Seharian ini harinya dipenuhi oleh pekerjaan. Rapat bersama klien, turun ke lapangan, survei, dan pastinya membuat laporan tentang kegiatan yang telah dilewati selama satu hari penuh. Malamnya, Namira berniat untuk merebahkan badannya. Ia ingin memanjakan tubuhnya dengan tidak melakukan apa pun kecuali rebahan. Sayangnya, semua niat Namira dipatahkan oleh bosnya. Dewangga tiba-tiba saja telepon tengah malam dan meminta Namira untuk segera datang ke kamarnya. “Saya tunggu sekarang, ya!” ucap Dewangga terakhir sebelum akhirnya ia menutup teleponnya. “Duh, ada apa lagi, sih?” gerutu Namira sembari bangun dari rebahannya. Dengan sangat malas dan gontai, Namira bangkit dan segera bersiap ke kamar Dewangga. “Jangan-jangan ada laporan yang salah? Atau harus rapat lagi malam ini?” “Arghhh!”Baru ketukan pintu pertama, Dewangga sudah membuka pintu untuk sekretarisnya. Di dalam kamarnya, banyak hidangan di atas meja. “Apa lagi ini?” batin Namira mulai curiga. “Makan malam!” seru Dewangga dengan
Pagi kedua di Surabaya. Namira sedang mengemas barang-barangnya. Ia merapikan dan memasukkan semua barang yang keluar dari koper pinknya. Setelah selesai, ia menutup rapat koper dibantu dengan badannya yang tidak seberapa besar itu. “Huh, kelar juga,” ucapnya setelah menyelesaikan semuanya. Namira sudah mandi, berganti pakaian, juga merias wajahnya agar tidak terlalu pucat. “Oh iya, rambut gue,” tuturnya ketika melihat gulungan handuk di kepala. Rambutnya masih sangat basah. Hari itu Namira memutuskan untuk keramas, supaya beban di pikirannya bisa ikut mengalir dengan shampoo dan air di kamar mandi. Lilitan handuk di kepalanya ia lepas, handuknya ia lempar ke kasur, lalu, Namira mengeringkan rambutnya dengan hairdrayer yang ia bawa dari rumah.“Namira, kamu belum selesai?” isi pesan dari Dewangga yang membuat ponsel Namira berbunyi. Namira buru-buru menghentikan kegiatannya mengeringkan rambut. Pesan itu ia baca dan langsung dibalas. “Tumben banget si Bapak,” gumamnya heran. Setelah m
Liburan yang Dewangga maksud bukanlah berkeliling ke banyak tempat wisata, makan di berbagai restoran yang ada, dan berbelanja sebanyak yang ia mau. Tetapi, hari dimana ia bisa melepas segala penatnya dalam pekerjaan, menghabiskan waktu tanpa banyak berpikir, dan pastinya ditemani oleh orang yang sudah ia pilih. “Maaf ya, Ra. Saya nggak bisa ajak kamu ke mana-mana. Saya Cuma bisa ajak kamu jalan ke taman, makan ke restoran deket hotel, dan sekarang belanja di mall yang juga dekat sama hotel kita,” ungkap Dewangga merasa bersalah kepada Namira. Namira menoleh, lalu, ia mengembangkan senyumnya yang manis dan seringkali memesona. “Ini juga sudah liburan bagi saya, Pak,” jawab Namira tersipu.Namira dan Dewangga menghabiskan waktu liburan mereka dengan tidak menjawab telepon atau pesan tentang pekerjaan. Rekan kerja, teman, dan beberapa orang di Jakarta menghubungi Dewangga dan Namira. Namun, mereka sudah sepakat agar tidak bermain ponsel hari itu. Segala kepentingan akan kembali dijalank
Senyumnya ada yang berbeda. Seperti ada sesuatu dalam lengkungan di wajahnya itu. Tatapannya dalam, seolah tak ingin lepas meski satu kedipan mata. “Sudah siap?” tanya Dewangga ketika Namira selesai bersiap dan menggandeng koper sedang berwarnya pink. “Sudah,” jawab Namira diiringi segaris senyum salah tingkahnya karena tatapan yang diberikan oleh Dewangga. Tangan Dewangga langsung menggenggam Namira tanpa diminta. Sebelum jam 12 siang, Namira dan Dewangga harus sudah keluar dari hotel karena penerbangan pesawat mereka pukul 10 pagi. “Sudah mau pulang saja, Pak, Bu. Memangnya sudah puas jalan-jalannya?” tanya si Supir mobil yang Namira pilih untuk menemani kegiatan mereka selama di Surabaya. “Secepatnya kami akan kembali lagi, Pak,” jawab Dewangga antusias.Posisi duduk hari ini dengan dua hari lalu berbeda. Dewangga tidak ingin duduk di kursi depan seperti yang biasa ia lakukan. Ia ingin duduk di samping Namira. Sebelumnya, ia juga melarang Namira untuk duduk di depan, samping supir.
