Kedua pria yang tengah mengungkung Lean sontak berpaling, tampak terkejut kala menyadari siapa pria yang tengah berdiri di hadapan mereka saat ini.
"Rosi? Apa itu kau?"
Tubuh Lean yang telah lemas itu lantas didorong ke arah pria yang baru berbicara tadi. Setelah itu, mereka dengan cepat pergi usai tubuh Lean berada di dekapan sang penolong yang mereka takuti itu."Hei, Rosi? Apa yang terjadi?" ulang pria itu lagi.
Lean mengerutkan keningnya mendengar pria yang tengah mendekapnya menyebutkan satu nama. Itu bukan namanya, tetapi wanita itu tidak sempat protes. Ia lebih tertarik pada reaksi tubuhnya kala pria itu mendekapnya dengan posesif. Harum tubuh pria tersebut membuat gejolak di dalam diri Lean meningkat drastis. Ditambah lagi, aroma alkohol yang juga menyeruak yang anehnya semakin membuat darah wanita itu seolah mendidih.Sesuatu yang liar, yang belum pernah Lean rasakan seolah tengah memberontak untuk dibebaskan. Degup jantungnya yang memacu, bertambah cepat saat wajah pria tersebut mendekatinya, memangkas jarak.
"Tolong aku, T-tuan," desis Lean, menengadah, mengiba dengan mata sayu.
Suara wanita itu terdengar gemetar, dengan jakun yang turun-naik dengan cepat.
"Kau ...." Pria itu menatap Lean selama beberapa saat sambil memicingkan mata.Raut marah tampak di wajahnya yang memerah karena terlalu banyak minum.
"Sial." Menyadari bahwa sesuatu telah terjadi pada wanita yang berada di dalam pelukannya, pria ini segera mengangkat tubuh Lean ala bridal style. Kemudian ia melangkah tertatih membawa Lean pergi meninggalkan ruangan di mana pesta masih berlangsung.
Lean terus mengalungkan tangannya di leher pria yang membangkitkan gairahnya. 15 menit dalam perjalanan menuju hotel, ia mati-matian menahan hasrat yang sudah ingin meledak.Hingga kemudian ia kehilangan kewarasannya saat pria itu tidak melepaskannya saat mereka berada di mobil.
“Sial, apa yang kau lakukan?!” geram pria itu saat Lean dengan agresif menciumi wajahnya.
“A-aku, tubuhku panas. Tolong aku,” keluh Lean lagi, tetapi tidak melepaskan belitannya pada tubuh pria itu.
Tak kuat menahan lebih lama, pria itu kemudian membelokkan mobilnya ke sebuah hotel mewah terdekat. Tanpa membuang waktu lama, sebuah kunci kamar telah mereka kantongi.
Di dalam lift, kedua orang itu tak lagi bisa mengontrol diri. Lean yang terus merapatkan tubuhnya ke pria itu, langsung disambut dengan sama agresifnya.
"A-aku sudah tidak tahan lagi.”
Cepat, pintu kamar tersebut terbuka. Tak lama usai pintu itu kembali tertutup, tubuh Lean diempas ke atas ranjang, membuat wanita itu mengerang.
Panas tubuh yang telah menyebar di kedua tubuh mereka, membuat mereka sama-sama melucuti pakaian.
Rintihan dan juga gerakan Lean yang seduktif semakin memancing hasrat lelaki pria itu.
"Sial." Pria itu kembali mengumpat, tetapi kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas tubuh Lean. “Maafkan aku, Rosi," bisik pria itu, lalu langsung melumat bibir Lean dengan penuh gairah.
Pergulatan panas pun terjadi. Sesekali, rintihan kesakitan juga cengkeraman Lean membuat pria itu menggeram, tetapi tak memutus penyatuan tubuh mereka yang sama-sama mendamba.Lean yang tidak mabuk jelas tahu bahwa ada hal yang salah yang terjadi di tubuhnya. Namun, wanita itu tak menampik jika sentuhan-sentuhan liar pria itu membuat panas di tubuhnya lebih cepat menguap.
Ia yang semula merintih kesakitan, perlahan mulai menikmati gerakan mendominasi pria itu. Butuh lebih dari satu jam hingga tubuh pria itu pun ambruk di atas tubuh Lean.
