Terima kasih sudah membaca dan mengikuti novel ini... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3
“Sudah lama menunggu?” sapa Anna, membuat Sherly dan William yang sedang asyik membahas lagu yang baru saja mereka mainkan dan nyanyikan bersama tampak sedikit terkejut tidak menyadari kedatangannya. “Apa yang sedang kalian bahas?” Anna kemudian memerhatikan buku musik yang berada di atas bangku di antara Sherly dan William. “I-ini lagu yang akan klub musik kami bawakan di lomba nanti, Kak,” sahut Sherly agak terbata, merasa sedikit malu karena Anna memergokinya duduk terlalu dekat dengan William. Padahal —di mata Anna— jarak duduk mereka cukup jauh dan Anna juga tidak memedulikan hal itu. Anna mengangguk. Dari satu baris kalimat lagu yang tertulis di sana Anna sudah tahu kalau itu adalah lagu yang sedang anggota klub musik latih untuk diikutkan dalam lomba. Dia juga sudah hampir hafal dengan lirik lagunya karena terlalu sering mendengarkan mereka berlatih. “Boleh kulihat?” pinta Anna, langsung mengambil buku itu sebelum mendapatkan izin dari Sherly si pemilik buku. Anna membaca is
Anna pergi menghampiri para penonton ‘konser dadakan’ mereka di taman itu. Ia tahu kalau ini adalah kesempatan emas untuk mendapatkan fans awal bagi Sherly. Anna yakin, jika dirinya saja sangat tersentuh oleh suara ‘semerdu malaikat’ Sherly, apalagi orang-orang awam yang ia yakini tidak begitu mengerti tentang musik namun memiliki selera yang baik karena meminta Sherly untuk bernyanyi lagi. Setelah memperkenalkan informasi singkat Sherly pada mereka, Anna mempromosikan jadwal penampilan Sherly di festival musik antar sekolah dan ia tersenyum puas saat melihat antusias pasangan muda mudi itu yang kemudian berjanji untuk datang menyaksikan penampilan Sherly, juga mendukungnya. “Apa yang Kakak bicarakan pada mereka?” tanya Sherly penasaran setelah Anna kembali ke tempat di mana Sherly dan William menunggu. “Mempromosikan jadwalmu tampil,” sahut Anna dengan ekspresi cerah. “Apa?!” “Hah? Kenapa kau kaget begitu? Kau tidak dengar kalau mereka memintamu bernyanyi lagi? Lebih baik meminta
Anna baru saja berbelok ke jalan utama menuju gerbang sekolah ketika segerombolan pria bermotor mencegatnya. Ia mengenali pria berambut hitam sebahu yang berhenti tepat di depannya itu sebagai orang yang kemarin membuat Silvia marah saat meminta pria itu untuk menangkap dirinya tapi malah melarikan diri setelah melihat keberadaan polisi yang datang bersama Elvin. “Kau… Naiklah ke— Hei!” Pria berambut sebahu itu melompat turun dari motornya dan mengejar Anna saat Anna melenggang begitu saja tidak mengindahkan omongannya. Dua pria lain juga ikut melompat dari motor mereka untuk menghalangi jalan Anna yang berjalan dengan langkah cepat keluar dari hadangan sepeda motor mereka. Anna mengelak ketika salah satu pria hendak menangkap pundaknya. Ia kemudian berlari kecil menuju gerbang —bermaksud meminta bantuan pada sekuriti— namun saat melihat Silvia sudah berdiri mengobrol bersama dua sekuriti di luar gerbang, ia pun akhirnya menghentikan langkahnya. “Ah… tentu saja para sekuriti tidak
Pria berjaket hitam itu, yang tak lain adalah Elvin Wright, kemudian berdiri dan menyapukan tatapannya pada semua pengepung dengan berani. Perhatian Elvin kemudian beralih pada Silvia dan dua sekuriti yang datang mendekat, dan ia mengakhiri pandangannya pada Silvia, anak nakal yang sudah diketahuinya sebagai biang terjadinya keributan ini. Elvin sudah menyelidiki latar belakang Silvia bahkan sebelum ada kejadian di taman dua hari yang lalu. Dengan ditemani kedua sekuriti yang seakan pengawal pribadinya saja, Silvia menerobos kepungan dan berjalan dengan berani menghampiri Elvin, bermaksud hendak menggertaknya. “Kau ini sejak kemarin selalu saja mencampuri urusanku. Apa kau tidak tahu siapa aku?” Elvin tidak menanggapinya. Ia menghela napas panjang membuang rasa kesalnya untuk tidak menanggapi kata-kata bocah nakal itu, sebelum akhirnya memilih berbicara pada dua sekuriti yang mendampingi Silvia, “Kalian ini penjaga keamanan sekolah atau berandal? Kenapa kalian malah bekerja sama den
