Ana menguap entah keberapa kalinya. Sudah hampir dua jam ia duduk sambil membaca buku di perpustakaan. Ana merenggangkan tangannya yang terasa pegal menyangga buku selama hampir dua jam. Ana berpikir sebentar ia akan melakukan kegiatan apa lagi setelah ini. Gerald melarang Ana untuk tidak menginjakkan kakinya ke dapur.
"Huh," Ana menghela nafas lelah.Mata Ana menangkap Kevin yang sedang berdiri di depan pintu. Ana memutar bola matanya malas, ia sudah tahu jika Gerald pasti yang menyuruh Kevin untuk mengawasinya. Dimanapun Ana melangkahkan kakinya, Kevin selalu ada di belakangnya. Padahal Ana hanya berjalan-jalan di dalam rumah.Ana berjalan mendekati Kevin, "Apa kau sudah selesai memberitahu tuanmu tentang apa yang aku lakukan?" tanya Ana yang berupa sindiran untuk Kevin.Kevin terlonjak melihat Ana sudah berdiri di sampingnya dengan bersedekap dada. Kevin langsung menyimpan ponsel di tangannya ke dalam saku celananya.Ana yang sedang menonton tv mengalihkan pandangannya ke arah Gerald yang baru datang. Ana mengerutkan keningnya melihat Gerald masih berada di rumah. Bukankah seharusnya pria itu berada di kantor karena masih pukul sepuluh pagi. Ana menatap penampilan Gerald dari atas sampai bawah. Ana berdecak kagum saat melihat Gerald menggunakan jas kerjanya. Pria itu menjadi berkali lipat lebih tampan. Apalagi Gerald memang setiap hari selalu memakai jas saat pergi ke kantor. Ana hanya pernah melihat Gerald berpakaian santai saat malam hari. Bahkan saat pergi saja Gerald selalu berpakaian rapi menggunakan kemeja."Kevin, siapkan mobil sekarang." perintah Gerald kepada Kevin."Baik tuan." jawab Kevin sambil menganggukkan kepalanya.Gerald berjalan menghampiri Ana yang sedang duduk santai menonton kartun anak kecil. Gerald tersenyum singkat melihat sisi kekanakan Ana yang masih suka menonton kartun anak-anak. "Bersiap-siaplah
"Kenapa kita kesini?" tanya Ana kepada Gerald yang berada di sampingnya.Gerald tidak menjawab, dia memilih ke luar mobil. Terpaksa Ana ikut ke luar mobil dan berdiri di samping Gerald yang sedang menatap ke arah jejeran batu nisan di hadapan mereka. Ana sedikit merinding karena Gerald mengajaknya ke tempat seperti ini. Laki-laki itu tidak akan melakukan hal-hal yang tidak-tidak kepadanya bukan?Gerald mulai melangkahkan kakinya memasuki area pemakaman. Ana langsung bergegas mengikuti langkah kaki Gerald agar ia tidak kehilangan jejak laki-laki itu. Ia tidak bisa membayangkan dirinya jika terjebak di pemakaman ini saat malam hari. Ana terus melihat kebawah membaca satu persatu nama yang ada di batu nisan. Ia juga tidak tahu kenapa ia membaca nama tersebut padahal ia juga tidak mengenal satupun nama dari batu nisan tersebut. "Awhh." Ana memegang keningnya yang terantuk punggung Gerald. Ia terlalu fokus melihat ke bawah sampai tidak tahu jika Gerald menghentikan langkahnya."Kenapa be
"Kau tidak perlu terus mengikutiku Kevin!" Ana menghentakkan kakinya kesal karena Kevin terus-menerus mengikutinya. "Saya hanya menjalankan perintah tuan nona." ujar Kevin.Ana menghela nafas. Percuma berbicara pada Kevin yang selalu mengagung agungkan majikan nya. Ana kembali melangkahkan kakinya ke luar rumah."Maaf nona, anda tidak diizinkan keluar rumah oleh tuan Gerald." ujar Kevin menghentikan langkah Ana.Ana memutar bola matanya malas, "Aku cuman ingin menyiram tanaman, apa itu juga tidak boleh?" tanya Ana.Kevin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia ragu antara mengizinkan Ana keluar atau tidak."Saya lapor dulu sama tuan nona." ujar Kevin sambil merogoh saku celananya.Ana melipat kedua tangannya di depan dada menunggu Kevin berbicara dengan Gerald."Bagaimana? Dia pasti tidak memperbolehkanku." tebak Ana dengan wajah yang sudah di tekuk pasrah."Tuan memberi ijin nona, tapi saya masih tetap harus menjaga nona." ujar Kevin.Mata Ana berbinar kesenangan, "Terserah." ujar
Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di kantor, Gerald langsung pulang ke rumah. Saat kakinya sampai di dalam rumah, ia tidak melihat keberadaan Ana."Bi Asri dimana Ana?" tanya Gerald."Itu tuan__ nona Ana berada di kamarnya dan belum keluar sejak dari luar tadi." adu bi Asri dengan ragu.Gerald meletakkan gelas di tangannya. Ia melangkahkan kakinya ke lantai dua. Gerald mengetuk pintu Ana beberapa kali tapi tak kunjung dibuka. Gerald juga memanggil nama Ana tapi juga tidak ada sahutan dari dalam. "Apa yang sedang gadis itu lakukan di dalam." geram Gerald karena merasa diabaikan oleh Ana."Ana! Buka pintunya atau aku akan mendobraknya!" ancam Gerald.Gerald menunggu beberapa detik dan masih tidak mendapat tanggapan. Kali ini Ana benar-benar membuat emosi Gerald terpancing. Hari ini ia menjalani hari yang berat di kantor dengan semua masalah di kantor dan sekarang di rumah ia harus berusaha membujuk Ana yang bersikap kekanakan."Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku Ana!" Ge
Tok tok"Non sarapannya sudah siap." ujar bi Asri."Non." bi Asri kembali memanggil Ana yang juga belum menyaut dari dalam kamarnya.Wajah bi Asri terlihat sangat khawatir. Ia juga bingung karena Gerald juga belum turun kebawah. Bi Asri juga tidak bisa naik ke atas. Akhirnya bi Asri mengambil kunci cadangan kamar Ana. Dengan segera bi Asri membuka kamar Ana."Astagfirullah non Ana!" teriak bi Asri melihat wajah Ana yang pucat. Bi Asri langsung berlari mendekati tempat tidur Ana. Tangan bi Asri menyentuh dahi Ana yang terasa sangat panas."Non demam?" gumam bi Asri. "Bi...." racau Ana, matanya masih menutup tapi bibirnya bergetar seperti sedang kedinginan."Gimana ini?" bi Asri menggigit bibirnya bingung."Asti! Asti!" panggil bi Asri berulang kali.Asti berjalan santai memasuki kamar Ana. Asti berjalan mendekat ke arah bibinya yang terlihat sangat khawatir tersebut."Kenapa bi?" tanya Asti."Kamu ini dipanggil dari tadi nggak nyaut-nyaut!" omel bi Asri dengan wajah jengkelnya."Aku n
Ana mengerjapkan matanya pelan dengan bibirnya yang bergetar. Gerald meringis melihat wajah Alexa yang terlihat sangat pucat. Kulit putih gadis itu terlihat semakin pucat. Bibir yang sebelumnya berwarna pink cerah, sekarang menjadi berwarna putih.Gerald melepaskan jasnya dan menyelimutkan nya ke badan Ana yang berada di pangkuannya. Gerald mengeratkan jas nya di tubuh Ana."Kita sudah sampai tuan." ujar Kevin.Gerald kembali menggendong Ana, saat Gerald memasuki rumah sakit semua suster dan dokter berbondong-bondong membantunya. Tentu saja siapa yang tidak mengenal Gerald Sleeve. Wajahnya sering masuk di tv, koran, dan majalah. Bahkan ia masuk ke dalam 30 pengusaha muda yang sukses.Gerald dengan setia berdiri di samping brankar Ana sambil memperhatikan sang dokter memeriksa keadaan Ana. "Demamnya cukup tinggi, tapi tidak perlu khawatir dalam beberapa jam demamnya akan turun. Dan kami akan merawat nyonya Ana dengan baik." ujar dokter. Gerald menganggukkan kepalanya tanda mengerti."
Akhirnya setelah dua hari Ana harus berada di rumah sakit, hari ini ia sudah bisa pulang ke rumah. Hari ini ia pulang dengan diantar oleh Kevin. Jika kalian bertanya apa Gerald juga menjemputnya pulang? Jawabannya tidak. Sepertinya Gerald sangat sibuk dengan pekerjaannya. Ana tadi sempat mendengar pembicaraan Jack dan Gerald yang akan menghadiri suatu rapat penting. Tentu saja Gerald akan lebih memilih rapat pentingnya dibanding memilih mengantar Ana pulang ke rumah. Memang Ana siapa sampai membuat Gerald meninggalkan rapat pentingnya. Selama ini Ana selalu berusaha meyakinkan hatinya agar tidak terpesona kepada Gerald. Walaupun kadang sikap Gerald membuat jantungnya berdebar kencang."Selamat datang non." ujar bi Asri sambil tersenyum hangat."Terimakasih bi." Ana balas tersenyum ke arah bi Asri.Ana langsung berjalan ke kamarnya. Ia menghempaskan badannya ke tempat tidurnya. Rasanya kasur nya lebih nyaman daripada kasur di rumah sakit. Apalagi Ana dari kecil tidak pernah menyukai r
"Aku ingin pergi ke supermarket membeli bahan dapur, apa kau bisa mengantarku Kevin?" tanya Ana setelah mereka menyelesaikan sarapan mereka."Sepertinya saya tidak bisa mengantar anda pergi berbelanja hari ini nona." ujar Kevin formal."Kenapa? Apa ada masalah?" tidak mungkin jika tidak ada mobil untuk mengantarnya pergi bukan? Walaupun Ana belum pernah masuk ke dalam garasi mobil milik Gerald tapi Ana yakin jika Gerald tidak hanya memiliki satu mobil yang sering ia pakai untuk pergi ke kantor."Tuan pasti tidak akan memperbolehkan saya membawa anda keluar nona." jelas Kevin."Tidak, dia pasti memperbolehkanku untuk keluar karena ia sudah berjanji padaku tidak akan mengurungku di dalam rumah ini." jelas Ana meyakinkan Kevin. Tapi sepertinya Kevin tidak bisa terlalu mempercayai Ana."Jika kau tidak percaya kau bisa menelpon tuanmu untuk memastikannya." tantang Ana dengan wajah percaya dirinya.Kevin menuruti perintah Ana, ia menelpon Gerald untuk kembali memastikan kebenaran ucapan Ana
"Sayang." Gerald menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Ana. Sesekali ia menghisap atau menggigit gemas leher Ana. Ana memutar bola matanya jengah. Sudah kelima kalinya Gerald hanya memanggilnya tanpa mengatakan apa-apa. Ana menjauhkan tubuhnya dari jangkauan suaminya itu."Aku lagi dandan, jangan ganggu ah." kesal Ana karena sedari tadi Gerald terus menempel padanya dan tidak mau melepaskan pelukannya."Habisnya kamu wangi." ujar Gerald sambil terus menciumi leher Ana."Kamu aja yang bau karena belum mandi." ejek Ana."Kamu mau kemana sih pagi-pagi gini udah cantik aja." Gerald menatap dari pantulan cermin dengan pandangan tidak suka."Mau ke sekolahannya Aron ambil rapot." "Eve ikut?" Ana menggelengkan kepalanya. "Kamu hari ini liburkan, tolong jagain Eve ya." Gerald mencabikkan bibirnya dengan kesal. "Kenapa nggak diajak aja, masa aku harus nemen
Waktu berlalu dengan begitu cepat sampai sulit untuk menyadarinya. Hari demi hari terus berganti, bulan demi bulan terus berganti, hingga tahun demi tahun terus berganti. Sudah hampir tujuh tahun usia pernikahan Ana dan Gerald tanpa terasa. Tidak banyak yang berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja Gerald yang dulu telah berubah menjadi seorang Gerald yang lebih baik lagi. Hari-harinya dipenuhi oleh Ana yang selalu ada di sampingnya."Emmmh faster…" Ana terengah-engah dalam kegiatan panas mereka. "Jangan keluar dulu, tunggu aku." ujar Gerald sambil terus memompa tubuhnya."Aahhh akuhhh su daahh tidakkhh tahan." Ana memejamkan matanya menahan sesuatu yang ingin keluar dari bawah sana."Bersamahhh ahhhhkhhhkh." Gerald mengerang saat milik Ana Benar-benar menjepitnya dengan sangat erat.Cupp"Ahhh I love you." Gerald membaringkan badannya ke samping badan Ana dan menarik selimut untuk menut
