“Bukannya itu Bu Widya … kok sama laki-laki lain? Lebih muda lagi.”Sekitar tiga meter dari hadapan mereka, Neni melihat Widya sedang menangis dan sibuk ditenangkan oleh seorang laki-laki yang … mungkin seumuran dengan Tyo atau Jagat. Terlihat lelaki itu mengelap pipi Widya. Setelah itu si lelaki menggenggam tangan Widya.“Oalah, satu keluarga memang udah enggak beres semua, Bu. Apa ya kamu yakin anak kita mau diterusin sama keluarga yang semuanya punya sifat selingkuh?”“Eh, jangan buruk sangka,Pak. Belum tentu itu selingkuhan—““Lah apa? Teman? Keponakan? Masa keponakan mesra gitu. Jadi makin enggak yakin Bapak sama Jagat ngeliat ini, Bu. Duh, anak kita nanti gimana?”“Bapak … jangan mikir yang aneh-aneh terus dong. Ya, udah, Pak. Ayo kita jalan lagi!” ujar Neni sembari menepuk pinggang suaminya. Dia jadi menyesal sendiri. Tahu akan begini, mungkin dia lebih memilih diam dan pura-pura tidak melihat Widya yang sedang duduk di teras coffe shop ditemani lelaki muda.Perjalanan menuju
“Dasar pengacara busuk, keparat! Kamu pikir saya takut kehilangan kamu. Seratus pengacara model sepertimu bisa saya dapatkan dengan gampang!”Sulis berteriak dan terus menyumpah-nyumpah kepada punggung Damar yang menjauh.“Sudah, Pa. Sudah. Malu diliatin banyak orang,” seru Widya. Sibuk sekali dia memegang lengan, tangan dan pundak suaminya. Bersusah payah menghalau lelaki itu untuk tidak mendekati Damar. Perempuan itu takut jika pada akhirnya Sulis pun terkena pasal penganiayaan seperti yang sudah disangkakan kepada Tyo.“Duduklah, Pa, sabar.”Baru saja mereka duduk kembali ….“Bapak, Ibu, mohon maaf.”Widya dan Sulis menoleh bersamaan. Seorang perempuan dengan dress bunga-bunga mengulas sebaris senyum. Senyum yang sengaja perempuan itu ciptakan untuk mengantisipasi kemarahan lanjutan dari Sulis.“Perkenalkan saya manager di sini, dengan segala kerendahan hati … mohon Bapak dan Ibu bersedia meninggalkan tempat ini, demi kenyamanan—““Diam kau!” tukas Sulis sambil berdiri. “Baru warun
“Kampret! Pantesan enggak selesai-selesai!” teriak Sulis marah.Dia menemukan para tukang bangunan yang sedang membangun rumahnya berlarian ke sana kemari, ketika mobil Sulis masuk pekarangan kebunnya. Meskipun lima laki-laki dewasa itu sekarang terlihat sedang mengerjakan sesuatu, tetapi mata Sulis sudah memergoki polah mereka semua.Beberapa detik tadi. Dari mobil mereka, Sulis dan Widya melihat satu orang yang sedang asyik main telepon genggam, dua orang berjoget dengan diiringi satu orang lainnya yang memukul-mukul ember. Mandornya terlihat merebahkan badan …. Sudah barang tentu Sulis tersulut murka.Sambil menahan sakit bekas ditinju pengembala kambing, Sulis tergopoh-gopoh turun dari mobil. Kali ini Widya sependapat dengan sang suami, maka dari itu dia tidak mencegah Sulis. Perempuan itu malah ikut melotot kepada para tukangnya.“Dasar kalian orang-orang kampung! Enggak amanah sama sekali! Detik ini juga keluar, keluar dari sini. Saya tidak butuh orang ngawur seperti kalian semu
“Apa sih it—“BRUUUG. BLAM!Belum usai ucapan Sulis, bunyi keras lainnya menyusul. Rumah ambruk sebagian. Kamar tempat mereka berada pun terbelah.“Ma, ayo cepat kita keluar, takut rumah ini nanti runtuh!” Sulis menarik tangan Widya yang seperti masih terbengong kaget dengan kejadian ini.Widya tersadar dan cepat mengikuti langkah Sulis. Namun malang, sesuatu yang meluncur dari atas mereka lebih dulu menghentikan langkah keduanya.“Mama!” Sulis memekik ketika istrinya terkapar dengan bongkahan tembok menindih kedua kaki Widya.Ibu kandung Tyo dan Jagat itu merasakan sakit yang teramat sangat, dan berangsur-angsur memudar … Widya pingsan.Keesokan harinya, Sulis tergopoh-gopoh ke kantor polisi. Dia berniat melaporkan para tukang bangunan yang telah menyebabkan kecelakaan kemarin siang. Namun sebelumnya dia ingin menemui anaknya terlebih dulu.“Ya, Tuhan!” Tyo menjerit kaget. Mengundang perhatian orang-orang yang ada di situ sekejap. Sulis sampai berdiri, untuk sekedar membungkukkan bad
