Wajah Yusra berbinar-binar mendapati sosok yang sangat dia rindukan, kini duduk bersama dengan Najib dan Idham di teras.
"Siapa?" Yusra kaget saat ibu mendapatinya berdiri mengintip dari jendela. Perempuan itu masuk tanpa sepengetahuan Yusra.
"Bukan siapa-siapa, Bu," ujarnya sembari tersenyum.
"Masa?" Perempuan itu ikut tersenyum seraya mengusap kepala anaknya yang masih tertutup mukena, kemudian dia meminta Yusra membuatkan teh hangat.
Sudah beberapa pekan Yusra pulang. Namun, dia belum juga sempat menyampaikan tentang hubungannya dengan Ervin, hingga laki-laki yang mampu mencuri hati Yusra itu nekat mendatangi rumahnya. Dengan alasan ingin mengunjungi temannya Izzan.
Bukan main senangnya hati Yusra, tak henti-henti gadis itu menebarkan senyum selama membuatkan teh.
"Sudah tehnya? Biar ibu saja yang antar, ya?" Ibu meraih nampan dan menyusun beberapa cangkir teh lalu keluar dari dapur.
Yusra mengangguk dan bergegas kembali ke kamar. Dia benar-benar tak menyangka Ervin akan mendatangi rumahnya.
Kemarin, dia masih sibuk mencari alasan agar Ervin memaklumi kondisinya saat ini. Bukan tak memedulikan nasib hubungannya, tetapi Yusra memang tak mengerti bagaimana harus memulai percakapannya dengan ayah. Setiap kali ada kesempatan waktu ayahnya selalu membicarakan tentang yayasan. Rasanya tak pantas Yusra untuk menyela obrolan laki-laki berhati lembut itu.
"Oh, temannya Izzan," ucap ibu Yusra mengulangi kata tetamu.
Dari balik jendela, Yusra dapat melihat mereka mengobrol. Jantungnya berdegup-degup memerhatikan Ervin yang duduk tenang di samping ayahnya.
"Loh, kamu ini bagaimana masa temannya disuruh nunggu. Cepatan pulang," perintah Najib.
Najib terpaksa menelepon Izzan, karena sudah hampir satu jam Ervin bertamu, tetapi anaknya tak juga pulang.
Sementara Ervin sendiri merasa tak enak dan terlalu lancang kalau langsung mengaku bahwa dia kekasihnya Yusra. Lagi pula, laki-laki yang berpura-pura mencari Izzan itu juga tahu bagaimana watak dan prinsip dari gurunya dulu. Bisa gawat kalau mereka tahu hubungannya dengan Yusra.
Gadis itu masih betah berdiri, menguping obrolan tamu di terasnya. Ervin, Najib, dan Idham begitu asyik berbicara tentang acara MTQ beberapa bulan lalu, yang kebetulan Ervin terlibat langsung sebagai panitia penyelenggara.
Sebenarnya Ervin dan Idham sudah saling mengenal ketika acara tersebut, tetapi tidak terlalu akrab sehingga selalu kaku tiap kali bertemu.
Saat Yusra asyik mengintip ke arah luar jendela, lagi-lagi suara ibu mengejutkannya. Perempuan itu berdehem dengan ciri khasnya.
"Kamu kenal siapa tamunya?"
"Cuma kenal dikit kok, Bu," ucap Yusra.
Entah mengapa dia merasa belum siap untuk berkata jujur.
"Kenal dikit gimana sih, Ibu ndak ngerti."
Yusra beralih mendekati Raisyifa yang duduk di sisi ranjang. Ponsel masih melekat di tangannya, pandangan gadis itu sesekali tertuju pada pesan di W*, menunggu balasan dari Izzan. Namun, beberapa menit setelah pesan itu dikirim tak ada balasan dari Abangnya.
Yusra sengaja mengirim pesan meminta pada Izzan jangan sampai keceplosan tentang hubungannya.
"Hu'um. yakin di antara dua laki-laki itu Yusra enggak kenal?" Raisyifa mengangguk-angguk. "Gadis mana yang sudi berdiri sampai sejam demi melihat orang yang disukainya?" tanyanya lagi hingga membuat Yusra tersenyum malu.
