"Bukan. Temannya Bang Izzan, Yusra kenalnya waktu mengisi di acara pesantren dulu, Bu. Udah lama, Yusra juga udah lupa siapa namanya."
"Oh, ibu kira teman dekat kamu, Nak." Raisyifa bangkit hendak keluar kamar."Dia minta ajari adik sepupunya main drum, Bu. Boleh enggak? Apa aku buka kursus main drum aja, ya. Menurut Ibu gimana?" tanya Izzan yang ikut berdiri.
"Kamu ini." Perempuan itu menepuk pundak Izzan. “Tanya ayahmu saja, Zann,” lanjutnya sambil meninggalkan Yusra dan Izzan, lalu kedua kakak beradik itu terdiam larut dengan pikiran masing-masing. Agaknya Yusra lebih berat yang di pikirkannya, anak mana yang mau melawan kehendak orang tuanya, bisa-bisa dikatai anak durhaka. Walaupun dia sendiri anak pungut di rumah itu.“Ngobrolnya di belakang, yuk,” ajak Izzan. Yang disambut anggukkan Yusra.
"Tadi, ayah cerita apa saja, Bang?" tanya Yusra ketika baru tiba kolam ikan di belakang.
"Enggak ada, kamu kenapa bohong tentang Ervin?" Yusra menunduk, matanya mulai mengembun. Rencana ingin curhat dengan Izzan kembali gagal, dia tak sanggup melihat air mata Raisyifa. Perempuan itu selalu mampu membuat egonya runtuh seketika.
"Eh, ditanya malah bengong. Memangnya kamu enggak mau nikah sama Ervin?" tanya Izzan geram.
"Heem, bukannya enggak mau. Ta--tapi ...." Yusra tak berdaya melanjutkan kata-katanya. Jangankan untuk menjalani perjodohan orang tuanya, sekadar menyebutnya saja Yusra tak sanggup."Alah, gitu aja bingung. Kalau suka bilang aja suka! Kalau enggak ya, udah, bye. Gitu aja kok, repot," saran Izzan enteng yang membuatnya kian sedih.
"Aku yakin, Abang tahu sesuatu yang lain, tapi selama ini Abang pura-pura saja kan? Kenapa Abang enggak cerita masalah Idham," selidik Yusra.
"Tahu apa?""Jahat banget enggak mau kasih tahu." Yusra menunduk pasrah.
Izzan mendadak bingung, niatnya hanya bercanda ternyata salah karena terlihat jelas dari gelagat Yusra. Udara sore begitu bersahabat, desir angin lembut menerpa wajah Yusra, tetapi hatinya tetap saja kalut, porak-poranda. "Menurut Abang, gimana?" tanyanya kesal."Gimana apanya?" Izzan berdiri beranjak mengambil pakan ikan, tampak jelas dia ingin menghindar pertanyaan Yusra. Namun adiknya, seperti tak kehabisan akal berusaha mengorek sedikit informasi tentang rencana kedua orang tuanya.
"Payah." Yusra ikut mengambil pakan ikan lalu melemparnya ke kolam di hadapan mereka. Laki-laki itu beralih menatap Yusra. Ada rasa iba yang membuatnya tak tega untuk berkata jujur.
"Kamu tahu sendiri kan? Aku tuh sibuk, enggak ke pikiran sama hal-hal yang begini," selanya mencoba mengelak.
"Bohong!" keluh Yusra.
"Siapa yang bohong?" tanya Izzan tanpa rasa bersalah. Iya, dia memang tak bersalah atas apa yang menimpa nasib cinta adiknya kini.
Seketika gadis itu teringat bagaimana Izzan selalu menghindarinya. Sejak kepulangannya kemarin, Izzan tak seperti biasa. Yang menjadi tumpuan semua cerita Yusra, tak peduli apakah cerita tentang kebahagiaan atau pun kesedihan, tentang pacarnya atau juga tentang sahabatnya.Yusra menghela, ada rasa nyeri di hatinya. Meskipun begitu dia buru-buru menepis semua pikiran buruk yang sempat hadir.
