Gerald mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan sinar matahari yang masuk ke dalam matanya. Tatapannya menyusuri sudut kamar. Tatapannya terpaku pada sosok yang ada di bingkai foto besar yang terpajang di depannya. Foto ibu dan adiknya yang diambil satu tahun sebelum kematian adiknya. Dan foto itu menjadi foto terakhir yang Gerald punya. Semalam Gerald benar-benar menginap di rumah ibunya. Ia bahkan tertidur di kamar milik ibunya. Gerald menatap jam dinding yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Gerald segera beranjak dari tempat tidur. Tangannya meraih ponsel dan mengetikkan sesuatu disana. Setelah mengirimkan pesan kepada seseorang, Gerald beranjak masuk ke kamar mandi. Tok tok"Sir, saya membawa pakaian yang anda minta." ujar Jack dari balik pintu kamar."Letakkan diatas tempat tidur!" "Baik sir." Jack membuka pintu kamar dan meletakkan pakaian Gerald ke atas tempat tidur dan setelah itu kembali keluar.Gerald keluar dari kamar mandi dengan keadaan
"Sedang apa kau disana?" resepsionis di depan Ana berjalan mendekati seorang perempuan yang berdiri di depan ruangan Gerald. "Sa_ya seda_ng membersihkan kaca bu." dalih perempuan berseragam OG tersebut. Ana mengerutkan keningnya mendengar kebohongan perempuan OG tersebut. Jelas-jelas ia sudah ketahuan sedang mengintip ruangan Gerald. Bahkan Ana juga melihatnya sendiri. "Jelas-jelas saya melihat kamu mengintip ruangan CEO dengan mata kepala saya sendiri!" "Saya bersumpah bu! Saya tidak mengintip ruangan ini! Mana berani saya melakukannya." wajah perempuan itu terlihat pucat pasi seperti mayat. Mungkin karena ia ketahuan melakukan kejahatan."Kembali ke tempatmu! Awas saja jika sampai ketahuan lagi mengintip ruangan CEO! Saya nggak akan segan-segan laporkan kamu ke bos!" "Terimakasih bu." Entah hanya perasaan Ana atau memang perempuan berseragam OG itu menatapnya dengan tajam saat d
Ana mengintip beberapa kali ke arah ruang kerja Gerald. Pintu ruang kerja Gerald memang sedikit terbuka sehingga ia bisa melihat kegiatan Gerald dari celah pintu tersebut. Sejak Gerald bertemu dengan ayahnya di kantor, Ana merasa jika perasaan laki-laki itu sedang buruk. "Non Ana kenapa cuman berdiri disana, lebih baik buatkan sesuatu untuk tuan agar mood tuan menjadi lebih baik." ujar bi Asri yang juga sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Ana. Bi Asri dibuat gemas dengan tingkah Ana yang terus mengintip gerald dari luar ruangan. Ana menggelengkan kepalanya. "Enggak ah bi, takut." Ana pun melangkah mendekati bi Asri. "Bi, boleh tanya?" "Boleh atuh non, mau tanya apa pasti bibi jawab." "Hubungan Gerald dan ayahnya memang enggak baik ya bi?" Wajah bi Asri tiba-tiba membeku mendengar pertanyaan Ana. Sebelumnya tidak ada yang berani membahas tentang masalah ini di rumah ini. Karena jika Gerald sam
Ana meregangkan tubuhnya yang terasa sakit semua. Kejadian itu kembali terulang. Semalam Ana benar-benar melakukannya lagi bersama Gerald. Jika ingat benar-benar membuatnya hampir gila. "Kau sudah bangun?" Gerald memiringkan tubuhnya menghadap Ana. Satu tangannya menumpu kepalanya. Senyum tipis tercetak jelas di bibirnya.Ana menarik selimutnya dan memastikan Gerald tidak bisa melihat tubuhnya yang terbuka. Wajah Ana terasa panas disuguhkan pemandangan seperti ini. Bayangkan saja, Gerald menghadap ke arahnya dengan dada shirtless Gerald yang terpampang nyata di depan matanya. Dan jangan lupakan senyum tipis yang laki-laki itu perlihatkan. Ana seperti melihat sebuah pelangi saat Gerald tersenyum tipis ke arahnya. Ya itu karena Gerald memang jarang tersenyum ataupun tertawa. Tapi jika diingat akhir-akhir ini ia sering melihat Gerald menunjukkan senyumnya. "Mmm." Ana melirikkan matanya kesana kemari, yang terpenting ia tidak bertatapan langsung dengan Gerald.Gerald memajukkan tubuhnya
