Namira membalik badannya setelah selesai mengunci pintu rumah. Dari situ ia baru sadar jika Dewangga sudah berada di depan gerbangnya. Dewangga melambaikan tangan serta menunjukkan senyum yang manis. Bagi Namira, itu sudah cukup manis dan menyejukkan. Tapi entah bagi orang lain. Mungkin saja mereka menilai senyum Dewangga masih sedingin sikapnya kepada orang lain. “Pak Dewangga, kenapa jemput saya?” pertanyaan Namira terdengar aneh. “Kita Cuma berdua di sini. Harus banget panggil aku Bapak?” Dewangga tidak setuju dengan panggilan yang diberikan oleh Namira. “Di luar kantor, kamu bisa panggil saya sayang, atau apa pun yang bisa membuat kamu nyaman,” ujar Dewangga memberi masukan yang langsung diberi tanggapan tawa renyah dari Namira.Namira dan Dewangga untuk pertama kalinya datang ke kantor berdua setelah menjadi pasangan kekasih. Mereka masih terlihat kaku, kikuk, dan seperti belum tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh pasangan kekasih. Namira masih ragu untuk bersikap manis dan ma
“Hari ini tidak banyak rapat di luar kantor, Pak. Lebih banyak kegiatan di kantor, karena banyak berkas yang harus Bapak periksa dan setujui,” ujar Namira diakhir pemberitahuannya mengenai jadwal Dewangga hari itu. Matanya sama sekali tidak mau menatap Dewangga. Pandangannya terus tertuju pada buku catatan yang ia letakkan di depan perut bagian atasnya. “Ada yang ingin Bapak tanyakan?” tanya Namira sebelum ia beranjak dari ruangan Dewangga. Dewangga mulai merasa ada yang aneh dengan Namira. Pagi tadi, saat mereka berangkat ke kantor berdua, Namira masih bersikap manis dan ceria. Sekarang semuanya hilang. Namira terlihat murung dan lebih diam. Ia lebih sering membuang pandangannya ketika tak sengaja bertemu mata Dewangga.“Kalau begitu saya permisi dulu, Pak,” Namira pamit ketika tidak ada pertanyaan dari Dewangga mengenai jadwal hari itu. “Tunggu, Namira!” panggil Dewangga sengaja menghentikan langkah Namira yang hendak keluar dari ruangannya. “Iya, Pak?” Namira menanggapi panggilan
“Aku nggak bisa makan siang bareng hari ini.” Pesan dari Aidan masuk ke ponsel Laras. Saat itu juga suasana hati Laras menjadi sangat buruk. Makan siang salah satu waktu yang sangat Laras tunggu. “Aidan kenapa sekarang jadi jarang banget ngajak gue makan siang, ya?” gumam Laras. “Gue nggak usah makan aja kalau gitu!” gerutu Laras. Awalnya memang Laras tidak berniat untuk makan siang. Demi melampiaskan kekesalannya pada Aidan. Sayangnya perut Laras tidak bisa diajak kompromi. Laras merasa sangat lapar. Perutnya sudah keroncongan, sama sekali tidak bisa Laras tahan. “Kalau gue makan siang sendiri, nanti pasti banyak asumsi tentang hubungan gue dan Aidan,” Laras dilema. Ia tidak ingin orang-orang melihatnya kasihan. Yang paling Laras takutkan adalah penilaiannya tentang hubungannya dengan Aidan. Mereka akan bilang jika Laras sedang tidak baik-baik saja. Hal itu sangat tidak ingin Laras dengar.“Tapi gue laper!” batin Laras berteriak. Pikiran dan batin Laras terus bertengkar. “Laras, ngga
“Semuanya sudah berkumpul?” tanya Dewanti yang saat itu sedang menjadi pusat perhatian di kantor. Dewanti sengaja mengumpulkan semua karyawan Dewangga untuk memberi pengumuman penting. Dewangga sendiri tidak tahu akan ide menyebalkan Dewanti. Dewanti merasa idenya ini akan disambut meriah dan bahagia oleh seluruh karyawan Dewangga. “Ada apa mengumpulkan kami di sini? Memangnya sudah dapat ijin dari Pak Dewangga?” tanya Ailin yang sejak awal tidak suka dengan Dewanti. “Kenapa harus minta ijin?” balas Dewanti ketus. Ailin hanya mengerutkan keningnya. Ia tak membalas lagi karena sedang malas mengundang keributan. Selain itu, Ailin juga ingin tahu sebenarnya apa yang akan disampaikan oleh Dewanti sehingga harus mengumpulkan banyak orang di area tengah kantor.“Tunggu sebentar, ya! Masih ada beberapa orang yang belum datang. Kalau semua sudah berkumpul di sini, saya akan langsung memberitahu pengumuman penting ini,” ujar Dewanti dengan semangat membara. Dewanti celingukan. Berulang kali ia
