk ditenangkan oleh seorang laki-laki yang … mungkin seumuran dengan Tyo atau Jagat. Terlihat lelaki itu mengelap pipi Widya. Setelah itu si lelaki menggenggam tangan Widya.“Oalah, satu keluarga memang udah enggak beres semua, Bu. Apa ya kamu yakin anak kita mau diterusin sama keluarga yang semuanya punya sifat selingkuh?”“Eh, jangan buruk sangka,Pak. Belum tentu itu selingkuhan—““Lah apa? Teman? Keponakan? Masa keponakan mesra gitu. Jadi makin enggak yakin Bapak sama Jagat ngeliat ini, Bu. Duh, anak kita nanti gimana?”“Bapak … jangan mikir yang aneh-aneh terus dong. Ya, udah, Pak. Ayo kita jalan lagi!” ujar Neni sembari menepuk pinggang suaminya. Dia jadi menyesal sendiri. Tahu akan begini, mungkin dia lebih memilih diam dan pura-pura tidak melihat Widya yang sedang duduk di teras coffe shop ditemani lelaki muda.Perjalanan menuju
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu
“Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka
“Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp
“Jagat.”Tyo tercekat ketika tahu siapa orang yang menjenguknya.“Mas.”Jagat tergesa mendekati Tyo, lalu mereka berpelukan. Sama-sama menggerungkan tangis tertahan, sama-sama saling menepuk punggung dengan kasih sayang yang tertahan.“Maafkan aku, Gat. Maafkan selama ini aku dengan sengaja dan tanpa sengaja telah melukai perasaan kamu.”Pelukan Jagat bertambah kencang. Sampai akhirnya Tyo melepaskan diri dan menuntun Jagat untuk duduk di sebuah bangku yang sudah disediakan. Kakak beradik itu pun duduk berjejeran.“Kamu sendirian, Gat?” tanya Tyo. Leher lelaki itu sedikit menjulur, melihat jauh ke bangku yang disediakan untuk tamu, sekitar tiga meter di belakang mereka.“Ada Bapak sama Ibu di luar, Mas. Kalau Riana enggak bisa ikut, dia sudah banyak membolos kerja, jadi jatah cutinya habis,” jawab Jagat. Dia gosok matanya yang masih berair dengan punggung telapak tangannya. &
“Astaga, kau serius, Ri?” Vivi terpekik. “Aku sudah dandan cantik begini, mubazir dong.”Riana terkikik lirih. Antara rasa geli dan juga merasa bersalah.“Dasar Jagat. Bilang sama dia ya, Ri, dia hutang traktir sama aku! Dan aku pasti menagihnya suatu hari.”Riana berderai-derai. “Maafin ya, Kak.”Vivi menutup telepon dengan bersungut-sungut. Ah, dia tadi bersungguh-sungguh sudah dandan secantik mungkin untuk malam ini. Sengaja dia memakai dress biru yang dipilihkan oleh Reinald ….“Astaga!” Vivi terpekik lagi. Dia ingat sudah mengundang Reinald dan lelaki itu pun sudah menyanggupinya. Mata indah Vivi memandang jam tangannya.Kurang dari tiga puluh menit dari waktu yang sudah ditetapkan. Rasanya sungguh tidak sopan membatalkan undangan di menit-menit terakhir begini. Bagaimana kalau Rienald sudah berdandan seperti dia? Bagaimana kalau Reinald sudah membatalkan suatu acara ata
“Nak Jagat, Ibu sudah masak ayam bakar kesukaan Nak Jagat loh, apa enggak mau makan dulu?” Neni memberanikan diri mengetuk pintu kamar.Sejak pulang dari mengurus peralihan kepemilikan kebun salak, Jagat langsung mengurung diri di kamar. Kebetulan Riana juga sudah berangkat ke kantornya terlebih dahulu.Jagat membuka pintu. Wajahnya sedikit kusut.“Apa Nak Jagat sakit?” Neni bertanya lagi dengan sedikit nada was was. “Atau mau Ibu bikinin kopi aja ya? Biar sedikit seger di badan.”Lelaki itu tersenyum. “Kopi boleh, Bu. Tadi aku udah makan bareng Bu Reni.”Neni pun tersenyum. Kelegaan menguar di wajahnya.“Tuh kebetulan Bapak juga lagi ngopi, Ibu bikin getuk loh, singkongnya dari kebun kita sendiri. Bentar ya, Ibu bikinin kopi.”Jagat mengangguk. Lalu dia berjalan ke ruang tamu, menjejeri bapak mertuanya yang tengah santai sambil merokok. Di meja sudah terhidang segelas kopi dan getuk singkong yang Neni sebutkan tadi.“Nak Jagat, enggak pa-pa ya Bapak ngerokok di dalam rumah?” seloroh