Seminggu berlalu, semua berjalan seperti biasanya. Masalah Gio, laki-laki itu sudah tenang di atas sana. Dan tentang keluarga Gio, Ana tidak tahu apa yang sedang mereka alami saat ini. Bahkan tidak ada laporan kepolisian yang datang ke rumah untuk kasus Gio. Dan hal baru yang Ana baru tahu adalah jika perempuan yang waktu itu pernah datang ke rumah Gerald dan mengaku sebagai ibunya itu ternyata adalah ibu Gio. Dan laki-laki paruh baya yang pernah ia temui di sebuah pesta itu adalah ayah kandung Gerald. Dan Ana terkejut mengetahui jika Gio adalah saudara tiri Gerald. Sejauh ini Ana hanya mengetahui tentang itu. Ana belum terlalu tahu banyak mengenai masa lalu laki-laki itu.Dan ada hal baru yang akhir-akhir ini menghantui tidur Ana. Yaitu mimpi buruk, beberapa kali saat malam Ana terus terbangun dari tidurnya karena mimpi buruk. Ingatan tentang kejadian malam itu saat Gio menyekapnya di gedung kosong dan saat Gio tertembak, semua itu menghantui mimpi Ana. "Huh huh huh." Nafas Ana me
"Selamat pagi non, tuan." sapa bi Asri dengan senyum ramahnya seperti biasa."Pagi bi." balas Ana sambil tersenyum. Sedangkan Gerald hanya berdehem membalas sapaan bi Asri."Emm tuan sama non Ana mau bibi bikinin sarapan apa untuk hari ini?" "Aku apa aja bi." Ana memang bukan orang yang memilih-milih dalam makanan, dia bisa makan segala jenis makanan apalagi saat ia sangat lapar."Bibi bisa belanja bulanan hari ini?" tanya Gerald tiba-tiba. Tentu saja pertanyaan Gerald membuat Ana dan bi Asri menatap Gerald dengan kerutan di dahi mereka. "Tapi kebutuhan bulan ini sudah__baik tuan." bi Asri langsung pergi untuk berbelanja begitu ia mendapati tatapan tajam dari tuannya.Padahal kebutuhan dapur untuk bulan ini baru saja bi Asri beli dan masih sangat komplit di dapur. Tapi mau tidak mau bi Asri harus menurut perintah dari tuannya itu."Kenapa bi Asri disuruh pergi? Dia belum bikin sarapannya loh?" tanya Ana ke Gerald yang dibalas Gerald dengan mengedikkan bahunya acuh.Ana memajukkan bi
Gerald terbangun dari tidurnya dengan perasaan bahagia. Suara kicauan burung yang bertengger di pagar teras kamarnya menambah kesan alam. Gerald menghirup udara di pagi hari dengan begitu rakusnya. Ia tidak sabar melakukan aktivitas weekendnya kali ini. Hari ini ia berencana membawa Ana untuk jalan-jalan ke mall."Apa dia sudah bangun?" gumam Gerald sambil melirik jam di atas nakas yang menunjukkan pukul setengah enam pagi.Gerald segera beranjak dari tempat tidurnya dan kemudian mencari keberadaan Ana. Sialnya semalam Gerald tidak berhasil untuk tidur di kamar perempuan itu. Ana seakan tahu jika dirinya akan menerobos masuk ke dalam kamar perempuan itu tengah malam dan alhasil perempuan itu mengunci pintu kamarnya agar Gerald tidak bisa masuk. "Selamat pagi tuan." sapa Asti sambil menundukkan kepalanya. Gerald melenggang begitu saja tanpa membalas sapaan Asti.Gerald mengetuk pintu kamar Ana beberapa kali tapi tak kunjung dibuka oleh Ana. Gerald yang melihat bahwa kamar Ana tidak te
