Jika tidur di rumah, Namira pasti akan mencari guling untuk ia dekap dalam peluknya. Tidurnya juga akan menjadi lebih nyaman dan nyenyak ketika benda itu bisa menjadi satu dalam selimut bersamanya. Kali itu, Namira berusaha mencari keberadaan guling. Ia ingin sekali memeluk erat dan melanjutkan mimpinya. Karena mata masih terpejam, pun nyawa belum berkumpul penuh, Namira memeluk seseorang yang ada di sampingnya. Ia mencoba menarik. “Hmm berat sekali guling ini,” gumamnya dengan mata yang masih tertutup rapat. Namira berusaha dengan tenaga yang lemah karena rasa kantuknya belum pergi. “Dewangga!” teriakan dari luar kamar hotel membangunkan Dewangga dan Namira. “Aaaaaa!” teriak Namira begitu sadar di sampingnya ada Dewangga.“Bapak, sejak kapan tidur di sini? Kenapa nggak tidur di kamar Pak Dewangga? Saya sudah pesan dua kamar yang berbeda,” protes Namira. “Namira, ini kamar hotel saya,” jawab Dewangga belum sepenuhnya sadar. “Hah?” seru Namira. Lalu ia mengamati seisi ruangan. Matanya
Ruang kerja Namira dan Dewangga sunyi tanpa suara, sepi tanpa ada tanda kehidupan di sana, kecuali, jam yang menggantung di dinding. Suaranya terdengar jelas saat ada orang yang melewati ruangan itu. Nimas merasa sedikit kesepian karena hari itu tidak ada sahabatnya yang bisa ia ajak bergosip, ngobrol, dan pastinya makan siang. Tak ada karyawan lain yang dekat dengan Nimas kecuali Namira. “Hei, kemana bestie lo itu?” tanya Ailin yang baru saja datang menghampiri tempat kerja Nimas. Nimas memberikan lirikan tajam. Ia enggan menjawab pertanyaan yang baginya tidak penting itu. “Tuli Lo? Gue doain beneran nggak bisa denger!” celetuk Ailin kesal karena dicuekin oleh Nimas. Walaupun sudah mendengar sumpah serapah dari Ailin, Nimas masih tidak mau menoleh ke arahnya.“Ih dasar sombong!” seru Ailin seraya menggebrak meja Nimas. Nimas meradang. Kepalanya sudah mulai panas, lalu membakar emosinya dengan cepat. Ia berdiri dari tempat duduknya, kemudian bersiap meladeni umpan yang diberikan oleh
Laras menunggu Aidan di depan gang rumahnya. Sudah cukup lama Laras menunggu di depan rumah, karena Aidan tak kunjung datang, Laras pun memutuskan berjalan hingga depan gang. Wajahnya sudah tidak sumringah seperti saat ia keluar dari rumah. Suasana hatinya pun berubah. “Aidan kemana sih?” gerutunya sembari terus mencari mobil Aidan . Tengok kanan kiri, belakang, dan semua arah sudah ia sambangi. Namun tetap saja belum terlihat mobil Aidan datang. Laras merogoh tasnya, menelepon sang kekasih agar bisa mendapat kepastian keberadaannya. Sayangnya, telepon dari Laras diabaikan oleh Aidan. Pagi itu kekesalan memihak pada Laras. Laras berganti tujuan pada ponselnya. Jarinya mengarah ke aplikasi taksi online untuk memesannya.“Duh, macet lagi,” gumam Laras ketika melihat aplikasi online. Beberapa saat kemudian, klakson mobil Aidan terdengar oleh Laras. Rasanya Laras tidak ingin masuk mobil Aidan, ia ingin memesan taksi online saja. Namun, jam di tangannya sudah memberi kode jika Laras akan t
Seharian ini harinya dipenuhi oleh pekerjaan. Rapat bersama klien, turun ke lapangan, survei, dan pastinya membuat laporan tentang kegiatan yang telah dilewati selama satu hari penuh. Malamnya, Namira berniat untuk merebahkan badannya. Ia ingin memanjakan tubuhnya dengan tidak melakukan apa pun kecuali rebahan. Sayangnya, semua niat Namira dipatahkan oleh bosnya. Dewangga tiba-tiba saja telepon tengah malam dan meminta Namira untuk segera datang ke kamarnya. “Saya tunggu sekarang, ya!” ucap Dewangga terakhir sebelum akhirnya ia menutup teleponnya. “Duh, ada apa lagi, sih?” gerutu Namira sembari bangun dari rebahannya. Dengan sangat malas dan gontai, Namira bangkit dan segera bersiap ke kamar Dewangga. “Jangan-jangan ada laporan yang salah? Atau harus rapat lagi malam ini?” “Arghhh!”Baru ketukan pintu pertama, Dewangga sudah membuka pintu untuk sekretarisnya. Di dalam kamarnya, banyak hidangan di atas meja. “Apa lagi ini?” batin Namira mulai curiga. “Makan malam!” seru Dewangga dengan
