Selena tak dapat menolak tawaran Bayyu untuk mengantarnya pulang. Sudah sepuluh menit ia tak dapat juga taksi online. Beberapa kali juga pesanannya dibatalkan. Kode alam mengisyaratkan akan segera turun hujan. Ia ingin cepat pulang. Lembur akhir bulan telah menyita seluruh energinya. Ia ingin cepat-cepat bertemu kasur.
Tanpa pikir panjang, ia iyakan tawaran Bayyu. Terlihat gurat kelegaan di wajah lelaki itu. Lima menit pertama Selena berada di samping kemudi Bayyu, hening. Kedua insan yang pernah bertaut hati itu sama-sama menekuni sunyi di dalam batin masing-masing. Bingung ingin memulai percakapan apa."Ehm, udah makan?" Akhirnya sejurus basa-basi meluncur dari kerongkongan Bayyu. Memecah canggung di antara keduanya. Selena mengangguk. Mengisyaratkan sudah. Tak lupa ia mengurai senyum tipisnya. Bayyu ber-oh di mulutnya."Aku belum," ucap Bayyu pada dirinya sendiri. Tentu saja Selena masih cukup peka menerjemahkan kode yang dimaksudkan Bayyu tersebu"Aku masih sangat mencintaimu. Maukah kau menjadi kekasihku lagi?""Ee.. ya, aku mau. Tapi, bagaimana dengan istrimu?""Biarlah itu menjadi urusanku. Tidak terlalu penting untuk dipikirkan.""Mas Bayyuuu! Bisa-bisanya kau bilang seperti itu!"Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Bayyu. Tapi, justru Airinlah yang mengaduh kesakitan."Aw," pekik lirih Airin menahan bobot tangan yang mendarat di wajahnya.Ia singkirkan telapak tangan suaminya perlahan-lahan. Rupanya itulah biang kerok yang telah membangunkan ia dari mimpi buruknya. Ya, masa lalu Bayyu dan Selena masih menghantuinya. Bahkan, tidak pernah bisa ia lupakan sama sekali. Sampai-sampai kerap terbawa mimpi. Seperti pagi ini.Rupanya gegera mimpi itu, ia jadi bangun kesiangan. Tapi, untungnya hari Minggu. Ia tidak perlu bergegas menyiapkan sarapan. Masih bisa bersantai sejenak.Ia tengok sosok di sampingnya. Lelaki yang masih tergole
Kedatangan Bayyu menjadi pusat perhatian di kantor. Semua pasang mata tertuju padanya penuh selidik. Kasak-kusuk terasa di belakang punggungnya. Jelas membuatnya risih. Tidak nyaman, sekaligus penasaran. Ia perhatikan penampilannya. Dari ujung sepatu hingga rambut, sepertinya tidak ada yang salah.Sampai di ruangan, ia mencari-cari sekretaris kesayangannya, Shinta. Belum datang juga. Selalu begitu. Jika tidak ingat mereka berteman baik, pastilah sudah ia ganti dengan yang lain. Yang lebih muda dan seksi tentunya."Pagi, Bayy. Aku tidak terlambat, lho. Kamu aja yang datangnya kepagian, hehe," sapa Shinta dengan senyum tanpa dosa. Panjang umur benar. Baru saja dicari, sudah menampakkan diri."Kebiasaan, kamu, Shint. Untung aja kita teman baik," gerutu Bayyu."Ya salahin si Bagas aja. Aku telat karenanebengdan nungguin dia. Aku, sih, udahreadydari puagi buanget," bela Shinta sambil menjatuhkan b
Suasana duka menggelantung di atap rumah masa kecil Airin. Ibunya telah berpulang. Nyawanya tak tertolong meski sempat dilarikan ke rumah sakit. Terlambat penanganan. Jantung koroner yang diderita ibunya telah merenggut nyawanya secara mendadak.Itulah alasan sebenarnya mengapa Airin selalu mengiyakan setiap perkataan ibunya. Tidak pernah menolaknya. Selalu berupaya membuatnya senang. Membahagiakannya.Sebab penyakit kronis yang diderita ibunya. Kendati demikian, ibunya juga tak bersedia untuk diboyong ke rumahnya. Tinggal bersamanya dan Bayyu. Menantu pilihannya.Padahal, justru ulah menantu idamannyalah yang membuatnya meregang nyawa. Itu baru diketahuinya ketika seorang tetangga mengabarkan perihal video tamparan yang viral itu."Bu, Bu. Gawat, Bu. Ini, lho, suaminya Mbak Airin menikah lagi." Begitu ucap si tetangga yang melapor.Sontak video toktok berdurasi 15 detik itu membuat ibu Airinshock. Jelas kaget buk
Bayyu tak dapat tidur. Raganya jelas lelah. Tapi masih lebih lelah otak dan hatinya yang memikirkan Airin. Entah mengapa pikirannya tiba-tiba tidak enak. Membuatnya ingin menengok istrinya di kamar utama. Sambil mengambil charger HP-nya yang tertinggal di sana.Bayyu membuka pintu. Meski lampunya mati, tapi ia masih bisa menemukan sosok istrinya di atas kasur. Eh, tunggu. Ada yang aneh dengan posisi tubuh Airin."Aiii...! Astaga, apa yang sudah kamu lakukan, Ai!"Bayyu tergopoh meraih tubuh Airin yang tergolek tak berdaya di atas ranjang. Wajahnya seputih kapas. Pergelangan tangan kirinya terjuntai. Hampir menyentuh bibir lantai. Persis di bawahnya, darah segar menggenang. Airin tak sadarkan diri.Bayyu panik. Ia bingung harus melakukan apa. Ia rengkuh raga istrinya. Menggoyang-goyangkan tubuhnya. Memanggil nama Airin berkali-kali. Nihil tak bersahut.Ia ambil ponselnya. Menekan 118. Nomor layanan ambulance unit gawat daru
