“Hai, Dis.” Gendis menoleh ketika mendengar panggilan seseorang dari arah belakang. Senyumnya kembali merekah saat melihat siapa orang itu.“Mas David? Ya ampun, Mas. Kok kita bisa ketemu di sini? Kebetulan banget,” sambut Gendis. Ia benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan teman laki-lakinya itu.“Jodoh kali, Dis.”“Mas David bisa aja.”Kalimat yang meluncur dari mulut David, Gendis terima sebagai suatu candaan. Akan tetapi, berbeda dengan wanita itu, David justru mengamini ucapannya. Salah memang mengharapkan istri orang. Namun, rasa yang ia pendam untuk Gendis merebak kembali saat pertama kali bertemu lagi kemarin.Gendis tertawa dengan renyah, sehingga mata David tidak pernah lepas memandang wajah wanita itu. Senyum serta tawa Gendis dapat melambungkan jiwa David serta sebagai penyejuk hatinya yang mengering bak mata air di Padang tandus. Menjadikannya sebagai candu, membuat David selalu dilahap kerinduan akan sosok bidadari hatinya tersebut.“Mas David kok bisa ada di sini
Damar terus saja menghubungi nomor yang tertera di layar ponselnya. Berulang kali ia terus menekan tombol panggilan tersebut, tetapi tetap tidak diangkat oleh seseorang di seberang sana. Seorang pria yang telah mengirimkan sebuah rekaman antara Damar dan Vivian di kamar mandi. Sebuah adegan percakapan serta sesuatu yang tidak senonoh di dalamnya.“Sh*t!” umpat Damar, merasa geram karena dirinya telah dipermainkan oleh seseorang yang sama sekali pria itu tidak kenal.“Bagaimana mungkin orang ini memiliki rekamanku bersama Vivian? Siapa sebenarnya dia dan apa motif dibalik melakukan ini semua? Apa ... jangan-jangan dia ingin memerasku?” gumam Damar.Pria itu terus bolak-balik sambil memikirkan cara untuk menghubungi orang yang sedang menerornya. Ia takut Gendis akan mengetahui segala rahasia yang selama ini pria itu tutupi. Apalagi kalau sampai berita ini tersebar, bisa hancur reputasinya sebagai pengusaha yang bersih serta terkenal setia terhadap istri.Damar gelisah di lorong sebuah k
“Mas, aku minta maaf ada urusan mendesak. Lain kali kita ketemu lagi dan meneruskan pembicaraan kita.” Tanpa mendengarkan jawaban dari David, wanita itu gegas berlari dan mencari sebuah taksi untuk mengantarnya ke suatu tempat. Melihat Gendis yang berlari, David segera menyusul di belakangnya. Ia khawatir setelah melihat raut wajah Gendis yang sepertinya sangat terlihat memerah seolah menahan amarah.Pria itu dapat melihat Gendis sedang menunggu taksi lewat. Namun, tidak ada satu pun yang lewat membuat David berinisiatif untuk memberikan tumpangan kepada Gendis. Ia gegas mengambil mobilnya dari tempat parkir dan menghentikan kendaraannya di depan Gendis berada. Setelah membunyikan klakson, David membuka kaca mobilnya.“Dis, apa perlu tumpangan? Biar kuantar ke tempat tujuan.” Namun, Gendis menggeleng, merasa tidak enak jika harus merepotkan David. Lagi pula, ia tidak ingin orang lain tahu masalah rumah tangganya.“Makasih, Mas. Tapi, aku tunggu taksi yang lewat aja,” jawab Gendis m
Bab 16. 1928 kataHappy reading 💕Damar kembali berlutut di depan sang istri dan langsung menggenggam tangannya. Namun, Gendis terus saja bergeming seolah tidak mendengar sedikit pun perkataan sang suami. Akan tetapi, ucapan Gendis selanjutnya membuat Damar mendongakkan kepala dan menatap tajam sang istri.“Mas aku minta tolong untuk menceraikanku saat ini juga.”Damar membelalakkan matanya. Hal yang ditakutkan pria itu terjadi juga. Gendis meminta cerai, sedangkan pria itu tidak mungkin melepaskan sang istri. Jika, itu terjadi, berarti dia harus siap melepaskan segalanya. Jabatan, harta, dan dengan begitu perusahaan miliknya yang akan goyah. Bagaimana kalau Gendis menarik saham miliknya serta kakak ipar Damar.“Dis, jangan seperti ini. Mas minta maaf. Mas khilaf dan janji enggak akan mengulanginya lagi,” ratap Damar, mencoba meyakinkan Gendis untuk memikirkan kembali keputusannya.“Sudah berapa lama Mas memiliki hubungan dengan Vivian?” tanya Gendis masih menatap kosong ke depan tan