"Arabella?" Rachel langsung berlari menghampiri Gerald begitu mendengar nama putrinya disebut oleh laki-laki itu."Dimana putriku? Katakan dimana putriku?" Rachel terlihat tak sabaran mendengar keberadaan putrinya itu. "Katakan dimana putriku!" Rachel berteriak seperti orang kesetanan karena tidak mendapat respon dari Gerald atas pertanyaannya."Arabella telah tiada." Ana menatap ke arah Gerald dengan pandangan tidak percaya. Ia tidak percaya jika laki-laki itu akan mengatakannya langsung tanpa berpikir panjang. Rachel tertawa keras mendengarnya. Sedangkan Peter terduduk di atas lantai karena terlalu terkejut."Tidak mungkin, putriku masih hidup hahahaha dia masih hidup. Kau berbohong!" Rachel mendorong tubuh Gerald hingga tubuh Gerald mundur beberapa langkah."Putriku masih hiduppp." Rachel berjalan kesana kemari dengan senyum dibibirnya."Kau tidak apa-apa?" Ana menanyakan kead
Ana menggeliat dalam tidurnya. Matanya masih ingin terpejam meski cahaya matahari berusaha menerobos kamarnya untuk mengganggu tidur nyenyaknya. Semalam ia baru tertidur pukul tiga pagi hingga akhirnya hari ini membuatnya ia bangun kesiangan. Untungnya hari ini hari minggu jadi Ana bisa bermalas-malasan di tempat tidurnya. Ana menepuk-nepuk samping tempat tidurnya. Ia tersenyum mengingat makan malam romantisnya dengan Gerald. Mereka sangat menikmatinya semalam. Mereka memakan steak, kemudian dilanjut berdansa di bawah sinar bulan, dan kemudian mereka melanjutkan kegiatan malam mereka dikamar.Wajah Ana memerah seperti tomat kala mengingat bagaimana ia menjadi sangat agresif semalam. Tidak, sepertinya sejak ia hamil ia menjadi lebih agresif ketika mereka melakukannya. Ana selalu ingin memimpin dan Gerald dengan senang hati memberikan kendali kepadanya."Morning honey." Cupp"Morning." "Kau masih ingin tidur?
Ana bergerak mendekat ke arah Gerald. Dipeluknya laki-laki itu dengan tulus. Ia tahu Gerald sebenarnya orang yang baik. Hanya saja karena hatinya tertutup oleh dendam membuatnya jadi seperti ini. Setiap orang memiliki kesempatan dalam merubah hidupnya menjadi lebih baik, dan Ana yakin Gerald akan menjadi orang yang lebih baik setelah ia menyadari semua kesalahannya. "Aku ingin menjadi seorang ayah yang dibanggakan oleh anakku dimasa depan, bukannya dibenci oleh anakku." gumam Gerald sambil terisak di pelukan Ana. Tangan Ana mengusap punggung Gerald untuk menenangkan suaminya itu. Ini bukan pertama kalinya bagi Ana melihat Gerald yang menangis. Tapi setiap Ana melihat Gerald menangis, ia seperti melihat sisi lain yang selama ini Gerald coba sembunyikan. Selama ini Gerald selalu terlihat galak, dingin, dan tegas, tapi sebenarnya Gerald memiliki sisi yang lembut juga."Terimakasih sudah mengatakan semuanya." ujar Ana sambil tersenyum. Ia menghargai keberanian Gerald yang mau berkata ju