Langkah Bayyu mendadak terhenti di depan kamar rawat Airin. Padahal, gagang pintu sudah diraihnya. Tapi, pemandangan yang ia tangkap dari balik ornamen kaca membuat niatnya urung. Ia tidak ingin merusak momen itu. Selama bersamanya, ia tak pernah melihat Airin tertawa selepas itu.Tadinya, ia berniat untuk mengistirahatkan diri. Tidur barang sejenak di rumah. Sekalian memberi waktu untuk Airin menenangkan diri dan menerima maaf darinya. Sesungguhnya, ketika Airin menyuruhnya pergi, ia tak bermaksud benar-benar ingin pergi.Meski sudah di rumah, batinnya tetap gundah. Matanya memejam tapi pikirannya berlarian. Isi kepalanya mengutuki dirinya sendiri. Suami macam apa yang tega membiarkan istrinya terbaring sendirian di rumah sakit? Ya, meskipun kehadirannya tak diinginkan, bukankah seharusnya ia memaksa untuk tetap bertahan? Hatinya berkonflik.Dorongan nurani Bayyulah yang akhirnya menyeretnya kembali ke rumah sakit. Ia sudah mengabark
Pulang. Airin telah diboyong kembali dari rumah sakit. Tentu saja dengan serangkaian pertikaian kecil dan adu argumen dulu, baru akhirnya ia bersedia pulang bersama Bayyu. Tentu saja dengan syarat: ia tak mau sekamar dulu. Ingin menenangkan diri dan perasaannya. Pisah ranjang menjadi pilihannya sebelum akhirnya keputusan itu benar-benar akan ia tunaikan. Berpisah."Baiklah. Sampai kapan?" tanya Bayyu setelah menyepakati permintaan Airin untuk berpisah kamar. Airin di kamar utama, dirinya di kamar tamu."Tidak tahu. Sampai aku benar-benar yakin dan mantab untuk berpisah denganmu.""Ai, kenapa mesti pisah, sih? Aku akui aku banyak salah ke kamu. Selalu menyakiti perasaanmu. Tapi, aku nggak pernah melalaikan tanggung jawabku, kan? Kamu hidup berkecukupan secara materi. Aku juga selalu pulang ke kamu. Memperlakukanmu dengan baik ketika di rumah. Artinya, ya aku akan selalu kembali dan menjadi milikmu seutuhnya.""Lantas di luar rumah, kamu beb
Tidak ada pilihan lain. Selena menghubungi Glenn Bagas untuk meminta tolong membawa Bayyu pulang. Bisa semakin runyam masalahnya kalau ia yang mengantar Bayyu. Bisa jadi perang ketiga dengan Airin."Mas Glenn, maaf banget mengganggu malam-malam. Mas, aku mau minta tolong. Urgen banget ini," buka Selena ketika sambungan teleponnya terjawab.Glenn menjawab malas."Ada apa?""Nanti aku jelasin di sini, Mas. Sekarang tolong Mas ke sini dulu, ya. Mas Bayyu parah ini. Mabuk parah. Aku kirim lokasinya."Tanpa berbasa-basi lagi, Selena menutup teleponnya. Segera mengirimkan titik lokasi keberadaannya kepada Glenn.Meski sangat malas karena sudah berada di atas tempat tidur, Glenn tetap saja berangkat. Tentu saja dengan menggerutu di dalam hati, 'Apa lagi, sih, yang mereka lakukan semalam ini? Selalu saja berujung masalah.'Glenn Bagas tiba dicoffee bar. Matanya celingukan mencari keberadaan Sel
"Nah, jadi itu tadi syarat-syaratnya, ya, Mbak. Lalu alurnya, Mbak nanti mendaftarkan gugatan cerai dulu dan setelah itu membuat surat gugatan. Nah, di surat gugatan itu harus mencantumkan alasan cerai itu karena apa.Alasannya itu harus bisa diterima pengadilan. Misalkan, suami berbuat zina yang tidak dapat disembuhkan, atau terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus serta tidak ada lagi harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Nah, alasan tersebut nantinya disertai bukti-bukti dan saksi yang akan di ajukan di pengadilan."Airin menyimak uraian penjelasan petugas yang didatanginya di kantor pengadilan agama. Ia tengah mencari-cari informasi terkait pengajuan gugatan cerai yang sudah ia mantapkan di kepala."Apakah nantinya saya bisa mewakili diri saya sendiri, Pak, di depan hakim? Atau, harus didampingi advokat?""Bisa saja, Mbak. Tapi, memang kalau mengurus sendiri itu akan sedikit lebih rumit. Tapi, bisa. Sebenarn