Ana menggaruk tengkuknya, ia merasa risih ditatap seperti itu oleh Gerald. Ia juga menarik ujung bawah gaunnya agar lebih turun. Ana merasa tidak nyaman memakai gaun ini. Ini adalah gaun yang sebelumnya ia coba. Gaun berwarna hitam yang panjangnya hanya setengah paha dan ketat yang membentuk tubuhnya.
"Apa aku tidak bisa memakai gaun yang lain saja?" tanya Ana dengan wajah memelasnya. Gaun yang ia pakai terlalu mengekspos kaki jenjangnya. Ia yakin jika ia berjongkok maka pantatnya akan kelihatan."Pakai saja yang ku beri." ujar Gerald.Ana menghela nafas pelan. Bagaimana jika kakinya kedinginan karena udara malam ini terasa dingin. Seharusnya Gerald tadi memilih gaun yang panjang agar ia tidak kedinginan.Tiba-tiba bi Asri berlari tergopoh-gopoh menghampiri Ana dan Gerald. Di belakang bi Asri ada Asti yang juga berlari mengikuti bi Asri."Tuan." bi Asri menundukkan kepalanya dengan hormat, tapi itu tidak bisa men"Dia adalah calon istri saya." ujar Gerald kepada wartawan di depannya.Ana membulatkan matanya mendengar jawaban Gerald. Jika ditanya apa ia terkejut? Pastinya ia sangat terkejut. Ana menatap ke arah Gerald mencari kebohongan di wajah pria itu. Tapi ia tidak bisa menebak apa yang dikatakan Gerald benar atau bohong. "Selamat tuan Gerald." semua wartawan memberikan selamat kepada Ana dan Gerald."Kapan rencana pernikahan anda tuan?" tanya salah satu wartawan perempuan."Secepatnya, doakan saja yang terbaik." ujar Gerald dengan tersenyum singkat.Gerald langsung menggandeng tangan Ana turun dari panggung. Jika terlalu lama di atas panggung Gerald tidak yakin Ana bisa menahan berdiri lebih lama lagi. Apalagi Ana memakai sepatu hak tinggi yang pastinya akan membuat kakinya pegal jika berdiri terlalu lama."Kita temui teman dan rekan bisnis saya." ujar Gerald menggandeng tangan Ana mendekat ke arah kumpu
"Kau sudah datang?" tanya Peter berbasa basi."Aku pikir kau tidak akan datang ke sini." ujar Peter yang mendapat dengusan oleh Gerald.Apa ayahnya pikir ia tidak berani datang ke sini karena ayahnya berhasil mengambil rekan bisnisnya. Huh, ayahnya sama sekali tidak mengenal sifatnya. Bagaimana mau tahu sifatnya jika ayahnya tidak pernah ada di hidupnya."Kenapa? Bukankah yang seharusnya malu adalah anda?" ujar Gerald tersenyum sinis.Peter mengabaikan perkataan Gerald. Ia sudah terbiasa dengan ucapan Gerald yang selalu menyindirnya. Tatapan Peter berhenti ke arah Ana yang berdiri di samping Gerald. "Siapa dia? Kekasihmu huh?" tanya Peter."Bukan urusanmu." balas Gerald tak peduli.Perdebatan mereka terhenti saat seorang pelayan menawari makanan dan minuman. Ana mengambil segelas minuman. Jujur jika Ana benar-benar merasa haus sedari tadi. Gerald bahkan tidak mengajaknya untuk mencicip
Sepanjang perjalanan kepala Ana terus terantuk ke jendela mobil. Ana sudah tidak bisa menahan kantuknya lagi. Gerald yang melihat itu menyuruh Jack untuk memelankan laju mobilnya. Gerald menarik kepala Ana agar bersandar di bahunya."Biar saya yang membawa nona Ana ke kamar sir." tawar Jack ke Gerald begitu mereka sampai di rumah."Tidak perlu, saya yang akan membawa Ana ke kamar." ujar Gerald seraya menggendong Ana.Sesampainya di kamar Ana Gerald membaringkan tubuh Ana dengan perlahan di tempat tidur. Gerald melepas jas dan membuka beberapa kancing teratas kemejanya. Gerald ikut membaringkan dirinya di samping Ana. Matanya menatap langit-langit kamar Ana. Pikirannya tiba-tiba teringat ke masa lalunya. # Flashback"Ma." panggil seorang anak laki-laki berseragam smp.Sang perempuan berbaju hitam yang di panggil 'mama' terlihat hanya menatap kosong jendela besar di depannya. Badannya tidak bergerak s
