"Ternyata sudah hampir pukul 12." Edward melirik arloji mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Setelahnya, ia lalu mengalihkan pandangannya pada Lean yang masih tampak sibuk di sampingnya. "Bagaimana?" celetuknya sambil memajukan tubuhnya untuk mendekati Lean.Lean menghentikan gerakan jemarinya sejenak, menoleh pada Edward saat wangi parfum pria itu yang beraroma maskulin menyapa indera penciumannya. Oh, Tuhan. Apakah pria ini benar-benar tidak mengerti bahwa dirinya sangat menggoda?"Aku sudah menyelesaikannya, Tuan Edward. Apakah laporan ini juga harus kukirimkan pada Anton?""Bisakah kau melakukannya dengan cepat? Karena sebentar lagi aku harus bertemu Oliver untuk makan siang bersama." Edward kembali melirik jam tangan mewahnya. "Bisa, Tuan. Sebentar." Lean dengan cepat menggerakkan jemarinya di atas keyboard laptop. Tatapannya lurus ke arah layar, dan berselang beberapa menit, "Sudah terkirim, Tuan Edward," lapornya. Diam-diam, ia melirik ke arah Edward dengan sudut mat
"Tuan Edward, mobil Tuan ada di sana!" tunjuk Lean pada mobil Edward yang terparkir di parkiran khusus di depan Mall. Edward hanya melirik mobilnya sekilas, namun ia tetap menarik tangan Lean, menyeret wanita itu agar mengikuti dirinya. Tujuannya tak lain adalah Resto Les Jardins yang terletak tak jauh dari Pusat Perbelanjaan Mewah yang baru saja ia kunjungi. Tempat di mana ia, Oliver, dan Pamannya, biasa menikmati makan siang mereka. "Tu-Tuan Edward, bukankah Anda sudah terlambat untuk bertemu dengan Tuan Oliver? Lalu, mengapa kita tidak naik mobil saja?" usul Lean, sambil menatap bingung pada Edward yang tengah memasang wajah datar. Pria ini sama sekali tidak peduli terhadap tatapan dari orang-orang yang berpapasan dengannya. Baik pria, ataupun wanita, semua tampak menatap padanya, pada Edward Gail. "Aku lihat kau belum membaca agendaku dengan benar, Lean Marquise," celetuk Edward. Ia melirik Lean dari sudut matanya, lalu kembali menatap ke depan. Pada papan nama mewah yang bertu
"Paman masih harus mengawasi proyek di Dubai selama beberapa hari lagi, Ed. Ada apa? Apa kau ...." Oliver menggantungkan kalimatnya, menatap sang adik dengan wajah serius. "Ed? Jangan katakan kalau kau masih memikirkannya!" tambahnya. "Bagaimana denganmu sendiri, Kak? Bukankah hingga hari ini kau juga masih memikirkan Rosi?" balas Edward, kemudian tersenyum sinis setelahnya. Oliver hanya menanggapi ucapan adiknya itu dengan berdehem pelan, sama sekali tidak bisa menampik bahwa sampai sekarang— semua tingkah yang pernah Rosalia tunjukkan di hadapannya, masih sulit untuk ia lupakan. "Setidaknya sekarang aku sudah mencoba untuk berdamai dengan keadaan," cetusnya, tersenyum kaku, karena tidak merasa yakin atas ucapannya sendiri. Mungkin, ia bisa berbohong di hadapan orang lain, namun Oliver tidak bisa membohongi hatinya. Jika di saat ia berhubungan dengan Rose, terkadang ia masih memikirkan Rosalia. "Dengan memperhatikannya secara diam-diam? Maaf, Kak. Aku tidak bisa melakukan hal it
"T-Tuan Edward, apa Anda tidak sadar jika saat ini kita sedang berada di ...." Dengan kikuk Lean menundukkan wajahnya. Tanpa berani membalas tatapan Edward yang seakan ingin merontokkan hatinya. Oh, Tuhan. Jika saja hatinya hanya sepotong keju, mungkin hatinya kini telah meleleh gara-gara tingkah Edward."Mengapa? Apa kau malu pada orang-orang yang sedang memperhatikan kita? Tapi, bukankah tadi kau terus menatapku? ""Huft!" Lean menghela nafas sejenak sebelum ia menjawab pertanyaan itu. Seiring dengan itu, diam-diam ia mencoba untuk meredakan detak jantungnya yang seakan berlomba di dalam tubuhnya.Lean sama sekali tidak mengerti, mengapa Edward selalu senang menggoda dirinya jika ia dan Bosnya ini hanya berdua saja.Namun, di luar itu, perlakuan Edward padanya justru sangat berbeda. Contohnya, satu jam yang lalu saat Oliver memintanya untuk makan bersama. Saat itu, Edward langsung menampilkan wajah datar padanya. Edward bahkan tidak terlihat senang jika Lean makan di meja yang sama