(Bisa, Na. Jam setengah lima, oke?)(Oke, Rein).(Kamu langsung ke rumah sakit aja ya, Na)(Terima kasih, Rein).(No prob, Na).Jagat melotot membaca pesan-pesan Riana di kontak dengan nama ‘Reinald’. Jadi selama ini istrinya ada sesuatu dengan dokter itu? Sampai mereka memanggil dengan nama masing-masing tanpa embel-embel penghormatan seperti ‘Ibu’ atau ‘Mbak’?“Apa itu ‘Na’, semacam panggilan sayang?” jerit hati Jagat. Dia sampai bersusah payah untuk menelan ludahnya sendiri.Jari jemari Jagat menelusur lagi. Tetapi tidak ada percakapan selain itu, apakah ini berarti riwayat percakapan mereka telah sengaja dihapus oleh Riana? Disengaja untuk menghilangkan jejak? Hati Jagat begitu membara.Dia masih belum menyerah, kali ini riwayat panggilan telepon yang menjadi tujuannya. Dan, benar! Ada beberapa kali panggilan, bahkan tertera hari ini mereka saling bertelepon lebih dari sekali. Dengan kepala yang seakan menyala bara api, Jagat langsung membuat panggilan kepada dokter itu.Dering pe
“Ri, Ibu dengar Mama mertuamu masuk rumah sakit. Benar begitu?”“I-iya, Bu.”“Gimana keadaannya?”Riana diam. Tidak tahu harus menjawab apa, sementara wajah Jagat di depannya mulai mengeras. Sedikit demi sedikit otot-otot rahangnya kencang.“Kamu belum menengoknya ya? Atau memang sengaja enggak mau?” tukas Ibu. Ketika Riana tetap diam, akhirnya Ibu bicara lagi, “Kalau Jagat mau nengok mamanya, jangan dihalangi, Ri. Malah seharusnya kamu ikut mendampingi. Gimana pun juga dia ibu kandungnya Jagat. Jangan jadi orang jahat.”“Iya, Bu.”Telepon ditutup. Riana kembali menatap wajah sang suami.“Ada kabar apa di kampung?” selidik Jagat. Yang sebenarnya dia sudah dapat meraba apa isi percakapan antara istri dan ibu mertuanya barusan.Riana menggeleng. “Ibu sudah dengar kabar tentang Mama.”Lelaki di hadapan Riana itu menghembuskan napas kasar.“Ibu tanya, apa Mas mau menjenguk Mama?”Spontan Jagat memalingkan wajah. Seratus persen hatinya ingin, tetapi dia takut akan penolakan yang akan dia t
“Loh, kok kita belok kiri?”Riana akhirnya bicara. Sedari saat makan hingga berada di dalam mobil Jagat menjadi pendiam. Riana paham pasti gara-gara dokter Reinald, dan sebenarnya dia sudah minta maaf pada sang suami beberapa kali. Akan tetapi Jagat memilih berpura-pura tidak mendengar dan mengabaikannya.“Mas, kok—““Aku pengen bezuk Mama, kalau kamu keberatan nanti kita muter di depan,” sahut Jagat, kelihatan nadanya masih ditekan agar terdengar biasa.“Oh, enggak gitu juga, Mas … aku kan cuma tanya, takut salah arah aja.” Riana melirik suaminya. “Apa masih marah soal dokter Rei—““Udahlah, Dek, jangan lagi dibahas soal itu.”Bertepatan dengan ucapan Jagat, ada sebuah motor yang menyelonong, memotong jalan sembarangan. Jagat pun menginjak pedal rem dalam-dalam, dan membuat mobil berguncang. Otomatis badan keduanya pun ikut berguncang. Riana yang tidak melihat kejadian di depan mobil, sebab matanya masih lekat kepada sang suami, terhempas keras. Hampir saja kepalanya terantuk dashbo
“Ada apa, Pa?” Widya menegakkan kepala sekuat yang dia mampu. Tubuhnya sudah lebih segar meskipun selera makannya belum baik. “Mama denger Papa teriak-teriak, dan apa itu suara Riana?”“Mama denger?” Sulis membeliak tidak percaya.Saat kejadian tadi, kamar perawatan ini dalam keadaan tertutup. Jika sampai suara pertengkaran tersebut sampai didengar Widya, berarti memang suara mereka sama-sama sangat kencang.“Apa Riana mau nengok Mama? Sama Jagat juga?” Widya bertanya lagi. Ada sedikit kehangatan dalam harapannya. Jika anak bungsunya itu sudah mendekat ke arahnya, dia akan menggunakan keadaan dirinya ini untuk membujuk Jagat melepaskan tuntutan kepada Tyo.“Sekarang mereka di mana, Pa?” Widya menatap pintu, yang sudah ditutup rapat oleh Sulis. Mata Widya mengikuti pergerakan suaminya. Lelaki itu meletakkan barang belanjaan di meja, tepat di bawah TV layar datar yang menggantung di dinding.Sulis membalik badan, menghadap kepada istrinya. “Mereka ke sini bukan untuk menengok Mama.”“Te