“Aku tidak habis pikir kenapa kamu tahan hidup dengan wanita bar-bar ini, Dir.” Armila langsung berjalan keluar ruangan saat mendengar ucapan Nia. “Nia … please.” Dirga menahan Nia. Tatapan matanya penuh permohonan agar Nia tidak lepas kendali dan menghajar Admila di hadapan teman sekantornya yang sebagian besar masih berada di sana.Nia mengembuskan napas kencang. Dia memilih bungkam bahkan setelah mereka berada dalam perjalanan pulang.“Aku dan Armila sudah tidak ada hubungan apa-apa. Kami murni berkomunikasi sebatas urusan pekerjaan, Nia. Aku juga tidak bisa menolak amanah dari perusahaan. Aku tidak bisa menentukan siapa utusan yang akan perusahaan sana kirim untuk perwakilan koordinator mereka.” Dirga mengembuskan napas kencang melihat Nia yang sejak tadi diam saja.“Kamu sering mengantar-jemput dia?”“Hanya mengantar. Ya, adalah beberapa kali. Itupun karena kasihan. Dia kadang datang menggunakan taksi, pulangnya sering kebingungan karena lokasi proyek ke jalan raya jauh ….”“Ah!
“Rencananya nanti pas kelas tiga, Ma. Karena ‘kan minimal usia lima belas tahun. Jadi, belum bisa sekarang-sekarang ini.” Rayna mengambil paha ayam masak lada hitam. Dia hanya memutar bola mata saat Damar mendelik. Ini potongan ayam ketiga yang dia ambil.“Kak Rayna memang tidak takut gendut? Nanti kayak gajah!” Damar terkekeh.“Dih? Kok body shaming? Nggak boleh begitu, Damar!” Rayna mendelik. “Jangan-jangan di sekolah kamu sering membully temanmu yang gendut ya?” Rayna mengacungkan garpu di tangannya ke arah Damar.Jihan menggeleng melihat kelakuan dua anaknya. Bahkan saat di meja makan pun ada saja yang bisa membuat kakak beradik itu beradu argumen. Wanita itu memegang tangan Rayna. Dengan kode mata, dia meminta Rayna menurunkan tangannya yang teracung.Damar tersenyum lebar melihat wajah tertekuk kakaknya saat dipelototi oleh Mama mereka. “Maksud Damar kan baik, Kak, biar Kak Rayna bisa jaga badan."Rayna menatap adiknya gemas. Bisa-bisanya anak kelas tiga SD itu berbicara tentang
“Begini, sebenarnya, dalam sebuah organisasi, kehadiran itu sangat penting.” Aditya tersenyum saat menatap mata Jihan. “Dengan hadirnya kita, akan terjalin kedekatan emosional. Hal itu akan menyebabkan kita menjadi satu frekuensi. Dari sana, visi dan misi yang sudah disusun bisa dicapai. Tentu saja, keberhasilan usaha akan mengikuti kalau pengelolanya sudah sejalan.”Jihan diam mendengarkan penjelasan Aditya. Dia mulai memikirkan cara agar tidak terlalu sering absen dari RPH. Karirnya di dunia modeling tidak akan lama lagi. Model-model muda sudah mulai berdatangan. Proses regenerasi alami yang pasti terjadi.“Bagaimana hasil pertemuan tadi, Mas?” Jihan bertanya setelah diam beberapa saat. Dia dapat merasakan bahu suaminya sedikit menegang hingga membuat Jihan sedikit menautkan alis. Ada apa?“Perjanjian kerjasama sudah ditandatangani.” Aditya menarik napas panjang. Sebenarnya, sejak tadi dia berpikir keras bagaimana cara menyampaikan tentang Ralin yang terlibat di dalamnya. Dua tahun
“Terima kasih.” Dirga menerima sebotol air mineral yang diberikan Armila. Mereka baru saja memberikan pengarahan pada anggota tim terkait pekerjaan yang akan dimulai pekan depan. “Kalau proyek kali ini sukses juga, mungkin kita akan menjadi perwakilan kerjasama dari perusahaan masing-masing selamanya, Bee.” Armila tersenyum lebar sambil mengangguk. Wanita itu meletakkan helm proyek yang dipakainya. Dia duduk di samping Dirga yang sedang menyelonjorkan kaki.Dirga hanya menanggapi ucapan Armila dengan anggukan kecil. Matanya menatap sekitar. Rencana pembangunan jalan karena akses daerah terputus akibat longsor beberapa bulan lalu mulai mereka tangani.Entah bagaimana caranya para petinggi perusahaan bekerja hingga akhirnya proyek ini bisa dimenangkan oleh mereka. Cuaca yang cukup panas membuat Dirga langsung menenggak habis sebotol air yang diberikan Armila.“Bee?” Armila terus memandangi wajah Dirga yang tidak sekalipun menatapnya. Bee, panggilan sayang darinya untuk Dirga semasa ber
“Mari, Pak Afrizal, Pak Aditya.” Ralin mengangguk sopan dan mengikuti manajernya untuk mulai melakukan pemotretan.Afrizal mengangguk-angguk. Lelaki itu tersenyum lebar melihat ketegangan antara Ralin, Jihan dan Aditya. Apapun yang terjadi, dia akan mendapat keuntungan dari kerjasama ini. Apalagi kalau sampai ada singgungan lagi antara mereka. Produk yang dia keluarkan akan semakin booming. Zaman ini, apapun yang viral akan cepat mendapat perhatian.“Cakra Buana.” Afrizal mendesiskan nama orangtua Aditya. “Tidak kusangka, bisnis kita akan bersinggungan kembali. Puluhan tahun lalu kita gagal saat bekerjasama. Kini, semoga kerjasama ini akan berhasil dan membawa keuntungan besar.” Afrizal memandang nama perusahaan Mata Air Buana yang megah. Simbol kejayaan perusahaan itu di masanya.“Sehat, Pak Afrizal?” Pertanyaan Jihan membuat Afrizal mengalihkan perhatian dari hamparan air yang menjadi latar nama perusahaan Buana. Dia sedikit keheranan kenapa pengusaha itu sampai meluangkan waktu han
"Halo, Mbak Jihan, perkenalkan, aku Ralin, kekasih suamimu."Mendadak ruangan yang diperuntukkan bagi talent berdandan itu hening. Tempat yang tadinya ramai oleh canda dan tawa menjadi senyap seketika. Ruangan itu sempurna tanpa suara. Hanya terdengar pendingin ruangan yang berdesing pelan menandakan benda itu bekerja secara maksimal.Hampir secara bersamaan, semua orang yang ada di ruangan itu menoleh pada gadis muda yang berdiri santai di samping meja rias Jihan. Wanita itu tersenyum lebar dan mengulurkan tangan pada Jihan yang masih terpaku menatapnya dengan wajah kebingungan. Ketukan di pintu membuat kesibukan yang sempat terhenti menggeliat kembali. “Jihan, siap-siap yuk. Giliran kamu perform lima menit lagi.”“Oke, Mas Galang.” Jihan mengangkat jempol sambil mengedipkan mata pada crew stasiun televisi swasta itu. “Sudah, Kak?” Jihan menoleh pada Sisi, MUA yang sejak tadi memoles wajahnya dengan riasan dan memastikan pakaian yang dia kenakan menempel dengan sempurna di tubuh lan
“Nanti ya, Kak? Aku persiapan tampil dulu. Sebentar lagi giliranku.” Ralin tersenyum lebar pada beberapa wartawan yang sejak tadi terus mengikutinya kemanapun. Gadis itu berjalan cepat meninggalkan awak media yang terus menanyakan tentang ucapannya pada Jihan tadi.Saat akan naik ke panggung, Ralin melihat Jihan sedang melakukan konferensi pers. Kembalinya Jihan ke dunia modeling yang sepuluh tahun ini ditinggalkannya memang menarik atensi publik cukup tinggi. Di sampingnya, lelaki bertubuh atletis dengan tinggi seratus delapan puluh sentimeter duduk mendampingi sambil sesekali bercanda dengan dua mereka.Ralin menarik napas panjang. Dia urung melanjutkan langkah saat Aditya menoleh. Hatinya bergemuruh ketika tatapan mereka bertemu. Walau jarak mereka cukup jauh, Ralin dapat merasakan sorot mata lelaki itu menatapnya tajam. Sekejap, pria berusia empat puluh satu tahun itu langsung mengalihkan pandangan lagi.Ralin tersenyum tipis. Dia menarik napas panjang untuk mengendalikan getar-ge