"Apakah menurutmu Tuan Edward akan melakukan sesuatu padaku?" Lean balik bertanya pada Anton. Anton menggedikkan pundaknya, "Setahuku, tidak!" tegasnya. "Tuan Edward adalah seorang pria yang selalu menghormati wanita, dia bahkan sering menyelamatkan para wanita dari gangguan pria-pria jahat di jalan." "Maksudmu, Tuan Edward tidak pernah menyentuh wanita sama sekali?" Anton mengerutkan keningnya, sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan itu. "Selama ini, aku belum pernah melihat Tuan melakukannya. Lagipula, Tuan tampaknya tidak terlalu suka berdekatan dengan wanita. Kecuali ...." "Rosi?" tebak Lean. Anton mengangguk pelan, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan dengan meminta Lean untuk pergi ke ruangan Edward. Melaporkan pada Bosnya itu bahwa meeting sore akan segera dimulai. Sambil berpikir, Lean pun pergi ke ruangan Edward. Sama sekali tidak mengacuhkan tatapan tak suka yang diberikan oleh beberapa karyawan wanita padanya saat ia melewati mereka menuju ke ruangan Edward. 'Rosi
"Baiklah, rapat hari ini selesai! Untuk yang telah menyelesaikan target market, juga laporan pemasukan barang dan penjualan yang telah dikirimkan oleh Tuan Edward siang tadi— segera hantarkan laporan-laporan itu ke kantorku sebelum jam pulang kantor!" pungkas Anton sebagai penutup meeting. Edward segera memutar kursinya menghadap meja setelah Anton mematikan proyektor. Sesaat, ia melirik Lean yang tampak sedang termangu menatapnya. 'Hmm, apa dia ... sangat terkejut dengan permintaanku tadi?' pikirnya. Demi menyadarkan Lean, ia pun berdehem pelan. Suara deheman itu menyentakkan Lean dari lamunannya. Ia mengerjapkan matanya, dan membeku saat menemukan Edward tengah menatapnya dengan satu alis terangkat naik. "Apa yang sedang kau pikirkan, Lean Marquise?" sebelum Lean sempat membuka mulutnya, Edward kembali melanjutkan kata-katanya. "Ikut denganku ke ruanganku, sekarang!" Lean tergugu di kursinya, "Ba-baik, Tuan Edward," sahutnya terbata, sudah pasrah dengan apa yang akan Edward laku
Edward terus menatap Lean, dan Lean justru tersenyum kecut pada atasannya itu. "Tu-Tuan Ed ...." Ucapan Lean itu sontak terjeda oleh suara telpon yang berasal dari atas meja Edward. Namun Edward sama sekali tidak mengacuhkannya, hanya terus menatap Lean sambil menyipitkan matanya. Saat suara telpon itu berhenti, kini ponsel Edward yang berada di dalam saku celana pria itu yang justru berbunyi. Mendengar suara tersebut, Lean pun menunjuk ke saku celana atasannya itu. "Sebaiknya Tuan angkat dulu telponnya, mungkin panggilan itu sangat penting, Tuan Edward," tukasnya. "Hmm, jangan mengalihkan pembicaraan, Lean!" sungut Edward, namun ia tetap merogoh ke dalam saku celananya. Mencari ponsel miliknya yang terus menjerit di dalam sana. Setelah menemukannya, Edward melirik ke layar ponselnya. Decakan pelan terlontar dari bibirnya ketika ia mengetahui siapa yang telah menghubunginya itu. "Ya," sahutnya singkat, tanpa basa-basi pada seseorang yang ada di seberang panggilan. "Tuan Edward?
Keluar dari lobby Gail Mart, Lean menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Kemudian melirik ke kiri dan ke kanan, takut jika ia akan bertemu dengan Edward di tempat ini. Karena tadi, ia pulang begitu saja setelah berbicara dengan Anton. "Semoga saja Anton mau mengatakan pada Tuan Edward jika aku sudah ijin padanya." Merasa yakin jika Edward tidak ada, dengan mantap Lean melangkahkan kakinya menuju sedan perusahaan, di mana supir Gail Mart yang mengantarnya pagi ini telah menunggunya di samping sedan tersebut. Supir itu menyapa Lean ketika Lean tiba di hadapannya. Namun, sebelum Lean sempat masuk ke dalam sedan, tiba-tiba ia mendengar suara klakson mobil. Ketika ia menoleh, ia melihat Anton sedang tersenyum padanya di belakang setir. Di belakang rekannya itu tampak Edward duduk dengan wajahnya yang datar. Atasannya itu hanya melirik sekilas padanya, kemudian meminta Anton untuk segera pergi. "Dasar pria aneh," gerutu Lean sambil masuk ke dalam sedan perusahaa
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara