Setelah acara makan malam selesai, semua duduk berkumpul di sekitar api unggun. Tapi Adelia, memilih sibuk di dapur. Ia tak ingin memaksakan kebersamaan yang terasa canggung. "Adelia," panggil Devina sambil tersenyum, menyodorkan jaket pria berwarna gelap. "Tolong taruh ini di kamar Samuel, ya." Adelia mengernyit pelan. "Maaf Ma, tapi aku lagi repot cuci piring, mungkin lebih baik Mbak Ririn saja yang—" "Enggak usah repot di dapur. Kamu kan tamu disini, biarkan mbak Ririn yang cuci, kamu taruh ini keatas. Lagipula kamu lebih tahu di mana biasanya Samuel taruh jaket." potong Devina lembut, tapi matanya menyiratkan perintah yang tak bisa dibantah. Dengan ragu, Adelia mengangguk dan melangkah naik keatas menuju ke kamar Samuel dan Arabella, sambil membawa jaket yang tergantung di lengannya. Sementara itu, di sisi lain villa, Selly mendekati Samuel dengan gaya manja yang dibuat-buat. "Kak, aku lupa... tas makeup aku kayaknya ketinggalan di kamarmu. Tadi aku numpang touch up sebentar
Karena kaget, Adelia tanpa sadar memeluk lengan Samuel yang ada di sebelahnya. Tapi karena posisi mereka begitu dekat, Samuel ikut tersentak dan kehilangan keseimbangan.Dalam sekejap, tubuh Samuel terbaring di ranjang… Adelia ikut jatuh tepat di atasnya.Waktu terasa sedang berhenti.Mata mereka saling bertemu. Beberapa detik jadi terasa asing—hanya ada suara detak jantung yang menggema di telinga mereka.Adelia terdiam diatas dada Samuel, napasnya memburu, matanya membulat menatap wajah Suaminya dari jarak dekat.Samuel tak bergerak. Matanya mengunci pada wajah Adelia, yang berada persis diatasnya, jarak mereka hanya beberapa inci, hingga napasnya menyentuh pipi Adelia.“Adel…” bisiknya pelan.“Mas?” lirih Adelia, dirinya seperti terjebak antara kenyataan dan khayalan.Di tengah posisi yang tak biasa, dengan jarak yang sangat dekat hingga nyaris tidak ada ruang di antara mereka. Tiba-tiba, suara berdecit terdengar.*Klik...Pintu kamar terbuka perlahan.Adelia dan Samuel reflek meno
Pagi mulai menyingsing. Meski matahari belum terbit sepenuhnya, kicauan burung terdengar riang dari balik jendela. Semalaman suntuk Adelia nyaris tak memejamkan mata. Hatinya gelisah, pikirannya terus melayang pada sosok Arabella."Bagaimana jika dia benar-benar membenciku? Apa yang harus aku lakukan...""Kenapa aku bisa terus terjebak begini..." lirihnya. Wajahnya memancarkan kelelahan dan rasa frustrasi yang mendalam.Kesalahpahaman yang terjadi semalam benar-benar mengacaukan hubungan baiknya dengan Arabella. Semalaman ia mencari cara, berharap ada jalan agar Arabella mau mendengarkan penjelasannya."Semoga belum terlambat..." gumamnya penuh harap.Di sampingnya, Amelia masih terlelap. Perlahan, Adelia bangkit dari tempat tidur. Ia merasa haus dan memutuskan untuk keluar kamar.Namun saat membuka pintu, langkahnya seketika terhenti. Matanya membelalak melihat Samuel—suaminya—terbaring di sofa ruang tengah."Mas...? Kenapa dia tidur di sini? Apa semalam Arabella tak mengizinkannya m
“Kenapa Bella belum juga keluar dari kamarnya? Jangan-jangan dia sakit...” gumam Devina, pura-pura khawatir pada Bella, saat semua anggota keluarga berkumpul di ruang tengah.Di sofa seberang, Selly duduk dengan angkuh sambil memainkan ponselnya. Ia melirik Adelia sekilas, lalu berkomentar dengan suara keras untuk didengar semua orang. "Kayaknya kita semua tahu penyebabnya, deh...”“Ada masalah apa ini?” Jusuf menyipit bingung. Lalu ia menoleh ke arah Samuel, yang duduk diam di ujung sofa.Sejak pagi hingga menjelang waktu makan siang, Arabella terus mengurung dirinya di kamar. Tak ada suara, tak ada langkah kaki—hanya isakan samar yang sesekali terdengar lewat celah pintu. Sepiring sarapan yang disiapkan untuknya masih tersisa utuh di meja, tak tersentuh sedikit pun.“Cukup, Selly!” bentak Samuel, berdiri dari tempat duduknya dengan wajah menegang. “Nggak semua hal perlu kamu komentari, apalagi kalau cuma mau nambah keruh suasana.”Selly mendengus, tak terlihat takut sedikit pun. “Ak