"Ya, sudahlah percuma juga nanya sama Abang." Yusra menatap Izzan. Sudut bibir gadis itu terangkat membentuk sebuah senyuman kecut.
"Aku benaran enggak tahu, kan, aku sering di luar." Izzan meninggalkan Yusra yang masih terdiam. Entahlah, ada banyak pertanyaan yang rasanya masih menjanggal di pikiran gadis itu.***
“Ayah sudah makan?" Yusra bertanya pada Raisyifa yang sibuk dengan adonan bolunya.
Sedari pagi Yusra tak melihat sang ayah keluar dari kamar."Ayah ndak enak badan, mungkin asam lambungnya naik gara-gara kemarin telat makan. Coba kamu lagi yang bujuk Ayah," pinta sang ibu.
"Kita bawa ke dokter aja, Bu." Yusra mengambil nampan lalu menata dengan sepiring nasi serta lauk pauk.
"Ayahmu ndak mau, katanya nanti juga sembuh sendiri. Ini air putihnya."
"Yusra coba dulu ya, Bu." Gadis itu berlalu kemudian mendatangi kamar ayahnya.
"Assalamualaikum. Ayah, Yusra bawa ikan bakar kesukaan ayah, nih. Makan dulu, ya, Yusra suapi," bujuk anaknya ketika tiba di hadapan Najib.
Laki-laki itu membalas salam dan menyambutnya dengan senyuman, lantas duduk menyandarkan tubuh di sofa. Yusra mengulurkan segelas air putih hangat. Setelah diteguk Najib beberapa kali, Yusra menawarkan makan siang. Bagaimana pun perasaannya dia tetap ingin berbakti kepada Najib."Terima kasih, ya, Nak. Sudah merepotkan kamu." Najib berusaha menelan suapan dari Yusra.
"Ayah ngomong apa? Yusra enggak pernah merasa direpotkan. Yusra tambah lagi, ya?"
Najib menggeleng, tenggorokannya terasa pahit meski makanan tersebut tidak bercampur dengan obat. Maka dengan telaten tangan Yusra memegang sendok, mencuil ikan bakarnya, menambahkan sedikit sayuran lalu dengan hati-hati menyuapi Najib. "Yusra," panggil Najib ketika makanan di mulutnya telah habis. Ini suapan ke enam dari anaknya. "Iya, Yah." Yusra tersenyum, sesendok nasi lengkap dengan lauk menggantung di tangan Yusra."Ayah ingin sekali kamu mengurusi yayasan itu, Abang Izzan kamu itu tak bisa diandalkan. Sayang kalau harus terhenti."
"Loh, ayah ini ngomong apa? Kan Yusra sudah setuju. Kalau nolak pasti Yusra sudah pulang ke Jakarta." Seulas senyum meyakinkan diberikan gadis itu pada Najib.
"Terima kasih ya, Ra. Ayah yakin kamu pasti bisa, kamu hanya butuh waktu buat belajar dan terbiasa dengan suasana di sini."
Yusra mengangguk. "Lanjut makan lagi ya, Ayah," tawar Yusra lembut, entah kenapa tiba-tiba dia merasa bersalah karena jarang pulang semenjak menimba ilmu di kota. Yang membuatnya serasa ada jarak di antara mereka berdua.
"Yusra, ayah boleh tanya, Nak?" Laki-laki itu menjeda kata-katanya. "Yusra sudah punya calon pendamping? Maksud ayah, pilihan pendamping hidup Yusra nanti?" Seketika gadis itu merasa darahnya mendesir saat menyadari bahwa telinganya tidak salah mendengar. Laki-laki yang dipanggilnya ayah menanyakan hal yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.Yusra menghela napas dengan tenang, mencari jawaban paling bijak untuk saat ini. Di satu sisi dia tidak ingin kehilangan Ervin, di sisi lain kondisi kesehatan ayah dan ibunya tak kalah penting dari dirinya sendiri. Dia tersenyum meski jantungnya serasa di remas kuat. Tak ada alasan menolak jika benar apa yang dikatakan Raisyifa tempo hari. Hanya saja waktu belum berhasil membuat keluarga kecil itu berkumpul secara utuh untuk membicarakan perjodohannya dengan Idham.