"Maaf, Bu," ucap Yusra seperti sadar bahwa apa yang dilakukannya mungkin tidak baik di mata Raisyifa.
"Loh, kok, maaf." Ibunya terkekeh sambil membawa Yusra dalam pelukan.
Konyol! Sungguh sangat konyol. Padahal, Yusra sudah satu jam berdiri di sana. Sedikit pun tidak ada gurat lelah di wajahnya. Bukankah, berdiri selama itu bisa membuat betisnya pegal?
"Alhamdulillah, Sayang. Ibu benar-benar lega karena kamu juga menyukai Idham. Ayah sama Ibu sebelumnya takut-takut mau ngasih tau kamu tentang perjodohan ini, takut kalau kamunya ndak suka sama pilihan kami."
Seketika senyuman di wajah Yusra menghilang dalam sekejap. Gadis itu menatap Raisyifa tak percaya. Bibirnya ternganga mendadak jadi kelu. Langit serasa runtuh menimpanya, air mata Yusra luruh, jantungnya berpacu lebih cepat memompa oksigen agar dia tetap bernapas. Dalam sedetik jiwa dan raganya benar-benar hancur berkeping-keping tak bersisa. Setelah pengakuan sang ayah siapa dirinya, lalu diminta mengurusi yayasan dan terakhir yang membuatnya kian hancur adalah perjodohannya dengan Idham.
"Sayang," panggil Raisyifa.
Tanpa disadari mata Yusra basah. Dia masih terdiam, tak tahu apa yang harus dikatakan pada ibunya. Dipeluknya lagi Raisyifa, entah beberapa menit dia terisak dalam dekapannya hingga membuat Raisyifa kehilangan kata-kata membujuk Yusra.
"Apa Ibu salah arti, Sayang?" tanyanya pelan.
Yusra yang masih membenamkan wajah menggeleng pelan. Tiba-tiba peristiwa malam kemarin, di mana dia hanyalah anak pungut kembali mencuat di ingatannya. Dia tak tahu lagi apa yang dirasakan, kecewa, pilu, hampa, pedih, gagal, dan semua yang tak mengenakan datang silih berganti. Bertubi-tubi menghantamnya. Bahkan, Yusra merasa tak punya hak lagi untuk hidupnya kini.
Dia menggeleng. "Yusra sayang Ibu dan Ayah." Untuk ke sekian kali kata-kata itu keluar dari mulut Yusra. Yang sebenarnya terjadi dia hanya berusaha menenangkan hati sendiri.
Mungkin benar hanya kata itu yang bisa menutupi keresahan hati Raisyifa dan Najib.
"Coba lihat Ibu." Perempuan paruh baya lalu mengurai pelukan Yusra, ditangkupnya kedua pipi anak gadis itu. Kemudian mencium keningnya berkali-kali.
"Terus kenapa kamu sampai terisak begini? Apa Ibu salah mengartikan tatapan kamu tempo hari, Nak?" tanya ibunya sangat hati-hati.
Perempuan itu memang bukan yang melahirkan, tetapi tumbuh dan besar bersamanya. Agaknya ibunya Yusra benar-benar merasa sudah mengenali si Bungsu. Ikatan batin dan kasih sayang yang terjalin selama ini pun sudah membuatnya yakin mengenali perasaan anak gadisnya.
Yusra menangis. Raisyifa juga ikut menangis. Keduanya pun menjadi larut dalam kesedihan. Akan tetapi, dalam sedihnya Raisyifa ada rasa bahagia niatnya pada Idham dan Yusra bisa terwujud. Sedangkan Yusra sendiri?
"Ibu mau kamu jawab jujur, Sayang. Yusra juga suka sama Idham?" Pertanyaan Raisyifa membuatnya gelagapan.
Hening untuk beberapa saat.
Yusra tak menjawab, cepat-cepat dia menunduk. Air matanya semakin deras mengalir hingga dia kembali dipeluk ibunya.
"Sayang," panggil ibunya lagi dengan lembut seraya mengelus-elus kepala Yusra.
"Yusra sayang Ibu." Gadis itu kembali memeluk ibunya. Makin banyak air mata keluar makin erat dia memeluk ibunya.
"Kalau ada sesuatu yang menjanggal baiknya dibicarakan, Nak."
Yusra menggeleng lalu melepaskan pelukan.
"Yusra ...."
"Dik Yusra."
Ucapan Yusra masih menggantung. Sapaan Izzan dari balik pintu membuatnya mengernyit. Dia dan ibu tahu suara Izzan yang memanggil, tetapi kenapa Izzan malah ke kamar. Apa Ervin sudah pulang?
"Iya, Bang. Masuk." Yusra segera bangkit membuka pintu, dilihatnya Izzan berdiri dengan mimik muka yang entah, sulit untuk ditebak.
Gadis itu mengedip-ngedipkan matanya, memberi kode agar tak sembarangan bicara. Yusra benar-benar waspada karena ibunya masih menangis. Dia tahu, Izzan terkadang terlalu jujur dengan Raisyifa.
"Temanmu udah pulang, Zan?" tanya Raisyifa.
Gadis itu mundur beberapa langkah saat menyaksikan Izzan yang duduk di samping ibunya.
"Ibu kenapa nangis?"
"Ndak apa-apa, Sayang. Ibu lagi terharu."
"Duh, terharu kayak anak muda aja, Ibu. Emangnya kenapa, Bu?" tanya Izzan yang penasaran.
"Ibu endak nyangka adikmu ternyata juga menyukai Idham. Padahal, Ibu sama Ayah baru mau membicarakan niat ini nanti malam. Ibu mau bilang juga biar Yusra cepat nikah, dianya malah nungguin kamu. Lha, kamunya asyik main. Padahal kan Ibu pengen cepat-cepat gendong cucu." Raisyifa tersenyum.
"Tuh, dengerin kata Ibu," seloroh Yusra yang dibalas tatapan iba dari Izzan.
"Ibu kan mintanya kamu duluan," balas Izzan. Lelaki sepertinya pasti tahu apa yang dirasakan Yusra, tetapi apa boleh buat kebahagiaan orang tua lebih dari segalanya. Terlebih lagi posisi Yusra di rumah ini.
"Sudah sudah, kalian berdua ini ndak berubah. Kalau dekat berantem terus. Temanmu sudah pulang, Zan?" tanya Raisyifa membuat kedua anaknya saling menatap.
"Iya, Bu, Udah. Teman dia tuh." Izzan memalingkan mukanya ke Yusra.
"Ih, bilang aja tadi enggak mau pulang, asyik nge-band," elak Yusra.
"Teman Yusra, ya?" tanya Raisyifa.
"Bukan. Temannya Bang Izzan, Yusra kenalnya waktu mengisi di acara pesantren dulu, Bu. Udah lama, Yusra juga udah lupa siapa namanya.""Oh, ibu kira teman dekat kamu, Nak." Raisyifa bangkit hendak keluar kamar."Dia minta ajari adik sepupunya main drum, Bu. Boleh enggak? Apa aku buka kursus main drum aja, ya. Menurut Ibu gimana?" tanya Izzan yang ikut berdiri."Kamu ini." Perempuan itu menepuk pundak Izzan. “Tanya ayahmu saja, Zann,” lanjutnya sambil meninggalkan Yusra dan Izzan, lalu kedua kakak beradik itu terdiam larut dengan pikiran masing-masing. Agaknya Yusra lebih berat yang di pikirkannya, anak mana yang mau melawan kehendak orang tuanya, bisa-bisa dikatai anak durhaka. Walaupun dia sendiri anak pungut di rumah itu.“Ngobrolnya di belakang, yuk,” ajak Izzan. Yang disambut anggukkan Yusra. "Tadi, ayah cerita apa saja, Bang?" tanya Yusra ketika baru tiba kolam ikan di belakang.