Pagi kedua di Surabaya. Namira sedang mengemas barang-barangnya. Ia merapikan dan memasukkan semua barang yang keluar dari koper pinknya. Setelah selesai, ia menutup rapat koper dibantu dengan badannya yang tidak seberapa besar itu. “Huh, kelar juga,” ucapnya setelah menyelesaikan semuanya. Namira sudah mandi, berganti pakaian, juga merias wajahnya agar tidak terlalu pucat. “Oh iya, rambut gue,” tuturnya ketika melihat gulungan handuk di kepala. Rambutnya masih sangat basah. Hari itu Namira memutuskan untuk keramas, supaya beban di pikirannya bisa ikut mengalir dengan shampoo dan air di kamar mandi. Lilitan handuk di kepalanya ia lepas, handuknya ia lempar ke kasur, lalu, Namira mengeringkan rambutnya dengan hairdrayer yang ia bawa dari rumah.“Namira, kamu belum selesai?” isi pesan dari Dewangga yang membuat ponsel Namira berbunyi. Namira buru-buru menghentikan kegiatannya mengeringkan rambut. Pesan itu ia baca dan langsung dibalas. “Tumben banget si Bapak,” gumamnya heran. Setelah m
Liburan yang Dewangga maksud bukanlah berkeliling ke banyak tempat wisata, makan di berbagai restoran yang ada, dan berbelanja sebanyak yang ia mau. Tetapi, hari dimana ia bisa melepas segala penatnya dalam pekerjaan, menghabiskan waktu tanpa banyak berpikir, dan pastinya ditemani oleh orang yang sudah ia pilih. “Maaf ya, Ra. Saya nggak bisa ajak kamu ke mana-mana. Saya Cuma bisa ajak kamu jalan ke taman, makan ke restoran deket hotel, dan sekarang belanja di mall yang juga dekat sama hotel kita,” ungkap Dewangga merasa bersalah kepada Namira. Namira menoleh, lalu, ia mengembangkan senyumnya yang manis dan seringkali memesona. “Ini juga sudah liburan bagi saya, Pak,” jawab Namira tersipu.Namira dan Dewangga menghabiskan waktu liburan mereka dengan tidak menjawab telepon atau pesan tentang pekerjaan. Rekan kerja, teman, dan beberapa orang di Jakarta menghubungi Dewangga dan Namira. Namun, mereka sudah sepakat agar tidak bermain ponsel hari itu. Segala kepentingan akan kembali dijalank
Senyumnya ada yang berbeda. Seperti ada sesuatu dalam lengkungan di wajahnya itu. Tatapannya dalam, seolah tak ingin lepas meski satu kedipan mata. “Sudah siap?” tanya Dewangga ketika Namira selesai bersiap dan menggandeng koper sedang berwarnya pink. “Sudah,” jawab Namira diiringi segaris senyum salah tingkahnya karena tatapan yang diberikan oleh Dewangga. Tangan Dewangga langsung menggenggam Namira tanpa diminta. Sebelum jam 12 siang, Namira dan Dewangga harus sudah keluar dari hotel karena penerbangan pesawat mereka pukul 10 pagi. “Sudah mau pulang saja, Pak, Bu. Memangnya sudah puas jalan-jalannya?” tanya si Supir mobil yang Namira pilih untuk menemani kegiatan mereka selama di Surabaya. “Secepatnya kami akan kembali lagi, Pak,” jawab Dewangga antusias.Posisi duduk hari ini dengan dua hari lalu berbeda. Dewangga tidak ingin duduk di kursi depan seperti yang biasa ia lakukan. Ia ingin duduk di samping Namira. Sebelumnya, ia juga melarang Namira untuk duduk di depan, samping supir.
