Dari sudut matanya, Klein bisa melihat Felix tersenyum puas.
Namun, Klein tetap mempertahankan ekspresi datarnya, seolah-olah ini semua bukan bagian dari rencananya.Rudy dapat merasakan tatapan Felix dari kejauhan.Seketika, ia sadar bahwa Felix lah dalang di balik semua kekacauan ini. Amarah mulai membakar dadanya, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa di tengah situasi ini.Rian Lee, yang berdiri di dekat panggung, menggelengkan kepalanya dengan ekspresi kecewa. "Oh, Rudy," gumamnya pelan.Dokter Sun, yang masih berdiri di panggung, menatap Rudy dengan tatapan yang sulit diartikan.Ia mundur perlahan, menjauh dari Rudy yang masih terpaku."Hentikan video itu!" Rudy akhirnya berteriak, suaranya bergetar. "Ini ... ini fitnah! Seseorang telah memanipulasi video ini!"Namun, tidak ada yang bergerak untuk menghentikan video tersebut.Para tamu mulai berbisik lebih keras, beberapa bahkan mulai meninggalkanKlein mengangguk singkat, tetap mempertahankan ekspresi dinginnya. "Ada yang bisa saya bantu, Mr. Brown?" Mr. Brown mendekatkan dirinya, berbisik pelan di telinga Klein. "Kau tahu, Tuan Muda Lionheart, kota ini mulai terasa terlalu kecil untuk kita berdua." Klein merasakan tubuhnya menegang. Matanya melebar sedikit, satu-satunya tanda bahwa ia terkejut mendengar identitas aslinya disebut. Namun, ia dengan cepat menguasai diri, kembali ke ekspresi datarnya. "Saya rasa Anda salah orang, Mr. Brown," ujar Klein dengan suara tenang, meski di dalam hatinya berbagai pertanyaan berkecamuk. Mr. Brown hanya tersenyum misterius. "Oh, saya yakin saya tidak salah orang. Tapi jangan khawatir, rahasiamu aman bersamaku... untuk saat ini." Klein tetap diam, matanya menatap tajam ke arah Mr. Brown. "Nah," lanjut Mr. Brown, "nikmati sisa malammu, Tuan Muda Lionheart. Kita akan bertemu lagi... di tempat yang lebih menarik." Dengan itu, Mr. Brown melangkah pergi, meninggalkan Klein yang tetap berdi
Sore itu, langit Zephir berwarna jingga keemasan, matahari perlahan tenggelam di balik gedung-gedung pencakar langit. Klein baru saja keluar dari gedung Heaven Medical Corp, langkahnya tenang namun pasti. Ia berhenti di sebuah food truck yang menjual hot dog di dekat kantornya. "Satu hot dog jumbo, tanpa saus," ujar Klein pada penjual dengan nada datar. Sementara menunggu pesanannya, Klein mengamati keadaan sekitar. Jalanan mulai ramai dengan orang-orang yang baru pulang kerja. Beberapa tampak terburu-buru, sementara yang lain berjalan santai sambil mengobrol dengan rekan kerja mereka. Tiba-tiba, suara decitan ban yang keras memecah kebisingan jalanan. Sebuah mobil Mazda CX 5 Elite berwarna merah mengilap berhenti mendadak di depan food truck. Klein tidak menunjukkan reaksi apa pun, hanya melirik sekilas ke arah mobil tersebut. Jendela mobil terbuka, menampakkan seorang pria berambut pirang dengan anting di telinga kirinya. Pria itu tersenyum lebar, matanya berbinar saat me
Malam itu, Lionheart Palace bersinar terang. Klein melangkah masuk dengan tenang, mengenakan setelan jas hitam yang tampak sederhana namun elegan. Tanpa sepengetahuan orang-orang di sekitarnya, jas tersebut merupakan edisi terbatas yang dibuat khusus oleh desainer ternama, dengan harga fantastis.Ruangan reuni sudah dipenuhi oleh lebih dari 30 orang, semuanya mantan mahasiswa Universitas Negeri Zephir. Klein memasuki ruangan tanpa ekspresi, mengabaikan bisik-bisik dan tatapan yang tertuju padanya.Dominic Vance menghampiri Klein dengan senyum lebar. "Klein! Akhirnya kau datang juga, sobat!"Klein mengangguk sopan. "Halo, Dominic."Dominic mengamati penampilan Klein. "Wah, Klein. Jasmu ... bagus juga. Imitasi ya? Mirip sekali dengan koleksi terbaru dari designer ternama itu."Klein hanya tersenyum tipis, tidak mengomentari asumsi Dominic.Maia Croft, teman dekat Klein semasa kuliah, menerobos kerumunan. "Klein!