Yusra sudah menduga kemana arah pembicaraan ini jika dia tetap diam. Akan tatapi, dia pun tak punya kuasa untuk bicara terlebih lagi kondisi Najib yang memprihatinkan.Laki-laki tua itu sudah dua tahun belakangan ini sering terganggu kesehatannya. Kata dokter yang sering dia kunjungi tensi darah, kencing manis atau diabetesnya kadang kumat sulit terkendali. Najib hanya butuh obat dan istirahat yang cukup jika sudah merasa enakkan, dia akan kembali beraktivitas seperti biasa."Yusra," panggil Najib lagi, seakan menyadarkan gadis di samping bahwa pertanyaannya belum mendapatkan jawaban."Heem. Yusra malu, Yah, Yusra ...." Lama Najib menunggu Yusra menyelesaikan kata-katanya. Namun, hampir belasan menit Yusra tak juga menyelesaikan ucapannya.Najib menduga mungkin putrinya malu untuk mengakui ketertarikannya pada Idham."Yusra, ayah mau kamu jujur, Nak. Bilang saja kalau ada yang tidak sesuai dengan dugaan ayah dan ibu.""Ma
Seorang pria tampan dengan kaus berkerah hitam dipadu jeans abu-abu gelap turun dari mobil sedannya. Ia tersenyum sambil berjalan mendekati kekasih yang sudah menunggunya sejak tadi. Riuhnya suara band kafe dan pengunjung lain membuat Ervin tak sabar untuk sampai di hadapan Yusra. Maaf, ya, telat, " sapanya. Yusra tersenyum tipis dan menunjukkan minuman yang sudah
Yusra menggeleng. “Aku takut kalau jujur. Aku takut kamu marah,” ujar Yusra terbata-bata.“Kamu ini aneh, belum cerita tapi sudah takut. Kamu maling, ya?” canda Ervin.Hening. Yusra tak merespons candaan. Hatinya benar-benar porak-poranda setelah mendengar percakapan Najib tempo hari.Sebagai anak pungut yang dibesarkan dengan cinta kasih tanpa kurang apa pun, rasanya ia malu menolak permintaan dari orang tua. Selama ini, mereka tak pernah meminta Yusra melakukan apa yang mereka mau. Bahkan ketika gadis itu memilih sendiri kuliah di jurusan yang tidak disukai Najib sekali pun. Mereka tak mempermasalahkannya.Permintaan ayahnya kali ini mungkin terdengar menguntungkan untuk Yusra. Idham bukanlah pemuda sembarangan, ia dan keluarganya dikenal baik, santun. Jelas mapan karena punya usaha sendiri, taat beragama, dan pasti tampan. Idham memang berbeda dari sekian anak muda seusia dengannya, ia rela menjadi tenaga suka
Yusra membuka matanya secara perlahan. Ia bangun kemudian duduk bersandar pada tembok. Kepalanya terasa berdenyut. Ulu hatinya terasa nyeri. Badannya lemah untuk melangkah ke kamar mandi. Namun ia tetap memaksakan diri untuk berwudu, lalu salat Subuh. Dalam sujudnya yang panjang, Yusra memohon agar ada keajaiban, perjodohan ini dibatalkan tanpa harus melukai hati siapa pun.Mata gadis itu kembali memanas seiring napasnya yang menjadi sesak. Dihirupnya oksigen banyak-banyak, berusaha mena
Sesampainya di kamar, Yusra langsung menjatuhkan diri ke ranjang. Ia benar-benar merasa lelah setelah berkeliling mencari kebutuhan acara lamaran. Meskipun ia tak sendiri, ada ibunya berserta mamanya Idham yang ikut bersama mereka. Sebuah kebaya sederhana berwarna cokelat muda menjadi pilihan Yusra, selingkar cincin dan motif kain songket Pucuk Rebung sesuai dengan warna kesukaannya. Yusra benar dimanja meskipun nanti cincin dan kain akan dibawa oleh keluarga Idham ketika malam lamaran. Namun mereka memberikan kebebasan untuk gadis itu memilihnya sendiri. Mamanya Idham juga selalu menampak perhatian selama mereka berbelanja. Harusnya Yusra begitu bahagia karena keluarga calon suami menerima baik dirinya. Akan tetapi yang terjadi sebaliknya, Yusra tetap sulit menerima perjodohan ini. Yusra beristigfar ketika secara tiba-tiba ingatannya kembali pada Ervin. Ia mendesah seraya menatap kebaya cokelat yang tergeletak di sampingnya. Berkali-kali ia menye