"Ibu," Gerald bergumam dalam tidurnya."Ibu, jangan tinggalkan aku!" teriak Gerald dengan tangan yang berusaha menggapai sesuatu."Ibu! Ibu!" teriak Gerald dengan kencang.Ana yang tidur di samping Gerald langsung terbangun dari tidurnya karena mendengar suara teriakan yang sangat mengganggu tidurnya. Ana mengusap dadanya. Pertama ia terkejut dengan suara Gerald, dan yang ke dua ia terkejut melihat Gerald tidur di tempat tidurnya. Ana refleks langsung melihat ke tubuhnya untuk memastikan jika pakaiannya masih lengkap."Ibu," gumam Gerald lagi.Ana menengokkan kepalanya ke arah Gerald. Laki-laki itu terus menyebutkan kata 'ibu' sedari tadi. Sepertinya Gerald sedang bermimpi buruk sehingga ia mengatakan sesuatu dalam tidurnya. Ana menoel pipi Gerald pelan. Ia sedikit takut untuk membangunkan Gerald di tengah tidurnya. Tapi ia juga khawatir melihat Gerald yang terus menggumamkan kata 'ibu'. Bahkan keringat sudah memb
Saat Ana kembali ke meja makannya, ia melihat Gerald sudah ada disana sedang memakan sarapannya. Ana kembali duduk di kursi yang tadi ia duduki. Ia kembali melanjutkan sarapannya yang tadi tertunda.Ana melirik Gerald, pria itu tidak menanyakannya apapun. Padahal pria itu melihatnya habis dari luar barusan. Entahlah mungkin saja Gerald tidak ingin berbicara kepadanya karena soal semalam.Tapi yang Ana lihat pria itu menjadi lebih dingin karena kejadian semalam. Ana tidak tahu seperti apa masa lalu pria itu. Tapi yang Ana tahu, laki-laki itu memiliki sisi rapuh di balik sisi kejamnya. Dan semalam menurut Ana Gerald lebih terlihat manusiawi dari biasanya."Kenapa kau menatapku?" tanya Gerald datar."Ha," Ana langsung menundukkan kepalanya menatap ke piring sarapannya. Ia tidak sadar jika ia dari tadi memperhatikan Gerald. Ana mengumpat dalam hati karena tindakan bodohnya. Bagaimana ekspresinya tadi saat menatap Ger
Ana menguap entah keberapa kalinya. Sudah hampir dua jam ia duduk sambil membaca buku di perpustakaan. Ana merenggangkan tangannya yang terasa pegal menyangga buku selama hampir dua jam. Ana berpikir sebentar ia akan melakukan kegiatan apa lagi setelah ini. Gerald melarang Ana untuk tidak menginjakkan kakinya ke dapur. "Huh," Ana menghela nafas lelah.Mata Ana menangkap Kevin yang sedang berdiri di depan pintu. Ana memutar bola matanya malas, ia sudah tahu jika Gerald pasti yang menyuruh Kevin untuk mengawasinya. Dimanapun Ana melangkahkan kakinya, Kevin selalu ada di belakangnya. Padahal Ana hanya berjalan-jalan di dalam rumah.Ana berjalan mendekati Kevin, "Apa kau sudah selesai memberitahu tuanmu tentang apa yang aku lakukan?" tanya Ana yang berupa sindiran untuk Kevin.Kevin terlonjak melihat Ana sudah berdiri di sampingnya dengan bersedekap dada. Kevin langsung menyimpan ponsel di tangannya ke dalam saku celananya.