“Saya nggak mau kamu komunikasi lagi sama Aidan. Sekarang sudah ada saya yang harus kamu jaga perasaannya,” ucap Dewangga di depan gerbang rumah Namira. Namira dan Dewangga mengakhiri hari mereka dengan perdebatan kecil. Setelah semua pekerjaan selesai, Dewangga menyenggol tentang Aidan yang beberapa hari ini menghubungi Namira. Sebenarnya, Namira senang Dewangga mulai menunjukkan rasa cintanya dengan mencemburui Aidan. Tetapi, ia masih belum leluasa meluapkan apa yang dirasakan. Sebab, keputusan yang Namira ambil terlalu cepat dan terkesan mendadak. Namira bahkan belum menanyakan tentang perasaannya sendiri terhadap Dewangga. Apakah Namira memang mencintai Dewangga, mulai bisa membuka hati untuk orang lain, atau hanya sekedar menjadi teman kesepiannya setelah pengkhianatan.“Saya pulang dulu, ya. Istirahat yang nyaman, tidur yang nyenyak. Sampai jumpa besok pagi!” kata Dewangga seraya mengelus kepala Namira lembut. Namira mengangguk dan memberikan senyum terbaiknya untuk kekasih bar
Para pegawai Dewangga kini kembali menjalani rutinitas seperti biasanya. Meski telah dihadang oleh berbagai pekerjaan yang menumpuk di meja kerja masing-masing, suasana hati mereka tetap masih terbawa ceria. Hasil dari staycation tiba-tiba yang diadakan oleh Dewanti. Meski sedikit lancang karena tak minta persetujuan dari Dewangga, Dewanti ternyata berhasil membahagiakan pekerja di kantor Dewangga. Hati Dewanti semakin besar. Ia merasa dirinya akan memenangkan hati semua orang. “Seru banget ya, kemarin! Andai aja tiap bulan ada staycation, kita pasti bakal betah kerja di sini. Walaupun lembur, banyak kerjaan, sering kena marah, tapi kalau ada acara kayak kemarin sih gue betah,” celetuk Ailin dengan geng gosipnya itu. Nimas datang mendengar ocehan Ailin yang cukup kencang hingga bisa didengar meski belum sampai ke meja kerjanya.“Pagi, Nimas!” sapa Ailin iseng mendekati Nimas. Wajah Ailin tidak mencerminkan keceriaan sama sekali. Wajahnya lecek seperti pakaian yang masih kusut karena b
“Semua itu karena kesalahan Papa Dewangga. Beliau yang membuat perusahaan Dewangga hancur.” Anggara menceritakan bagaimana perjalanan kehidupan Dewangga sebelum hadirnya Namira. Dewangga sudah berjuang sejak lama. Namun, keringatnya tak ada yang melihat. Semua menilai bahwa Dewangga hanya mampu seperti sekarang. “Apa yang membuat hutang?” Namira bertanya terus dengan detail. Ia ingin tahu lebih dalam lagi tentang seseorang yang saat itu masih bertengger di hatinya. “Hutang,” jawab Anggara lalu menoleh ke arah Namira seolah memberi garis bawah. “Jadi...” “Iya, pertengkaran Dewangga dan Papanya bermula dari hutang perusahaan. Dewangga sudah susah payah membangun perusahaan itu, tetapi, Papanya justru menghancurkan sekejap dengan hutang yang menumpuk,” jelas Anggara lagi. “Kepergian dan Dewangga bukan tanpa alasan. Tapi, karena dengan hal itu Dewangga bisa damai dengan keadaan.”Selama ini diamnya Dewangga menyimpan banyak sekali luka. Dingin sikapnya melampiaskan segala kecewa yang seja