“Saya nggak mau kamu komunikasi lagi sama Aidan. Sekarang sudah ada saya yang harus kamu jaga perasaannya,” ucap Dewangga di depan gerbang rumah Namira. Namira dan Dewangga mengakhiri hari mereka dengan perdebatan kecil. Setelah semua pekerjaan selesai, Dewangga menyenggol tentang Aidan yang beberapa hari ini menghubungi Namira. Sebenarnya, Namira senang Dewangga mulai menunjukkan rasa cintanya dengan mencemburui Aidan. Tetapi, ia masih belum leluasa meluapkan apa yang dirasakan. Sebab, keputusan yang Namira ambil terlalu cepat dan terkesan mendadak. Namira bahkan belum menanyakan tentang perasaannya sendiri terhadap Dewangga. Apakah Namira memang mencintai Dewangga, mulai bisa membuka hati untuk orang lain, atau hanya sekedar menjadi teman kesepiannya setelah pengkhianatan.“Saya pulang dulu, ya. Istirahat yang nyaman, tidur yang nyenyak. Sampai jumpa besok pagi!” kata Dewangga seraya mengelus kepala Namira lembut. Namira mengangguk dan memberikan senyum terbaiknya untuk kekasih bar
Namira membalik badannya setelah selesai mengunci pintu rumah. Dari situ ia baru sadar jika Dewangga sudah berada di depan gerbangnya. Dewangga melambaikan tangan serta menunjukkan senyum yang manis. Bagi Namira, itu sudah cukup manis dan menyejukkan. Tapi entah bagi orang lain. Mungkin saja mereka menilai senyum Dewangga masih sedingin sikapnya kepada orang lain. “Pak Dewangga, kenapa jemput saya?” pertanyaan Namira terdengar aneh. “Kita Cuma berdua di sini. Harus banget panggil aku Bapak?” Dewangga tidak setuju dengan panggilan yang diberikan oleh Namira. “Di luar kantor, kamu bisa panggil saya sayang, atau apa pun yang bisa membuat kamu nyaman,” ujar Dewangga memberi masukan yang langsung diberi tanggapan tawa renyah dari Namira.Namira dan Dewangga untuk pertama kalinya datang ke kantor berdua setelah menjadi pasangan kekasih. Mereka masih terlihat kaku, kikuk, dan seperti belum tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh pasangan kekasih. Namira masih ragu untuk bersikap manis dan ma
“Hari ini tidak banyak rapat di luar kantor, Pak. Lebih banyak kegiatan di kantor, karena banyak berkas yang harus Bapak periksa dan setujui,” ujar Namira diakhir pemberitahuannya mengenai jadwal Dewangga hari itu. Matanya sama sekali tidak mau menatap Dewangga. Pandangannya terus tertuju pada buku catatan yang ia letakkan di depan perut bagian atasnya. “Ada yang ingin Bapak tanyakan?” tanya Namira sebelum ia beranjak dari ruangan Dewangga. Dewangga mulai merasa ada yang aneh dengan Namira. Pagi tadi, saat mereka berangkat ke kantor berdua, Namira masih bersikap manis dan ceria. Sekarang semuanya hilang. Namira terlihat murung dan lebih diam. Ia lebih sering membuang pandangannya ketika tak sengaja bertemu mata Dewangga.“Kalau begitu saya permisi dulu, Pak,” Namira pamit ketika tidak ada pertanyaan dari Dewangga mengenai jadwal hari itu. “Tunggu, Namira!” panggil Dewangga sengaja menghentikan langkah Namira yang hendak keluar dari ruangannya. “Iya, Pak?” Namira menanggapi panggilan
“Aku nggak bisa makan siang bareng hari ini.” Pesan dari Aidan masuk ke ponsel Laras. Saat itu juga suasana hati Laras menjadi sangat buruk. Makan siang salah satu waktu yang sangat Laras tunggu. “Aidan kenapa sekarang jadi jarang banget ngajak gue makan siang, ya?” gumam Laras. “Gue nggak usah makan aja kalau gitu!” gerutu Laras. Awalnya memang Laras tidak berniat untuk makan siang. Demi melampiaskan kekesalannya pada Aidan. Sayangnya perut Laras tidak bisa diajak kompromi. Laras merasa sangat lapar. Perutnya sudah keroncongan, sama sekali tidak bisa Laras tahan. “Kalau gue makan siang sendiri, nanti pasti banyak asumsi tentang hubungan gue dan Aidan,” Laras dilema. Ia tidak ingin orang-orang melihatnya kasihan. Yang paling Laras takutkan adalah penilaiannya tentang hubungannya dengan Aidan. Mereka akan bilang jika Laras sedang tidak baik-baik saja. Hal itu sangat tidak ingin Laras dengar.“Tapi gue laper!” batin Laras berteriak. Pikiran dan batin Laras terus bertengkar. “Laras, ngga