Lamaran kemudian menikah, hidup bahagia mendampingi Ervin. Sesederhana itu rencana Yusra, dia tak ingin pesta yang mewah nan megah. Cukup baginya doa restu dari orang terkasih mereka. Setelah lamaran, Yusra pun tak ingin berlama-lama dengan status tunangan, karena dia paham betul peraturan yang sangat ketat dari sang ayah, yang tak membolehkannya berdekatan atau pun sering bertemu dengan tunangannya. "Aku takut tak kuat menahan rindu," gumam Yusra yang diiringi senyuman.
Sekelebat bayangan Idham muncul tiba-tiba. Tadi dia buru-buru menundukkan pandangannya ketika berpapasan dengan Yusra. Laki-laki yang menjadi rekan ayah Yusra itu sepertinya memang alim, bukan kaleng-kalengan. Lihat saja caranya berpakaian, bertutur sampai mengajar anak-anak pun terlihat lembut, tetapi tegas. Pantaslah ayah Yusra betah dan percaya padanya. Meskipun yayasan yang dibuat tidaklah ramai, tetapi ayah Yusra tak mau mengambil sembarang orang untuk mengajar anak didiknya.
Ayah Yusra memang pintar mencari rekan kerja. Selain alim, Idham juga ganteng. Mata, bibir, dan alisnya yang lebat, wajah yang bersih seperti memancarkan cahaya. Postur tubuhnya juga tak kalah keren dengan model-model yang sering dilihat Yusra di Jakarta. Sayangnya, semua yang membuat Yusra kagum itu tertutup dengan penampilan pakaian sederhana Idham.
"Astagfirullah," ucap Yusra lirih. Dia sempat terpesona ketika kali pertama melihat Idham. Entah beberapa kali gadis itu beristigfar dalam hati, meski sudah menundukkan pandangannya. Namun, tetap saja hatinya terusik, seperti rasa penasaran ingin melihat laki-laki itu sekali lagi, lebih lama lagi.
Barangkali karena Idham rekan ayahnya. Jadi, wajar saja Yusra penasaran dengan sosok laki-laki itu, karena hampir dua tahun ayahnya mencari partner dan dia yang dipilih. Berarti Idham luar biasa, bukan?
Meski tak pulang, tetapi Yusra tahu apa yang terjadi di rumah ini. Saat di Jakarta, ibunya hampir tiap hari menelepon Yusra. Menceritakan banyak hal tentang keluarga, tanamannya, kucing-kucingnya, sampai anak tetangga pun jadi bahan cerita mereka di telepon.
"Masha Allah, Anak Ibu." Suara ibu memecah lamunan Yusra. Dia lekas berdiri lalu berlari kecil menghampiri ibu dan memeluknya erat.
"Ibu, kangen, Sayang ...." Gadis cantik berkulit putih itu membenamkan wajah di dada ibunya. "Ndak bilang-bilang mau pulang, Ibu kan bisa siap-siap," protes perempuan setengah baya tersebut seraya mengurai pelukannya.
"Kan kejutan, Bu."
"Ibu, kok, ndak terkejut," kelakar Raisyifa.
"Ah, Ibu," panggil Yusra manja.
Perempuan berdarah Jawa itu kembali memeluk tubuh Yusra. Diciumnya pucuk kepala Yusra berkali-kali. Dengan perempuan ini, Yusra merasa selalu seperti anak kecil bisa bermanja-manja. Apa pun kesalahan dan kenakalan Yusra, maka perempuan inilah yang selalu membelanya.
Yusra jadi ingat kejadian beberapa tahun lalu, yang membuatnya kapok untuk berbuat salah karena beratnya hukuman ayah. Bukan hanya dapat ceramah panjang kali lebar saja, tetapi lamanya hukuman yang dijalaninya.
Sempat terpikir oleh Yusra, bagaimana reaksi ayahnya nanti ketika tahu calon menantu adalah Ervin. Anak yang pernah menggoda Yusra hingga membuat Najib malu di pesantren.
Perlahan ingatan Yusra kembali ke masa itu. Ada kegiatan hari besar di pesantren. Semua santri ikut hadir. Dalam acara tersebut Ervin diminta pidato berbahasa inggris, sedangkan Yusra diminta menjadi pembawa acara. Selama acara berlangsung ternyata Ervin diam-diam memerhatikan Yusra. Sejak saat itu, Ervin selalu mencari kesempatan untuk dapat menemui Yusra.
Puncaknya rasa penasaran Ervin pada saat acara lomba tujuh belasan. Entah bagaimana caranya, dia begitu berani menyelinap ke kelas santri perempuan. Padahal, santri perempuan dan laki-laki itu dipisahkan baik asrama maupun waktu belajar, makan dan segala kegiatan di pesantren lainnya. Hanya kegiatan hari-hari besarlah para santri dikumpulkan dan pastinya tetap ada sekat antara santri laki-laki dan perempuan.
"Assalamualaikum. Afwan, aku ingin masuk, mau ambil sesuatu." Yusra masih menunduk, dia terlihat malu melihat wajah teman laki-lakinya.
Bukannya memberikan jalan, Ervin malah sengaja berdiri di tengah pintu masuk sambil terus memerhatikannya.
"Maaf, permisi. Saya buru-buru nanti kalau ada yang lihat, kita bisa kena hukum."
Ervin bergeming seperti tak mendengar, satu kakinya diangkat sampai menyentuh ganggang pintu.
Menurut kabar yang Yusra dapat, Ervin menyukainya dan ingin menyatakan cinta. Namun, Yusra tak peduli dan tak mau tahu kebenaran kabar tersebut. Setahu Yusra, pesantren tempatnya menimba ilmu ini sangat terkenal ketat dan tidak main-main bila ada santri yang sengaja melanggar peraturan. Tak pilih kasih walaupun anak dari tenaga pengajar di pesantren tersebut.
"Maaf! Saya buru-buru, Ustazah Lili sedang menunggu saya."
"Oke, tapi terima dulu cintaku baru kamu boleh masuk," katanya sambil penuh penekanan setiap kalimat.
"Apa-apaan sih, kamu? Cepat minggir saya buru-buru atau saya akan teriak." Yusra mengancamnya.
Sepertinya kata-kata itu cukup ampuh, Ervin menurunkan kakinya dan bergeser jauh dari pintu. Yusra mempercayainya, dengan enteng gadis itu masuk ke kelas, yang ternyata disusul oleh Ervin. Yusra kaget sekaligus geram. "Nekat, ya, kamu. Keluar! Atau saya benaran teriak."
Yusra menatap Ervin tajam. Namun, laki-laki itu tak peduli dan terus mendekat ke arahnya.
"Mundur!" perintah Yusra, yang diabaikan Ervin. Di saat Yusra terus menghindar, tiba-tiba dia terpeleset dan terjatuh.
Gadis itu sempat mengaduh dan terduduk kesakitan, karena punggungnya menyentuh sisi meja dengan keras.
Ervin panik, dilihatnya wajah Yusra yang pucat. Dia ingin mendekati dan bermaksud membantu Yusra bangkit. Namun, tak lama setelah dia ikut berjongkok di samping Yusra. Tiba-tiba dua remaja itu dikejutkan dengan teriakan keras ayah Yusra, disertai sorak para santri yang lain.
Sejak kejadian itu, ayah Yusra mengundurkan diri sebagai tenaga pengajar dan melarang keras Yusra berteman dengan siapa pun, hingga hari ini. Berkali-kali Yusra menjelaskan, bahwa dia dan Ervin tak melakukan apa-apa. Tak ada hubungan khusus seperti yang dituduhkan teman-temannya. Namun, Najib tak mau percaya hingga kini. Tetap saja semua pergaulan Yusra diperhatikan sang ayah. Meskipun dia tinggal jauh di Jakarta, tetapi tetap dalam pengawasan ayahnya.
Lucu, malu, sekaligus merasa bersalah. Yusra tersenyum bila mengingatnya, sebab kejadian itu, Yusra dapat mengenang kali pertama teman laki-laki menggodanya. Laki-laki itu juga terus mengkhawatirkannya, karena hukuman dari sang ayah, hingga membuatnya berjanji akan menebus kesalahan di suatu hari nanti. Mungkin nanti ketika sudah menikah, sudah halal, Yusra benar-benar dapat melihat dan merasakan laki-laki itu menunaikan janjinya.
Ah, Yusra benar-benar tak sabar ingin segera dilamar.
***
"Ra, kamu capek? Ayahmu ngajak ngobrol." Ibu masuk mendekati Yusra.
"Enggak kok, Bu. Aku minta waktu sebentar ini lagi chat sama teman," pintanya.
Sudah dua hari Yusra pulang, tetapi rencana untuk membicarakan lamaran selalu tertunda. Ayahnya selalu sibuk dengan kegiatan amal di masjid. Sedangkan ibu, terbiasa menurut keputusan sang ayah. Jadilah, apa ingin disampaikan Yusra selalu tertahan.
"Iya, Ayahmu nunggu di ruang keluarga, ya, Ra."
"Iya, Bu." Yusra kembali melihat ponselnya.
Beberapa menit menunggu balasan dari Ervin, tetapi jangankan dibalas dibaca saja belum. Dalam hati Yusra, tiba-tiba saja muncul keinginan untuk bicara dengan ayahnya, mumpung laki-laki itu ada waktu luang. Bila ayah dan ibunya setuju, Yusra akan memberitahu Ervin untuk datang bersama orang tuanya.
"Nah, loh, kena sidang." Izzan mengejek Yusra, dia duduk di meja makan sambil mengunyah camilan.
Yusra sengaja ke dapur mengambil air minum, sebelum duduk di hadapan ayahnya. Biasanya, kalau laki-laki bersikap tegas itu mengajak bicara, berarti ada sesuatu yang ingin dibahas, penting.
"Jangan-jangan mau ngomong tentang Ervin."
"Abang ...."
"Tapi benar kan, kamu sama Ervin, ada hubungan? Kalian diam-diam sering ketamuan, ya? Teleponan. Iya kan?" tanya Izzan, yang berhasil membuat mata Yusra terbelalak dan melongo. Wajahnya pun merah padam.
"Jangan asal ngomong, nanti jatuhnya fitnah, Bang," ucap Yusra kesal.
"Eh, siapa yang asal? Kalian memang ada hubungan kan?"
Mulanya Yusra ragu untuk menjawab, dia hanya memberikan seulas senyum lalu berujar, "Iya, tapi kita enggak pernah ketemu. Apa lagi berdua-duaan gitu."
Yusra kesal langsung memasang gaya berdecak pinggang, dadanya sedikit dibusungkan ke depan. Kedua matanya juga menatap tajam pada Izzan, seakan menegaskan apa yang dikatakan laki-laki itu tidak lah benar.
"Tapi ada kok, foto kalian berdua di taman. Iya kan? Udah enggak usah mengelak," ejeknya lagi.
"Astagfirullah, Abang! Di sana kita tak hanya berdua. Di taman itu masih banyak pengunjung lain, lagian itu foto dua tahun lalu," tegasnya.
"Ah, sudahlah. Malas meladeni Abang Izzan, pasti dia juga tak percaya. Kalau pun percaya, dia pasti sengaja mau kerjai aku." Yusra membatin karena malas meladeni Izzan.
Gadis cantik itu lekas beranjak, ditinggalnya Izzan yang asyik dengan camilannya dan beralih menuju ke ruang keluarga.
Yusra terus menerka-nerka apa yang sebenarnya yang ingin dibicarakan ayahnya? Nanti kalau ayah sudah selesai, dia harus mengutarakan maksudnya. Jangan sampai menyia-nyiakan waktu luang sang ayah.
Di ruang keluarga yang tak seberapa besar, ibu dan ayah sudah duduk menunggunya. Yusra menghampiri sisi kiri ibu, lalu duduk di samping."Ra, kamu benaran ndak mau perpanjang kontrakmu?" tanya Najib membuka percakapan."Sebenarnya bukan enggak mau, tapi Yusra pengen ....""Pengen kawin?" celutuk Izzan."Hus! Abang," tegur ibu lembut.Yusra tersipu, secara tidak langsung apa yang ingin disampaikannya terwakili candaan Izzan."Kalau pun iya, kenapa malu? Kamu sudah cukup dewasa untuk menikah, Ra. Jangan menunggu abangmu. Dia anak laki-laki, menikah di umur tiga puluh lima pun tak masalah. Beda sama anak perempuan. Kamu sudah selesai kuliah, sudah menggapai apa yang kamu impikan, sudah kerja, apa yang lagi kamu tunggu selain jodoh?"Gadis itu tersenyum menatap ayahnya, sungguh ini benar-benar sebuah keberuntungan. Gayung bersambut, dia harus bicara tentang hubungannya dengan Ervin."
"Ndak, Sayang. Kamu tetap anak Ibu dan Ayah. Kamu tetap si bungsu Ibu. Kamu boleh cari orang tua kandungmu tapi kamu ndak boleh pergi dari rumah ini." Selama ini, mereka memberikan yang terbaik untuk Yusra, layaknya anak kandung tak ada yang pilih kasih. Bahkan mereka lebih menyayangi Yusra dibandingkan Izzan. Meskipun bukan orang tua kandung, tetapi mereka memberikan kasih sayangnya dengan tulus. Memanjakannya, mengajari agama, menasihati jika salah. Mengabulkan permintaan Yusra selagi mereka mampu dan baik menurut syariat agama. Ah, Yusra, dia benar-benar si buntung yang beruntung. Harusnya Yusra bersyukur, karena belum tentu hidup seberuntung seperti sekarang ini. Walaupun dia anak pungut, tetapi kasih sayang orang tuanya sama seperti abangnya-- Izzan. Apalagi mengingat kedua orang tua kandungnya, Yusra masih bayi saja, mereka tega membuang Yusra. Lantas, kenapa sekarang terpikir untuk mencari mereka? Ini memang terlalu bera
"Oke." Yusra mengacungkan jempolnya. Sebisa mungkin Yusra bersikap biasa. Walaupun dalam hatinya terasa canggung. Rasanya tak patut lagi dia bersikap manja seperti seorang anak kandung. Meskipun ibu selalu mengatakan tak ada yang boleh berubah. "Si Bungsu, Ibu" begitu timang Raisyifa sejak dulu.Setelah memarkirkan mobil ke garasi, Najib dan Raisyifa duduk di ruang tamu. Yusra datang membawa sepiring mangga dan segelas air putih sambil menunggu kedatangan anak-anak.Halaman rumah masih sepi, mungkin karena anak didik Najib belum ramai yang datang."Udah mau jam dua yang datang baru tiga anak, Yah." Ibu menengok ke teras."Ndak apa-apa, Bu. Yang lain mungkin lagi di jalan," terka Najib sembari mencomot mangga.Najib tak pernah bosan atau pun kehilangan semangat mengajarnya. Bagi Najib mengajarkan ilmu agama ngaji dan salat seperti menabung untuk bekal di kehidupan setelah meninggal nanti. Tak apa jika belum banyak anak
Wajah Yusra berbinar-binar mendapati sosok yang sangat dia rindukan, kini duduk bersama dengan Najib dan Idham di teras. "Siapa?" Yusra kaget saat ibu mendapatinya berdiri mengintip dari jendela. Perempuan itu masuk tanpa sepengetahuan Yusra."Bukan siapa-siapa, Bu," ujarnya sembari tersenyum."Masa?" Perempuan itu ikut tersenyum seraya mengusap kepala anaknya yang masih tertutup mukena, kemudian dia meminta Yusra membuatkan teh hangat.Sudah beberapa pekan Yusra pulang. Namun, dia belum juga sempat menyampaikan tentang hubungannya dengan Ervin, hingga laki-laki yang mampu mencuri hati Yusra itu nekat mendatangi rumahnya. Dengan alasan ingin mengunjungi temannya Izzan.Bukan main senangnya hati Yusra, tak henti-henti gadis itu menebarkan senyum selama membuatkan teh."Sudah tehnya? Biar ibu saja yang antar, ya?" Ibu meraih nampan dan menyusun beberapa cangkir teh lalu keluar dari dapur.Yusra
"Bukan. Temannya Bang Izzan, Yusra kenalnya waktu mengisi di acara pesantren dulu, Bu. Udah lama, Yusra juga udah lupa siapa namanya.""Oh, ibu kira teman dekat kamu, Nak." Raisyifa bangkit hendak keluar kamar."Dia minta ajari adik sepupunya main drum, Bu. Boleh enggak? Apa aku buka kursus main drum aja, ya. Menurut Ibu gimana?" tanya Izzan yang ikut berdiri."Kamu ini." Perempuan itu menepuk pundak Izzan. “Tanya ayahmu saja, Zann,” lanjutnya sambil meninggalkan Yusra dan Izzan, lalu kedua kakak beradik itu terdiam larut dengan pikiran masing-masing. Agaknya Yusra lebih berat yang di pikirkannya, anak mana yang mau melawan kehendak orang tuanya, bisa-bisa dikatai anak durhaka. Walaupun dia sendiri anak pungut di rumah itu.“Ngobrolnya di belakang, yuk,” ajak Izzan. Yang disambut anggukkan Yusra. "Tadi, ayah cerita apa saja, Bang?" tanya Yusra ketika baru tiba kolam ikan di belakang.
Yusra sudah menduga kemana arah pembicaraan ini jika dia tetap diam. Akan tatapi, dia pun tak punya kuasa untuk bicara terlebih lagi kondisi Najib yang memprihatinkan.Laki-laki tua itu sudah dua tahun belakangan ini sering terganggu kesehatannya. Kata dokter yang sering dia kunjungi tensi darah, kencing manis atau diabetesnya kadang kumat sulit terkendali. Najib hanya butuh obat dan istirahat yang cukup jika sudah merasa enakkan, dia akan kembali beraktivitas seperti biasa."Yusra," panggil Najib lagi, seakan menyadarkan gadis di samping bahwa pertanyaannya belum mendapatkan jawaban."Heem. Yusra malu, Yah, Yusra ...." Lama Najib menunggu Yusra menyelesaikan kata-katanya. Namun, hampir belasan menit Yusra tak juga menyelesaikan ucapannya.Najib menduga mungkin putrinya malu untuk mengakui ketertarikannya pada Idham."Yusra, ayah mau kamu jujur, Nak. Bilang saja kalau ada yang tidak sesuai dengan dugaan ayah dan ibu.""Ma
Seorang pria tampan dengan kaus berkerah hitam dipadu jeans abu-abu gelap turun dari mobil sedannya. Ia tersenyum sambil berjalan mendekati kekasih yang sudah menunggunya sejak tadi. Riuhnya suara band kafe dan pengunjung lain membuat Ervin tak sabar untuk sampai di hadapan Yusra. Maaf, ya, telat, " sapanya. Yusra tersenyum tipis dan menunjukkan minuman yang sudah
Yusra menggeleng. “Aku takut kalau jujur. Aku takut kamu marah,” ujar Yusra terbata-bata.“Kamu ini aneh, belum cerita tapi sudah takut. Kamu maling, ya?” canda Ervin.Hening. Yusra tak merespons candaan. Hatinya benar-benar porak-poranda setelah mendengar percakapan Najib tempo hari.Sebagai anak pungut yang dibesarkan dengan cinta kasih tanpa kurang apa pun, rasanya ia malu menolak permintaan dari orang tua. Selama ini, mereka tak pernah meminta Yusra melakukan apa yang mereka mau. Bahkan ketika gadis itu memilih sendiri kuliah di jurusan yang tidak disukai Najib sekali pun. Mereka tak mempermasalahkannya.Permintaan ayahnya kali ini mungkin terdengar menguntungkan untuk Yusra. Idham bukanlah pemuda sembarangan, ia dan keluarganya dikenal baik, santun. Jelas mapan karena punya usaha sendiri, taat beragama, dan pasti tampan. Idham memang berbeda dari sekian anak muda seusia dengannya, ia rela menjadi tenaga suka
Ia memang tak meyangkal pesona Idham. Sebagai wanita normal tentu saja lelaki di sampingnya kini tampak mendekati kata sempurna. Andai dibagikan rating penilaian maka nilai Idham adalah sembilan dari sepuluh angka yang disodorkan. Namun, bukan berarti pesona itu mudah mengubah segalanya. Karena hingga sampai saat ini, tetaplah Ervin yang bertahta di hatinya.Hening kembali menyelimuti mereka. "Aku enggak tahu dan enggak mau tahu masa lalu kamu. Aku pikir kita sudah cukup dewasa. Lagi pula percuma juga kita mempertahankan ego, sementara hati masih memikirkan perasaan orang lain. Bukankah itu sama saja dengan menzolimi diri sendiri?" tanya Idham yang masih acuh tanpa melihat ekspresi Yusra yang sedang menahan kesal."Iya aku tahu. Aku cuma butuh waktu. Aku butuh privasi. Hargai itu!" Idham tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Ternyata selain manja dan keras kepala istrinya juga tak mau mengalah. Berlagak berbicara waktu dan privasi? Bukankah, itu sudah dilakukannya. Mereka hanya
Hari yang tak diinginkan oleh Yusra pun tiba. Dibalut gaun pengantin yang sederhana namun tampak mewah, Ia dan Idham berdiri berdampingan menyalami para tamu undangan. Sah sudah keduanya dalam sebuah ikatan pernikahan. Meski hati salah satunya menolak, tapi kenyataan berkata lain. Dan hari ini Yusra menyerah. Karena sampai detik ini, ia tak memiliki ruang sedikit pun untuk melarikan diri. Seperti hatinya sekarang yang tak ada celah secuil pun untuk suaminya masuk.Memang butuh waktu untuk menerima status barunya, dan Yusra terlihat pasrah meski dalam hati masih berharap Ervin datang membawanya pergi. Tak peduli kemana lelaki itu akan membawanya. Yang terpenting pergi dari sini. Ia tersiksa berada di pelamin bersama Idham, mengikuti semua arahan pembawa acara, memaksakan senyum yang terus dibuat-buat. Serta melayani foto bersama. Kini detik yang dilalui terasa lambat berkali-kali lipat, Ia merasa sudah berabad lamanya duduk di kursi pengantin. Yusra rasa tak sabar ingin berbicara lan
Hampir setengah jam mereka sama-sama terdiam. Yusra melirik jam di pergelangan tangan menunggu detik-detik jawaban dari Ervin. Setelah ide gilanya disampaikan, keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Lelaki itu tak tahu harus bagaimana menyadarkan Yusra, berkali menasehati rasanya percuma. Gadis itu tetap dalam pendiriannya. Lamunan Yusra tentang Ervin melintas kembali pada awal mereka bertemu setelah sama-sama melanjutkan pendidikan di kota yang berbeda. Pada saat itu salah seorang teman mereka mengadakan acara peresmian cafe baru yang kebetulan mereka hadiri. Keduanya terkejut, tak menyangka bertemu lagi setelah perpisahan ketika berseragam abu-abu. Ervin yang memang menyukai gadis itu sejak dulu tak mau membuang kesempatan. Ia meminta nomor kontak lalu perbincangan berlanjut sampai mereka akhirnya memiliki hubungan spesial. Keduanya sepakat untuk tidak mengumbar hubungan, lebih tepatnya menjaga rahasia kisah cinta mereka. Tak ada yang tahu selama beberapa tahun sampai akhir
"Aku kan dari awal dah bilang, lebih baik jujur. Sekarang mau bagaimana lagi, kamu sendiri 'kan yang paling merasakannya?" Yusra menoleh pada asal suara, tak menyangka ternyata Izzan memperhatikannya sejak tadi."Emang kalau aku jujur, Abang mau bantuin?" keluhnya. "Ra, yang paling bisa bantuin kamu itu, ya, kamu sendiri. Bukan orang lain, jangan berharap banyak sama orang atas kebahagiaan untuk kamu, sementara kamunya sendiri enggak berjuang," sindir Izzan. "Pasrah!" Yusra buru-buru menundukkan kepalanya. Merasa tersudut karena apa yang dikatakan Izzan benar adanya. Selama ini dirinya sendirilah yang membiarkan perjodohan ini terus berjalan. Dia pikir Izzan juga tak banyak membantu jika pendapat dan keinginannya berseberangan dengan sang ayah. "Sekarang udah enggak ada yang bisa aku lakukan kecuali bertemu dengan Ervin," lirih Yusra, matanya hampa menatap Izzan. "Ngapain ketemu Ervin?" ketus Izzan. Laki-laki itu memang bersikap netral apa yang terjadi sama Yusra, ia tak bisa ber
Hampir semalam yusra tak bisa terlelap. Gelisah karena terlalu banyak yang dipikirkan, memikirkan sesuatu yang menjadi takdir di garis hidupnya memang hal yang bodoh. Namun, gadis itu tetap saja melakukannya seperti menikmati luka pada tiap irisan hatinya. Berkali-kali ia mencoba ikhlas dengan apa yang sudah terjadi. Karena bagaimana juga kesedihannya saat ini tak bisa mengubah apa pun. Tentang kehidupan setelah pernikahan nanti agaknya paling banyak menyita pikirannya Bagaimana bisa ia melewati hari-hari bersama orang yang tak dicintainya. waktu terus bergerak menunjukkan pukul dua malam, harusnya ia terlelap mengistirahatkan tubuh dan pikiran agar tampilannya esok tampak segar di acara pertunangan. Akan tetapi, Yusra tetap saja terjaga merasakan kepalanya yang mulai berdenyut-denyut nyeri. Kebaya cokelat berserta hijab warna senada tergantung rapi di samping meja rias, keduanya seakan sedang menertawakan ketidakberdayaan gadis itu, ditatapnya sejenak dengan wajah sendu lalu beralih
Bergetar badan Yusra ketika mendengar nama perempuan itu disebut oleh Raisyifa. Ia masih ingat siapa sosok itu. Sosok yang pernah menggemparkan satu kota, heboh karena sesuatu yang buruk. Sungguh memalukan!Ada sorot kekhawatiran di mata Raisyifa. Ia paham bagaimana perasaan putrinya saat ini. sebelum menyampaikan kebenaran, ia sudah mewanti-wanti menyiapkan segala hal terburuk yang dipilih Yusra. “Maafkan ibu, Ra,” lirihnya. Air mata kedua perempuan itu luruh serentak, mereka berpelukan saling menguatkan. Ada banyak pertanyaan yang masih tertahan di antaranya. Namun, keduanya memilih larut saling mendekap.Puas menangis harusnya membuat seseorang merasa lega. Namun, tidak bagi Yusra. Sakit kepalanya semakin terasa berat dan kesusahan untuk menarik napas. Entah mengapa rasa sakitnya belum juga hilang seakan tak mengenal lelah. Ia kecewa dengan apa yang diinginkan justru sebaliknya yang terjadi. Tak pernah sedikit pun terlintas di pikiran, kalau di
Sesampainya di kamar, Yusra langsung menjatuhkan diri ke ranjang. Ia benar-benar merasa lelah setelah berkeliling mencari kebutuhan acara lamaran. Meskipun ia tak sendiri, ada ibunya berserta mamanya Idham yang ikut bersama mereka. Sebuah kebaya sederhana berwarna cokelat muda menjadi pilihan Yusra, selingkar cincin dan motif kain songket Pucuk Rebung sesuai dengan warna kesukaannya. Yusra benar dimanja meskipun nanti cincin dan kain akan dibawa oleh keluarga Idham ketika malam lamaran. Namun mereka memberikan kebebasan untuk gadis itu memilihnya sendiri. Mamanya Idham juga selalu menampak perhatian selama mereka berbelanja. Harusnya Yusra begitu bahagia karena keluarga calon suami menerima baik dirinya. Akan tetapi yang terjadi sebaliknya, Yusra tetap sulit menerima perjodohan ini. Yusra beristigfar ketika secara tiba-tiba ingatannya kembali pada Ervin. Ia mendesah seraya menatap kebaya cokelat yang tergeletak di sampingnya. Berkali-kali ia menye
Yusra membuka matanya secara perlahan. Ia bangun kemudian duduk bersandar pada tembok. Kepalanya terasa berdenyut. Ulu hatinya terasa nyeri. Badannya lemah untuk melangkah ke kamar mandi. Namun ia tetap memaksakan diri untuk berwudu, lalu salat Subuh. Dalam sujudnya yang panjang, Yusra memohon agar ada keajaiban, perjodohan ini dibatalkan tanpa harus melukai hati siapa pun.Mata gadis itu kembali memanas seiring napasnya yang menjadi sesak. Dihirupnya oksigen banyak-banyak, berusaha mena
Yusra menggeleng. “Aku takut kalau jujur. Aku takut kamu marah,” ujar Yusra terbata-bata.“Kamu ini aneh, belum cerita tapi sudah takut. Kamu maling, ya?” canda Ervin.Hening. Yusra tak merespons candaan. Hatinya benar-benar porak-poranda setelah mendengar percakapan Najib tempo hari.Sebagai anak pungut yang dibesarkan dengan cinta kasih tanpa kurang apa pun, rasanya ia malu menolak permintaan dari orang tua. Selama ini, mereka tak pernah meminta Yusra melakukan apa yang mereka mau. Bahkan ketika gadis itu memilih sendiri kuliah di jurusan yang tidak disukai Najib sekali pun. Mereka tak mempermasalahkannya.Permintaan ayahnya kali ini mungkin terdengar menguntungkan untuk Yusra. Idham bukanlah pemuda sembarangan, ia dan keluarganya dikenal baik, santun. Jelas mapan karena punya usaha sendiri, taat beragama, dan pasti tampan. Idham memang berbeda dari sekian anak muda seusia dengannya, ia rela menjadi tenaga suka