Gio memasuki sebuah rumah berukuran sedang dan sederhana. Gio menghela nafas melihat papanya yang sedang tertidur di lantai dengan beralaskan tikar tipis. Sebelumnya Gio belum pernah melihat papanya tidur dilantai seperti itu. Biasanya papanya itu tidur dengan nyaman di atas tempat tidur besar dan nyaman."Mama minta uang buat belanja buat makan besok." Rachel menodongkan tangannya meminta uang kepada Gio.Gio kembali menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Kemarin-kan aku udah kasih mama uang untuk empat hari kedepan." "Kamu cuman kasih uang seratus ribu untuk empat hari mana cukup. Buat Beli daging aja nggak cukup!" ujar Rachel dengan nada kesal.Gio mengusap wajahnya dengan kasar. "Ma, kehidupan kita nggak sama lagi kayak dulu. Aku harap mama bisa beradaptasi dengan hidup baru kita." ujar Gio menasehati mamanya.Rachel mendengus dan menatap Gio dengan kesal. "Kamu sama mama pelit banget! Giliran sama jalang itu kamu kasih semua yang dia minta!" yang dimaksud Rachel adalah Ana."Mam
"Apa yang kau lakukan!" Ana membelalakan matanya, se-ketika ia merasa ketakutan dan panik di waktu bersamaan.Gio masih bungkam dan memilih fokus dengan apa yang sedang ia lakukan sekarang. Gio menarik tali tambang di tangannya memutari tubuh Ana. Beberapa kali Ana berusaha untuk kabur, Gio kembali mendorong tubuh perempuan itu agar kembali duduk. Gio membuat simpul mati agar Ana susah melepaskan ikatannya. Gio tersenyum puas melihat hasil tangannya. Ia berhasil mengikat tubuh Ana di kursi kayu. Terlihat Ana kesulitan untuk bergerak. Mungkin jika Ana terus menerus menggerakkan badannya bisa saja itu akan melukai kulitnya."Gio lepaskan aku!" Ana masih berusaha melepaskan ikatan Gio di tubuhnya."Apa yang kau lakukan? Kenapa kau lakukan ini kepadaku?" mata Ana mulai berkaca-kaca. Ia tidak menyangka jika Gio tega melakukan ini kepadanya. Selama ini Ana berpikir jika Gio adalah laki-laki yang baik, tapi ternyata ia salah. "Bukankah kita berteman?" lirih Ana. Gio menyunggingkan senyum
Setelah Rachel memberitahu alamat keberadaan Ana sekarang, dengan cepat Gerald dan Kevin langsung bergerak menuju alamat rumah Ana. Ia harus memastikan jika alamat yang Rachel berikan kepadanya itu benar. Rachel memberikan alamat rumah yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Percaya tidak percaya Gerald mendatangi alamat itu. Sudah hampir sebulan Gerald mencari keberadaan Ana di seluruh sudut kota tetapi tak kunjung berhasil menemukannya. Dan tanpa disangka jika Ana masih berada di kota ini. Perempuan itu sama sekali tidak meninggalkan kota ini."Ini alamatnya tuan." ujar Kevin seraya menatap keluar jendela.Pantas saja Gerald tidak berhasil menemukan Ana. Rupanya perempuan itu tinggal di sebuah rumah kecil di belakang pertokoan. Gerald mengamati rumah itu dari luar. Terlihat minim penerangan dan lingkungannya juga sepi. Tak lama sebuah motor melewati mobilnya dan berhenti tepat di depan rumah yang diyakini adalah rumah Ana. Gerald menajamkan penglihatannya supaya bisa meliha
DorrrAna memejamkan matanya dengan tubuh bergetar. Ana tidak berani membuka matanya. Ia benar-benar merasa takut sekarang. Hingga Ana merasakan tali tambang yang mengikat di tubuhnya perlahan mengendur. Ana memberanikan diri untuk melihat siapa yang telah melepaskan ikatan dari tubuhnya. "Apa kau baik-baik saja? Apa ada yang terluka?" itulah pertanyaan yang Gerald lontarkan saat Ana berhasil membuka kedua matanya dengan badan yang masih bergetar ketakutan."Darah?" ujar Ana dengan bibir yang bergetar. Ana menatap tajam darah yang ada di pakaian Gerald.Itu bukan darah Gerald, melainkan darah Gio yang muncrat mengenai pakaian Gerald. Ana menutup mulutnya melihat Gio terbaring dengan banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Pistol yang dipegang oleh Gio untuk mencelakai Ana malah membuat laki-laki itu tertembak dengan pistolnya sendiri. Saat Gerald akan merebut pistol itu, tanpa sengaja Gio menarik pelatuknya dan saat itu pistol sedang menghadap ke arahnya hingga peluru pistol itu men
"Anak sialan! Beraninya kau membunuh putraku! Aku tidak akan membiarkanmu hidup dengan bahagia, kau akan mendapat balasan dari semua yang kau lakukan Gerald! Ingat itu!"Nafas Rachel memburu, ia langsung memarahi Gerald dengan semua rasa emosi yang menyergap pikirannya. "Teganya kau membunuh putraku! Aku akan membunuhmu Gerald!"Peter langsung merebut ponsel dari tangan istrinya dan mematikan sambungan teleponnya. Peter menatap iba istrinya yang terlihat menangis histeris. Peter juga merasa kehilangan putranya. "Saya mengerti bapak dan ibu merasa sangat kehilangan putra anda, saya turut berduka cita. Tapi mohon maaf pak, bu dimohon untuk sedikit tenang selama berada di rumah sakit." ujar suster yang sedari tadi menyaksikan Rachel yang terus memaki dan berteriak hingga mengganggu pengunjung lain. "Maaf sus." ujar Peter yang menahan malu karena tingkah istrinya.Peter menarik tubuh Rachel hingga berdiri dan menuntunnya untuk duduk di salah satu kursi. Tangannya menepuk punggung istri
Seorang gadis cantik dengan rambut sebahu terlihat melenggang melewati beberapa pria yang sedang menggodanya. Perempuan itu terlihat mengabaikan para laki-laki itu dan melewatinya begitu saja."Hai Bella." sapa seorang perempuan dengan rambut blonde kepada perempuan bernama Bella tersebut."Hai Emma." balas perempuan bernama Bella tersebut."Aku dengar jika kau akan kembali ke Indonesia hari ini, apa itu benar Bella?" tanya Emma dengan wajah sedihnya."Hmm, maafkan aku karena tidak langsung mengabarimu. Kau tahu orang tuaku mengabariku sangat mendadak dan aku sibuk mencari jadwal oenerbangan cepat untuk hari ini." ujar perempuan bernama Bella dengan wajah merasa bersalah."Apa kau butuh tumpangan? Aku bisa mengantarmu ke bandara." ujar Emma menawarkan tumpangan."Tidak, terimakasih. Aku sudah memesan taksi barusan, nah itu dia." Bella menunjuk sebuah taksi yang baru saja berhenti tepat di depan mereka berdua."Hati-hati, kita akan berpesta setelah kau kembali oke!" Emma memeluk Bella.
Seminggu berlalu, semua berjalan seperti biasanya. Masalah Gio, laki-laki itu sudah tenang di atas sana. Dan tentang keluarga Gio, Ana tidak tahu apa yang sedang mereka alami saat ini. Bahkan tidak ada laporan kepolisian yang datang ke rumah untuk kasus Gio. Dan hal baru yang Ana baru tahu adalah jika perempuan yang waktu itu pernah datang ke rumah Gerald dan mengaku sebagai ibunya itu ternyata adalah ibu Gio. Dan laki-laki paruh baya yang pernah ia temui di sebuah pesta itu adalah ayah kandung Gerald. Dan Ana terkejut mengetahui jika Gio adalah saudara tiri Gerald. Sejauh ini Ana hanya mengetahui tentang itu. Ana belum terlalu tahu banyak mengenai masa lalu laki-laki itu.Dan ada hal baru yang akhir-akhir ini menghantui tidur Ana. Yaitu mimpi buruk, beberapa kali saat malam Ana terus terbangun dari tidurnya karena mimpi buruk. Ingatan tentang kejadian malam itu saat Gio menyekapnya di gedung kosong dan saat Gio tertembak, semua itu menghantui mimpi Ana. "Huh huh huh." Nafas Ana me
"Selamat pagi non, tuan." sapa bi Asri dengan senyum ramahnya seperti biasa."Pagi bi." balas Ana sambil tersenyum. Sedangkan Gerald hanya berdehem membalas sapaan bi Asri."Emm tuan sama non Ana mau bibi bikinin sarapan apa untuk hari ini?" "Aku apa aja bi." Ana memang bukan orang yang memilih-milih dalam makanan, dia bisa makan segala jenis makanan apalagi saat ia sangat lapar."Bibi bisa belanja bulanan hari ini?" tanya Gerald tiba-tiba. Tentu saja pertanyaan Gerald membuat Ana dan bi Asri menatap Gerald dengan kerutan di dahi mereka. "Tapi kebutuhan bulan ini sudah__baik tuan." bi Asri langsung pergi untuk berbelanja begitu ia mendapati tatapan tajam dari tuannya.Padahal kebutuhan dapur untuk bulan ini baru saja bi Asri beli dan masih sangat komplit di dapur. Tapi mau tidak mau bi Asri harus menurut perintah dari tuannya itu."Kenapa bi Asri disuruh pergi? Dia belum bikin sarapannya loh?" tanya Ana ke Gerald yang dibalas Gerald dengan mengedikkan bahunya acuh.Ana memajukkan bi