“Apa salah satu alasan Jihan kembali ke dunia modeling adalah karena merasa kalah saing dengan Ralin?”“Ralin?” Aditya menautkan alis dan secara refleks mengulangi nama yang disebutkan oleh awak media barusan. Dia menoleh cepat pada Jihan yang juga sedang menatap dirinya dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Apa Anda mengenal Ralin?” Sontak para awak media langsung fokus pada Aditya. Lelaki itu menarik napas panjang. Rahangnya terkatup rapat, dia tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul malam ini.“Saya merasa inilah saatnya saya kembali ke dunia yang sudah membesarkan nama saya.” Jihan menjawab tenang saat keadaan mulai tidak terkendali. “Kedua anak saya sudah mandiri. Rayna sepuluh tahun dan adiknya, Damar, sebentar lagi genap berusia tujuh tahun.” Jihan tersenyum lebar. Tangannya bergerak menggandeng tangan Aditya.“Saya merindukan masa-masa saat menjadi model. Masa-masa penuh perjuangan dulu sebelum saya dipersunting oleh lelaki tampan di samping saya ini.” Jihan dan Aditya b
“Mari, Pak Afrizal, Pak Aditya.” Ralin mengangguk sopan dan mengikuti manajernya untuk mulai melakukan pemotretan.Afrizal mengangguk-angguk. Lelaki itu tersenyum lebar melihat ketegangan antara Ralin, Jihan dan Aditya. Apapun yang terjadi, dia akan mendapat keuntungan dari kerjasama ini. Apalagi kalau sampai ada singgungan lagi antara mereka. Produk yang dia keluarkan akan semakin booming. Zaman ini, apapun yang viral akan cepat mendapat perhatian.“Cakra Buana.” Afrizal mendesiskan nama orangtua Aditya. “Tidak kusangka, bisnis kita akan bersinggungan kembali. Puluhan tahun lalu kita gagal saat bekerjasama. Kini, semoga kerjasama ini akan berhasil dan membawa keuntungan besar.” Afrizal memandang nama perusahaan Mata Air Buana yang megah. Simbol kejayaan perusahaan itu di masanya.“Sehat, Pak Afrizal?” Pertanyaan Jihan membuat Afrizal mengalihkan perhatian dari hamparan air yang menjadi latar nama perusahaan Buana. Dia sedikit keheranan kenapa pengusaha itu sampai meluangkan waktu han
“Terima kasih.” Dirga menerima sebotol air mineral yang diberikan Armila. Mereka baru saja memberikan pengarahan pada anggota tim terkait pekerjaan yang akan dimulai pekan depan. “Kalau proyek kali ini sukses juga, mungkin kita akan menjadi perwakilan kerjasama dari perusahaan masing-masing selamanya, Bee.” Armila tersenyum lebar sambil mengangguk. Wanita itu meletakkan helm proyek yang dipakainya. Dia duduk di samping Dirga yang sedang menyelonjorkan kaki.Dirga hanya menanggapi ucapan Armila dengan anggukan kecil. Matanya menatap sekitar. Rencana pembangunan jalan karena akses daerah terputus akibat longsor beberapa bulan lalu mulai mereka tangani.Entah bagaimana caranya para petinggi perusahaan bekerja hingga akhirnya proyek ini bisa dimenangkan oleh mereka. Cuaca yang cukup panas membuat Dirga langsung menenggak habis sebotol air yang diberikan Armila.“Bee?” Armila terus memandangi wajah Dirga yang tidak sekalipun menatapnya. Bee, panggilan sayang darinya untuk Dirga semasa ber