Suasana di ruangan reuni semakin memanas. Dominic berdiri di tengah ruangan dengan senyum puas, merasa telah berhasil mempermalukan Klein di hadapan semua orang. Namun, di tengah keributan itu, Maia tetap berdiri di samping Klein, wajahnya menunjukkan tekad yang kuat meski ada keraguan yang terpancar dari matanya.Maia tahu bahwa membela Klein mungkin akan membahayakan bisnisnya. Usaha kosmetik yang ia bangun dengan susah payah sedang berada di ambang kehancuran. Ia membutuhkan dana segar untuk bertahan, dan pinjaman dari Dominic mungkin adalah satu-satunya harapannya. Namun, melihat Klein yang berdiri tenang di tengah cemoohan dan hinaan, Maia merasakan sesuatu bergejolak dalam dirinya.'Tidak,' pikir Maia, menggertakkan giginya. 'Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi.'"Hentikan!" seru Maia tiba-tiba, suaranya memecah keheningan yang sempat tercipta. "Kalian semua benar-benar sudah keterlaluan! Klein adalah teman kita. Bagaimana bisa kalian memperlakukannya seperti ini?"Dominic
Malam telah larut di kota Zephir. Lionheart Palace berdiri megah di tengah kota, lampu-lampunya masih menyala terang meski sebagian besar tamu hotel telah terlelap. Di lantai teratas gedung mewah ini, tepatnya di ruang Direktur Utama, Klein duduk dengan tenang di balik meja besar yang menghadap ke jendela kaca besar.Pemandangan kota Zephir yang berkilauan di malam hari terbentang di hadapannya, namun mata Klein terfokus pada layar laptop di depannya. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik beberapa perintah, membuka beberapa dokumen penting."Bibi Helda," panggil Klein dengan suara datar, matanya masih terpaku pada layar. "Bagaimana dengan Felix?"Helda, yang berdiri di samping Klein, menjawab dengan nada tenang, "Hari ini Rudy telah mengirim pembunuh bayaran untuk membunuhnya. Tapi kita telah berhasil menyelamatkannya, Tuan Muda."Klein mengangguk pelan, tidak menunjukkan emosi apa pun meski berita yang disampaikan Helda cukup m
Ruangan itu seketika dipenuhi oleh bisik-bisik. Rudy merasa seolah dunianya runtuh. Ia bangkit berdiri, wajahnya merah padam karena amarah."Apa-apaan ini?!" teriaknya, menunjuk ke arah Helda. "Kalian tidak bisa melakukan ini padaku! Aku yang membawa perusahaan ini ke puncak!"Rishia berdiri, suaranya tenang namun tegas. "Rudy, tenanglah. Ini bukan keputusan yang dibuat dengan terburu-buru. Ibu telah mempertimbangkan hal ini dengan matang.""Ibu?" Rudy tertawa getir. "Jadi ini semua rencana ibu? Dia ingin menyingkirkanku?""Bukan begitu," jawab Rishia. "Ini demi kebaikan perusahaan. Skandal yang kau timbulkan telah merusak reputasi Heaven Medical Corp. Saham kita jatuh, investor mulai menarik diri. Kita harus mengambil tindakan tegas."Rudy menggeleng keras, tangannya mengepal erat. "Tidak, aku tidak akan mundur! Kalian tidak bisa memaksaku!"Helda menghela napas. "Sayangnya, Tuan Rudy, kami bisa. Sebagai pemegang saham mayoritas
Pagi itu, suasana di kantor Heaven Medical Corp masih dipenuhi dengan bisik-bisik tentang pemecatan Rudy Lee. Klein duduk di ruang kerjanya yang baru, memeriksa beberapa dokumen dengan ekspresi datar. Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk. "Masuk," ujar Klein tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen di tangannya. Pintu terbuka, menampakkan sosok Windy yang melangkah masuk dengan ragu-ragu. Klein mengangkat wajahnya, menatap Windy dengan ekspresi dingin. "Ada apa, Windy?" tanya Klein, suaranya datar. Windy tersenyum canggung, "Klein, aku ... aku ingin berbicara denganmu sebentar. Apa kau punya waktu?" Klein mengangguk pelan, mempersilakan Windy duduk di kursi di hadapannya. Windy duduk, tangannya saling meremas di pangkuannya. "Jadi," Klein memulai, "apa yang ingin kau bicarakan?" Windy menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, "Klein, aku... aku tahu ini mungkin tidak sopan, tapi... bisakah aku meminjam uang darimu?" Klein mengangkat alisnya sedikit, satu-satunya tanda ba
Klein berdiri dengan tenang, ekspresinya tetap datar meski matanya memancarkan ketegasan. Ia melangkah maju dengan langkah mantap, mengabaikan tatapan mengancam dari para preman.Semua mata tertuju pada Klein yang datang dengan ekspresi serius. Para preman, melihat kedatangan Klein sendirian, mulai tertawa dan mencemoohnya."Hei, lihat! Ada pahlawan kesiangan datang!" seru salah satu preman, diikuti tawa mengejek dari yang lain."Apa yang bisa dilakukan seorang pria buruk rupa sepertimu, hah?" ejek yang lain.Namun, reaksi berbeda ditunjukkan oleh Bos Preman. Kakinya bergetar, luka-luka di tubuhnya terasa berdenyut. Ingatan tentang kejadian hari itu kembali berputar. Bos Preman itu, yang bernama Rico, masih ingat dengan jelas bagaimana ia dikirim oleh Sirius Blood untuk mengintai Klein. Namun, misi itu berakhir dengan kegagalan total. Dirinya ditangkap, dan diintrogasi dengan tidak manusiawi. Ia dihajar habi