Akhir pekan ajaib bagi para pegawai kantor Dewangga. Untuk pertama kalinya, mereka bisa merasakan liburan bersama tanpa harus pusing dengan biaya atau pun lainnya. Mereka datang dengan outfit terbaik masing-masing. “Pasti bakalan seru banget!” celetuk Ailin dengan penampilannya yang begitu mencolok. Ailin juga geng gosipnya turun dari mobil, masuk ke villa yang sudah Dewanti sewa untuk liburan pegawai kantor calon suaminya. “Nanti fotoin gue disetiap sudut villa, ya!” pinta Ailin kepada salah satu temannya. Temannya hanya mengangguk lalu terus berjalan, karena sudah tidak sabar mengetahui isi di dalam villa. “Hai semua!” sapa Dewanti. Ia bersama Dewangga dan Anggara sudah lebih dulu sampai di villa. “Hai!” balas karyawan yang baru saja sampai di villa.Tangan Dewanti terlihat menggandeng Dewangga. Karena merasa tidak nyaman, Dewangga berusaha melepas gandengan tangan itu. Ada seseorang yang Dewangga cari, dari tatapan juga gerak tubuhnya menandakan ia sedang menanti. “Sudah datang sem
“Ada yang luka?” Namira masuk membawa setumpuk berkas. Tetapi, hal pertama yang ia tanyakan bukanlah tentang pekerjaan. Namira dan Dewangga hanya bisa saling menatap. Banyak sekali perasaan yang ingin mereka tumpahkan satu sama lain. Sayangnya, saat itu waktu dan keadaannya nya tak mendukung mereka menyuarakan isi hati masing-masing. “Ada apa, Namira?” Dewangga memulai obrolan setelah keheningan yang panjang. “Ada beberapa berkas yang harus diperiksa juga ditandangani,” jawab Namira lalu ia duduk di depan meja kerja Dewangga. Dewangga masih tidak percaya Namira masuk ke ruangannya ketika ia sedang menjadi sosok tak waras karena cinta. “Bukan itu. Tadi apa yang kamu tanya saat pertama masuk ke ruangan saya?” Dewangga ingin mendengar lagi pertanyaan dari Namira tadi. Rasanya ada secuil perhatian dari Namira untuk Dewangga.Tangan Dewangga merah. Rasa sakitnya tak ia hiraukan. Biar mengalir begitu saja. “Apa ada yang luka?” Namira mengulang sesuai permintaan Dewangga. “Sejak kapan kamu a
“Bapak sengaja mau mencelakai saya? Apa Bapak belum puas sudah melukai perasaan saya?” pertanyaan yang sungguh menggores lubuk hati. “Saya salah apa, Pak? Bapak tega sekali melakukan ini kepada saya,” sambung Namira. “Namira, tenang dulu. Saya bisa jelaskan semuanya. Kamu salah paham,” pinta Dewangga, ingin mendekat ke arah Namira tetapi Namira menolak. “Tolong tetap di situ saja,” perintah Namira untuk Dewangga yang hampir berpindah tempat ke samping Namira. “Saya tahu kejadian itu, tapi bukan berarti saya yang melakukan itu, Namira. Saya nggak mungkin tega melukai orang yang saya cintai,” jelas Dewangga yang tak mau didengar oleh Namira. “Lalu apa?” “Saya mengutus seorang menjadi mata-mata saya,” aku Dewangga semakin membuat Namira tak habis pikir.“Untuk apa?” Namira duduk, mencoba tidak membesarkan masalah yang sebenarnya menurut Namira ini adalah masalah besar. “Untuk jagain kamu,” jawab Dewangga. Suara ketukan pintu terdengar dari dalam. Namira panik. Dewangga langsung mendekat
Hubungan yang sudah diselesaikan ternyata bukan berarti berakhir. Seperti hubungan Namira dan Aidan yang kembali terjalin. Mungkin masih ada sisa rasa yang dulu mereka miliki, atau hanya sekedar ingin mengulang lembar yang tak mereka temukan pada orang lain. “Kita salah nggak sih?” tanya Namira disuatu malam ketika Namira dan Aidan sedang makan malam bersama. “Kenapa salah?” “Salah karena memulai hubungan yang pernah berakhir.” “Kalau kamu pernah dengar, hubungan lama yang dimulai lagi seperti halnya membaca novel yang sama berulang kali, menurut aku itu hanya sebuah opini. Anggapan yang belum tentu terjadi,” ungkap Aidan. “Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Yang kita bisa hanya memperbaiki hari ini untuk masa depan itu,” tambah Aidan.“Memangnya kamu setuju?” Aidan kini berbalik tanya ke Namira. “Emm.. enggak juga sih,” jawab Namira masih belum yakin akan pendapat itu. Tetapi ia juga tak yakin hubungannya akan lebih baik dari sebelumnya. “Menurutku, semua oran
