Terima kasih sudah membaca dan mengikuti novel ini... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3
“Apa maumu?” tanya Joey sambil mengusap-usap pinggangnya yang masih terasa nyeri, tempat pria berhoodie hitam itu tadi menyetrumnya. Bukannya menanggapi, pria itu malah terlihat hendak mengajak Joey berkelahi. Ia mengangkat kedua tangan ke depan tubuh, lalu memasang kuda-kuda bertinju. “Aku ingin tahu sehebat apa kau bertinju,” ucap pria itu dengan nada mengejek. Melihat Joey tampak ragu, dia kembali berbicara, “Jangan khawatir. Kali ini aku tidak akan menggunakan alat penyetrum padamu.” Sebagai seorang petarung sejati, ditantang seperti itu tentu tidak membuat Joey gentar. Kebetulan ia memang menyimpan dendam pada orang yang telah menyerangnya secara licik, dan ia malah mendapatkan kesempatan membalas dendam dengan cara yang paling disukainya. Setelah memasang sarung tangan yang pria bersetelan jas putih lemparkan padanya, Joey pun melakukan gerakan pemanasan sebelum berlari kecil ke tengah-tengah ring, siap untuk melakukan pertarungan. “Jangan menyesali kesombonganmu!” seru Joey
“Hah?” Anna membuka mulutnya dan melakukan gerakan seakan ingin muntah sebelum berbalik lagi menatap bangunan besar di hadapan mereka, yang merupakan gudang persinggahan tempatnya bekerja sambilan. Melihat Anna tampak benar-benar tidak suka dengan candaannya, Elvin segera mengalihkan pembicaraan. “Kenapa kau memilih tempat bekerja sambilan sejauh ini? Apa kau tidak menemukan tempat kerja sambilan di sekitar rumahmu?” tanya Elvin penasaran, sambil menatap bangunan yang sama. Anna cukup kaget dengan pertanyaan tersebut. Dia memang prihatin dengan pekerjaan di gudang yang ‘Anna’ ambil, namun tidak pernah memikirkan kenapa ‘Anna’ memilih pekerjaan itu, yang jaraknya memang cukup jauh dari lokasi rumahnya. ‘Benar juga ya? Aku tidak pernah memikirkannya.’ Anna pun menggali ingatan ‘Anna’ lagi dan menemukan jawabannya. “Ayahku mungkin akan datang dan mengacau,” sahutnya sambil menggeleng samar, merasa iba dengan kehidupan ‘Anna’, adik, dan ibu mereka. Memang karena itulah ‘Anna’ memilih
“Mau bagaimana lagi kalau itu sudah jadi keputusanmu,” ucap wanita beruban setelah tawa mereka mereda. Ia menghela napas panjang dan menatap Anna dengan penuh simpati —masih dengan pemikiran jika Anna bekerja secara sembunyi-sembunyi dari orang tuanya—, wanita itu mengira jika Anna mungkin sedang mengumpulkan uang untuk membeli sesuatu. “Anak yang tabah,” pikirnya. “Yang pasti, dalam mencari pekerjaan dan apapun pekerjaanmu nanti, jangan lupa memohon bimbingan Dewa untuk mendapatkan yang terbaik,” wanita paruh baya lain berkomentar. “Hah? Dewa? Untuk apa meminta petunjuk dari-Nya?” protes Anna. Awalnya Anna hanya ingin diam dan mendengarkan saran kelima wanita itu. Namun saat salah satu dari mereka menyinggung Dewa, ia merasa tidak nyaman. Dari pertemuannya dengan sang Dewa, Anna merasa jika tidak ada hal baik yang bisa diminta dari-Nya. Apalagi Dewa yang wanita itu maksud berniat mengirimnya ke neraka. “Kau atheis?” wanita bertubuh tambun bertanya sambil membelalakkan mata. Anna
“Senang sekali memiliki supir pribadi,” ucap Anna dalam perjalanan menuju tempat kerja sambilannya yang lain. Sama seperti pada pekerjaannya di gudang, Anna juga berniat untuk mengundurkan diri dari tempat pekerjaan sambilan keduanya, dan berniat untuk mencari dua pekerjaan sambilan lain di wilayah yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya. Menurutnya, asalkan dia berhasil menemukan pekerjaan sambilan pengganti, Dewa tentu akan tetap menghitung misi yang harus dijalankannya itu terlaksana. ‘Tinggal mendapatkan izin cuti sekolah saja maka rencanaku akan berjalan sesuai yang kuinginkan,’ pikirnya seraya tersenyum licik. “Sebenarnya aku agak khawatir dengan pekerjaan keduamu ini,” sahut Elvin tanpa menoleh padanya. “Apa yang kau khawatirkan?” “Kau akan tahu nanti. Ku harap kau tidak mengamuk di tempat kerjamu.” Kata-kata Elvin membuatnya teringat pada seorang wanita di tempat kerja sambilan keduanya, yang memiliki sikap hampir sama dengan Loisa. ‘Apa dia tahu tentangnya juga?’ Anna
