Note: *Excelente!: Luar biasa!
“Sayang, ada apa?” tanya Diego bingung, begitu pun Mario. Tadi nyonya Rodriguez ini sangat bersemangat, namun tiba-tiba ia menjadi sedih ketika membicarakan Bellen.“Tidak apa-apa Diego, aku hanya sedikit emosional, sebab jika melihat Bellen, aku selalu teringan Chavela,” jawab Elena sambil menghela napas. Seketika kerinduan pada keluarganya terutama pada sang adik menyeruak kembali.“Oh, iya. Aku hampir lupa, aku berjanji akan menemanimu menemui keluargamu. Apa adikmu sekarang sudah selesai sekolah menengah?”“Harusnya sudah Diego, Chavela seumuran dengan Bellen. Cuma aku tidak tahu apakah dia melanjutkan studinya atau tidak.” Elena bergumam lirih, ingin sekali ia pulang ke desanya menemui paman dan bibi serta adiknya, namun dia tidak tega meninggalkan Diego, khawatir hal yang buruk tiba-tiba terjadi saat dia tidak ada di sisi lelaki itu.“Kamu tenang sayang, lusa kita akan menjemput Chavela, bawa Chavela ke mari, kita carikan dia universitas terbaik di kota ini, supaya adikmu selal
‘Suara itu…’ Bellen membathin, kata-kata yang diucapkan Chavela barusan terdengar sangat familier di telinga Bellen. Baik kalimat, intonasi dan juga warna suaranya.Masih segar dalam ingatan Bellen, ketika nyonya Emma memarahinya karena mengerjai Dona, saat itu Mia dan nyonya Rodriguez yang menolongnya sehingga ia tidak jadi dihukum. Selang beberapa jam kemudian Mia memanggilnya karena nyonya mau bicara.Bellen merasa sedikit takut kalau-kalau dia akan dihukum, namun ternyata yang terjadi sebaliknya. Nyonya Rodriguez meminta Bellen menceritakan tentang dirinya, dan setelahnya, ia ditawarkan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Semula ia menolak, namun sang nyonya membujuknya hingga mengucapkan sama persis yang diucapkan Chavela tadi setelah ia mengiyakan.‘Kenapa bisa sama persis, apa halusinasiku saja ya…’ gumam Bellen sambil menatap wajah Chavela yang sedang sibuk dengan makanannya. Semakin lama ia memperhatikan setiap detail wajah Chavela, maka semakin terlihat jelas bayang
“Apa? Tamu istimewa?” tanya paman Zavier tertegun, sontak ia menatap sang istri yang berada tidak jauh darinya. “Maksud kamu siapa?”“Entah tuan, sepertinya datang dari kota, mobilnya bukan mobil biasa tapi mobil mewah, dan wanita yang turun dari mobil itu sangat cantik.”“Wanita?” gumam paman Zavier, sontak sang istri menatap suaminya dengan penuh tanya. “Ada berapa orang?”“Yang turun hanya satu, tapi sepertinya di dalam ada lagi, semua ada dua mobil,” lapor si laki-laki tadi, ia adalah salah satu pekerja di kebun itu.“Ya sudah, ayo Inez kita lihat, siapa mereka,” ucap paman Zavier sambil mengajak istrinya. Namun baru saja hendak melangkah, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kedatangan dua orang yang mendekati mereka.“Nah itu tuan, itu nyonya cantik yang tadi mengetuk pintu rumah tuan, tapi tadi sendiri,” lapor si pekerja tadi. Sontak semuanya menatap ke arah dua wanita yang sedang berjalan mendekat.Tuan Zavier dan istrinya tertegun, mereka diam mematung menatap salah satu wanit
“Ada apa, Mario? Apa kamu mengenal Miguel?” tanya Diego heran. “Tidak, tuan. Tapi kemaren ada yang melapor pada saya, mereka menemukan banyak selebaran di tempel di berbagai tempat umum,” jawab Mario.“Di dalam selebaran itu ada gambar mirip nyonya, dan tertera nama dan nomor Miguel Hernandez, agar menghubungi nomor itu jika mengetahui keberadaan wanita ini.”“Oh, apa kamu yakin wanita di selebaran itu aku, Mario?” timpal Elena terkejut.“Iya, nyonya. Memang mirip Anda, hanya saja jika saya perhatikan itu seperti foto lama,” sahut Mario.“Lalu apa yang kamu lakukan pada selebaran-selebaran itu, Mario?” tanya Diego memastikan.“Saya sudah memerintahkan orang-orang kita untuk membersihkan selebaran-selebaran itu, khawatir dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, selain itu akan beresiko buat keamanan nyonya.”“Ya, itu bagus!” Diego mengomentari.“Orang-orang kita juga sedang menyelidiki, siapa Miguel Hernandez itu, jika sudah dapat informasi baru saya akan melapor pad
Elena tertegun mendengar pertanyaan yang dilontarkan bibi Inez, ia memang sudah menduga akan ditanya seperti itu, namun tak urung membuatnya terasa berat untuk menceritakan, karena mau tidak mau ia harus mengorek kembali luka di masa lalunya.Wanita itu menghela napas panjang sebelum akhirnya ia berkata, “Maafkan aku, Bi. Semua terjadi diluar rencana dan kuasaku.”Elena pun menceritakan mengenai pertemuannya dengan nenek Maria, salah seorang pelanggan di tempat dia bekerja. Siapa sangka, wanita kaya itu sangat menyukai Elena, dan meminta Elena menikahi cucunya.Suara Elena bergetar, manakala ia teringat bagaimana perlakuan orang-orang di kediaman Mendez padanya, bukannya keluarga Mendez saja, tetapi juga para pelayan di sana memperlakukannya dengan buruk.“Jadi, mereka memperlakukanmu seperti budak?” tanya Bibi Inez geram, Elena terdiam tak bisa berkata-kata. “Elena, bukankah nyonya Maria Mendez sangat menyayangimu? Mengapa kamu tidak mengadu padanya atas perlakuan mereka padamu di b
“Apa ini, Bi?” tanya Elena sambil menatap bibi Inez.“Bukalah Elena, nanti kamu akan tahu,” sahutt bibi Inez. Elena pun segera membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya. Wanita itu terperanjat setelah membuka lipatan surat itu. Seketika ia menatap sang bibi yang dibalas anggukan kepala bibi Inez sebagai responnya.Elena melanjutkan membaca isi surat itu, tiba-tiba mata wanita itu berkaca-kaca, tanpa sadar Elena mendekap surat itu sambil bergumam lirih.“Nenek Maria….”“Ya Elena, nenek Maria sangat sayang padamu, dia juga sangat mengkhawatirkanmu setelah kepergiannya kelak, makanya diam-diam dia menulis surat wasiat itu untukmu.”Bibi Inez mengomentari mengenai surat wasiat yang sedang dipegang oleh keponakannya. Elena hanya terdiam, ingatannya kembali mengembara pada masa-masa dimana nenek Maria masih hidup, dia sendiri juga sangat menyayangi sang nenek yang sudah dianggapnya seperti neneknya sendiri.Tiba-tiba Elena menoleh pada bibi Inez dan menatap wanita paruh baya itu dengan bing
“A-Anda…” Chavela tersentak manakala kursi besar itu berputar, seorang wanita cantik duduk dengan anggun dan berwibawa, lalu menyapanya sambil tersenyum manis.Chavela mematung, seakan tidak percaya dengan penglihatannya. Ia kembali mengedarkan tatapannya ke sekeliling ruangan itu, bukankah ini ruangan sang direktur. Tapi…“Apa kabar sweetheart,” sapa wanita itu memecahkan kebingungan Chavela. Perlahan ia membuka kaca mata hitam yang menutupi separuh wajahnya. Refleks Chavela menutup mulut dengan kedua tangannya.“E-Elena… Be-benarkah kamu Elena…?” tanya Chavela takjub. Wanita itu tersenyum seraya berdiri lalu merentangkan kedua tangannya.“Vela, sayang. Adikku….”Spontan Chavela berdiri lalu bergegas memeluk sosok yang sangat dirindukannya, tangis keduanya pun tak bisa terbendung lagi.“Elena mengapa kamu ada di ruangan ini? Dan mengapa kamu nggak pernah memberi kabar? Apa kamu sudah melupakan aku, Elena?”Chavela meracau sambil terisak, pertanyaan-demi pertanyaan terlontar bertubi-t
Tanpa disadari oleh Mia dan Chavela, diam-diam seseorang memperhatikan keduanya dengan tatapan yang rumit dan penuh tanda tanya.Mia segera membuka pintu dan mempersilahkan Chavela untuk masuk.“Silahkan Nona, ini ruangan Anda. Jika membutuhkan sesuatu jangan sungkan untuk memanggil saya.”“Terima kasih, Mia.” Chavela menjawab ramah. Gadis itu mengedarkan tatapannya ke sekeliling ruangan. Kamar itu cukup besar dengan perabot yang serba lux. Ada meja belajar, rak buku, lemari besar, meja hias dan pastinya tempat tidur besar dan nyaman, juga kamar mandi yang mewah.Chavela segera melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur besar itu, terasa sangat empuk dan menyenangkan. Kamar ini jauh lebih nyaman dari kamarnya di kampung. Chavela tersenyum sendiri, kenapa harus dibandingkan, meskipun tak seluas kamar ini, tapi kamarnya di kampung tentu lebih berarti lagi, karena di kamar itu ada kenangan tentang masa kecilnya yang bahagia bersama kedua orang tuanya dan juga kakaknya.Chavela mendekati
“Apa? Ke kantor polisi? Tapi ada pak?”“Nanti akan kami jelaskan di kantor, kami menunggu kedatangan Anda segera, nyonya.”Raul terbangun mendengar suara percakapan Elena dengan polisi.“Ada apa, sayang?” tanya Raul pelan dengan suara yang serak.“Polisi meminta untuk datang, tapi tidak menjelaskan masalah apa,” jawab Elena dengan suara rendah.Raul mengangguk seraya mengelus tangan Elena lembut, “kita akan segera ke sana.”“Baiklah, pak. Kami akan segera ke sana,” ucap Elena kembali berbicara di telepon.“Siap nyonya, terima kasih atas kerjasamanya.”Setelah panggilan berakhir Elena menghela napas, ada kekhawatiran di wajahnya.“Kira-kira ada masalah apa ya, Raul?”“Entahlah, sayang. Nanti kita akan tahu setelah di kantor polisi. Kamu tenang saja, aku akan menemanimu. Sekarang kamu bersiap-siap dulu, aku akan menghubungi Mario dan tim pengacara agar mereka datang terlebih dahulu ke kantor polisi.”Raul berkata lembut sambil membelai rambut Elena, wanita itu mengangguk. Raul menghadia
“Tuan muda…” Raul dan Elena menghentikan langkah mereka, keduanya saling menatap lalu membalikan tubuh mereka.Seorang lelaki paruh baya berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Raul dan Elena. Wajah lelaki itu ditumbuhi janggut dan jambang lebat, ia mengenakan mantel hitam dan penutup kepala rajut serta syal abu-abu membelit lehernya. Tatapan lelaki itu lurus pada Raul dengan tatapan penuh tanya.“Ah, paman. Senang bertemu denganmu kembali,” sambut Raul sambil tersenyum, ia menyalami pria itu dengan ramah.“Saya juga senang bisa melihat tuan muda lagi, dan…” Pria itu terdiam sejenak, ia melihat pada Elena, seulas senyum menghiasi wajahnya, “sepertinya, tuan telah menemukan apa yang Anda cari.”“Haha, itu benar paman,” sahut Raul bahagia dan bangga, “Oya, ini Elena, cintaku yang selama ini aku cari.” Raul mengenalkan Elena pada lelaki itu, “Sayang, ini paman penjaga makam, beliau tinggal di sekitar sini. Dulu disaat masa-masa suram dan kehancuran hatiku, paman ini yang menemaniku dan mem
“Mia, ada apa?” tanya Elena bingung melihat perubahan ekspresi Mia yang seperti ketakutan. Begitu pun Raul dan Mario serta Chavela dan Miguel, mereka semua yang ada di tempat itu kebingungan.“Mia, apa yang membuatmu terlihat cemas dan ketakutan begini? Kamu sekarang sudah aman bersama kami,” ujar Raul yang ditimpali dengan anggukan yang lain.“Tuan, nyonya… Bagaimana dengan Emma? Sa-saya khawatir dia akan kembali melakukan hal-hal yang buruk.” Mia mengungkapkan kekhawatirannya dengan suara terbata-bata. Masih segar dalam ingatannya bagaimana Emma melakukan berbagai manipulasi. Sewaktu Diego masih hidup saja Emma sangat berani, apalagi sekarang. Dan semua itu sudah terbukti, bahkan ia sendiri sudah menjadi korban kekejaman Emma.“Kamu tenang saja, Mia. Dalam insiden terakhir, orang-orang kita berhasil melumpuhkan orang-orangnya Emma. Tidak lama kemudian polisi pun datang membekuk mereka.”Kali ini Mario angkat bicara, karena dia ada dikejadian terakhir dalam baku hantam dengan orang-o
Keesokan harinya Elena membuka mata dan mendapati dirinya masih dalam pelukan hangat Raul. Lelaki itu memeluknya erat seolah takut kehilangan lagi. Elena tersenyum, ditatapnya pria tampan di sampingnya yang tertidur nyenyak itu. Perlahan Elena mengangkat tangan Raul, namun tangan kekar itu tidak bergerak, malah memeluknya semakin erat.Elena hanya menghela napas panjang. “Raul…” Lelaki itu hanya menggeliat sebentar, namun tidak melepaskan tangannya dari pinggang Elena.“Raul… Sudah pagi, aku lapar…” gumam Elena pelan.“Selamat pagi, sayang,” sahut Raul sambil tersenyum, ia membuka matanya, lalu mencium kening Elena lembut. “Ya sudah kamu mandi dulu, aku akan siapkan sarapan kita.”“Apa? Kamu mau menyiapkan sarapan?” tanya Elena heran.“Loh memangnya kenapa?”“Sudahlah Raul, tunjukan saja dapurnya di mana biar aku siapkan sarapannya.”“Tidak-tidak, sayang. Kamu adalah ratuku, maka kewajibanku untuk melayanimu. Kamu bersih-bersih diri dulu, di lemari itu ada pakaianmu, aku pikir masih f
“Elena? Ada apa?” tanya Raul cemas.“Raul, Mia… tolong selamatkan Mia, Emma sudah menyiksanya, dia bahkan nyaris membunuh Mia jika aku tidak mau menandatangani berkas-berkas itu.”Elena menjadi sangat syock, tubuhnya bergetar ketakutan, air matanya tidak terbendung lagi, seketika dia teringat kembali bagaimana kejamnya orang-orang itu menyiksa Mia.Raul segera merengkuh Elena ke pelukannya, ia berusaha menenangkan wanita itu.“Tenang Elena, semua baik-baik saja. Mia sudah berada di tempat yang aman,” ucap Raul sambil mengelus punggung Elena.“Maksudmu? Mia?”“Ketika kami tiba di tempat itu, kami menemukan Mia tergeletak tak sadarkan diri dengan tubuh penuh luka, tidak jauh dari tempat kamu disekap. Aku memerintahkan Miguel dan beberapa orang untuk membawa Mia ke rumah sakit.”“Migu? Berarti Vela…?”“Ya Elena, sebenarnya Vela juga ikut dalam misi penyelamatan dirimu, tapi aku meminta Vela untuk menunggu di mobil.”“Oh, aku harus menemui adikku, dia pasti cemas…” Elena hendak bangun, na
Perlahan Elena membuka matanya, lalu berkedip-kedip sambil memperhatikan sekeliling. Ia menyadari dirinya terbaring di atas sebuah tempat tidur di dalam sebuah kamar yang nyaman. Elena mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi padanya, terakhir yang ingat ketika ia akan menandatangani berkas yang disodorkan Emma, tiba-tiba datang serangan dari sekelompok orang bertopeng, mereka menyerang Emma dan orang-orangnya, lalu salah satu dari mereka menangkap tubuh Elena yang dilemparkan oleh orangnya Emma, kemudian membawanya pergi, setelah itu Elena tidak ingat apa-apa lagi.“Siapa sebenarnya mereka? Dan, di mana aku sekarang?” gumam Elena, ia mencoba bangun namun tubuhnya terasa lemas. Elena ingat, sejak pagi perutnya belum terisi apa pun. Tanpa sengaja Elea menoleh ke samping tempatnya terbaring, sebuah meja penuh dengan makanan dan minuman. Elena menelan ludah, seketika rasa lapar menyergapnya. Ingin rasanya ia menyantap makanan-makanan itu agar tubuhnya mempunyai energi. Tapi tidak, Elena
“Tidak…! Hentikan!!” Elena berteriak histeris, ia tak tahan melihat Mia disiksa seperti itu. Tubuh Elena bergetar ketakutan. “Hentikan Emma, lepaskan Mia, dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini. Urusanmu adalah denganku.”“Hmm, bagus. Sekarang cepat tanda tangani berkas-berkas itu, atau kau akan melihat perempuan tua itu mati.”“Baiklah Emma, aku akan turuti keinginanmu, tapi lepaskan Mia, biarkan dia pergi.” Elena mencoba mengajukan persyaratan.“Apa?” Emma bertanya sambil mendekati Elena, “kamu mau mencoba mengelabuiku hah? Setelah dilepas perempuan tua itu akan mencari bantuan, itu kan rencanamu, kamu pikir aku bodoh!”“Tidak, Emma. Aku sungguh-sungguh akan memenuhi keinginanmu, aku akan menandatangani berkas-berkas ini. Aku hanya tidak ingin ada korban dalam masalah ini.” Elena berkata dengan kesungguhan pada kata-katanya, perlahan ia melihat pada Mia yang sudah tidak berdaya.“Lihatlah, Mia sudah terluka dan tidak berdaya begitu, dia tidak akan bisa berbuat apa-apa, mau car
“Apa maksudmu, Emma? Dan apa yang kamu inginkan?” Elena bertanya dengan tenang, meskipun dia sudah bisa meraba apa yang diinginkan Emma.Demi melihat ketenangan sikap Elena, Emma menjadi gusar, ia mendekati Elena lalu dengan geram menarik rambut wanita itu hingga Elena merasa kesakitan, ia memejamkan mata dan mengigit bibirnya menahan rasa sakit. Namun ia tidak berteriak, sebisa mungkin ia menahannya dan berusaha untuk tenang.“Jangan pura-pura lugu, aku tahu meskipun kamu perempuan kampung tapi kalau soal harta kamu tidak bodoh. Itu sebabnya kamu mau menikahi lelaki lumpuh yang sudah mau mati, sehingga bisa menguasai seluruh harta Rodriguez.” Emma berkata berang.“Bukan begitu, Emma. Sedikitpun aku tidak ada keinginan menguasai harta Rodriguez.” Elena berkata pelan, ia terdiam sesaat lalu menatap Emma dengan kesungguhan di matanya. “Begini saja Emma, aku akan memberikan bagianku padamu. Aku hanya akan mendampingi putraku hingga dewasa, setelah itu aku akan mengelola milik keluargaku
Malam terus merangkak hingga kegelapan menyelimuti sekeliling, hanya lampu-lampu jalan dan juga lampu-lampu dari celah jendela setiap bangunan yang menjadi pemandangan malam itu. Raul dan rombongannya mengambil jalan pintas sehingga tidak melalui jalan utama kota. Untungnya, Raul dulu aktif melakukan kegiatan outdoor, sehingga dia hapal setiap sudut wilayah kota itu.Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, mereka pun tiba di daerah yang di tuju. Raul menghentikan mobilnya diikuti mobil-mobil lain di belakangnya. Raul segera turun, begitu pun Mario dan Miguel. Mereka mengamati sekeliling tempat itu.Miguel kembali melihat map di ponselnya, dan memang titiknya sangat tepat. “Di arah sana lokasinya, tuan.” Migu menunjuk arah sesuai petunjuk peta. Raul dan Mario mengamati arah yang ditunjuk Miguel.“Yah benar, di sana ada bangunan yang terpisah dengan bangunan lainnya, tempatnya terpencil, kalau tidak salah dulu dipakai sebagai istal untuk menyimpan kuda, tapi sepertinya sud