Plak! Suara tamparan yang keras menggema di ruang makan. Adelia tersungkur di lantai marmer putih dengan corak berwarna abu-abu yang elegan. Adelia mendongakkan kepala, menatap Ibu Mertuanya. Sambil memegangi pipi kiri yang memerah, ia bertanya, "Ma, kenapa Mamaー" Ibu MertuanyaーDevina Widyantara, menyela, "Apa?! Kamu mau tahu, kenapa saya menampar kamu?!" Kedua mata Devina memancarkan kilatan emosi yang tidak tertahankan. Lalu, ia menunjuk anak bungsunya yang sedang terbatuk-batuk. "Lihat Samuel!" seru Devina. Tatapan Adelia tertuju pada suaminyaーSamuel Widyantara. Ia langsung mengerti duduk perkaranya. Setelah memuntahkan telur rebus, Samuel terbatuk-batuk. Ia sudah minum air hangat untuk meredakan batuknya. Namun, rasa mualnya tidak hilang juga. Belum lagi, tenggorokannya terasa gatal dan panas sangat mengganggunya. Adelia benar-benar telah membuat kesalahan yang fatal! Devina menarik rambut panjang bergelombang Adelia. "Kenapa telur rebusnya tidak matang, hah?!" Dengan ta
“Kakak saya tidak salah! Jangan terus-terusan kalian perlakukan dia seperti ini!” ujar Amelia dengan suara lantang, dengan penuh keberanian melangkah menghadang Devina yang lagi-lagi mau memukul kakaknya.Mata Devina berkilat tajam menatap Amelia yang berani menantangnya. "Kau pikir siapa dirimu! Kamu ini cuma anak kecil yang belum tahu apa-apa?"Amelia, seorang siswi berusia 13 tahun, mengenakan seragam sekolah SMP dan siap berangkat ke sekolah. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat kakaknya sedang diperlakukan kasar oleh mertua serta iparnya.Amelia bersekolah di salah satu sekolah negeri elit di Jakarta, berkat perjanjian yang dibuat oleh Adelia dan ayah Samuel, Jusuf Widyantara. Sebagai imbalan atas pernikahan Adelia dengan Samuel, Jusuf Widyantara setuju untuk membiayai pendidikan Amelia."Keluarga kami hanya ingin memastikan Adelia memahami aturan di rumah ini. Tidak ada yang salah jika ia mendapatkan hukuman karena memecahkan guci antik senilai 25 juta, bukan? Apalagi, ia t
"Seandainya... Ayah masih hidup, pasti kakak nggak akan menderita begini." Amelia bergumam, suaranya parau karena menangis, tangan Amelia gemetar saat mengoleskan antiseptik ke pelipis Adelia yang terluka.Adelia hanya menatap adiknya, ia tetap tersenyum meski luka di wajahnya masih terasa perih. “Kita nggak bisa mengubah masa lalu, Amel. Ayah dan Ibu sudah tiada, tapi kita masih punya satu sama lain. Lagipula, sebelum pergi, Ayah sudah berusaha menjamin masa depan kita lewat Paman Jusuf.”Sebuah insiden kebakaran telah merenggut nyawa ayah mereka, Suherman Widodo. Sedangkan ibu merekaーLina Laraswati sudah meninggal, setelah berjuang melahirkan Amelia.Mendengar itu, Amelia menunduk, menyembunyikan rasa kecewanya. Adelia mengelus lembut puncak kepala adiknya, ia tahu, adiknya belum bisa menerima kenyataan bahwa di balik rumah besar dan tempat tidur empuk itu, tersembunyi penderitaan yang terus mereka telan dalam diam.Hari ini bukanlah kali pertama Amelia menyaksikan dirinya dianiaya.