"Ini dapur, mulai sekarang kau harus melayani karyawan yang ada di lantai ini. Tidak terlalu banyak karyawan yang ada di lantai ini, tapi disini merupakan tempat para petinggi-petinggi perusahaan. Jadi jaga ucapan dan tingkah lakumu." ujar perempuan yang diketahui adalah seorang HRD perusahaan."Baik bu." "Baiklah, kau bisa mulai bekerja. Mungkin kau bisa mulai dengan membersihkan dapur ini." "Hai," sapa seorang perempuan dengan pakaian OG."Hai,""Kayaknya lo anak baru ya, soalnya gue baru lihat lo disini. Kenalin gue Dinda." ujar perempuan bernama Dinda sambil mengulurkan tangannya."Arabella, panggil aja Bella." balas Bella dengan senyum lebarnya."Oke Bella, mulai sekarang kita teman." Setelah saling berkenalan, Dinda ikut membantu Bella membersihkan dapur."Oh iya boleh tanya?" tanya Bella membuka kembali obrolan dengan Dinda."Boleh, mau tanya apa? Asal jangan tanya gue punya pacar atau enggak, gue sensitif kalau masalah itu hahahaha." ujar Dinda sambil diselingi dengan canda
"Kenapa kita kesini?" tanya Ana dengan pandangan bingung.Gerald membawa Ana ke sebuah restoran mewah yang hanya didatangi oleh orang-orang berkelas tinggi. Dan Ana tentu tahu seberapa mahalnya menu makanan di restoran ini. Bahkan untuk menginjakkan kakinya ke dalam restoran Ana merasa takut. Bagaimana jika ia tidak sengaja menggores lantai marmer restoran dengan sepatu heels yang ia pakai. Mana bisa ia membayar kerugiannya. "Tentu saja untuk makan." balas Gerald sambil memutar matanya dengan malas.Ana menghentikan langkahnya di depan pintu masuk restoran. Gerald menggeram dengan tingkah Ana hari ini yang menguras kesabarannya. Tidak bisakah Ana bersikap penurut untuk hari ini saja? Jangan sampai Ana mengacaukan rencana yang sudah Gerald buat."Apa lagi sekarang Ana!" lama-lama jika emosi Gerald sudah memuncak ia akan langsung menikahi perempuan itu sekarang juga.Ana menatap Gerald dengan pandangan seakan meminta Gerald membaca isi pikirannya. "Bagaimana jika nanti Gerald menyuruh
"Menikahlah denganku!" "Apa!" Ana menutup mulutnya yang tadi sempat berteriak karena saking terkejutnya. Ana mencubit lengannya untuk memastikan jika ini bukan mimpi. "Awwh." Ana meringis kesakitan dan ternyata ini bukan mimpi. Gerald benar-benar sedang melamarnya.Ana memutar otak bagaimana ia bisa menolak lamaran Gerald dengan alasan yang logis. "Akuu__." Ana meremas ujung baju yang ia pakai."Aku tidak bisa menerimanya." ujar Ana dengan suara cepat sampai membuat Gerald harus terdiam sebentar untuk mencerna kalimat Ana."Apa! Kau menolakku! Beraninya kau menolakku Ana!" Gerald dengan rasa malunya bangkit dari tempat berlututnya. Ia tersenyum tak percaya jika Ana akan menolak dan mempermalukannya di depan pelayan restoran. "Sepertinya aku harus pulang sekarang." Ana bangkit dari duduknya. Ia harus segera pergi dari tempat ini sebelum Gerald akan memakannya hidup-hidup.Belum sempat Ana melarikan diri, Gerald sudah terlebih dahulu mencekal tangannya dan menariknya dengan cukup k
Gerald mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan sinar matahari yang masuk ke dalam matanya. Tatapannya menyusuri sudut kamar. Tatapannya terpaku pada sosok yang ada di bingkai foto besar yang terpajang di depannya. Foto ibu dan adiknya yang diambil satu tahun sebelum kematian adiknya. Dan foto itu menjadi foto terakhir yang Gerald punya. Semalam Gerald benar-benar menginap di rumah ibunya. Ia bahkan tertidur di kamar milik ibunya. Gerald menatap jam dinding yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Gerald segera beranjak dari tempat tidur. Tangannya meraih ponsel dan mengetikkan sesuatu disana. Setelah mengirimkan pesan kepada seseorang, Gerald beranjak masuk ke kamar mandi. Tok tok"Sir, saya membawa pakaian yang anda minta." ujar Jack dari balik pintu kamar."Letakkan diatas tempat tidur!" "Baik sir." Jack membuka pintu kamar dan meletakkan pakaian Gerald ke atas tempat tidur dan setelah itu kembali keluar.Gerald keluar dari kamar mandi dengan keadaan
"Sedang apa kau disana?" resepsionis di depan Ana berjalan mendekati seorang perempuan yang berdiri di depan ruangan Gerald. "Sa_ya seda_ng membersihkan kaca bu." dalih perempuan berseragam OG tersebut. Ana mengerutkan keningnya mendengar kebohongan perempuan OG tersebut. Jelas-jelas ia sudah ketahuan sedang mengintip ruangan Gerald. Bahkan Ana juga melihatnya sendiri. "Jelas-jelas saya melihat kamu mengintip ruangan CEO dengan mata kepala saya sendiri!" "Saya bersumpah bu! Saya tidak mengintip ruangan ini! Mana berani saya melakukannya." wajah perempuan itu terlihat pucat pasi seperti mayat. Mungkin karena ia ketahuan melakukan kejahatan."Kembali ke tempatmu! Awas saja jika sampai ketahuan lagi mengintip ruangan CEO! Saya nggak akan segan-segan laporkan kamu ke bos!" "Terimakasih bu." Entah hanya perasaan Ana atau memang perempuan berseragam OG itu menatapnya dengan tajam saat d
"Sayang." Gerald menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Ana. Sesekali ia menghisap atau menggigit gemas leher Ana. Ana memutar bola matanya jengah. Sudah kelima kalinya Gerald hanya memanggilnya tanpa mengatakan apa-apa. Ana menjauhkan tubuhnya dari jangkauan suaminya itu."Aku lagi dandan, jangan ganggu ah." kesal Ana karena sedari tadi Gerald terus menempel padanya dan tidak mau melepaskan pelukannya."Habisnya kamu wangi." ujar Gerald sambil terus menciumi leher Ana."Kamu aja yang bau karena belum mandi." ejek Ana."Kamu mau kemana sih pagi-pagi gini udah cantik aja." Gerald menatap dari pantulan cermin dengan pandangan tidak suka."Mau ke sekolahannya Aron ambil rapot." "Eve ikut?" Ana menggelengkan kepalanya. "Kamu hari ini liburkan, tolong jagain Eve ya." Gerald mencabikkan bibirnya dengan kesal. "Kenapa nggak diajak aja, masa aku harus nemen
Waktu berlalu dengan begitu cepat sampai sulit untuk menyadarinya. Hari demi hari terus berganti, bulan demi bulan terus berganti, hingga tahun demi tahun terus berganti. Sudah hampir tujuh tahun usia pernikahan Ana dan Gerald tanpa terasa. Tidak banyak yang berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja Gerald yang dulu telah berubah menjadi seorang Gerald yang lebih baik lagi. Hari-harinya dipenuhi oleh Ana yang selalu ada di sampingnya."Emmmh faster…" Ana terengah-engah dalam kegiatan panas mereka. "Jangan keluar dulu, tunggu aku." ujar Gerald sambil terus memompa tubuhnya."Aahhh akuhhh su daahh tidakkhh tahan." Ana memejamkan matanya menahan sesuatu yang ingin keluar dari bawah sana."Bersamahhh ahhhhkhhhkh." Gerald mengerang saat milik Ana Benar-benar menjepitnya dengan sangat erat.Cupp"Ahhh I love you." Gerald membaringkan badannya ke samping badan Ana dan menarik selimut untuk menut
"Arabella?" Rachel langsung berlari menghampiri Gerald begitu mendengar nama putrinya disebut oleh laki-laki itu."Dimana putriku? Katakan dimana putriku?" Rachel terlihat tak sabaran mendengar keberadaan putrinya itu. "Katakan dimana putriku!" Rachel berteriak seperti orang kesetanan karena tidak mendapat respon dari Gerald atas pertanyaannya."Arabella telah tiada." Ana menatap ke arah Gerald dengan pandangan tidak percaya. Ia tidak percaya jika laki-laki itu akan mengatakannya langsung tanpa berpikir panjang. Rachel tertawa keras mendengarnya. Sedangkan Peter terduduk di atas lantai karena terlalu terkejut."Tidak mungkin, putriku masih hidup hahahaha dia masih hidup. Kau berbohong!" Rachel mendorong tubuh Gerald hingga tubuh Gerald mundur beberapa langkah."Putriku masih hiduppp." Rachel berjalan kesana kemari dengan senyum dibibirnya."Kau tidak apa-apa?" Ana menanyakan kead
Ana menggeliat dalam tidurnya. Matanya masih ingin terpejam meski cahaya matahari berusaha menerobos kamarnya untuk mengganggu tidur nyenyaknya. Semalam ia baru tertidur pukul tiga pagi hingga akhirnya hari ini membuatnya ia bangun kesiangan. Untungnya hari ini hari minggu jadi Ana bisa bermalas-malasan di tempat tidurnya. Ana menepuk-nepuk samping tempat tidurnya. Ia tersenyum mengingat makan malam romantisnya dengan Gerald. Mereka sangat menikmatinya semalam. Mereka memakan steak, kemudian dilanjut berdansa di bawah sinar bulan, dan kemudian mereka melanjutkan kegiatan malam mereka dikamar.Wajah Ana memerah seperti tomat kala mengingat bagaimana ia menjadi sangat agresif semalam. Tidak, sepertinya sejak ia hamil ia menjadi lebih agresif ketika mereka melakukannya. Ana selalu ingin memimpin dan Gerald dengan senang hati memberikan kendali kepadanya."Morning honey." Cupp"Morning." "Kau masih ingin tidur?
Ana bergerak mendekat ke arah Gerald. Dipeluknya laki-laki itu dengan tulus. Ia tahu Gerald sebenarnya orang yang baik. Hanya saja karena hatinya tertutup oleh dendam membuatnya jadi seperti ini. Setiap orang memiliki kesempatan dalam merubah hidupnya menjadi lebih baik, dan Ana yakin Gerald akan menjadi orang yang lebih baik setelah ia menyadari semua kesalahannya. "Aku ingin menjadi seorang ayah yang dibanggakan oleh anakku dimasa depan, bukannya dibenci oleh anakku." gumam Gerald sambil terisak di pelukan Ana. Tangan Ana mengusap punggung Gerald untuk menenangkan suaminya itu. Ini bukan pertama kalinya bagi Ana melihat Gerald yang menangis. Tapi setiap Ana melihat Gerald menangis, ia seperti melihat sisi lain yang selama ini Gerald coba sembunyikan. Selama ini Gerald selalu terlihat galak, dingin, dan tegas, tapi sebenarnya Gerald memiliki sisi yang lembut juga."Terimakasih sudah mengatakan semuanya." ujar Ana sambil tersenyum. Ia menghargai keberanian Gerald yang mau berkata ju
Setelah makan malam Ana langsung pergi ke kamar. Ia langsung mengambil buku novel yang beberapa hari ini ia baca. Malam ini rencananya ia akan menamatkan novelnya itu. Hanya kurang empat bab maka satu buku novel berhasil ia tamatkan selama satu minggu. Ana tetap terfokus pada buku di tangannya ketika Gerald masuk kedalam kamar. Perempuan itu enggan melirik meski sebentar saja. Ana memang selalu begitu jika sudah asyik membaca, maka dunianya akan terfokus pada satu titik.Gerald berpura-pura mencari sesuatu di dekat Ana untuk menarik perhatian perempuan itu. Tapi sayangnya Ana tidak tertarik dengan apa yang Gerald lakukan. Gerald mendengus melihat Ana yang sibuk dengan buku novelnya. Gerald mengintip apa yang membuat Ana sampai begitu mengabaikannya. Gerald melihat buku novel yang Ana baca, tidak ada yang menarik hanya berisi tulisan yang berupa paragraf saja. Gerald menaiki tempat tidur dengan pelan. Ia dengan sengaja merebahkan kepalanya ke atas paha Ana. Dan benar yang ia lakukan l
