Esok harinya pukul 9 pagi, setelah satu jam perjalanan dengan pesawat—Lean pun tiba di Kota L. Ia dijemput oleh seorang pria paruh baya yang langsung mengantarkan dirinya ke sebuah mansion mewah.
"Lean Marquise? Selamat datang, duduklah!" Seorang pria berusia senja yang tengah duduk di belakang meja kerjanya, menyambut kedatangan Lean dengan senyuman hangat ketika Lean telah tiba di mansion.Lean menundukkan kepalanya dengan sopan pada pria itu, sebelum ia menjatuhkan bokong rampingnya pada kursi yang telah disediakan untuknya."Bagaimana kabar Ayahmu?" tanya pria itu membuka percakapan, begitu mereka duduk berhadapan. "Baik, Tuan Besar," sahut Lean, sembari tersenyum canggung.Pria yang baru saja Lean panggil dengan panggilan Tuan Besar itu manggut-manggut di hadapan Lean. Dia adalah Tuan Besar Gail, Bangsawan nomor satu di Kota L. "Aku senang mendengarnya. Kami sudah lama tidak bertemu. Aku bahkan baru tahu kalau putri bungsunya sudah menjadi seorang wanita yang sangat cantik," tukas Tuan Besar Gail.Lean menanggapi pujian tulus itu dengan tersenyum tipis, "Terima kasih, Tuan Besar," balasnya. "Dan, terima kasih juga atas tawaran pekerjaannya," lanjut Lean lagi.Tuan Besar Gail kembali manggut-manggut, "Itu tidak masalah. Oh ya, apa benar Putra Maison telah memutuskan pertunangan kalian?"Putra Maison yang disebut itu adalah Brad. Lean terhenyak mendengar pertanyaan itu. Ia menurunkan pandangannya, kemudian meremas jemarinya dengan resah. "Sebenarnya aku tidak ingin membahas hal ini, Tuan Besar. Tapi akan sangat tidak sopan jika aku tidak menjawab pertanyaan Anda." Lean lalu menjeda kalimatnya, memberanikan diri untuk menatap pria berusia senja yang sedang duduk di belakang meja sembari tersenyum kecut. "Itu benar. Sepertinya Brad Maison menganggapku tidak cukup baik untuknya karena aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk belajar.”Embusan napas lega langsung keluar dari bibir Lean setelahnya. Sebongkah beban besar yang selama ini ia tahan seolah terangkat seketika."Baguslah.” Tuan Besar Gail mendengus. Di wajahnya terlihat gurat kepuasan. “Tapi menurutku, dia yang tidak pantas untukmu."Lean tersentak di kursinya. "Apa maksud anda?"Wajah wanita itu terlihat bingung, sebab Tuan Gail seolah mengetahui sesuatu yang tidak ia tahu.Tuan Gail tersenyum. Pria itu tidak menjawab, melainkan bertanya hal lain. "Apakah Ayahmu belum menjelaskan apa yang harus kau lakukan di sini?" "Sudah, Tuan Besar." Lean menganggukkan kepalanya, "Ayah sudah mengatakan padaku kalau anda telah memintaku untuk bekerja di Gail Mart.”"Hanya itu?" tanya Tuan Besar Gail lagi, ia bahkan menoleh pada pria paruh baya yang sedang berdiri di sampingnya. Menatap sang asisten dengan wajah bingung.Apa yang Tuan Besar Gail lakukan itu, tak lepas dari netra Lean. Dan hal itu pun membuat wanita itu didera kebingungan yang sama sebagaimana Tuan Besar Gail."Jadi ... Ayahmu belum menjelaskan padamu kalau kedatanganmu ke sini bukan hanya untuk bekerja, melainkan juga untuk mendekati Cucuku?” Sesaat, Tuan Besar Gail tercekat. “Maksudku, aku dan Ayahmu sudah membicarakan tentang perjodohanmu dengan Cucuku," jelasnya kemudian. "Apa?" kelopak mata Lean sontak melebar. "Ma-maaf, Tuan Besar. Aku tak mengerti," ucap Lean sembari menautkan kedua alis indahnya. "Hmmm ...." Tuan Besar Gail berdehem pelan lalu tersenyum tipis melihat reaksi Lean itu. "Sebenarnya, aku telah memintamu untuk menjadi calon istri Cucuku.”