Suasana mendadak kaku, aroma minyak angin kian membuat Yusra tak punya keberanian untuk mengatakan perasaannya. Ditambah lagi jika Najib tahu, dia sudah lama menjalin hubungan dengan Ervin. Yusra tak bisa membayangkan bagaimana kecewa Najib."Loh, kok, diam. Anak ayah sudah dewasa. Kalau ada yang membuat hati Yusra bahagia, ayah dan ibu cukup merestui."
Yusra makin bingung. Bagaimana bisa ayahnya berkata demikian. Apakah Najib memang tak tahu apa sedang berpura-pura saja."Yusra ...." Ia tak sanggup menyelesaikan kata-katanya. Sekelebat bayangan Ervin tersenyum tiba-tiba berganti dengan bayangan Idham serta orang tuanya yang tampak begitu bahagia.
Gadis itu ragu melanjutkan katanya. Ditambah lagi aroma obat-obatan dikamar ini begitu menusuk."Kalau sama Nak Idham, apa Yusra suka?" selidik Najib.
Yusra sudah menduga kemana arah pembicaraan ini jika dia tetap diam. Akan tatapi, dia pun tak punya kuasa untuk bicara terlebih lagi kondisi Najib yang memprihatinkan.Laki-laki tua itu sudah dua tahun belakangan ini sering terganggu kesehatannya. Kata dokter yang sering dia kunjungi tensi darah, kencing manis atau diabetesnya kadang kumat sulit terkendali. Najib hanya butuh obat dan istirahat yang cukup jika sudah merasa enakkan, dia akan kembali beraktivitas seperti biasa."Yusra," panggil Najib lagi, seakan menyadarkan gadis di samping bahwa pertanyaannya belum mendapatkan jawaban."Heem. Yusra malu, Yah, Yusra ...." Lama Najib menunggu Yusra menyelesaikan kata-katanya. Namun, hampir belasan menit Yusra tak juga menyelesaikan ucapannya.Najib menduga mungkin putrinya malu untuk mengakui ketertarikannya pada Idham."Yusra, ayah mau kamu jujur, Nak. Bilang saja kalau ada yang tidak sesuai dengan dugaan ayah dan ibu.""Ma
Seorang pria tampan dengan kaus berkerah hitam dipadu jeans abu-abu gelap turun dari mobil sedannya. Ia tersenyum sambil berjalan mendekati kekasih yang sudah menunggunya sejak tadi. Riuhnya suara band kafe dan pengunjung lain membuat Ervin tak sabar untuk sampai di hadapan Yusra. Maaf, ya, telat, " sapanya. Yusra tersenyum tipis dan menunjukkan minuman yang sudah
Yusra menggeleng. “Aku takut kalau jujur. Aku takut kamu marah,” ujar Yusra terbata-bata.“Kamu ini aneh, belum cerita tapi sudah takut. Kamu maling, ya?” canda Ervin.Hening. Yusra tak merespons candaan. Hatinya benar-benar porak-poranda setelah mendengar percakapan Najib tempo hari.Sebagai anak pungut yang dibesarkan dengan cinta kasih tanpa kurang apa pun, rasanya ia malu menolak permintaan dari orang tua. Selama ini, mereka tak pernah meminta Yusra melakukan apa yang mereka mau. Bahkan ketika gadis itu memilih sendiri kuliah di jurusan yang tidak disukai Najib sekali pun. Mereka tak mempermasalahkannya.Permintaan ayahnya kali ini mungkin terdengar menguntungkan untuk Yusra. Idham bukanlah pemuda sembarangan, ia dan keluarganya dikenal baik, santun. Jelas mapan karena punya usaha sendiri, taat beragama, dan pasti tampan. Idham memang berbeda dari sekian anak muda seusia dengannya, ia rela menjadi tenaga suka