Gerald berjalan menghampiri Ana. Satu tangannya langsung melingkar posessive di pinggang Ana. Dengan sengaja ia memanas-manasi Jane yang sedang menatap ke arah ia dan Ana. Gerald memang berniat mengusir Jane dari ruangannya. Jika perempuan itu tidak bisa diusir secara halus, maka Gerald akan menggunakan caranya sendiri untuk mengusir perempuan itu."Kau bisa pergi sekarang, atau perlu aku panggilkan satpam kesini?" ujar Gerald kepada Jane."Gak bisa Ge, ada yang mau aku bicarakan sama kamu." balas Jane yang tetap kekeh dengan pendiriannya."Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Ini terakhir kalinya kita bertemu dan terakhir kalinya saya melihat wajah kamu." ujar Gerald datar.Jane tercengang mendengar penuturan Gerald. "Maksud kamu apa?" "Kerjasama kita sudah selesai dan saya sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan kerjasama kita." jelas Gerald.Jane benar-benar terkejut mendengar keputusan Gerald yang tiba-tiba. Benar-benar sebuah kesialan untuknya, ia baru saja ingin memulai mend
"Nggak mungkin!" Jane menatap foto di depannya dengan pandangan tidak percaya. Selama dua hari ini ia menyuruh seorang mata-mata untuk mencari keberadaan Arabella. Dan alangkah terkejutnya saat mengetahui apa yang terjadi pada perempuan itu. Ia mendapati berita jika Arabella telah tiada. Dan orang yang telah membunuh Arabella adalah Gerald kakak tirinya sendiri. Wajah Jane berubah menjadi pucat, ia memikirkan bagaimana jika Gerald mengetahui kalau selama ini ia juga ikut terlibat membantu Arabella untuk menghancurkan hubungannya dengan Ana. Apa Gerald juga akan membunuhnya dan membakarnya seperti dia membunuh Arabella? Jika Gerald dengan mudahnya bisa membunuh adik tirinya sendiri yang memiliki ikatan darah dengannya, tentu saja Gerald akan dengan mudah membunuhnya bukan?Jane berjalan mondar-mandir memikirkan cara agar dirinya tidak ketahuan kalau ia juga terlibat. Ia menjentikkan jarinya, sebuah ide terlintas di kepalanya. Jika ia berhasil membuat Gerald kembali jatuh cinta padanya
"Bagaimana dok keadaan istri saya?" tanya Gerald dengan wajah ingin tahu."Bisa beritahu saya keluhan apa saja yang bu Ana rasakan?" tanya dokter perempuan itu.Benar, Gerald memang sengaja mencari dokter perempuan untuk memeriksa Ana. Padahal yang seharusnya saat ini bekerja adalah dokter laki-laki. Gerald keras kepala dan akhirnya ia menawarkan untuk membayar lima kali lipat dengan syarat jika dokter yang memeriksa Ana harus berjenis kelamin perempuan."Mual, pusing, lemas, tapi mual saya hanya air saja dok." keluh Ana.Dokter itu tersenyum penuh arti. "Untuk memastikan keadaan ibu Ana, saya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan dokter Hana." dokter tersebut menulis sesuatu di atas kertas yang entah berisi apa Ana sendiri sulit membacanya."Dokter Hana? Apa saya ada penyakit dalam dok? Apa saya akan di operasi?" tanya Ana dengan perasaan takut jika dirinya harus sampai di operasi.Gerald mengusap tangan Ana mencoba menenangkan perempuan itu. Ia juga jadi khawat