“Hah? Cucu?” ujar Lean, hanya membeo ucapan Tuan Besar Gail.Pria tua itu mengangguk tenang. “Aku ... ingin kau mendekati Cucuku, Edward. Agar dia bisa melupakan Bibinya.”"A-apa? Bibi??" semakin bingung, Lean sama sekali tidak mengerti bagaimana harus menanggapi permintaan dari Tuan Besar Gail itu.Ia bahkan termangu di hadapan pria berusia senja itu dengan mulut setengah terbuka. Pasalnya, ia tidak punya bayangan apa pun tentang perjodohan ini.Ayahnya tidak berkata apa pun, selain ia yang ditawari bekerja. Namun, kini perlahan ia mengerti … apakah perjodohan ini yang menyebabkan kemarahan sang ayah meluruh?"Tidak perlu terburu-buru, Lean. Aku akan memberimu waktu selama enam bulan untuk mengenal cucuku terlebih dahulu," tambah Tuan Besar Gail lagi. "Lalu bagaimana setelah enam bulan?" sosor Lean cepat, "Mak-maksudku, bagaimana jika setelah enam bulan ternyata dia masih tidak tertarik padaku?" "Tentu saja kau boleh memilih untuk terus bekerja padaku. Atau ....” Tuan Besar Gail menatap penuh pada Lean. “Jika kau telah memutuskan ingin kembali ke Swiss, aku juga tidak bisa melarangmu untuk tetap tinggal."Lean diam sejenak, mencoba memikirkan tawaran tersebut. Dan setelah beberapa saat, ia pun menganggukkan kepalanya dengan raut wajah ragu, “Baiklah. Aku bersedia.”Tuan Besar Gail tersenyum. Wajahnya yang semula sedikit khawatir kini terlihat lega."Sebagai hadiah kedatanganmu, aku telah menyiapkan sebuah apartemen untuk kau tempati selama kau tinggal di kota ini.”**Hari pertama bekerja di Gail Mart, di bawah udara lembut awal musim semi, Lean melangkah dengan setelan rapi yang senada dengan warna kulitnya.Kaki jenjangnya melangkah memasuki lobi perusahaan, menuju meja resepsionis."Lean Marquise," lontarnya, memperkenalkan diri pada kedua wanita resepsionis.Sesaat, kedua wanita itu tampak sibuk memeriksa layar komputer. Namun tak lama setelahnya, salah seorang dari kedua wanita itu langsung mengantarkan Lean menuju lift.Wanita itu hanya menyapa Lean seadanya, memberitahukan bahwa kedatangannya sudah ditunggu. "Terima kasih." Lean tersenyum ramah padanya setelah wanita itu mempertemukan Lean dengan seorang pria yang merupakan asisten Edward, pria yang telah dijodohkan padanya."Masuklah, Nona. Tuan Edward telah menunggu Nona di dalam." Lean mengangguk pada asisten itu, "Terima kasih."Masuk ke dalam ruangan kerja Edward Gail, Lean melangkah dengan canggung kala melihat betapa mewahnya ruangan tersebut.Meski telah mengetahui dari Eve bagaimana mewahnya perusahaan yang berada di bawah Gail Group, Lean tetap terperangah pada desain mewah nan elegan yang ia temui saat ini.Mengatur napas sejenak, Lean lantas memperkenalkan dirinya pada pria yang tengah fokus berkutat dengan pekerjaannya di balik meja."Selamat pagi, Tuan Edward. Saya Lean Marquise, Sekretaris baru Anda."Wajah pria itu yang tengah tertunduk, membuat Lean tidak bisa melihat rupa pria yang semalam membuat ia kesulitan tidur.Hanya tangan besar dan kokoh pria itu yang tampak sibuk yang bisa ia lihat. Namun anehnya … hanya melihat tangan itu saja sudah mampu membuat jantung Lean berdegup lebih cepat. Hingga, ketika pandangan pria itu bertemu dengannya, kelopak mata Lean sontak melebar. "Kau?!""Hmm, apakah kita pernah bertemu, Nona Lean?" tatapan pria yang berada di balik meja itu sangat tajam pada Lean. Namun Lean mencoba untuk tidak mengacuhkannya dan membalas tatapan itu dengan berani. "Silakan, duduk!" ujar pria itu, menunjuk pada kursi yang terdapat di hadapan Lean.‘Dia … tidak mengenaliku?’Lean mengernyit, merasa bingung atas reaksi pria itu terhadap dirinya. Namun hal itu tidak berlangsung lama, sebab ia kembali teringat pada kalimat Edward yang menyebutnya sebagai Rosi.Suara bariton Edward kemudian kembali terdengar, memutus pikiran sibuk Lean. "Nona Lean, duduklah!"Perintah bernada dingin berbarengan dengan raut serius pada wajah Edward kala ia menatap pria itu. Lean yakin, dilihat dari ekspresi tersebut, pria yang telah dijodohkan padanya ini kemungkinan benar-benar tidak tahu jika mereka pernah melewati malam bersama. "Baik, Tuan Edward." Lean menganggukkan kepalanya, menarik kursi yang ada di hadapannya lalu menjatuhkan bokong rampingnya di atas kursi terse