Setelah makan malam Ana langsung pergi ke kamar. Ia langsung mengambil buku novel yang beberapa hari ini ia baca. Malam ini rencananya ia akan menamatkan novelnya itu. Hanya kurang empat bab maka satu buku novel berhasil ia tamatkan selama satu minggu. Ana tetap terfokus pada buku di tangannya ketika Gerald masuk kedalam kamar. Perempuan itu enggan melirik meski sebentar saja. Ana memang selalu begitu jika sudah asyik membaca, maka dunianya akan terfokus pada satu titik.Gerald berpura-pura mencari sesuatu di dekat Ana untuk menarik perhatian perempuan itu. Tapi sayangnya Ana tidak tertarik dengan apa yang Gerald lakukan. Gerald mendengus melihat Ana yang sibuk dengan buku novelnya. Gerald mengintip apa yang membuat Ana sampai begitu mengabaikannya. Gerald melihat buku novel yang Ana baca, tidak ada yang menarik hanya berisi tulisan yang berupa paragraf saja. Gerald menaiki tempat tidur dengan pelan. Ia dengan sengaja merebahkan kepalanya ke atas paha Ana. Dan benar yang ia lakukan l
Gerald berjalan menghampiri Ana. Satu tangannya langsung melingkar posessive di pinggang Ana. Dengan sengaja ia memanas-manasi Jane yang sedang menatap ke arah ia dan Ana. Gerald memang berniat mengusir Jane dari ruangannya. Jika perempuan itu tidak bisa diusir secara halus, maka Gerald akan menggunakan caranya sendiri untuk mengusir perempuan itu."Kau bisa pergi sekarang, atau perlu aku panggilkan satpam kesini?" ujar Gerald kepada Jane."Gak bisa Ge, ada yang mau aku bicarakan sama kamu." balas Jane yang tetap kekeh dengan pendiriannya."Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Ini terakhir kalinya kita bertemu dan terakhir kalinya saya melihat wajah kamu." ujar Gerald datar.Jane tercengang mendengar penuturan Gerald. "Maksud kamu apa?" "Kerjasama kita sudah selesai dan saya sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan kerjasama kita." jelas Gerald.Jane benar-benar terkejut mendengar keputusan Gerald yang tiba-tiba. Benar-benar sebuah kesialan untuknya, ia baru saja ingin memulai mend
"Nggak mungkin!" Jane menatap foto di depannya dengan pandangan tidak percaya. Selama dua hari ini ia menyuruh seorang mata-mata untuk mencari keberadaan Arabella. Dan alangkah terkejutnya saat mengetahui apa yang terjadi pada perempuan itu. Ia mendapati berita jika Arabella telah tiada. Dan orang yang telah membunuh Arabella adalah Gerald kakak tirinya sendiri. Wajah Jane berubah menjadi pucat, ia memikirkan bagaimana jika Gerald mengetahui kalau selama ini ia juga ikut terlibat membantu Arabella untuk menghancurkan hubungannya dengan Ana. Apa Gerald juga akan membunuhnya dan membakarnya seperti dia membunuh Arabella? Jika Gerald dengan mudahnya bisa membunuh adik tirinya sendiri yang memiliki ikatan darah dengannya, tentu saja Gerald akan dengan mudah membunuhnya bukan?Jane berjalan mondar-mandir memikirkan cara agar dirinya tidak ketahuan kalau ia juga terlibat. Ia menjentikkan jarinya, sebuah ide terlintas di kepalanya. Jika ia berhasil membuat Gerald kembali jatuh cinta padanya
"Bagaimana dok keadaan istri saya?" tanya Gerald dengan wajah ingin tahu."Bisa beritahu saya keluhan apa saja yang bu Ana rasakan?" tanya dokter perempuan itu.Benar, Gerald memang sengaja mencari dokter perempuan untuk memeriksa Ana. Padahal yang seharusnya saat ini bekerja adalah dokter laki-laki. Gerald keras kepala dan akhirnya ia menawarkan untuk membayar lima kali lipat dengan syarat jika dokter yang memeriksa Ana harus berjenis kelamin perempuan."Mual, pusing, lemas, tapi mual saya hanya air saja dok." keluh Ana.Dokter itu tersenyum penuh arti. "Untuk memastikan keadaan ibu Ana, saya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan dokter Hana." dokter tersebut menulis sesuatu di atas kertas yang entah berisi apa Ana sendiri sulit membacanya."Dokter Hana? Apa saya ada penyakit dalam dok? Apa saya akan di operasi?" tanya Ana dengan perasaan takut jika dirinya harus sampai di operasi.Gerald mengusap tangan Ana mencoba menenangkan perempuan itu. Ia juga jadi khawat