Hari ulang tahun pernikahan mereka akhirnya tiba. Pesta yang diadakan di kediaman mewah milik mertua Adelia itu sangat megah. Semua persiapan dilakukan dengan sangat teliti dan sempurna, sehingga Adelia terkejut melihat betapa besar dan mewahnya pesta tersebut. "Benarkah ini, Kak Adel? Kakak terlihat sangat berbeda, seperti artis Hollywood!" seru Amelia dengan kagum.Sejak siang hingga sore, Adelia sibuk dengan persiapan Make-up. Samuel telah menyewakan jasa seorang Make-Up Artist (MUA) profesional untuk memastikan Adelia tampil sempurna dan mempesona di hari istimewanya.Adelia tersenyum malu-malu saat mendengar pujian dari adiknya, Amelia. Dia tidak terbiasa menerima pujian seperti itu, sehingga dia merasa sedikit tidak nyaman. "Kamu terlalu berlebihan, Mel. Aku tidak secantik itu."Adelia merasa Sangat canggung dengan pujian tersebut. Dia jasi teringat hari pernikahannya dulu, di mana dirinya hanya memakai baju dress sederhana dan make-up tipis, hanya untuk sekedar foto. Dia tidak
“Kenapa Bella belum juga keluar dari kamarnya? Jangan-jangan dia sakit...” gumam Devina, pura-pura khawatir pada Bella, saat semua anggota keluarga berkumpul di ruang tengah.Di sofa seberang, Selly duduk dengan angkuh sambil memainkan ponselnya. Ia melirik Adelia sekilas, lalu berkomentar dengan suara keras untuk didengar semua orang. "Kayaknya kita semua tahu penyebabnya, deh...”“Ada masalah apa ini?” Jusuf menyipit bingung. Lalu ia menoleh ke arah Samuel, yang duduk diam di ujung sofa.Sejak pagi hingga menjelang waktu makan siang, Arabella terus mengurung dirinya di kamar. Tak ada suara, tak ada langkah kaki—hanya isakan samar yang sesekali terdengar lewat celah pintu. Sepiring sarapan yang disiapkan untuknya masih tersisa utuh di meja, tak tersentuh sedikit pun.“Cukup, Selly!” bentak Samuel, berdiri dari tempat duduknya dengan wajah menegang. “Nggak semua hal perlu kamu komentari, apalagi kalau cuma mau nambah keruh suasana.”Selly mendengus, tak terlihat takut sedikit pun. “Ak
Pagi mulai menyingsing. Meski matahari belum terbit sepenuhnya, kicauan burung terdengar riang dari balik jendela. Semalaman suntuk Adelia nyaris tak memejamkan mata. Hatinya gelisah, pikirannya terus melayang pada sosok Arabella."Bagaimana jika dia benar-benar membenciku? Apa yang harus aku lakukan...""Kenapa aku bisa terus terjebak begini..." lirihnya. Wajahnya memancarkan kelelahan dan rasa frustrasi yang mendalam.Kesalahpahaman yang terjadi semalam benar-benar mengacaukan hubungan baiknya dengan Arabella. Semalaman ia mencari cara, berharap ada jalan agar Arabella mau mendengarkan penjelasannya."Semoga belum terlambat..." gumamnya penuh harap.Di sampingnya, Amelia masih terlelap. Perlahan, Adelia bangkit dari tempat tidur. Ia merasa haus dan memutuskan untuk keluar kamar.Namun saat membuka pintu, langkahnya seketika terhenti. Matanya membelalak melihat Samuel—suaminya—terbaring di sofa ruang tengah."Mas...? Kenapa dia tidur di sini? Apa semalam Arabella tak mengizinkannya m