Ana yang sedang menonton tv mengalihkan pandangannya ke arah Gerald yang baru datang. Ana mengerutkan keningnya melihat Gerald masih berada di rumah. Bukankah seharusnya pria itu berada di kantor karena masih pukul sepuluh pagi. Ana menatap penampilan Gerald dari atas sampai bawah. Ana berdecak kagum saat melihat Gerald menggunakan jas kerjanya. Pria itu menjadi berkali lipat lebih tampan. Apalagi Gerald memang setiap hari selalu memakai jas saat pergi ke kantor. Ana hanya pernah melihat Gerald berpakaian santai saat malam hari. Bahkan saat pergi saja Gerald selalu berpakaian rapi menggunakan kemeja."Kevin, siapkan mobil sekarang." perintah Gerald kepada Kevin."Baik tuan." jawab Kevin sambil menganggukkan kepalanya.Gerald berjalan menghampiri Ana yang sedang duduk santai menonton kartun anak kecil. Gerald tersenyum singkat melihat sisi kekanakan Ana yang masih suka menonton kartun anak-anak. "Bersiap-siaplah
"Kenapa kita kesini?" tanya Ana kepada Gerald yang berada di sampingnya.Gerald tidak menjawab, dia memilih ke luar mobil. Terpaksa Ana ikut ke luar mobil dan berdiri di samping Gerald yang sedang menatap ke arah jejeran batu nisan di hadapan mereka. Ana sedikit merinding karena Gerald mengajaknya ke tempat seperti ini. Laki-laki itu tidak akan melakukan hal-hal yang tidak-tidak kepadanya bukan?Gerald mulai melangkahkan kakinya memasuki area pemakaman. Ana langsung bergegas mengikuti langkah kaki Gerald agar ia tidak kehilangan jejak laki-laki itu. Ia tidak bisa membayangkan dirinya jika terjebak di pemakaman ini saat malam hari. Ana terus melihat kebawah membaca satu persatu nama yang ada di batu nisan. Ia juga tidak tahu kenapa ia membaca nama tersebut padahal ia juga tidak mengenal satupun nama dari batu nisan tersebut. "Awhh." Ana memegang keningnya yang terantuk punggung Gerald. Ia terlalu fokus melihat ke bawah sampai tidak tahu jika Gerald menghentikan langkahnya."Kenapa be
"Sayang." Gerald menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Ana. Sesekali ia menghisap atau menggigit gemas leher Ana. Ana memutar bola matanya jengah. Sudah kelima kalinya Gerald hanya memanggilnya tanpa mengatakan apa-apa. Ana menjauhkan tubuhnya dari jangkauan suaminya itu."Aku lagi dandan, jangan ganggu ah." kesal Ana karena sedari tadi Gerald terus menempel padanya dan tidak mau melepaskan pelukannya."Habisnya kamu wangi." ujar Gerald sambil terus menciumi leher Ana."Kamu aja yang bau karena belum mandi." ejek Ana."Kamu mau kemana sih pagi-pagi gini udah cantik aja." Gerald menatap dari pantulan cermin dengan pandangan tidak suka."Mau ke sekolahannya Aron ambil rapot." "Eve ikut?" Ana menggelengkan kepalanya. "Kamu hari ini liburkan, tolong jagain Eve ya." Gerald mencabikkan bibirnya dengan kesal. "Kenapa nggak diajak aja, masa aku harus nemen
Waktu berlalu dengan begitu cepat sampai sulit untuk menyadarinya. Hari demi hari terus berganti, bulan demi bulan terus berganti, hingga tahun demi tahun terus berganti. Sudah hampir tujuh tahun usia pernikahan Ana dan Gerald tanpa terasa. Tidak banyak yang berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja Gerald yang dulu telah berubah menjadi seorang Gerald yang lebih baik lagi. Hari-harinya dipenuhi oleh Ana yang selalu ada di sampingnya."Emmmh faster…" Ana terengah-engah dalam kegiatan panas mereka. "Jangan keluar dulu, tunggu aku." ujar Gerald sambil terus memompa tubuhnya."Aahhh akuhhh su daahh tidakkhh tahan." Ana memejamkan matanya menahan sesuatu yang ingin keluar dari bawah sana."Bersamahhh ahhhhkhhhkh." Gerald mengerang saat milik Ana Benar-benar menjepitnya dengan sangat erat.Cupp"Ahhh I love you." Gerald membaringkan badannya ke samping badan Ana dan menarik selimut untuk menut
"Arabella?" Rachel langsung berlari menghampiri Gerald begitu mendengar nama putrinya disebut oleh laki-laki itu."Dimana putriku? Katakan dimana putriku?" Rachel terlihat tak sabaran mendengar keberadaan putrinya itu. "Katakan dimana putriku!" Rachel berteriak seperti orang kesetanan karena tidak mendapat respon dari Gerald atas pertanyaannya."Arabella telah tiada." Ana menatap ke arah Gerald dengan pandangan tidak percaya. Ia tidak percaya jika laki-laki itu akan mengatakannya langsung tanpa berpikir panjang. Rachel tertawa keras mendengarnya. Sedangkan Peter terduduk di atas lantai karena terlalu terkejut."Tidak mungkin, putriku masih hidup hahahaha dia masih hidup. Kau berbohong!" Rachel mendorong tubuh Gerald hingga tubuh Gerald mundur beberapa langkah."Putriku masih hiduppp." Rachel berjalan kesana kemari dengan senyum dibibirnya."Kau tidak apa-apa?" Ana menanyakan kead
Ana menggeliat dalam tidurnya. Matanya masih ingin terpejam meski cahaya matahari berusaha menerobos kamarnya untuk mengganggu tidur nyenyaknya. Semalam ia baru tertidur pukul tiga pagi hingga akhirnya hari ini membuatnya ia bangun kesiangan. Untungnya hari ini hari minggu jadi Ana bisa bermalas-malasan di tempat tidurnya. Ana menepuk-nepuk samping tempat tidurnya. Ia tersenyum mengingat makan malam romantisnya dengan Gerald. Mereka sangat menikmatinya semalam. Mereka memakan steak, kemudian dilanjut berdansa di bawah sinar bulan, dan kemudian mereka melanjutkan kegiatan malam mereka dikamar.Wajah Ana memerah seperti tomat kala mengingat bagaimana ia menjadi sangat agresif semalam. Tidak, sepertinya sejak ia hamil ia menjadi lebih agresif ketika mereka melakukannya. Ana selalu ingin memimpin dan Gerald dengan senang hati memberikan kendali kepadanya."Morning honey." Cupp"Morning." "Kau masih ingin tidur?
Ana bergerak mendekat ke arah Gerald. Dipeluknya laki-laki itu dengan tulus. Ia tahu Gerald sebenarnya orang yang baik. Hanya saja karena hatinya tertutup oleh dendam membuatnya jadi seperti ini. Setiap orang memiliki kesempatan dalam merubah hidupnya menjadi lebih baik, dan Ana yakin Gerald akan menjadi orang yang lebih baik setelah ia menyadari semua kesalahannya. "Aku ingin menjadi seorang ayah yang dibanggakan oleh anakku dimasa depan, bukannya dibenci oleh anakku." gumam Gerald sambil terisak di pelukan Ana. Tangan Ana mengusap punggung Gerald untuk menenangkan suaminya itu. Ini bukan pertama kalinya bagi Ana melihat Gerald yang menangis. Tapi setiap Ana melihat Gerald menangis, ia seperti melihat sisi lain yang selama ini Gerald coba sembunyikan. Selama ini Gerald selalu terlihat galak, dingin, dan tegas, tapi sebenarnya Gerald memiliki sisi yang lembut juga."Terimakasih sudah mengatakan semuanya." ujar Ana sambil tersenyum. Ia menghargai keberanian Gerald yang mau berkata ju
Setelah makan malam Ana langsung pergi ke kamar. Ia langsung mengambil buku novel yang beberapa hari ini ia baca. Malam ini rencananya ia akan menamatkan novelnya itu. Hanya kurang empat bab maka satu buku novel berhasil ia tamatkan selama satu minggu. Ana tetap terfokus pada buku di tangannya ketika Gerald masuk kedalam kamar. Perempuan itu enggan melirik meski sebentar saja. Ana memang selalu begitu jika sudah asyik membaca, maka dunianya akan terfokus pada satu titik.Gerald berpura-pura mencari sesuatu di dekat Ana untuk menarik perhatian perempuan itu. Tapi sayangnya Ana tidak tertarik dengan apa yang Gerald lakukan. Gerald mendengus melihat Ana yang sibuk dengan buku novelnya. Gerald mengintip apa yang membuat Ana sampai begitu mengabaikannya. Gerald melihat buku novel yang Ana baca, tidak ada yang menarik hanya berisi tulisan yang berupa paragraf saja. Gerald menaiki tempat tidur dengan pelan. Ia dengan sengaja merebahkan kepalanya ke atas paha Ana. Dan benar yang ia lakukan l
Gerald berjalan menghampiri Ana. Satu tangannya langsung melingkar posessive di pinggang Ana. Dengan sengaja ia memanas-manasi Jane yang sedang menatap ke arah ia dan Ana. Gerald memang berniat mengusir Jane dari ruangannya. Jika perempuan itu tidak bisa diusir secara halus, maka Gerald akan menggunakan caranya sendiri untuk mengusir perempuan itu."Kau bisa pergi sekarang, atau perlu aku panggilkan satpam kesini?" ujar Gerald kepada Jane."Gak bisa Ge, ada yang mau aku bicarakan sama kamu." balas Jane yang tetap kekeh dengan pendiriannya."Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Ini terakhir kalinya kita bertemu dan terakhir kalinya saya melihat wajah kamu." ujar Gerald datar.Jane tercengang mendengar penuturan Gerald. "Maksud kamu apa?" "Kerjasama kita sudah selesai dan saya sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan kerjasama kita." jelas Gerald.Jane benar-benar terkejut mendengar keputusan Gerald yang tiba-tiba. Benar-benar sebuah kesialan untuknya, ia baru saja ingin memulai mend
"Nggak mungkin!" Jane menatap foto di depannya dengan pandangan tidak percaya. Selama dua hari ini ia menyuruh seorang mata-mata untuk mencari keberadaan Arabella. Dan alangkah terkejutnya saat mengetahui apa yang terjadi pada perempuan itu. Ia mendapati berita jika Arabella telah tiada. Dan orang yang telah membunuh Arabella adalah Gerald kakak tirinya sendiri. Wajah Jane berubah menjadi pucat, ia memikirkan bagaimana jika Gerald mengetahui kalau selama ini ia juga ikut terlibat membantu Arabella untuk menghancurkan hubungannya dengan Ana. Apa Gerald juga akan membunuhnya dan membakarnya seperti dia membunuh Arabella? Jika Gerald dengan mudahnya bisa membunuh adik tirinya sendiri yang memiliki ikatan darah dengannya, tentu saja Gerald akan dengan mudah membunuhnya bukan?Jane berjalan mondar-mandir memikirkan cara agar dirinya tidak ketahuan kalau ia juga terlibat. Ia menjentikkan jarinya, sebuah ide terlintas di kepalanya. Jika ia berhasil membuat Gerald kembali jatuh cinta padanya
"Bagaimana dok keadaan istri saya?" tanya Gerald dengan wajah ingin tahu."Bisa beritahu saya keluhan apa saja yang bu Ana rasakan?" tanya dokter perempuan itu.Benar, Gerald memang sengaja mencari dokter perempuan untuk memeriksa Ana. Padahal yang seharusnya saat ini bekerja adalah dokter laki-laki. Gerald keras kepala dan akhirnya ia menawarkan untuk membayar lima kali lipat dengan syarat jika dokter yang memeriksa Ana harus berjenis kelamin perempuan."Mual, pusing, lemas, tapi mual saya hanya air saja dok." keluh Ana.Dokter itu tersenyum penuh arti. "Untuk memastikan keadaan ibu Ana, saya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan dokter Hana." dokter tersebut menulis sesuatu di atas kertas yang entah berisi apa Ana sendiri sulit membacanya."Dokter Hana? Apa saya ada penyakit dalam dok? Apa saya akan di operasi?" tanya Ana dengan perasaan takut jika dirinya harus sampai di operasi.Gerald mengusap tangan Ana mencoba menenangkan perempuan itu. Ia juga jadi khawat