Bergetar badan Yusra ketika mendengar nama perempuan itu disebut oleh Raisyifa. Ia masih ingat siapa sosok itu. Sosok yang pernah menggemparkan satu kota, heboh karena sesuatu yang buruk. Sungguh memalukan!Ada sorot kekhawatiran di mata Raisyifa. Ia paham bagaimana perasaan putrinya saat ini. sebelum menyampaikan kebenaran, ia sudah mewanti-wanti menyiapkan segala hal terburuk yang dipilih Yusra. “Maafkan ibu, Ra,” lirihnya. Air mata kedua perempuan itu luruh serentak, mereka berpelukan saling menguatkan. Ada banyak pertanyaan yang masih tertahan di antaranya. Namun, keduanya memilih larut saling mendekap.Puas menangis harusnya membuat seseorang merasa lega. Namun, tidak bagi Yusra. Sakit kepalanya semakin terasa berat dan kesusahan untuk menarik napas. Entah mengapa rasa sakitnya belum juga hilang seakan tak mengenal lelah. Ia kecewa dengan apa yang diinginkan justru sebaliknya yang terjadi. Tak pernah sedikit pun terlintas di pikiran, kalau di
Hampir semalam yusra tak bisa terlelap. Gelisah karena terlalu banyak yang dipikirkan, memikirkan sesuatu yang menjadi takdir di garis hidupnya memang hal yang bodoh. Namun, gadis itu tetap saja melakukannya seperti menikmati luka pada tiap irisan hatinya. Berkali-kali ia mencoba ikhlas dengan apa yang sudah terjadi. Karena bagaimana juga kesedihannya saat ini tak bisa mengubah apa pun. Tentang kehidupan setelah pernikahan nanti agaknya paling banyak menyita pikirannya Bagaimana bisa ia melewati hari-hari bersama orang yang tak dicintainya. waktu terus bergerak menunjukkan pukul dua malam, harusnya ia terlelap mengistirahatkan tubuh dan pikiran agar tampilannya esok tampak segar di acara pertunangan. Akan tetapi, Yusra tetap saja terjaga merasakan kepalanya yang mulai berdenyut-denyut nyeri. Kebaya cokelat berserta hijab warna senada tergantung rapi di samping meja rias, keduanya seakan sedang menertawakan ketidakberdayaan gadis itu, ditatapnya sejenak dengan wajah sendu lalu beralih
Ia memang tak meyangkal pesona Idham. Sebagai wanita normal tentu saja lelaki di sampingnya kini tampak mendekati kata sempurna. Andai dibagikan rating penilaian maka nilai Idham adalah sembilan dari sepuluh angka yang disodorkan. Namun, bukan berarti pesona itu mudah mengubah segalanya. Karena hingga sampai saat ini, tetaplah Ervin yang bertahta di hatinya.Hening kembali menyelimuti mereka. "Aku enggak tahu dan enggak mau tahu masa lalu kamu. Aku pikir kita sudah cukup dewasa. Lagi pula percuma juga kita mempertahankan ego, sementara hati masih memikirkan perasaan orang lain. Bukankah itu sama saja dengan menzolimi diri sendiri?" tanya Idham yang masih acuh tanpa melihat ekspresi Yusra yang sedang menahan kesal."Iya aku tahu. Aku cuma butuh waktu. Aku butuh privasi. Hargai itu!" Idham tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Ternyata selain manja dan keras kepala istrinya juga tak mau mengalah. Berlagak berbicara waktu dan privasi? Bukankah, itu sudah dilakukannya. Mereka hanya