Setelah malam yang menyebalkan terlewati dengan tidur, kini Namira siap kembali menyongsong pagi untuk bekerja. Pakaiannya sudah rapi. Namira selalu terlihat fashionable dalam setiap hari kerjanya. Baginya, itu adalah salah satu cara menghargai dirinya sendiri juga menambah semangat menjalani kesehariannya yang padat. “Apa ini?” katanya panik ketika menemukan sebuah kotak di depan pintu rumahnya. “Perasaan gue nggak pesan apa pun, kenapa ada paket yang datang?” Namira heran dengan kotak coklat misterius itu. “Ambil nggak ya?” tanya Namira bimbang. “Tapi kalau gue ambil terus isinya bahaya gimana?” Namira dilema. Sudah menunduk untuk mengambil paket itu, tetapi gagal karena pikirannya yang buruk muncul. “Apa mungkin dari Papa dan Mama? Kenapa nggak ada yang kabarin gue kalau mau kirim paket?” Namira terus bertanya-tanya sendiri.“Gue tinggal aja deh. Nanti gue buka pulang kerja,” ucap Namira menyingkirkan kotak coklat itu ke area pinggir pintu rumahnya. “Gue harus cari asisten rumah ta
Aidan meraih tangan Namira, ia menahan sang mantan kekasih agar tidak mendekati Dewangga. “Kenapa datang ke sini? Ada perlu apa lagi?” tanya Aidan seolah Aidan pemilik Namira saat itu. Namira tak menyangka Aidan akan bersikap demikian. Ia pun heran, mengapa tubuhnya memberi respon sesuai permintaan Aidan. Ia berhenti dari langkahnya mendekat ke arah Dewangga dan membiarkan Aidan yang mengambil alih. “Lo siapa? Gue ke sini ada perlu dengan pemilik rumah,” jawab Dewangga tetap ngotot masuk ke dalam rumah Namira. Malam itu, Namira membuka lebar pintu rumahnya, sebab, ia hanya berdua bersama Aidan di ruang tamu. Tak ingin ada pikiran yang buruk, Namira memilih untuk membuka lebar pintu rumahnya.“Namira, kenapa kamu biarkan dia datang ke sini lagi? Kenapa kamu masih terima dia?” Dewangga kecewa karena Namira menerima Aidan dengan baik. Namira hanya menghela napas. Tak memberi jawaban apa pun, padahal Dewangga menanti Namira membuka suara dan memberi penjelasan. “Tunggu!” Aidan menghadang
Dewangga turun dari mobilnya. Ia melihat Namira sedang duduk ditemani oleh Aidan. Ketika Dewangga turun, Namira berusaha menjauh dari Aidan. “Ngapain Namira sama laki-laki itu?” Dewangga kesal meski tak biasa ia utarakan langsung. Kemudian, pintu sebelah kiri mobil Dewangga terbuka. Namira melihat Dewanti turun dari sana. Dewanti terlihat sangat bahagia. “Aku kira kamu sendiri,” batin Namira. Namira langsung mengabaikan rasa tidak enaknya karena sedang berduaan dengan Aidan. Ia mendekat ke arah Aidan dan meminta Aidan untuk membantunya mengobati rasa sakit di kepalanya secara tiba-tiba. Aidan pun terkejut atas sikap Namira barusan. Tanpa basa basi atau pertanyaan lain, Aidan meraih tangan Namira untuk lebih dekat dengannya dan melihat di kepala Namira, apakah ada luka serius.“Sebelah mana yang sakit, Ra? Apa perlu kita ke dokter? Aku takut terjadi sesuatu,” kata Aidan cemas Namira mengeluh sakit pada kepalanya. “Emm, coba tolong kamu periksa,” pinta Namira. Ucapannya mengarah ke Aida