“Begini, sebenarnya, dalam sebuah organisasi, kehadiran itu sangat penting.” Aditya tersenyum saat menatap mata Jihan. “Dengan hadirnya kita, akan terjalin kedekatan emosional. Hal itu akan menyebabkan kita menjadi satu frekuensi. Dari sana, visi dan misi yang sudah disusun bisa dicapai. Tentu saja, keberhasilan usaha akan mengikuti kalau pengelolanya sudah sejalan.”Jihan diam mendengarkan penjelasan Aditya. Dia mulai memikirkan cara agar tidak terlalu sering absen dari RPH. Karirnya di dunia modeling tidak akan lama lagi. Model-model muda sudah mulai berdatangan. Proses regenerasi alami yang pasti terjadi.“Bagaimana hasil pertemuan tadi, Mas?” Jihan bertanya setelah diam beberapa saat. Dia dapat merasakan bahu suaminya sedikit menegang hingga membuat Jihan sedikit menautkan alis. Ada apa?“Perjanjian kerjasama sudah ditandatangani.” Aditya menarik napas panjang. Sebenarnya, sejak tadi dia berpikir keras bagaimana cara menyampaikan tentang Ralin yang terlibat di dalamnya. Dua tahun
“Rencananya nanti pas kelas tiga, Ma. Karena ‘kan minimal usia lima belas tahun. Jadi, belum bisa sekarang-sekarang ini.” Rayna mengambil paha ayam masak lada hitam. Dia hanya memutar bola mata saat Damar mendelik. Ini potongan ayam ketiga yang dia ambil.“Kak Rayna memang tidak takut gendut? Nanti kayak gajah!” Damar terkekeh.“Dih? Kok body shaming? Nggak boleh begitu, Damar!” Rayna mendelik. “Jangan-jangan di sekolah kamu sering membully temanmu yang gendut ya?” Rayna mengacungkan garpu di tangannya ke arah Damar.Jihan menggeleng melihat kelakuan dua anaknya. Bahkan saat di meja makan pun ada saja yang bisa membuat kakak beradik itu beradu argumen. Wanita itu memegang tangan Rayna. Dengan kode mata, dia meminta Rayna menurunkan tangannya yang teracung.Damar tersenyum lebar melihat wajah tertekuk kakaknya saat dipelototi oleh Mama mereka. “Maksud Damar kan baik, Kak, biar Kak Rayna bisa jaga badan."Rayna menatap adiknya gemas. Bisa-bisanya anak kelas tiga SD itu berbicara tentang
“Aku tidak habis pikir kenapa kamu tahan hidup dengan wanita bar-bar ini, Dir.” Armila langsung berjalan keluar ruangan saat mendengar ucapan Nia. “Nia … please.” Dirga menahan Nia. Tatapan matanya penuh permohonan agar Nia tidak lepas kendali dan menghajar Admila di hadapan teman sekantornya yang sebagian besar masih berada di sana.Nia mengembuskan napas kencang. Dia memilih bungkam bahkan setelah mereka berada dalam perjalanan pulang.“Aku dan Armila sudah tidak ada hubungan apa-apa. Kami murni berkomunikasi sebatas urusan pekerjaan, Nia. Aku juga tidak bisa menolak amanah dari perusahaan. Aku tidak bisa menentukan siapa utusan yang akan perusahaan sana kirim untuk perwakilan koordinator mereka.” Dirga mengembuskan napas kencang melihat Nia yang sejak tadi diam saja.“Kamu sering mengantar-jemput dia?”“Hanya mengantar. Ya, adalah beberapa kali. Itupun karena kasihan. Dia kadang datang menggunakan taksi, pulangnya sering kebingungan karena lokasi proyek ke jalan raya jauh ….”“Ah!
“Pak Dirga, sudah ditunggu Pak Siswani di ruang VIP.” Rina, sekretaris perusahaan menunjuk satu ruangan saat Dirga akan duduk bersama rekan-rekan yang lain.“Ruang VIP?” Dirga mengulangi ucapan Rina. Dia melirik Nia yang sudah saling sapa dengan istri rekan kerjanya yang lain. Belasan tahun bekerja disana, antar karyawan dan keluarganya memang cukup dekat. Setiap ada acara kantor, pasti melibatkan keluarga hingga terjalin hubungan baik.“Iya, Pak. Proyek kerjasama kemarin hasilnya sangat memuaskan. Sebagai koordinator selama proyek berlangsung, Bapak diminta ikut bergabung oleh Pak Siswani untuk merayakan keberhasilan bersama rekan bisnis.” Rina tersenyum pada Nia yang datang lagi ke samping Dirga. Mereka saling tanya kabar setelah bersalaman.“Baiklah. Ayo, Sayang, kita kesana.” Dirga melingkarkan tangan ke pinggang Nia. Walau hubungan mereka sedikit renggang akhir-akhir ini, tapi di luar rumah mereka tetap tampil harmonis.“Selamat siang, maaf saya terlambat.” Dirga langsung menyala
Hampir dua jam saat akhirnya mobil Jihan memasuki area RPH. Dia akan mengikuti evaluasi kinerja bulanan setelah dua bulan berturut-turut tidak bisa datang. Wanita itu mengambil ponsel untuk mengabari Aditya sebelum turun, dia lupa memberitahu suaminya saat akan berangkat tadi.“Mas, aku sudah sampai di RPH. Maaf tadi lupa mengabari kalau hari ini aku akan keluar. Semangat, semoga pertemuan rencana kerjasama dengan investor hari ini berjalan lancar.”Di sini, Aditya tersenyum membaca pesan dari istrinya. “Aamiin. Doakan gol ya? Meeting belum dimulai, masih menunggu model yang akan menjadi brand ambassador produk yang mereka ajukan.” Aditya membalas pesan dari Jihan. Lelaki itu tersenyum tipis melihat istrinya sedang mengetik balasan di seberang sana.Usaha yang Aditya kelola memang sedang membutuhkan modal yang cukup besar agar bisa bangkit kembali. Sebenarnya, usaha itu sudah mulai stabil lagi. Namun, kalau tidak ada suntikan modal ya akan begitu-begitu saja. Sementara Aditya ingin u
Ah … tapi, pada akhirnya dia hanya menertawakan pertanyaan itu. Seperti kata Aditya, kalau wanita-wanita itu pintar dan punya ot*k untuk berpikir, pasti mereka tidak akan mau menjadi simpanan.Namun, kali ini dia tergelitik. Bukan wanita itu yang menghubunginya, tapi Nia, sahabat sekaligus mantan manajernya yang memberitahu. Bahkan, kalau Jihan tidak salah dengar, barusan Nia mengatakan affair itu sudah berlangsung setahun lamanya.Luar biasa. Siapa wanita itu yang sangat pintar menyembunyikan perselingkuhan sehingga tidak terendus sedikitpun olehnya?“Ralin Kamala.”“Ralin … siapa?” Jihan menautkan alis. Nama yang disebutkan Nia barusan tidak asing di telinganya. “Ralin! Model yang sedang naik daun itu?” Jihan bertanya sedikit berteriak saat berhasil mengingatnya.“Iya. Baru saja aku memergoki mereka saat akan check in di Bandara. Mereka ada di depanku, Je. Wanita itu menggandeng tangan Mas Aditya mesra sepanjang antrian.” Nia menjelaskan dengan terburu-buru. Jihan dapat mendengar
“Tidak seperti biasa, kemarin, Ralin berlalu begitu saja dengan senyum manisnya saat melewati wartawan. Biasanya, model yang namanya sedang di atas itu selalu menanggapi setiap pertanyaan yang awak media berikan.” Jihan menginjak rem saat lampu hijau di pertigaan sana berubah menjadi merah. Wanita yang mengenakan gamis motif mawar dengan hijab pasmina hitam itu mengencangkan suara radio. Matanya memperhatikan sekitar, penjual asongan berlarian menawarkan dagangan. Memanfaatkan sekian detik lampu merah yang berharga. “Untuk acara fashion show yang iklannya dimana-mana itu sudah deal. Ralin pasti ikut dong. Ibaratnya, kiblat dunia model itu sekarang lagi ke dia ‘kan. Jadi tidak usah ditanyakan lagi lah. Kalau mengenai wajahnya yang belum ada di banner atau belum muncul di iklan, save the best for the last ‘kan?” Jihan ikut tersenyum mendengar kekehan dari radio. Dia kenal sekali suara itu. Rey Mantika, lelaki melambai yang menjadi manajer beberapa model ternama. Namanya cukup dikenal