"Huft!" Lean menghembuskan nafas dengan kasar setelah ia menutup pintu ruangan Edward.Sesaat, ia termangu memperhatikan kesibukan yang tampak di luar kantor Edward. Namun, lamunannya itu tersentak oleh teguran seseorang."Nona Lean Marquise, bisa ikut denganku sebentar?"Pria itu, yang baru saja menegur Lean tak lain adalah Anton. Anton tampak menggerakkan kepalanya ke kiri tak lama setelah Lean berpaling padanya.Dengan kening berkerut, Lean mengikuti pria itu menuju ke sebuah ruangan."Ini ruangan Anda, Nona Lean. Dan jika Anda membutuhkan bantuanku— ruanganku berada tepat di samping ruangan Anda." Anton menunjuk pada ruangan lainnya yang hampir sebagian dindingnya terbuat dari kaca tebal. Persis dengan ruangan yang ia tunjukkan sebelumnya pada Lean. "Oh ya, satu lagi. Biasanya aku yang bertugas untuk menemani Tuan Edward ke lapangan, tapi karena belakangan pekerjaan di Perusahaan sangat menumpuk. Tugas itu kini kuserahkan pada Anda."Mulut Lean terbuka ingin protes, namun Lean ti
"Tolong jaga sikap Anda, Tuan Edward." Lean memiringkan kepalanya, sedikit menjauh dari wajah Edward. Namun hal itu justru membuat lehernya yang putih dan bersih terpampang tepat di depan mata Edward. Kulit Lean yang seputih hamparan salju di musim dingin, membuat Edward yang melihatnya sontak mengetatkan rahangnya. 'Sial, apa yang kupikirkan?' dengan cepat Edward menarik kepalanya ke belakang, dan kembali menegakkan tubuhnya. Ia juga berdehem pelan dan menutupi sebagian wajahnya dengan telapak tangannya untuk meredakan detak jantungnya yang tiba-tiba berlomba di dalam dadanya. 'Kau menyukainya, Edward? Apa kau menyukainya karena wanita ini sangat mirip dengan Rosi?' celetuk hatinya. "Oh, diamlah brengsek!" geram Edward dengan suara yang sangat pelan. "Anda mengatakan sesuatu, Tuan Edward?" Lean membalikkan tubuhnya, menatap Edward dengan netranya yang berwarna abu-abu cerah. Di bawah tatapan Lean, saat kelopak mata indah itu mengerjap, dan bulu mata Lean yang panjang dan lentik
"Lean, apa kau bisa mengirimkan laporan ini kepada Anton?" tanya Edward, di dalam ruangan kantor sebuah Mall. Di depan Manajer Mall tersebut."Bisa, Tuan Edward." Lean pun mengambil berkas yang disodorkan Edward padanya, membawa berkas itu ke sofa dan meletakkannya ke atas meja. Setelahnya, ia segera membuka tas yang ia bawa, mengeluarkan laptop miliknya dari dalam tasnya dan meletakkan laptop itu di samping berkas yang telah ia ambil dari Edward.Edward menghampiri Lean kala melihat wanita itu mulai mengerjakan apa yang telah ia perintahkan tadi. Ia bahkan duduk di samping Lean, membuat wanita itu menghentikan apa yang sedang dilakukannya.Lean menatapnya, kening wanita itu tampak berkernyit, seolah Lean merasa terganggu dengan kehadirannya yang duduk terlalu dekat dengan wanita itu."Aku hanya ingin melihat bagaimana kau melakukannya. Jadi, jika ada kesalahan, aku bisa memberitahumu," tukas Edward."Anda tidak perlu khawatir, Tuan Edward. Eve sering mengajariku untuk melakukan hal in
"Ternyata sudah hampir pukul 12." Edward melirik arloji mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Setelahnya, ia lalu mengalihkan pandangannya pada Lean yang masih tampak sibuk di sampingnya. "Bagaimana?" celetuknya sambil memajukan tubuhnya untuk mendekati Lean.Lean menghentikan gerakan jemarinya sejenak, menoleh pada Edward saat wangi parfum pria itu yang beraroma maskulin menyapa indera penciumannya. Oh, Tuhan. Apakah pria ini benar-benar tidak mengerti bahwa dirinya sangat menggoda?"Aku sudah menyelesaikannya, Tuan Edward. Apakah laporan ini juga harus kukirimkan pada Anton?""Bisakah kau melakukannya dengan cepat? Karena sebentar lagi aku harus bertemu Oliver untuk makan siang bersama." Edward kembali melirik jam tangan mewahnya. "Bisa, Tuan. Sebentar." Lean dengan cepat menggerakkan jemarinya di atas keyboard laptop. Tatapannya lurus ke arah layar, dan berselang beberapa menit, "Sudah terkirim, Tuan Edward," lapornya. Diam-diam, ia melirik ke arah Edward dengan sudut mat
"Tuan Edward, mobil Tuan ada di sana!" tunjuk Lean pada mobil Edward yang terparkir di parkiran khusus di depan Mall. Edward hanya melirik mobilnya sekilas, namun ia tetap menarik tangan Lean, menyeret wanita itu agar mengikuti dirinya. Tujuannya tak lain adalah Resto Les Jardins yang terletak tak jauh dari Pusat Perbelanjaan Mewah yang baru saja ia kunjungi. Tempat di mana ia, Oliver, dan Pamannya, biasa menikmati makan siang mereka. "Tu-Tuan Edward, bukankah Anda sudah terlambat untuk bertemu dengan Tuan Oliver? Lalu, mengapa kita tidak naik mobil saja?" usul Lean, sambil menatap bingung pada Edward yang tengah memasang wajah datar. Pria ini sama sekali tidak peduli terhadap tatapan dari orang-orang yang berpapasan dengannya. Baik pria, ataupun wanita, semua tampak menatap padanya, pada Edward Gail. "Aku lihat kau belum membaca agendaku dengan benar, Lean Marquise," celetuk Edward. Ia melirik Lean dari sudut matanya, lalu kembali menatap ke depan. Pada papan nama mewah yang bertu
"Paman masih harus mengawasi proyek di Dubai selama beberapa hari lagi, Ed. Ada apa? Apa kau ...." Oliver menggantungkan kalimatnya, menatap sang adik dengan wajah serius. "Ed? Jangan katakan kalau kau masih memikirkannya!" tambahnya. "Bagaimana denganmu sendiri, Kak? Bukankah hingga hari ini kau juga masih memikirkan Rosi?" balas Edward, kemudian tersenyum sinis setelahnya. Oliver hanya menanggapi ucapan adiknya itu dengan berdehem pelan, sama sekali tidak bisa menampik bahwa sampai sekarang— semua tingkah yang pernah Rosalia tunjukkan di hadapannya, masih sulit untuk ia lupakan. "Setidaknya sekarang aku sudah mencoba untuk berdamai dengan keadaan," cetusnya, tersenyum kaku, karena tidak merasa yakin atas ucapannya sendiri. Mungkin, ia bisa berbohong di hadapan orang lain, namun Oliver tidak bisa membohongi hatinya. Jika di saat ia berhubungan dengan Rose, terkadang ia masih memikirkan Rosalia. "Dengan memperhatikannya secara diam-diam? Maaf, Kak. Aku tidak bisa melakukan hal it
"T-Tuan Edward, apa Anda tidak sadar jika saat ini kita sedang berada di ...." Dengan kikuk Lean menundukkan wajahnya. Tanpa berani membalas tatapan Edward yang seakan ingin merontokkan hatinya. Oh, Tuhan. Jika saja hatinya hanya sepotong keju, mungkin hatinya kini telah meleleh gara-gara tingkah Edward."Mengapa? Apa kau malu pada orang-orang yang sedang memperhatikan kita? Tapi, bukankah tadi kau terus menatapku? ""Huft!" Lean menghela nafas sejenak sebelum ia menjawab pertanyaan itu. Seiring dengan itu, diam-diam ia mencoba untuk meredakan detak jantungnya yang seakan berlomba di dalam tubuhnya.Lean sama sekali tidak mengerti, mengapa Edward selalu senang menggoda dirinya jika ia dan Bosnya ini hanya berdua saja.Namun, di luar itu, perlakuan Edward padanya justru sangat berbeda. Contohnya, satu jam yang lalu saat Oliver memintanya untuk makan bersama. Saat itu, Edward langsung menampilkan wajah datar padanya. Edward bahkan tidak terlihat senang jika Lean makan di meja yang sama
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara