Gendis memasuki pekarangan rumah kakaknya, Dion. Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, wanita itu gegas berjalan sambil menggeret koper miliknya.Selanjutnya, ia mengetuk pintu dan menampilkan Pak Joko yang membukakan pintu rumah Dion, sopir di rumah itu.“Non Gendis ke sini? Lho, kok bawa koper gede banget?” tanya Pak Joko memang sudah akrab dengan keluarga ini layaknya saudara.Gendis tersenyum sendu mendengar pertanyaan Pak Joko. Pria paruh baya itu mengerti, sepertinya ada hal yang tidak beres terhadap adik majikannya. Sehingga, membuat ia mengalihkan pembicaraan ke yang lain.“Lebih baik bapak yang bawa Non, kopernya terlihat berat sekali. Kasihan Non Arum kesusahan apalagi Non kecil kan lagi hamil.”“Makasih, Pak. Oh iya, Mas Dion di mana?” tanya Gendis mengenai kakak keduanya.“Lagi di teras belakang, Non, sedang baca koran.”Gendis menemui kakaknya yang tengah menikmati suasana pagi dengan memandang taman sambil memakan camilan serta membaca koran. Wanita itu memeluk dari be
Bab 18.Tangan Gendis mengepal saat mendengarkan pengakuan mantan asisten rumah tangga sekaligus orang yang layaknya ibu kedua dari wanita itu. Ia tidak menyangka, kematian kedua orang tuanya setragis itu. Yang Gendis tahu, mereka meninggal karena kecelakaan mobil. Akan tetapi, mendengar alasan kecelakaan mobil yang ditumpangi orang tuanya membuat wanita itu syok luar biasa. Mulutnya menganga dengan wajah yang memerah memancarkan amarah yang luar biasa. Gendis benar-benar tidak menyangka, kalau orang tuanya meninggal bukan karena kecelakaan yang terjadi kepada mereka. Melainkan, ada seseorang yang melakukan percobaan pembunuhan saat Mama papanya sedang melakukan perawatan intensif pasca musibah tersebut. Mereka sempat kritis dan koma hampir satu Minggu. Disaat keadaan mulai stabil, terjadi sesuatu terhadap ibu Gendis. Kondisi Bu Rasika mendadak kembali menurun, dan kritis. Sehingga harus menjalani kembali penanganan oleh dokter. Namun, Tuhan berkehendak lain, hari itu juga saat me
Gendis menunggu kedatangan seseorang di sebuah cafe dekat rumah Dion. Setelah menghubungi orang yang dikabarkan menjadi dalang dibalik kecelakaan papanya, ia bergegas ketika permintaan bertemu akhirnya disetujui.Wanita itu hanya mengaduk-aduk gelas jus di hadapannya. Tidak sabar ingin bertemu dengan orang yang telah membangkitkan amarah Gendis.Tak berselang lama, terlihat seseorang yang datang dari pintu masuk kafe, lalu memandang sekeliling mencari keberadaan Gendis. Setelah menemukan Gendis, ia segera menghampirinya dengan tergesa-gesa.“Apa maksud Mbak Gendis manggil di telepon tadi? Kenapa Mbak membawa-bawa namaku dalam kematian om Dahlan dan tante Rasika? Mbak Gendis kan tahu, mereka meninggal karena kecelakaan,” ucap Vivian dengan wajah panik. Gendis tersenyum sinis mendengarnya. Sudut bibir wanita itu terangkat sebelah dengan tatapan meremehkan. Sekuat tenaga Gendis mengendalikan amarahnya di hadapan Vivian. Meski rasa benci wanita itu semakin menjadi. Bagaimana mungkin, Vi
Mata Gendis mengerjap, lalu menggelengkan kepalanya karena rasa pusing yang sempat mendera. Ia mendongak memandang sumber suara yang memanggilnya, membuat dahi wanita itu mengernyit.“Apa yang kamu lakukan, Vi? Kau ingin menyingkirkan aku juga seperti kamu membuat papa dan mama kecelakaan?” geram Gendis kala merasakan tubuhnya ada dalam ikatan. Gendis mencoba melepaskan tali yang mengikat tangannya meski itu mustahil karena jeratan tali itu teramat kuat.Vivian tertawa, ia sangat puas dengan hasil kerja orang suruhannya. Tidak pernah mengecewakan jika mendapatkan misi.“Tenang, Mbak. Aku akan buat kematian Mbak Gendis cepat dan tidak sakit, kok. Mbak Gendis sudah cukup tahu segalanya. Lagi pula, aku mau Mas Damar jadi milikku seutuhnya,” tutur Vivian sambil memainkan jari telunjuknya di pipi Gendis, membuatnya memalingkan muka sambil mendengus kesal.“Jadi, kamu melakukan ini hanya untuk mendapatkan Mas Damar? Aku sudah bilang, Vi. Ambil saja dia kalau kamu mau. Lagi pula aku sama sek