Karena kaget, Adelia tanpa sadar memeluk lengan Samuel yang ada di sebelahnya. Tapi karena posisi mereka begitu dekat, Samuel ikut tersentak dan kehilangan keseimbangan.Dalam sekejap, tubuh Samuel terbaring di ranjang… Adelia ikut jatuh tepat di atasnya.Waktu terasa sedang berhenti.Mata mereka saling bertemu. Beberapa detik jadi terasa asing—hanya ada suara detak jantung yang menggema di telinga mereka.Adelia terdiam diatas dada Samuel, napasnya memburu, matanya membulat menatap wajah Suaminya dari jarak dekat.Samuel tak bergerak. Matanya mengunci pada wajah Adelia, yang berada persis diatasnya, jarak mereka hanya beberapa inci, hingga napasnya menyentuh pipi Adelia.“Adel…” bisiknya pelan.“Mas?” lirih Adelia, dirinya seperti terjebak antara kenyataan dan khayalan.Di tengah posisi yang tak biasa, dengan jarak yang sangat dekat hingga nyaris tidak ada ruang di antara mereka. Tiba-tiba, suara berdecit terdengar.*Klik...Pintu kamar terbuka perlahan.Adelia dan Samuel reflek meno
Setelah acara makan malam selesai, semua duduk berkumpul di sekitar api unggun. Tapi Adelia, memilih sibuk di dapur. Ia tak ingin memaksakan kebersamaan yang terasa canggung. "Adelia," panggil Devina sambil tersenyum, menyodorkan jaket pria berwarna gelap. "Tolong taruh ini di kamar Samuel, ya." Adelia mengernyit pelan. "Maaf Ma, tapi aku lagi repot cuci piring, mungkin lebih baik Mbak Ririn saja yang—" "Enggak usah repot di dapur. Kamu kan tamu disini, biarkan mbak Ririn yang cuci, kamu taruh ini keatas. Lagipula kamu lebih tahu di mana biasanya Samuel taruh jaket." potong Devina lembut, tapi matanya menyiratkan perintah yang tak bisa dibantah. Dengan ragu, Adelia mengangguk dan melangkah naik keatas menuju ke kamar Samuel dan Arabella, sambil membawa jaket yang tergantung di lengannya. Sementara itu, di sisi lain villa, Selly mendekati Samuel dengan gaya manja yang dibuat-buat. "Kak, aku lupa... tas makeup aku kayaknya ketinggalan di kamarmu. Tadi aku numpang touch up sebentar
Dua Mobil terparkir rapi di pelataran villa mewah yang dikelilingi pepohonan pinus tinggi menjulang. Udara sejuk khas puncak pegunungan menyambut kedatangan mereka."Wow... tempatnya indah sekali," gumam Adelia sambil memeluk jaketnya, memandang ke arah balkon villa yang menghadap lembah hijau.Villa milik keluarga Widyantara memancarkan kesan megah dan elegan dengan desain bergaya klasik modern. Bangunan dua lantai ini berdiri kokoh di tengah lahan seluas dua hektar. Halamannya yang luas dikelilingi oleh pepohonan pinus, sementara sebuah sungai kecil mengalir tenang di bagian belakangnya.Saat semua orang sibuk menurunkan tas dari bagasi, Selly mendekati ibunya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang penuh sindiran. "Norak banget sih, kayak nggak pernah lihat rumah," bisik Selly sambil mencibir Adelia.Devina menahan tawa. "Maklum, orang kampung. Biarkan saja dia merasa nyaman dulu… nanti kita tarik karpetnya. Biar dia jatuh sejatuh-jatuhnya."Di dalam villa, suasana hangat mulai
Beberapa minggu telah berlalu sejak Arabella dengan berani membela Adelia dan Amelia di depan semua anggota keluarga. Devina dan Selly jelas tidak menyukai hal itu."Sejak kapan Bella lebih memilih Adelia daripada aku?" kata Selly dengan nada iri. "Dulu, saat Arabella baru bergabung dengan keluarga ini, akulah yang pertama menyambutnya. Kami sering berbelanja bersama, ngopi bareng di kafe, dan berbagi cerita. Tapi sekarang, lihat Ma! Bella lebih membela perempuan itu seolah-olah mereka saudara kandung!""Iya, Mama juga heran sama Bella," tambah Devina. "Jangan-jangan si Bella terkena guna-guna gadis kampung!"Bagi mereka, Arabella seharusnya tahu diri sebagai menantu kedua. Jika bukan Devina yang membujuk putranya, Samuel. Samuel tidak akan mau memiliki dua istri. Jadi tak seharusnya Arabella membela Adelia, yang mereka anggap sebagai "Benalu" di rumah itu."Aku benar-benar tidak terima dia membela perempuan tidak berguna seperti Adelia," kata Selly dengan nada keras. "Dulu Bella sang
