“Masalah ini sebenarnya bisa selesai, kalau kamu kembali ke rumah dan kita menjalani hidup kita seperti dulu lagi. Yang punya perasaan beda kepada pernikahan kita kan kamu, Dek. Yang perasaannya berubah ke aku juga kamu. Kalau aku tidak berubah, aku masih seperti Jagat yang kamu kenal dulu,” ucap Jagat. Nadanya kentara sekali jika dia menjadi jengkel, tetapi masih dia usahakan untuk bicara seperti tidak terjadi apa-apa.“Jadi menurutku, yang butuh psikolog itu justru kamu,” tukas Jagat pada akhirnya. Dia mendongak, menahan air mata yang tiba-tiba berkumpul di ujung matanya.Riana mengangguk. “Iya, kita berdua, Mas. Supaya sembuh semua luka batin kita berdua.”Jagat menggeleng. Dia menggapai-gapai tangan Riana, dan sang istri tampak menyambutnya dengan setengah hati. “Dek, percayalah sama aku. Ayo kita jalani pernikahan kita seperti dulu lagi. Kamu maafkan kesalahan-kesalahan aku, dan akan aku pastikan aku tidak akan menyakiti kamu lagi. Itulah yang akan membuat kita berdua baik, Dek.”
“Oh!”Satu kata dari mulut Maya yang membuat dirinya sendiri menjadi melongo lebar. Terlihat seperti orang yang sangat syok. Perempuan itu mengerjapkan mata dan bertanya, “Terus?”“Entahlah, May, aku merasa Mas Tyo tidak berbohong—““Jadi kamu lebih membela kakak iparmu dibanding suamimu sendiri, Ri?”Riana melenguh. “Bukan begitu, Maya …. Maksudku, kalau ternyata memang Mas Jagat yang berbohong, itu namanya fitnah dong.”“Terus di ubun-ubun kamu itu muncul kalimat bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan,” cibir Maya. Tiba-tiba dia menjadi ikut emosi jiwa, plus sedikit gemas. Dia tidak mengerti jalan pikiran Riana. “Itu namanya sama aja kamu lebih percaya sama kakak iparmu, dan itu berarti sama dengan kamu lebih membela kakak iparmu. Huh, Riana Nurmalasari, kurujak juga kamu nih!”Maya menggerakkan tangan. Tangan kanannya mengepal, lalu dipukul-pukulkan berulang kali kepada tangan kirinya sendiri. Matanya mendelik sebal.Melihat ekspresi yang berlebihan itu Riana malah tertawa.
(Dung, apa yang mertuamu katakan memang benar. Perjanjian itu kita batalkan saja. Kamu kalau mau pergi dari Karisma tidak apa-apa. Tuanmu sebentar lagi juga masuk penjara, jadi perkara ini saya anggap sudah selesai. Sebagai tanda terima kasih, saya sudah transfer kamu ya. Untuk ongkos kamu pulang, atau bekal untuk mencari pekerjaan baru, sebab kamu tidak bisa lagi kerja di rumah saya).Dudung membaca pesan itu berkali-kali agar dia tidak salah mengartikannya.“Jadi semua ini akan berakhir?” desis Dudung. “Bahkan kesenangan sesungguhnya baru saja dimulai.”Lelaki itu mengedikkan bahu. Baik Vivi maupun Tyo bukanlah majikannya lagi, jadi untuk apa dia menurut perintah mereka? Lagi pula sedari dulu majikan sesungguhnya adalah uang, jadi di mana uang mengalir di situlah dia akan letakkan kesetiaannya.“Kamu kontak sama perempuan culas itu lagi ya?”Dudung terlonjak mendengar suara Karisma yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya.“I-iya, Mbak.”Karisma tertawa. “Apa katanya?”Dudung meringi
“Mau ngapain kamu, Dung?”Dudung terperanjat kaget. Langkahnya terhenti seketika. Dia pun berbalik badan dengan hati-hati, dan mendapati sosok bapak mertuanya dengan jaket tebal. Sepertinya dia akan pergi untuk kasak kusuk dengan tim pemenangannya. Memang begitu kegiatan Mahardika akhir-akhir ini.“Mau ngerokok di belakang, Pak. Lagi enggak bisa tidur. Mikirin besok mau kuliah lagi.”Mahardika tergelak sekejap. “Terus ini mau ngerokok lagi sama si Wahyu?”Dudung mengangguk sopan. “Iya, Pak. Cuma sebentar.”“Kamu itu jangan terlalu bergaul akrab sama pembantu, kastamu sekarang beda, Dung. Kamu menantuku, hati-hati bergaul sama mereka.”“Ta-tapi, Pak … mohon maaf, kata Bapak kita akan menampilkan welas asih* kepada wong cilik.”Mahardika tertawa menggelegar. “Dudung, Dudung … dasar hatimu polos dan baik ya! Peran itu ditampilkan di muka publik saja, bukan dihayati sepanjang hari. Eh, tapi … bagus juga idemu itu, nanti aku akan bilang sama tim, kayaknya ini bisa dijadikan iklan kampanye.