"Rosi, Sayang. Aku ... akan bertanggung jawab padamu,” ujar pria itu di ceruk leher Lean, dengan suara yang serak.
Lean yang sudah tak berdaya itu pun tak menjawab, karena tak lama … ia pun tertidur karena kelelahan.
***
“Ah, kepalaku.”Pagi-pagi sekali, Lean tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Ia mendesis pelan kala merasakan sakit pada kepalanya. Dan di saat ia mencoba untuk menegakkan tubuhnya ... pandangannya jatuh pada sebuah lengan kekar yang sedang memeluk pinggangnya.
Saat Lean menoleh, ia menemukan seorang pria sedang tertidur pulas di sampingnya, memeluk erat dirinya. Tubuh bagian bawah pria itu tertutup oleh selimut, sementara tubuh bagian atasnya yang polos tampak terpampang begitu saja di hadapan Lean. Membuat wajah Lean sontak merona setelah melihat pemandangan itu.Di saat yang sama, beberapa bayangan samar tentang apa yang telah ia lakukan bersama pria itu semalam mendadak hadir di dalam benaknya.
"Oh, Tuhan. Apakah ini semua ulah Brad?”Lean langsung berpikir, bahwa ini semua karena seseorang telah mencampurkan sesuatu ke dalam minuman—es jeruk yang ia pesan. Dan ia langsung menduga orang itu adalah Brad, sebab pria itu ingin mempermalukannya di pesta semalam.
Di tengah keresahannya, Lean mengangkat wajahnya, menatap ke wajah pria yang telah menghabiskan waktu bersamanya semalam. Pria yang telah membantunya, tetapi juga telah merenggut sesuatu yang selama ini ia jaga.
"Apa yang telah kulakukan semalam, Tuhan?"
Lean memperhatikan wajah pria itu selama beberapa saat. Meski pria itu tampan dan nyaris sempurna … ia tetap menyesal, sebab ia tak tahu siapa pria yang telah merenggut keperawanannya.
Melupakan bagaimana kejadian semalam, dan memutus rasa terlenanya … Lean perlahan mencoba bangun. Dengan hati-hati, ia memindahkan lengan pria itu.
Lean turun dari atas ranjang dengan perlahan, berusaha tak membuat kegaduhan. Berjingkat-jingkat menahan sakit di area intim, Lean memunguti pakaiannya yang tercecer dan langsung mengenakannya secepat yang ia bisa.
Sebelum keluar dari kamar hotel, Lean melemparkan pandangannya ke arah ranjang hotel.
Sekali lagi, ia menatap pada pria yang berada di atas ranjang itu kemudian bergumam pelan, "Terima kasih, dan semoga setelah ini kita tidak akan pernah bertemu lagi."
Plak ...!Satu tamparan keras menyambut Lean setibanya ia di rumah mewah milikkeluarganya. Dialah Leon Marquess, ayahnya yang telah memberikan tamparandan kini tengah menatapnya dengan wajah merah padam"Kau sangat memalukan, Lean! Tahukah kau apa yang telah Brad katakantentangmu?!"Terduduk di lantai rumahnya yang dingin, Lean sama sekali tidak mampu menjawabpertanyaan tersebut.Bukan hanya ayahnya, bahkan Eve pun turut serta menatapdirinya dengan wajah muak."Bukankah semalam sudah kukatakan agar kau tidak lagi membuat masalah dipesta, Lean? Mengapa kau tidak mendengarku?” Eve melipat kedua tangannya didepan dada dan menatapnya sinis. “Kau tahu, semalam Brad dan Isla mengatakanpadaku bahwa kau telah merayu seorang pria karena patah hati. Apa itubenar?!""Mungkin gara-gara sifatmu inilah yang membuat Brad akhirnya memutuskanpertunangan kalian.” Sang Ayah mendengus kasar. Ia lantas menatap tajam ke arahputri bungsunya dan kembali berkata, “Kau dilarang keluar dari kamar.”