Tiga hari setelah istirahat, Adelia sudah cukup pulih untuk bisa keluar kamar. Rasa nyeri di betisnya tak lagi terasa sakit, meski bekasnya masih tampak. Ia melangkah perlahan ke dapur, merasa sedikit lelah tapi juga ingin melakukan sesuatu.Saat membuka pintu dapur, Adelia melihat Arabella di sana. Arabella mengenakan celemek merah muda yang cerah, dan wajahnya terlihat segar meski belum memakai bedak. "Akhirnya bangun juga!" Arabella menyambut Adelia dengan senyum riang. "Baru saja aku mau mengetuk pintu kamarmu."Adelia menatap Arabella dengan sedikit heran. "Kamu ngapain di sini pagi-pagi?" tanyanya."Aku mau bantu kamu siapkan sarapan," jawab Arabella. "Tidak perlu, aku sudah terbiasa masak sendiri," Adelia menolak.Arabella merengut, berkaca pinggang. "Jangan bilang begitu. Lagipula, kamu belum boleh berdiri lama-lama, kan?"Adelia tersenyum, merasa terharu karena Arabella begitu peduli pada kondisinya. "Kalau tidak mulai gerak, nanti malah kaku semua," katanya. "Lagipula... aku
Tok… tok… tok."Kak Adel, ini aku Bella. Aku bawakan makanan dan obat. Boleh aku masuk?" serunya pelan.Tak ada jawaban untuk beberapa detik, hanya sunyi. Tapi tak lama kemudian terdengar suara lemah dari dalam."Iya… masuk saja."Arabella membuka pintu perlahan. Ia langsung melihat sosok Adelia yang masih duduk di ranjang, menyelimuti setengah badannya. Wajahnya pucat, matanya sembab—akibat menangis semalaman.Dengan hati-hati, Arabella meletakkan nampan di meja kecil dekat ranjang, lalu duduk di sisi tempat tidur."Tadi malam kamu bisa tidur nyenyak?" tanyanya.Adelia mengangguk sedikit, tapi tak langsung menjawab. Ia menatap langit-langit kamar sejenak, lalu menarik napas pendek."Iya... akhirnya bisa tidur. Baru kali ini aku tidur sendiri di kamar sebesar ini... dan kasur selembut ini." Suaranya nyaris seperti gumaman.Arabella mengerjap. Matanya membulat perlahan, mencoba mencerna maksud dari kata-kata itu. "Maksudnya... selama kamu tinggal di sini, nggak punya kamar sendiri?"Ad
"Sudah berani dia kurang ajar," desis Devina tajam, suaranya meninggi. "Menantu macam apa yang tak tahu diri? Mengira rumah ini hotel, tinggal, makan, tidur seenaknya!"Samuel meneguk tehnya perlahan, mencoba menahan amarah yang mulai mendidih di dada. "Mama, Adelia sedang sakit. Untuk sekadar turun dari tempat tidur saja dia kesulitan, apalagi diminta ke dapur untuk masak."Devina mencibir sinis. "Justru karena itu dia harus memaksakan diri. Sudah numpang kok kerjanya hanya tidur-tiduran. Harusnya dia bangun dan melayani kita yang memberi dia makan dan uang sekolah adiknya. Mau kondisinya sedang sakit atau tidak! Jangan biasakan dia bersikap manja."Selly, yang sejak tadi duduk bersandar santai dengan kaki disilangkan, ikut menimpali sambil memelintir rambutnya. "Sakit? Ah, itu cuma alasan klasik. Pasti lagi akting aja tuh. Ingin cari perhatian dari Kak Samuel.""Adelia, tidak pura-pura. Dia benar-benar sakit," ujar Samuel, suaranya masih terjaga, tapi matanya mulai menajam.Di ujung