Hari yang tak diinginkan oleh Yusra pun tiba. Dibalut gaun pengantin yang sederhana namun tampak mewah, Ia dan Idham berdiri berdampingan menyalami para tamu undangan. Sah sudah keduanya dalam sebuah ikatan pernikahan. Meski hati salah satunya menolak, tapi kenyataan berkata lain. Dan hari ini Yusra menyerah. Karena sampai detik ini, ia tak memiliki ruang sedikit pun untuk melarikan diri. Seperti hatinya sekarang yang tak ada celah secuil pun untuk suaminya masuk.Memang butuh waktu untuk menerima status barunya, dan Yusra terlihat pasrah meski dalam hati masih berharap Ervin datang membawanya pergi. Tak peduli kemana lelaki itu akan membawanya. Yang terpenting pergi dari sini. Ia tersiksa berada di pelamin bersama Idham, mengikuti semua arahan pembawa acara, memaksakan senyum yang terus dibuat-buat. Serta melayani foto bersama. Kini detik yang dilalui terasa lambat berkali-kali lipat, Ia merasa sudah berabad lamanya duduk di kursi pengantin. Yusra rasa tak sabar ingin berbicara lan
Hampir setengah jam mereka sama-sama terdiam. Yusra melirik jam di pergelangan tangan menunggu detik-detik jawaban dari Ervin. Setelah ide gilanya disampaikan, keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Lelaki itu tak tahu harus bagaimana menyadarkan Yusra, berkali menasehati rasanya percuma. Gadis itu tetap dalam pendiriannya. Lamunan Yusra tentang Ervin melintas kembali pada awal mereka bertemu setelah sama-sama melanjutkan pendidikan di kota yang berbeda. Pada saat itu salah seorang teman mereka mengadakan acara peresmian cafe baru yang kebetulan mereka hadiri. Keduanya terkejut, tak menyangka bertemu lagi setelah perpisahan ketika berseragam abu-abu. Ervin yang memang menyukai gadis itu sejak dulu tak mau membuang kesempatan. Ia meminta nomor kontak lalu perbincangan berlanjut sampai mereka akhirnya memiliki hubungan spesial. Keduanya sepakat untuk tidak mengumbar hubungan, lebih tepatnya menjaga rahasia kisah cinta mereka. Tak ada yang tahu selama beberapa tahun sampai akhir
"Aku kan dari awal dah bilang, lebih baik jujur. Sekarang mau bagaimana lagi, kamu sendiri 'kan yang paling merasakannya?" Yusra menoleh pada asal suara, tak menyangka ternyata Izzan memperhatikannya sejak tadi."Emang kalau aku jujur, Abang mau bantuin?" keluhnya. "Ra, yang paling bisa bantuin kamu itu, ya, kamu sendiri. Bukan orang lain, jangan berharap banyak sama orang atas kebahagiaan untuk kamu, sementara kamunya sendiri enggak berjuang," sindir Izzan. "Pasrah!" Yusra buru-buru menundukkan kepalanya. Merasa tersudut karena apa yang dikatakan Izzan benar adanya. Selama ini dirinya sendirilah yang membiarkan perjodohan ini terus berjalan. Dia pikir Izzan juga tak banyak membantu jika pendapat dan keinginannya berseberangan dengan sang ayah. "Sekarang udah enggak ada yang bisa aku lakukan kecuali bertemu dengan Ervin," lirih Yusra, matanya hampa menatap Izzan. "Ngapain ketemu Ervin?" ketus Izzan. Laki-laki itu memang bersikap netral apa yang terjadi sama Yusra, ia tak bisa ber
Hampir semalam yusra tak bisa terlelap. Gelisah karena terlalu banyak yang dipikirkan, memikirkan sesuatu yang menjadi takdir di garis hidupnya memang hal yang bodoh. Namun, gadis itu tetap saja melakukannya seperti menikmati luka pada tiap irisan hatinya. Berkali-kali ia mencoba ikhlas dengan apa yang sudah terjadi. Karena bagaimana juga kesedihannya saat ini tak bisa mengubah apa pun. Tentang kehidupan setelah pernikahan nanti agaknya paling banyak menyita pikirannya Bagaimana bisa ia melewati hari-hari bersama orang yang tak dicintainya. waktu terus bergerak menunjukkan pukul dua malam, harusnya ia terlelap mengistirahatkan tubuh dan pikiran agar tampilannya esok tampak segar di acara pertunangan. Akan tetapi, Yusra tetap saja terjaga merasakan kepalanya yang mulai berdenyut-denyut nyeri. Kebaya cokelat berserta hijab warna senada tergantung rapi di samping meja rias, keduanya seakan sedang menertawakan ketidakberdayaan gadis itu, ditatapnya sejenak dengan wajah sendu lalu beralih