“Mmm … ak ak ak … mmm.”Dudung menghentikan gerakannya dalam membasuh badan. Telinganya dipasang pada pemancar yang paling tinggi. Suara itu terdengar lagi, hilang timbul, suara seperti orang yang ingin bicara tetapi mulutnya sedang disumpal sesuatu.“Ak ak ak.”Dudung mematikan shower. Setelah yakin bahwa sumber suara berasal dari balik pintu kamar mandi ini, alias kamarnya sendiri, Dudung bergegas mengambil handuk. Terburu-buru dia memakai pakaiannya kembali. Karisma pernah mengeluarkan peraturan untuk Dudung, yaitu dirinya tidak boleh terlihat hanya berhanduk, atau memakai pakaian tidak lengkap. Tentu saja Dudung menuruti semua perintah yang dikeluarkan dari mulut Karisma, demi memuluskan aktingnya menjadi orang lugu,.Begitu keluar dari kamar mandi, dia melihat kepala Karisma bergerak-gerak.“Mmm … ak ak ak ….”“Loh, Mbak Karisma!” Dudung gegas berlari ke arah istrinya itu. Ternyata suara yang dia dengar berasal dari mulut Karisma. “Mbak Karisma ken—“Lelaki itu membeliak, bola ma
“Nyonya Karisma mengalami kelumpuhan syaraf, dugaan sementara sebab dia overdosis obat penenang. Dalam darahnya ada zat yang banyak terkandung obat tersebut. Apakah beberapa hari ini yang bersangkutan menunjukkan gejala depresi?” Dokter menatap Mahardika, lalu Sinta, dan … mengernyit saat sampai pada sosok Dudung.Mahardika menghela napas. “Yah … memang anak kami sedang dalam tekanan yang berat. Istilahnya ada kasus begitu, yang sedang menimpanya.”“Oh, kenapa tidak langsung ditangani psikiater? Atau obat penenang itu justru dari psikiater?” Dokter menyelidik lagi.Serempak Mahardika dan sang istri menggeleng.“Apa anak kami akan bisa sembuh seperti sediakala, Dok?” tanya Sinta.“Kita harus selalu optimis, Ibu, namun dalam kejadian Nyonya Karisma ini … jujur harus saya sampaikan bahwa hanya keajaiban Tuhan yang akan ….” Sang dokter sengaja tidak menuntaskan pembicaraannya. Kedua tangan yang tertumpu di atas meja, membuka membentuk bunga yang merekah. Lalu menangkup lagi dalam dua deti
“Tuan,” panggil Dudung dengan nada sedang. Kepalanya tetap menunduk, namun dia pastikan bahwa suaranya sampai pada syaraf pendengaran milik Tyo. Damar masih berada jauh di sana, tentu tidak akan mendengar, lagi pun lelaki itu sedang sibuk sendiri dengan teleponnya.“Aku setiap malam mencicipi Nyonya Karisma. Setiap inci dagingnya memang terasa enak sekali ya,” kata Dudung lagi. Kepala lelaki itu tetap menunduk.Tyo bangkit. Tanpa babibu tinjunya menghunjam Dudung bertubi-tubi.“Nyonya Karisma hamil anak aku,” bisik Dudung sebelum ambruk.Tyo menendang perut Dudung yang sudah terduduk dengan sekuat tenaga, sampai Dudung muntah. Kalau saja Damar dan orang-orang di sekitar situ tidak segera memisahkan mereka, Dudung bisa kehilangan nyawa akibat amukan Tyo.“Apa yang Anda lakukan, Pak Tyo?” Damar marah luar biasa. Lelaki itu sampai harus menampar pipi Tyo dengan keras supaya klien-nya itu lepas dari cengkeram kemurkaan.“Liatlah! Liat!” Damar berteriak sambil menunjuk Dudung yang terkapa
“Oh, jadi Pak Jagat menolak?”“Bukan menolak, Dok, tapi belum menerima.”Reinald terkekeh. “Kalau boleh nebak Bu Riana ini orang marketing, media … atau semacamnya ya? Pintar sekali mencari padanan kalimat.”Ganti Riana yang berderai.Mendadak sunyi, setelah kedua insan itu berhenti tertawa.“Bu Riana, saya peduli dengan Pak Jagat, sebab ingat kepada kembaran saya. Kami masih awal-awal kuliah saat itu. Saya, Papa dan Mama saya sebenarnya tau bahwa kakak kembar saya itu sering menangis diam-diam. Tapi kalau di depan kami, dia tampak seolah biasa. Masih bisa bercanda, tertawa … jadi kami pun berpura-pura tidak tau. Yang ada dalam pikiran kami dulu, dia ingin menyelesaikan masalahnya sendiri, sebab buktinya kakak saya tidak pernah minta tolong ….”Reinald menoleh ke arah lain. Sementara Riana menunduk. Tanpa perlu melihat wajah sang dokter, Riana tahu Reinald sedang berjuang menyelesaikan ceritanya.“Saya tidak ada maksud apa-apa, selain … eee saya tidak ingin lagi berada dalam keadaan m