Yusra membuka matanya secara perlahan. Ia bangun kemudian duduk bersandar pada tembok. Kepalanya terasa berdenyut. Ulu hatinya terasa nyeri. Badannya lemah untuk melangkah ke kamar mandi. Namun ia tetap memaksakan diri untuk berwudu, lalu salat Subuh. Dalam sujudnya yang panjang, Yusra memohon agar ada keajaiban, perjodohan ini dibatalkan tanpa harus melukai hati siapa pun.Mata gadis itu kembali memanas seiring napasnya yang menjadi sesak. Dihirupnya oksigen banyak-banyak, berusaha mena
Sesampainya di kamar, Yusra langsung menjatuhkan diri ke ranjang. Ia benar-benar merasa lelah setelah berkeliling mencari kebutuhan acara lamaran. Meskipun ia tak sendiri, ada ibunya berserta mamanya Idham yang ikut bersama mereka. Sebuah kebaya sederhana berwarna cokelat muda menjadi pilihan Yusra, selingkar cincin dan motif kain songket Pucuk Rebung sesuai dengan warna kesukaannya. Yusra benar dimanja meskipun nanti cincin dan kain akan dibawa oleh keluarga Idham ketika malam lamaran. Namun mereka memberikan kebebasan untuk gadis itu memilihnya sendiri. Mamanya Idham juga selalu menampak perhatian selama mereka berbelanja. Harusnya Yusra begitu bahagia karena keluarga calon suami menerima baik dirinya. Akan tetapi yang terjadi sebaliknya, Yusra tetap sulit menerima perjodohan ini. Yusra beristigfar ketika secara tiba-tiba ingatannya kembali pada Ervin. Ia mendesah seraya menatap kebaya cokelat yang tergeletak di sampingnya. Berkali-kali ia menye
Bergetar badan Yusra ketika mendengar nama perempuan itu disebut oleh Raisyifa. Ia masih ingat siapa sosok itu. Sosok yang pernah menggemparkan satu kota, heboh karena sesuatu yang buruk. Sungguh memalukan!Ada sorot kekhawatiran di mata Raisyifa. Ia paham bagaimana perasaan putrinya saat ini. sebelum menyampaikan kebenaran, ia sudah mewanti-wanti menyiapkan segala hal terburuk yang dipilih Yusra. “Maafkan ibu, Ra,” lirihnya. Air mata kedua perempuan itu luruh serentak, mereka berpelukan saling menguatkan. Ada banyak pertanyaan yang masih tertahan di antaranya. Namun, keduanya memilih larut saling mendekap.Puas menangis harusnya membuat seseorang merasa lega. Namun, tidak bagi Yusra. Sakit kepalanya semakin terasa berat dan kesusahan untuk menarik napas. Entah mengapa rasa sakitnya belum juga hilang seakan tak mengenal lelah. Ia kecewa dengan apa yang diinginkan justru sebaliknya yang terjadi. Tak pernah sedikit pun terlintas di pikiran, kalau di
Hampir semalam yusra tak bisa terlelap. Gelisah karena terlalu banyak yang dipikirkan, memikirkan sesuatu yang menjadi takdir di garis hidupnya memang hal yang bodoh. Namun, gadis itu tetap saja melakukannya seperti menikmati luka pada tiap irisan hatinya. Berkali-kali ia mencoba ikhlas dengan apa yang sudah terjadi. Karena bagaimana juga kesedihannya saat ini tak bisa mengubah apa pun. Tentang kehidupan setelah pernikahan nanti agaknya paling banyak menyita pikirannya Bagaimana bisa ia melewati hari-hari bersama orang yang tak dicintainya. waktu terus bergerak menunjukkan pukul dua malam, harusnya ia terlelap mengistirahatkan tubuh dan pikiran agar tampilannya esok tampak segar di acara pertunangan. Akan tetapi, Yusra tetap saja terjaga merasakan kepalanya yang mulai berdenyut-denyut nyeri. Kebaya cokelat berserta hijab warna senada tergantung rapi di samping meja rias, keduanya seakan sedang menertawakan ketidakberdayaan gadis itu, ditatapnya sejenak dengan wajah sendu lalu beralih