Bab 21. (1646 kata)“Mas, kenapa sih malah mabuk-mabukan kek gini?” tanya Vivian kesal karena sejak tadi dia merasa diabaikan oleh Damar. Laki-laki itu menghubunginya agar datang, tetapi malah sibuk sendiri dengan minuman di tangannya.“Mas ...!” bentak Vivian. Ia sungguh-sungguh kesal. “Vi, aku mau pulang sekarang. Antarkan aku pergi dari sini.” Damar berdiri dengan sempoyongan dan langsung dipapah oleh Vivian. Wanita itu pikir, tidak mungkin ia mengantarkan Damar ke rumahnya. Pasti ibu kekasihnya itu akan banyak tanya dan Vivian malas untuk mencari alasan. Lagi pula, bukankah ini hal bagus. Ia bisa menghabiskan waktu bersama dengan Damar lagi setelah beberapa hari diabaikan. Vivian juga berencana akan merayu pria itu agar cepat-cepat menikahinya.Setelah sampai di apartemen tempatnya tinggal, Vivian membiarkan Damar istirahat. Sedangkan dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Wanita itu mau terlihat cantik serta wangi ketika kekasihnya itu bangun.Beberapa jam menunggu,
Perlahan mata Gendis terbuka. Alisnya mengernyit kala cahaya lampu mulai tertangkap indera penglihatannya. Wanita itu mengerjapkan matanya beberapa kali, sambil merasakan kepalanya yang masih sedikit pusing. Olehnya mulai tercium aroma obat-obatan yang kuat menusuk Indera penciuman miliknya.Wanita itu meraba perut, mengingat bayi yang ada di dalam kandungannya. Ada kepanikan yang terpancar di sorot matanya. Raut mukanya berubah menjadi cemas.Gendis memandang sekeliling, mulai menangkap bayangan seseorang yang dikenalnya. Seorang pria yang Gendis ingat rela mempertaruhkan nyawa hanya untuk menyelamatkan dirinya yang bukan siapa-siapa. Hanya sekedar teman lama, pikir Gendis.“Kamu sudah sadar, Dis?” David tersenyum saat dapat menangkap pergerakan dari tangan wanita di hadapannya yang tengah berbaring di ranjang serta telah membuka matanya. Pria itu kali ini bisa bernapas lega melihat kondisi Gendis yang mulai stabil.“Tenang saja, Dis. Bayimu Alhamdulillah selamat. Ternyata dia sangat
Jangan lupa untuk klik subscribe, like dan komen, ya.“Lakukan rencana itu malam ini juga,” perintah Vivian. Dia tidak sadar kalau Damar tengah menguping percakapannya bersama seseorang di telepon. Setelah mematikan panggilan itu, Vivian berbalik dan terkejut sang kekasih sudah ada di belakangnya.“Sebenarnya apa yang kamu rencanakan? Siapa yang akan kamu lenyapkan, Vi?” tanya Damar. Ia hanya memastikan apa tebakannya benar atau tidak.“Mas Damar. K-kenapa Mas sudah bangun?” Vivian terkejut buka main. Kali ini Damar pasti tahu apa yang telah diperbuatnya.“Jawab, Vi. Siapa yang akan kamu bunuh? Apa itu Gendis?” Damar memandang tajam Vivian, membuat wanita itu hanya mengatupkan mulutnya tanpa sepatah kata pun.“I-itu ... iya, Mas. Aku mau singkirkan penghalang kebahagiaan kita. Mas kan tahu, aku sangat membenci Gendis dan saudara-saudaranya. Gara-gara pamanku, aku menjadi anak yatim piatu. Dan kali ini, Gendis melalui tangan Mas Edo bisa saja menghancurkan perusahaan milik Mas Damar
Damar menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Kali ini dia benar-benar kalut. Bagaimana mungkin Bayu tahu rencananya untuk menyingkirkan Gendis dan kakak-kakaknya? Apa selama ini adiknya itu memata-matai dirinya?Ini tidak benar. Damar tidak bisa membiarkan sang adik mengendalikannya. Apalagi ancaman Bayu saat perkelahian telah berakhir dan ia hendak naik kembali ke kamarnya. Pria itu dapat mendengar bisikan dari Bayu yang mengatakan kalau sang adik akan merebut posisinya di perusahaan. Menuntut haknya sebagai orang yang memiliki sebagian harta warisan keluarga mereka. Dulu Damar menggunakannya untuk membangun perusahaan, Bayu sama sekali tidak keberatan. Toh dia pemuda yang mandiri dan ingin mencari harta tanpa pemberian dari siapa pun.Namun, kini Bayu tidak akan membiarkan Damar sewenang-wenang, bahkan menyakiti Gendis yang jelas-jelas pemuda itu cintai. Dulu demi kakak iparnya tersebut, Bayu sama sekali tidak tertarik dengan perusahaan kakaknya. Sekarang, dengan alasan yang sama, pemud