Anna menatap kedua lengan yang menarik kerah bajunya sambil membayangkan hal menyenangkan yang akan dijadikannya alasan untuk mengundurkan diri dengan cepat. “Ini lebih baik dibandingkan di gudang. Aku akan langsung mengundurkan diri begitu perkelahian ini selesai. Jadi aku tidak perlu repot-repot mencuci piring,” pikirnya. Saat Carmen —si wanita penyerang— mendorong tubuhnya, Anna menangkap kedua tangan wanita itu dan menjejakkan salah satu kaki pada perutnya. Menggunakan daya dorong Carmen —yang sebenarnya tidak begitu kuat—, Anna menjatuhkan diri sekaligus menarik tubuh Carmen lalu melontarkannya dengan dorongan kaki yang sudah berada di perut wanita itu. Tubuh Carmen memang terlempar setelah Anna lontarkan, tapi apa yang Anna inginkan sama sekali tidak terjadi pada wanita tersebut. Sesudah terlontar ke udara, Carmen tiba-tiba melakukan gerakan berputar dan mendarat di atas lantai keramik dengan mulus, bukannya jatuh terhempas dengan punggungnya terlebih dahulu seperti yang Anna
Joey Davies menghela napas panjang setelah duduk diam dalam waktu lama di atas ring tinju. Penghinaan besar yang pria berhoodie hitam lakukan padanya membuatnya merenungkan tentang seberapa kecilnya kemampuan dan pengalaman dalam bertarung —yang selama ini selalu dibanggakannya— yang dia miliki. Ada beberapa perintah yang pria itu berikan, yang sebenarnya membuat Joey merasa terhina, namun ia jauh lebih merasa terhina karena kalah telak dalam pertarungan yang ia pikir dapat dimenangkannya dengan mudah. “Apa dia sebenarnya seorang petarung profesional?” pikir Joey. Pemikiran itu akhirnya membuatnya sedikit berbesar hati. Ia tahu, sehebat apapun para petarung bawah tanah, tentu akan kesulitan untuk bisa memenangkan pertarungan dari para petarung profesional yang berlatih di bawah arahan para pelatih profesional juga, tidak seperti mereka yang berlatih sendiri di sasana. Saat ia mandi, Joey kembali teringat akan pesan si pria berhoodie hitam yang melarang keras dirinya untuk menggangg
“Saya datang untuk menjemput Anda, Nona Briel,” ucap pria bersetelan jas putih yang tak lain adalah Rainhard Rover, asisten pribadi Elvin Wright. Anna menatapnya sebentar lalu mengangguk pelan. Tentu saja dia mengenal Rainhard dengan baik. Rainhard yang sudah berteman baik dengan Elvin sejak keduanya masih berada di bangku SMP juga sering menginap di mansion keluarga Wright hingga ia juga sudah sangat akrab dengan seluruh anggota keluarga Wright termasuk Rudolf dan Jeany Wright. Setelah Rainhard membukakan pintu belakang sedan putihnya, Anna langsung masuk tanpa bertanya atau mengucapkan apapun. “Baguslah, jadi aku tidak perlu meladeni bocah berandalan itu,” pikir Anna yang kebetulan tidak suka merepotkan diri dengan hal yang tak penting. Sementara itu Joey yang tadinya hendak mengejar Anna untuk menjelaskan tujuan aslinya ingin membawa Anna pergi akhirnya hanya menatap mereka dalam diam, terutama setelah melihat senjata api yang sengaja Rainhard tunjukkan dengan membuka sedikit set
“Nona Wright selalu mengingatkan saya akan hal itu,” ucap Anna, tepat sebelum Thomas membuka mulut ingin bertanya dari mana Anna bisa memiliki pemikiran seperti ucapannya tadi. “Begitu… pantas saja,” sahut Thomas sambil menggosok-gosok paha dengan tangannya. Ia kemudian melihat naskah yang sudah tertutup rapat, yang Anna letakkan di pangkuannya. “Kau tidak mempelajari dialogmu?” “Sudah.” “Y-ya? Kapan kau—” “Kalau Anda berbicara terus, kita mungkin akan mengganggu mereka,” potong Anna tanpa menatap Thomas. Matanya tertuju pada aktris yang sedang mengikuti audisi di depan sana. Anna juga baru menyadari jika ada seorang sutradara terkenal duduk di deretan meja juri, juga seorang aktor ternama yang ikut menilai audisi bersama para juri. ‘Sepertinya mereka sutradara dan aktor dari film yang sedang mencari pemeran pembantu dalam audisi ini.’ Berbeda dengan hari-hari biasanya, kali ini ada sutradara yang ikut menilai peserta audisi dari proyek film yang sedang dikerjakannya, juga ada akt