Anna membalas tatapan Dustin dengan dahi mengernyit. “Meremehkan kalian? Kau gila? Kau harusnya tahu kalau kalian tidak berlatih dengan serius, kan? Apa kau pikir hasil yang kalian tunjukkan akan seperti kemarin kalau kalian berlatih dengan serius?” sahut Anna dengan tatapan mengecam. Bukan hanya pada Dustin saja, Anna juga menatap anggota klub lain siapa tahu ada di antara mereka yang tidak setuju dengan perkataannya, tapi tidak ada dari mereka yang tampak ingin mendebatnya hingga Anna akhirnya berbalik pada Sherly dan William yang sejak tadi berdiri diam di belakangnya. “Ayo kita pulang. Kita akan berlatih di taman nanti malam,” ajak Anna pada mereka. “H-hei… mau pergi ke mana?” protes Dustin merasa tidak senang ingin ditinggal begitu saja padahal ia belum selesai berbicara. “Tidak dengar? Kami mau pulang. Lebih baik kami bekerja sambilan daripada membuang waktu berharga kami di sini,” sahut Anna ketus. “K-kau… Kalau begitu, jangan bawakan lagu yang sama dengan kami,” ucap Dusti
“Apa maumu?” tanya Joey sambil mengusap-usap pinggangnya yang masih terasa nyeri, tempat pria berhoodie hitam itu tadi menyetrumnya. Bukannya menanggapi, pria itu malah terlihat hendak mengajak Joey berkelahi. Ia mengangkat kedua tangan ke depan tubuh, lalu memasang kuda-kuda bertinju. “Aku ingin tahu sehebat apa kau bertinju,” ucap pria itu dengan nada mengejek. Melihat Joey tampak ragu, dia kembali berbicara, “Jangan khawatir. Kali ini aku tidak akan menggunakan alat penyetrum padamu.” Sebagai seorang petarung sejati, ditantang seperti itu tentu tidak membuat Joey gentar. Kebetulan ia memang menyimpan dendam pada orang yang telah menyerangnya secara licik, dan ia malah mendapatkan kesempatan membalas dendam dengan cara yang paling disukainya. Setelah memasang sarung tangan yang pria bersetelan jas putih lemparkan padanya, Joey pun melakukan gerakan pemanasan sebelum berlari kecil ke tengah-tengah ring, siap untuk melakukan pertarungan. “Jangan menyesali kesombonganmu!” seru Joey
“Hah?” Anna membuka mulutnya dan melakukan gerakan seakan ingin muntah sebelum berbalik lagi menatap bangunan besar di hadapan mereka, yang merupakan gudang persinggahan tempatnya bekerja sambilan. Melihat Anna tampak benar-benar tidak suka dengan candaannya, Elvin segera mengalihkan pembicaraan. “Kenapa kau memilih tempat bekerja sambilan sejauh ini? Apa kau tidak menemukan tempat kerja sambilan di sekitar rumahmu?” tanya Elvin penasaran, sambil menatap bangunan yang sama. Anna cukup kaget dengan pertanyaan tersebut. Dia memang prihatin dengan pekerjaan di gudang yang ‘Anna’ ambil, namun tidak pernah memikirkan kenapa ‘Anna’ memilih pekerjaan itu, yang jaraknya memang cukup jauh dari lokasi rumahnya. ‘Benar juga ya? Aku tidak pernah memikirkannya.’ Anna pun menggali ingatan ‘Anna’ lagi dan menemukan jawabannya. “Ayahku mungkin akan datang dan mengacau,” sahutnya sambil menggeleng samar, merasa iba dengan kehidupan ‘Anna’, adik, dan ibu mereka. Memang karena itulah ‘Anna’ memilih
“Mau bagaimana lagi kalau itu sudah jadi keputusanmu,” ucap wanita beruban setelah tawa mereka mereda. Ia menghela napas panjang dan menatap Anna dengan penuh simpati —masih dengan pemikiran jika Anna bekerja secara sembunyi-sembunyi dari orang tuanya—, wanita itu mengira jika Anna mungkin sedang mengumpulkan uang untuk membeli sesuatu. “Anak yang tabah,” pikirnya. “Yang pasti, dalam mencari pekerjaan dan apapun pekerjaanmu nanti, jangan lupa memohon bimbingan Dewa untuk mendapatkan yang terbaik,” wanita paruh baya lain berkomentar. “Hah? Dewa? Untuk apa meminta petunjuk dari-Nya?” protes Anna. Awalnya Anna hanya ingin diam dan mendengarkan saran kelima wanita itu. Namun saat salah satu dari mereka menyinggung Dewa, ia merasa tidak nyaman. Dari pertemuannya dengan sang Dewa, Anna merasa jika tidak ada hal baik yang bisa diminta dari-Nya. Apalagi Dewa yang wanita itu maksud berniat mengirimnya ke neraka. “Kau atheis?” wanita bertubuh tambun bertanya sambil membelalakkan mata. Anna