"Kau sudah menyiapkan semuanya?" "Sudah sir, saya sudah menyiapkan semuanya. Anda hanya tinggal datang ke butik hari ini dengan nona." Gerald melepaskan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Menjadi CEO di sebuah perusahaan besar bukanlah perkara yang mudah. Semakin besar perusahaan yang ia miliki, semakin besar juga tanggung jawab yang harus ia jalani."Bagus, bagaimana dengan pencuri itu? Kau sudah berhasil menemukan siapa orangnya?" sudah sepuluh hari berlalu dan Gerald belum berhasil mendapatkan pencuri itu. Pencuri itu benar-benar sangat licik. "Saya akan segera mencari perempuan yang mencuri dokumen tersebut sir.""Hmm, kau handel rapat hari ini, aku ada urusan lain." Gerald bangkit dari duduknya dan mengambil jas yang tersampir di kursi kerjanya. Gerald mengendarai mobilnya sendiri sekarang. Dengan kecepatan sedang Gerald mengendarai mobilnya menuju rumah. Ia tidak tahu bagaimana
"Sesuai kesepakatan, berikan aku dua ratus juta." perempuan itu mengulurkan tangannya ke hadapan laki-laki berjas hitam di depannya.Laki-laki berjas itu tersenyum tipis menatap perempuan angkuh di depannya. Kemudian tangannya mengambil sebuah koper berisi uang yang sudah disiapkan. Ia membuka isi koper tersebut di depan perempuan itu. Mata perempuan itu berbinar melihat koper berisi uang di depannya. Tangannya terulur untuk meraih uang di depannya. Cepat-cepat laki-laki itu menarik koper menjauh dari hadapan si wanita."Berikan dulu dokumennya baru kau bisa mendapatkan uangmu." ujar si pria mengingatkan perempuan di depannya.Tanpa berpikir panjang perempuan itu langsung memberikan dokumen yang ia bawa dan segera merampas koper berisi uang dari tangan laki-laki di depannya. Ia memeluk koper itu dengan sangat erat seakan takut jika koper itu kembali diambil lagi darinya."Kau yakin tidak akan menyesalinya? Kau me
Hari pernikahan tiba, Ana terlihat sangat cantik dengan gaun putih yang melekat sempurna di tubuhnya. Gerald juga tak kalah menawan dengan tuxedo hitam yang membalut tubuh kekarnya. Satu persatu tamu mulai berdatangan dan mengucapkan selamat. Ana terus memasang wajah bahagia di hadapan para tamu yang hadir. Seratus persen tamu yang datang tidak ada yang Ana kenal. Ya, semua tamu yang datang ke pernikahan mereka adalah rekan bisnis Gerald. Beberapa tamu terlihat bercengkrama satu sama lain dan ada juga yang terlihat sedang menikmati hidangan yang disajikan. Ana bisa melihat semuanya dari atas panggung. "Apa masih lama?" Ana mendongakkan kepalanya menatap Gerald yang berdiri di sampingnya. "Hmm." balas Gerald singkat."Aku ingin istirahat." Ana menghembuskan nafas lelahnya. Senyum yang sedari tadi mengembang sempurna kini sudah hilang entah kemana. Terlihat sekali dari raut wajah Ana jika perempuan itu sudah benar-benar kelelahan.Gerald menatap Ana dengan pandangan kasihan. Ia sendi
Ingin rasanya Ana berteriak sekencang-kencangnya. Ia meratapi koper kecil miliknya__ bukan-bukan mungkin koper ini milik orang lain. Ana tidak percaya pakaiannya yang sudah dikemas dengan rapi entah hilang kemana. Dan lebih parahnya sekarang koper miliknya berisi lingerie dengan berbagai warna dan model. Ana mengambil salah satu lingerie berwarna merah menyala yang terlihat sangat tidak layak dipakai. Lingerie merah itu sangat tipis dan transparan. Ana tidak habis pikir jika ia memakai pakaian ini pasti keesokan harinya ia akan masuk angin. Pakaian yang seharusnya menghangatkan tubuh malah membuat tubuh masuk angin. Ana menghempaskan lingerie merah di tangannya dengan tatapan geli. Segera ia menutup kembali koper berwarna pink itu dan menaruhnya di belakang pintu kamar mandi. Ana kembali mengeratkan kimono di tubuhnya dan memastikan jika tali kimononya benar-benar terikat kencang. Ana tidak punya pilihan, malam ini sepertinya ia harus tidur dengan kimono hotel.Ana melangkah keluar