“Saya di depan rumah kamu.” Dewangga mengirim pesan ke Namira. Sejak tadi di kantor, mereka tidak lagi berbicara tentang apa pun. Dewangga terlihat gelisah. Ia merasa bersalah atas apa yang disampaikan oleh Dewanti di kantor tadi. “Kamu dimana? Kita perlu bicara.” Dewangga mengirimkan pesan lagi. Karena tidak ada jawaban pun pesannya belum dibalas, Dewangga memutuskan untuk menelepon sang kekasih. Sayangnya, Namira tidak mau menjawab telepon dari Dewangga. Telepon itu tersambung. Tetapi, tidak ada suara Namira yang menandakan telepon itu dijawab. Dewangga berusaha agar pesan atau teleponnya mendapat jawaban dari Namira. “Gue ketuk saja lah pintunya!” tutur Dewangga lalu berjalan masuk ke dalam area rumah Namira.Beberapa kali ia mengetuk pintu rumah Namira. Tidak ada jawaban atau suara dari dalam. Dewangga mencoba sekali lagi. Kali ini lebih kencang dan bertenaga. Ia tidak hanya mengetuk pintu saja. Dewangga juga memanggil nama Namira sampai berulang kali. “Namira! Permisi! Namira, ap
Aidan mencoba memperbaiki hubungannya dengan Laras. Ia tidak ingin semuanya semakin rumit dan runyam. Pagi ini Aidan menjemput Laras tanpa Laras minta. Niatnya ingin memberikan kejutan untuk sang kekasih. “Pagi,” sapa Aidan tersenyum hangat. Laras tidak membalas sapaan dari Aidan juga senyumannya. Laras hanya diam, menekuk wajahnya. “Kamu kenapa? Ada masalah?” tanya Aidan tidak ingin menduga hal lainnya. Mobil sudah mulai jalan. Laras belum juga membuka suaranya untuk sekedar mengucapkan kalimat sapaan atau berterima kasih karena Aidan sudah menjemputnya pagi itu. “Laras, kamu kenapa diam saja dari tadi? Aku salah lagi?” tanya Aidan ketika ia sudah tidak tahan dengan kesunyian yang terjadi di dalam mobil. Laras menengok ke arah Aidan dengan tatapan tajam.“Semalam kemana? Kenapa sama sekali nggak kasih kabar ke aku? Kamu juga nggak jemput aku pulang dari kantor,” kalimat inilah yang pertama keluar dari mulut Laras ketika ia membuka suara. Protesnya penuh kecurigaan. Aidan mulai memana
Dewangga dan Namira masih terus membicarakan hubungan mereka di dalam ruangan Namira. Sementara itu Nimas tetap pada posisinya pertama. Ia menempelkan telinganya ke dinding, supaya suara Dewangga dan Namira lebih jelas terdengar. “Gue rasa Pak Dewangga dan Namira ada masalah lain selain pekerjaan,” batinnya. Nimas sesekali membaca berkas yang ia bawa agar tidak ada yang curiga kepadanya. “Hai!” Nimas menundukkan kepalanya ramah, menyapa seseorang yang datang melewatinya. Ia sengaja membalas sapaan dari mereka. “Semoga aja nggak ada si Ailin itu! Kalau ada kacau semua,” ujarnya melirik ke beberapa arah mencari keberadaan Ailin. Kemudian ia diam, berdiri mematung di dinding, menempelkan telinganya lagi. “Kok diem?” tanya Namira curiga mereka sudah selesai berbicara.“Pak, ini di kantor. Jadi lebih baik apa yang kita bicarakan di kantor adalah tentang pekerjaan. Ini permintaan saya, tolong hargai permintaan saya,” ucap Namira memohon dengan sangat. Dewangga tidak ingin membuat Namira sem
Tak ada pilihan lain selain Namira ikut masuk ke dalam mobil Dewangga. Jika tidak, akan bertambah banyak orang yang memata-matai mereka berdua. Sembari menepis tipis tangan Dewangga, Namira buru-buru menuju mobil bosnya itu. “Maaf Pak, pintunya belum bisa dibuka,” ucap Namira terhenti di samping mobil Dewangga. Pandangannya ia buang jauh dari tatapan orang-orang di sekitar kantor. Namira berlagak tidak tahu jika ia dan Dewangga sedang menjadi pusat perhatian. Dari jendela atas, Ailin dan geng gosipnya sedang berkumpul menatap Namira sambil berbisik. “Silakan masuk!” pinta Dewangga. Dewangga berniat membukakan pintu untuk Namira. Tetapi, Namira menolak. Ia memberi kode agar Dewangga segera masuk ke dalam mobil agar tidak semakin panjang gosip yang nanti akan ia dengar.“Namira, makasih kamu sudah mau kasih saya kesempatan,” ucap Dewangga saat keduanya telah berada di dalam mobil. Namira memperhatikan sekitar. Ia takut ada telinga lain yang mendengar obrolan mereka di dalam mobil. “Pak,