"Aku kan dari awal dah bilang, lebih baik jujur. Sekarang mau bagaimana lagi, kamu sendiri 'kan yang paling merasakannya?" Yusra menoleh pada asal suara, tak menyangka ternyata Izzan memperhatikannya sejak tadi."Emang kalau aku jujur, Abang mau bantuin?" keluhnya. "Ra, yang paling bisa bantuin kamu itu, ya, kamu sendiri. Bukan orang lain, jangan berharap banyak sama orang atas kebahagiaan untuk kamu, sementara kamunya sendiri enggak berjuang," sindir Izzan. "Pasrah!" Yusra buru-buru menundukkan kepalanya. Merasa tersudut karena apa yang dikatakan Izzan benar adanya. Selama ini dirinya sendirilah yang membiarkan perjodohan ini terus berjalan. Dia pikir Izzan juga tak banyak membantu jika pendapat dan keinginannya berseberangan dengan sang ayah. "Sekarang udah enggak ada yang bisa aku lakukan kecuali bertemu dengan Ervin," lirih Yusra, matanya hampa menatap Izzan. "Ngapain ketemu Ervin?" ketus Izzan. Laki-laki itu memang bersikap netral apa yang terjadi sama Yusra, ia tak bisa ber
Ia memang tak meyangkal pesona Idham. Sebagai wanita normal tentu saja lelaki di sampingnya kini tampak mendekati kata sempurna. Andai dibagikan rating penilaian maka nilai Idham adalah sembilan dari sepuluh angka yang disodorkan. Namun, bukan berarti pesona itu mudah mengubah segalanya. Karena hingga sampai saat ini, tetaplah Ervin yang bertahta di hatinya.Hening kembali menyelimuti mereka. "Aku enggak tahu dan enggak mau tahu masa lalu kamu. Aku pikir kita sudah cukup dewasa. Lagi pula percuma juga kita mempertahankan ego, sementara hati masih memikirkan perasaan orang lain. Bukankah itu sama saja dengan menzolimi diri sendiri?" tanya Idham yang masih acuh tanpa melihat ekspresi Yusra yang sedang menahan kesal."Iya aku tahu. Aku cuma butuh waktu. Aku butuh privasi. Hargai itu!" Idham tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Ternyata selain manja dan keras kepala istrinya juga tak mau mengalah. Berlagak berbicara waktu dan privasi? Bukankah, itu sudah dilakukannya. Mereka hanya
Hari yang tak diinginkan oleh Yusra pun tiba. Dibalut gaun pengantin yang sederhana namun tampak mewah, Ia dan Idham berdiri berdampingan menyalami para tamu undangan. Sah sudah keduanya dalam sebuah ikatan pernikahan. Meski hati salah satunya menolak, tapi kenyataan berkata lain. Dan hari ini Yusra menyerah. Karena sampai detik ini, ia tak memiliki ruang sedikit pun untuk melarikan diri. Seperti hatinya sekarang yang tak ada celah secuil pun untuk suaminya masuk.Memang butuh waktu untuk menerima status barunya, dan Yusra terlihat pasrah meski dalam hati masih berharap Ervin datang membawanya pergi. Tak peduli kemana lelaki itu akan membawanya. Yang terpenting pergi dari sini. Ia tersiksa berada di pelamin bersama Idham, mengikuti semua arahan pembawa acara, memaksakan senyum yang terus dibuat-buat. Serta melayani foto bersama. Kini detik yang dilalui terasa lambat berkali-kali lipat, Ia merasa sudah berabad lamanya duduk di kursi pengantin. Yusra rasa tak sabar ingin berbicara lan
Hampir setengah jam mereka sama-sama terdiam. Yusra melirik jam di pergelangan tangan menunggu detik-detik jawaban dari Ervin. Setelah ide gilanya disampaikan, keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Lelaki itu tak tahu harus bagaimana menyadarkan Yusra, berkali menasehati rasanya percuma. Gadis itu tetap dalam pendiriannya. Lamunan Yusra tentang Ervin melintas kembali pada awal mereka bertemu setelah sama-sama melanjutkan pendidikan di kota yang berbeda. Pada saat itu salah seorang teman mereka mengadakan acara peresmian cafe baru yang kebetulan mereka hadiri. Keduanya terkejut, tak menyangka bertemu lagi setelah perpisahan ketika berseragam abu-abu. Ervin yang memang menyukai gadis itu sejak dulu tak mau membuang kesempatan. Ia meminta nomor kontak lalu perbincangan berlanjut sampai mereka akhirnya memiliki hubungan spesial. Keduanya sepakat untuk tidak mengumbar hubungan, lebih tepatnya menjaga rahasia kisah cinta mereka. Tak ada yang tahu selama beberapa tahun sampai akhir
"Aku kan dari awal dah bilang, lebih baik jujur. Sekarang mau bagaimana lagi, kamu sendiri 'kan yang paling merasakannya?" Yusra menoleh pada asal suara, tak menyangka ternyata Izzan memperhatikannya sejak tadi."Emang kalau aku jujur, Abang mau bantuin?" keluhnya. "Ra, yang paling bisa bantuin kamu itu, ya, kamu sendiri. Bukan orang lain, jangan berharap banyak sama orang atas kebahagiaan untuk kamu, sementara kamunya sendiri enggak berjuang," sindir Izzan. "Pasrah!" Yusra buru-buru menundukkan kepalanya. Merasa tersudut karena apa yang dikatakan Izzan benar adanya. Selama ini dirinya sendirilah yang membiarkan perjodohan ini terus berjalan. Dia pikir Izzan juga tak banyak membantu jika pendapat dan keinginannya berseberangan dengan sang ayah. "Sekarang udah enggak ada yang bisa aku lakukan kecuali bertemu dengan Ervin," lirih Yusra, matanya hampa menatap Izzan. "Ngapain ketemu Ervin?" ketus Izzan. Laki-laki itu memang bersikap netral apa yang terjadi sama Yusra, ia tak bisa ber
Hampir semalam yusra tak bisa terlelap. Gelisah karena terlalu banyak yang dipikirkan, memikirkan sesuatu yang menjadi takdir di garis hidupnya memang hal yang bodoh. Namun, gadis itu tetap saja melakukannya seperti menikmati luka pada tiap irisan hatinya. Berkali-kali ia mencoba ikhlas dengan apa yang sudah terjadi. Karena bagaimana juga kesedihannya saat ini tak bisa mengubah apa pun. Tentang kehidupan setelah pernikahan nanti agaknya paling banyak menyita pikirannya Bagaimana bisa ia melewati hari-hari bersama orang yang tak dicintainya. waktu terus bergerak menunjukkan pukul dua malam, harusnya ia terlelap mengistirahatkan tubuh dan pikiran agar tampilannya esok tampak segar di acara pertunangan. Akan tetapi, Yusra tetap saja terjaga merasakan kepalanya yang mulai berdenyut-denyut nyeri. Kebaya cokelat berserta hijab warna senada tergantung rapi di samping meja rias, keduanya seakan sedang menertawakan ketidakberdayaan gadis itu, ditatapnya sejenak dengan wajah sendu lalu beralih
Bergetar badan Yusra ketika mendengar nama perempuan itu disebut oleh Raisyifa. Ia masih ingat siapa sosok itu. Sosok yang pernah menggemparkan satu kota, heboh karena sesuatu yang buruk. Sungguh memalukan!Ada sorot kekhawatiran di mata Raisyifa. Ia paham bagaimana perasaan putrinya saat ini. sebelum menyampaikan kebenaran, ia sudah mewanti-wanti menyiapkan segala hal terburuk yang dipilih Yusra. “Maafkan ibu, Ra,” lirihnya. Air mata kedua perempuan itu luruh serentak, mereka berpelukan saling menguatkan. Ada banyak pertanyaan yang masih tertahan di antaranya. Namun, keduanya memilih larut saling mendekap.Puas menangis harusnya membuat seseorang merasa lega. Namun, tidak bagi Yusra. Sakit kepalanya semakin terasa berat dan kesusahan untuk menarik napas. Entah mengapa rasa sakitnya belum juga hilang seakan tak mengenal lelah. Ia kecewa dengan apa yang diinginkan justru sebaliknya yang terjadi. Tak pernah sedikit pun terlintas di pikiran, kalau di
Sesampainya di kamar, Yusra langsung menjatuhkan diri ke ranjang. Ia benar-benar merasa lelah setelah berkeliling mencari kebutuhan acara lamaran. Meskipun ia tak sendiri, ada ibunya berserta mamanya Idham yang ikut bersama mereka. Sebuah kebaya sederhana berwarna cokelat muda menjadi pilihan Yusra, selingkar cincin dan motif kain songket Pucuk Rebung sesuai dengan warna kesukaannya. Yusra benar dimanja meskipun nanti cincin dan kain akan dibawa oleh keluarga Idham ketika malam lamaran. Namun mereka memberikan kebebasan untuk gadis itu memilihnya sendiri. Mamanya Idham juga selalu menampak perhatian selama mereka berbelanja. Harusnya Yusra begitu bahagia karena keluarga calon suami menerima baik dirinya. Akan tetapi yang terjadi sebaliknya, Yusra tetap sulit menerima perjodohan ini. Yusra beristigfar ketika secara tiba-tiba ingatannya kembali pada Ervin. Ia mendesah seraya menatap kebaya cokelat yang tergeletak di sampingnya. Berkali-kali ia menye
Yusra membuka matanya secara perlahan. Ia bangun kemudian duduk bersandar pada tembok. Kepalanya terasa berdenyut. Ulu hatinya terasa nyeri. Badannya lemah untuk melangkah ke kamar mandi. Namun ia tetap memaksakan diri untuk berwudu, lalu salat Subuh. Dalam sujudnya yang panjang, Yusra memohon agar ada keajaiban, perjodohan ini dibatalkan tanpa harus melukai hati siapa pun.Mata gadis itu kembali memanas seiring napasnya yang menjadi sesak. Dihirupnya oksigen banyak-banyak, berusaha mena
Yusra menggeleng. “Aku takut kalau jujur. Aku takut kamu marah,” ujar Yusra terbata-bata.“Kamu ini aneh, belum cerita tapi sudah takut. Kamu maling, ya?” canda Ervin.Hening. Yusra tak merespons candaan. Hatinya benar-benar porak-poranda setelah mendengar percakapan Najib tempo hari.Sebagai anak pungut yang dibesarkan dengan cinta kasih tanpa kurang apa pun, rasanya ia malu menolak permintaan dari orang tua. Selama ini, mereka tak pernah meminta Yusra melakukan apa yang mereka mau. Bahkan ketika gadis itu memilih sendiri kuliah di jurusan yang tidak disukai Najib sekali pun. Mereka tak mempermasalahkannya.Permintaan ayahnya kali ini mungkin terdengar menguntungkan untuk Yusra. Idham bukanlah pemuda sembarangan, ia dan keluarganya dikenal baik, santun. Jelas mapan karena punya usaha sendiri, taat beragama, dan pasti tampan. Idham memang berbeda dari sekian anak muda seusia dengannya, ia rela menjadi tenaga suka