Bergetar badan Yusra ketika mendengar nama perempuan itu disebut oleh Raisyifa. Ia masih ingat siapa sosok itu. Sosok yang pernah menggemparkan satu kota, heboh karena sesuatu yang buruk. Sungguh memalukan!Ada sorot kekhawatiran di mata Raisyifa. Ia paham bagaimana perasaan putrinya saat ini. sebelum menyampaikan kebenaran, ia sudah mewanti-wanti menyiapkan segala hal terburuk yang dipilih Yusra. “Maafkan ibu, Ra,” lirihnya. Air mata kedua perempuan itu luruh serentak, mereka berpelukan saling menguatkan. Ada banyak pertanyaan yang masih tertahan di antaranya. Namun, keduanya memilih larut saling mendekap.Puas menangis harusnya membuat seseorang merasa lega. Namun, tidak bagi Yusra. Sakit kepalanya semakin terasa berat dan kesusahan untuk menarik napas. Entah mengapa rasa sakitnya belum juga hilang seakan tak mengenal lelah. Ia kecewa dengan apa yang diinginkan justru sebaliknya yang terjadi. Tak pernah sedikit pun terlintas di pikiran, kalau di
Sesampainya di kamar, Yusra langsung menjatuhkan diri ke ranjang. Ia benar-benar merasa lelah setelah berkeliling mencari kebutuhan acara lamaran. Meskipun ia tak sendiri, ada ibunya berserta mamanya Idham yang ikut bersama mereka. Sebuah kebaya sederhana berwarna cokelat muda menjadi pilihan Yusra, selingkar cincin dan motif kain songket Pucuk Rebung sesuai dengan warna kesukaannya. Yusra benar dimanja meskipun nanti cincin dan kain akan dibawa oleh keluarga Idham ketika malam lamaran. Namun mereka memberikan kebebasan untuk gadis itu memilihnya sendiri. Mamanya Idham juga selalu menampak perhatian selama mereka berbelanja. Harusnya Yusra begitu bahagia karena keluarga calon suami menerima baik dirinya. Akan tetapi yang terjadi sebaliknya, Yusra tetap sulit menerima perjodohan ini. Yusra beristigfar ketika secara tiba-tiba ingatannya kembali pada Ervin. Ia mendesah seraya menatap kebaya cokelat yang tergeletak di sampingnya. Berkali-kali ia menye
Yusra membuka matanya secara perlahan. Ia bangun kemudian duduk bersandar pada tembok. Kepalanya terasa berdenyut. Ulu hatinya terasa nyeri. Badannya lemah untuk melangkah ke kamar mandi. Namun ia tetap memaksakan diri untuk berwudu, lalu salat Subuh. Dalam sujudnya yang panjang, Yusra memohon agar ada keajaiban, perjodohan ini dibatalkan tanpa harus melukai hati siapa pun.Mata gadis itu kembali memanas seiring napasnya yang menjadi sesak. Dihirupnya oksigen banyak-banyak, berusaha mena
Yusra menggeleng. “Aku takut kalau jujur. Aku takut kamu marah,” ujar Yusra terbata-bata.“Kamu ini aneh, belum cerita tapi sudah takut. Kamu maling, ya?” canda Ervin.Hening. Yusra tak merespons candaan. Hatinya benar-benar porak-poranda setelah mendengar percakapan Najib tempo hari.Sebagai anak pungut yang dibesarkan dengan cinta kasih tanpa kurang apa pun, rasanya ia malu menolak permintaan dari orang tua. Selama ini, mereka tak pernah meminta Yusra melakukan apa yang mereka mau. Bahkan ketika gadis itu memilih sendiri kuliah di jurusan yang tidak disukai Najib sekali pun. Mereka tak mempermasalahkannya.Permintaan ayahnya kali ini mungkin terdengar menguntungkan untuk Yusra. Idham bukanlah pemuda sembarangan, ia dan keluarganya dikenal baik, santun. Jelas mapan karena punya usaha sendiri, taat beragama, dan pasti tampan. Idham memang berbeda dari sekian anak muda seusia dengannya, ia rela menjadi tenaga suka