Gendis memasuki pekarangan rumah kakaknya, Dion. Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, wanita itu gegas berjalan sambil menggeret koper miliknya.Selanjutnya, ia mengetuk pintu dan menampilkan Pak Joko yang membukakan pintu rumah Dion, sopir di rumah itu.“Non Gendis ke sini? Lho, kok bawa koper gede banget?” tanya Pak Joko memang sudah akrab dengan keluarga ini layaknya saudara.Gendis tersenyum sendu mendengar pertanyaan Pak Joko. Pria paruh baya itu mengerti, sepertinya ada hal yang tidak beres terhadap adik majikannya. Sehingga, membuat ia mengalihkan pembicaraan ke yang lain.“Lebih baik bapak yang bawa Non, kopernya terlihat berat sekali. Kasihan Non Arum kesusahan apalagi Non kecil kan lagi hamil.”“Makasih, Pak. Oh iya, Mas Dion di mana?” tanya Gendis mengenai kakak keduanya.“Lagi di teras belakang, Non, sedang baca koran.”Gendis menemui kakaknya yang tengah menikmati suasana pagi dengan memandang taman sambil memakan camilan serta membaca koran. Wanita itu memeluk dari be
Bab 18.Tangan Gendis mengepal saat mendengarkan pengakuan mantan asisten rumah tangga sekaligus orang yang layaknya ibu kedua dari wanita itu. Ia tidak menyangka, kematian kedua orang tuanya setragis itu. Yang Gendis tahu, mereka meninggal karena kecelakaan mobil. Akan tetapi, mendengar alasan kecelakaan mobil yang ditumpangi orang tuanya membuat wanita itu syok luar biasa. Mulutnya menganga dengan wajah yang memerah memancarkan amarah yang luar biasa. Gendis benar-benar tidak menyangka, kalau orang tuanya meninggal bukan karena kecelakaan yang terjadi kepada mereka. Melainkan, ada seseorang yang melakukan percobaan pembunuhan saat Mama papanya sedang melakukan perawatan intensif pasca musibah tersebut. Mereka sempat kritis dan koma hampir satu Minggu. Disaat keadaan mulai stabil, terjadi sesuatu terhadap ibu Gendis. Kondisi Bu Rasika mendadak kembali menurun, dan kritis. Sehingga harus menjalani kembali penanganan oleh dokter. Namun, Tuhan berkehendak lain, hari itu juga saat me
Gendis menunggu kedatangan seseorang di sebuah cafe dekat rumah Dion. Setelah menghubungi orang yang dikabarkan menjadi dalang dibalik kecelakaan papanya, ia bergegas ketika permintaan bertemu akhirnya disetujui.Wanita itu hanya mengaduk-aduk gelas jus di hadapannya. Tidak sabar ingin bertemu dengan orang yang telah membangkitkan amarah Gendis.Tak berselang lama, terlihat seseorang yang datang dari pintu masuk kafe, lalu memandang sekeliling mencari keberadaan Gendis. Setelah menemukan Gendis, ia segera menghampirinya dengan tergesa-gesa.“Apa maksud Mbak Gendis manggil di telepon tadi? Kenapa Mbak membawa-bawa namaku dalam kematian om Dahlan dan tante Rasika? Mbak Gendis kan tahu, mereka meninggal karena kecelakaan,” ucap Vivian dengan wajah panik. Gendis tersenyum sinis mendengarnya. Sudut bibir wanita itu terangkat sebelah dengan tatapan meremehkan. Sekuat tenaga Gendis mengendalikan amarahnya di hadapan Vivian. Meski rasa benci wanita itu semakin menjadi. Bagaimana mungkin, Vi
Mata Gendis mengerjap, lalu menggelengkan kepalanya karena rasa pusing yang sempat mendera. Ia mendongak memandang sumber suara yang memanggilnya, membuat dahi wanita itu mengernyit.“Apa yang kamu lakukan, Vi? Kau ingin menyingkirkan aku juga seperti kamu membuat papa dan mama kecelakaan?” geram Gendis kala merasakan tubuhnya ada dalam ikatan. Gendis mencoba melepaskan tali yang mengikat tangannya meski itu mustahil karena jeratan tali itu teramat kuat.Vivian tertawa, ia sangat puas dengan hasil kerja orang suruhannya. Tidak pernah mengecewakan jika mendapatkan misi.“Tenang, Mbak. Aku akan buat kematian Mbak Gendis cepat dan tidak sakit, kok. Mbak Gendis sudah cukup tahu segalanya. Lagi pula, aku mau Mas Damar jadi milikku seutuhnya,” tutur Vivian sambil memainkan jari telunjuknya di pipi Gendis, membuatnya memalingkan muka sambil mendengus kesal.“Jadi, kamu melakukan ini hanya untuk mendapatkan Mas Damar? Aku sudah bilang, Vi. Ambil saja dia kalau kamu mau. Lagi pula aku sama sek