"Apakah Eve sudah berbicara padamu tentang tamu yangdatang menemui Ayah kemarin?"Sehari setelah Eve memberitahunya, sang ayah akhirnya mendatangi Lean secaralangsung.Sesaat, Lean tidak langsung merespons pertanyaan sang ayah,sebab ia sibuk memperhatikan garis wajah pria tua itu.Kemarahan ayahnya sudah terlihat menurun, jika ditinjau daritatapan juga intonasi nada pria tua itu pada Lean."Eve sudah menjelaskan sedikit padaku kemarin, Ayah." Lean menjawabsetelah beberapa saat terdiam.Diam-diam, Lean jadi makin penasaran … apakah tamu kemarinyang membuat kemarahan ayahnya surut?Dan siapa tamu itu yang telah berhasil mengubah sikapayahnya menjadi seperti sekarang?"Tamu kemarin adalah salah seorang bawahan dari Sahabat Ayah yang tinggaldi Kota L.” Perkataan sang ayah membuat Lean melebarkan matanya. “Dia datangmembawa pesan dari Sahabat Ayah yang ingin memperkerjakanmu di salah satuPerusahaan miliknya.""Mengapa Sahabat Ayah ingin agar aku bekerja di Perusahaannya?" tanyaL
Esok harinya pukul 9 pagi, setelah satu jam perjalanan dengan pesawat—Lean pun tiba di Kota L. Ia dijemput oleh seorang pria paruh baya yang langsung mengantarkan dirinya ke sebuah mansion mewah. "Lean Marquise? Selamat datang, duduklah!" Seorang pria berusia senja yang tengah duduk di belakang meja kerjanya, menyambut kedatangan Lean dengan senyuman hangat ketika Lean telah tiba di mansion.Lean menundukkan kepalanya dengan sopan pada pria itu, sebelum ia menjatuhkan bokong rampingnya pada kursi yang telah disediakan untuknya. "Bagaimana kabar Ayahmu?" tanya pria itu membuka percakapan, begitu mereka duduk berhadapan. "Baik, Tuan Besar," sahut Lean, sembari tersenyum canggung.Pria yang baru saja Lean panggil dengan panggilan Tuan Besar itu manggut-manggut di hadapan Lean. Dia adalah Tuan Besar Gail, Bangsawan nomor satu di Kota L. "Aku senang mendengarnya. Kami sudah lama tidak bertemu. Aku bahkan baru tahu kalau putri bungsunya sudah menjadi seorang wanita yang sangat cantik," t
"Hmm, apakah kita pernah bertemu, Nona Lean?" tatapan pria yang berada di balik meja itu sangat tajam pada Lean. Namun Lean mencoba untuk tidak mengacuhkannya dan membalas tatapan itu dengan berani. "Silakan, duduk!" ujar pria itu, menunjuk pada kursi yang terdapat di hadapan Lean.‘Dia … tidak mengenaliku?’Lean mengernyit, merasa bingung atas reaksi pria itu terhadap dirinya. Namun hal itu tidak berlangsung lama, sebab ia kembali teringat pada kalimat Edward yang menyebutnya sebagai Rosi.Suara bariton Edward kemudian kembali terdengar, memutus pikiran sibuk Lean. "Nona Lean, duduklah!"Perintah bernada dingin berbarengan dengan raut serius pada wajah Edward kala ia menatap pria itu. Lean yakin, dilihat dari ekspresi tersebut, pria yang telah dijodohkan padanya ini kemungkinan benar-benar tidak tahu jika mereka pernah melewati malam bersama. "Baik, Tuan Edward." Lean menganggukkan kepalanya, menarik kursi yang ada di hadapannya lalu menjatuhkan bokong rampingnya di atas kursi terse
"Huft!" Lean menghembuskan nafas dengan kasar setelah ia menutup pintu ruangan Edward.Sesaat, ia termangu memperhatikan kesibukan yang tampak di luar kantor Edward. Namun, lamunannya itu tersentak oleh teguran seseorang."Nona Lean Marquise, bisa ikut denganku sebentar?"Pria itu, yang baru saja menegur Lean tak lain adalah Anton. Anton tampak menggerakkan kepalanya ke kiri tak lama setelah Lean berpaling padanya.Dengan kening berkerut, Lean mengikuti pria itu menuju ke sebuah ruangan."Ini ruangan Anda, Nona Lean. Dan jika Anda membutuhkan bantuanku— ruanganku berada tepat di samping ruangan Anda." Anton menunjuk pada ruangan lainnya yang hampir sebagian dindingnya terbuat dari kaca tebal. Persis dengan ruangan yang ia tunjukkan sebelumnya pada Lean. "Oh ya, satu lagi. Biasanya aku yang bertugas untuk menemani Tuan Edward ke lapangan, tapi karena belakangan pekerjaan di Perusahaan sangat menumpuk. Tugas itu kini kuserahkan pada Anda."Mulut Lean terbuka ingin protes, namun Lean ti
"Tolong jaga sikap Anda, Tuan Edward." Lean memiringkan kepalanya, sedikit menjauh dari wajah Edward. Namun hal itu justru membuat lehernya yang putih dan bersih terpampang tepat di depan mata Edward. Kulit Lean yang seputih hamparan salju di musim dingin, membuat Edward yang melihatnya sontak mengetatkan rahangnya. 'Sial, apa yang kupikirkan?' dengan cepat Edward menarik kepalanya ke belakang, dan kembali menegakkan tubuhnya. Ia juga berdehem pelan dan menutupi sebagian wajahnya dengan telapak tangannya untuk meredakan detak jantungnya yang tiba-tiba berlomba di dalam dadanya. 'Kau menyukainya, Edward? Apa kau menyukainya karena wanita ini sangat mirip dengan Rosi?' celetuk hatinya. "Oh, diamlah brengsek!" geram Edward dengan suara yang sangat pelan. "Anda mengatakan sesuatu, Tuan Edward?" Lean membalikkan tubuhnya, menatap Edward dengan netranya yang berwarna abu-abu cerah. Di bawah tatapan Lean, saat kelopak mata indah itu mengerjap, dan bulu mata Lean yang panjang dan lentik
"Lean, apa kau bisa mengirimkan laporan ini kepada Anton?" tanya Edward, di dalam ruangan kantor sebuah Mall. Di depan Manajer Mall tersebut."Bisa, Tuan Edward." Lean pun mengambil berkas yang disodorkan Edward padanya, membawa berkas itu ke sofa dan meletakkannya ke atas meja. Setelahnya, ia segera membuka tas yang ia bawa, mengeluarkan laptop miliknya dari dalam tasnya dan meletakkan laptop itu di samping berkas yang telah ia ambil dari Edward.Edward menghampiri Lean kala melihat wanita itu mulai mengerjakan apa yang telah ia perintahkan tadi. Ia bahkan duduk di samping Lean, membuat wanita itu menghentikan apa yang sedang dilakukannya.Lean menatapnya, kening wanita itu tampak berkernyit, seolah Lean merasa terganggu dengan kehadirannya yang duduk terlalu dekat dengan wanita itu."Aku hanya ingin melihat bagaimana kau melakukannya. Jadi, jika ada kesalahan, aku bisa memberitahumu," tukas Edward."Anda tidak perlu khawatir, Tuan Edward. Eve sering mengajariku untuk melakukan hal in
"Ternyata sudah hampir pukul 12." Edward melirik arloji mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Setelahnya, ia lalu mengalihkan pandangannya pada Lean yang masih tampak sibuk di sampingnya. "Bagaimana?" celetuknya sambil memajukan tubuhnya untuk mendekati Lean.Lean menghentikan gerakan jemarinya sejenak, menoleh pada Edward saat wangi parfum pria itu yang beraroma maskulin menyapa indera penciumannya. Oh, Tuhan. Apakah pria ini benar-benar tidak mengerti bahwa dirinya sangat menggoda?"Aku sudah menyelesaikannya, Tuan Edward. Apakah laporan ini juga harus kukirimkan pada Anton?""Bisakah kau melakukannya dengan cepat? Karena sebentar lagi aku harus bertemu Oliver untuk makan siang bersama." Edward kembali melirik jam tangan mewahnya. "Bisa, Tuan. Sebentar." Lean dengan cepat menggerakkan jemarinya di atas keyboard laptop. Tatapannya lurus ke arah layar, dan berselang beberapa menit, "Sudah terkirim, Tuan Edward," lapornya. Diam-diam, ia melirik ke arah Edward dengan sudut mat
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara