Tubuh Rosaline bergerak menuruti perintah pemilik tato kupu-kupu. Dia berjalan menuju ke arah Pangeran Yuasa yang sudah kehilangan banyak darah.“Keterlaluan kau Xavier!” teriak Alma menghadang Rosaline.Wanita berambut ungu itu menghalangi langkah Rosaline.Sementara itu, Xavier mengepalkan tangannya dengan kesal, rencananya gagal. Dia menyuruh anak buahnya untuk mundur.“Tapi, Tuan, saat ini pasukan kita sudah di atas angin, kita pasti bisa menerobos masuk akademi!" bantah anak buah Xavier.“Mundur, bulan sudah kembali, mereka tidak lagi sekuat saat gerhana, hanya tinggal menunggu waktu untuk dikalahkan.”Xavier kembali melihat Rosaline dan Alma yang sedang bertarung dengan sengit. “Red Ruby sangat kuat, dia sudah mengalahkan Agni dan sekarang bertarung imbang melawan Alma. Aku menginginkan gadis ini menjadi milikku, bawahanku yang bisa diandalkan." Xavier menyeringai dia mendekati Pangeran Yuasa yang sudah tidak berdaya.“Maaf kan aku, tapi darahm
“Pelan sedikit!” Alma berteriak merasakan sakit dan perih dari obat yang diberikan Rafael. Pria ini memang tidak bisa lembut sama seperti sebelum mereka berpisah.“Kalau kau menunduk seperti itu, bisa-bisa salah memberikan obat,” sindir Alma yang melihat Rafael mengoleskan obat dengan menundukkan pandangannya.“Aku menghormatimu dan tidak ingin melihat tubuhmu. Harusnya kau berterima kasih,” balas Rafael, dia bingung bagaimana mengobati Alma yang terluka di bagian perut atas mendekati bagian menonjol yang sangat sensitif bagi semua wanita jika tersentuh. Dia tidak mau mendapat tamparan karena dianggap melecehkan wanita.“Mana mungkin aku seperti itu, kau saja tidak pernah mau melihatku saat kita bersama,” balas Alma. Dia mengambil perban dan melakukannya sendiri. Sementara Rafael membelakangi Alma supaya tidak melihat tubuh wanita yang pernah mengisi hari-harinya.“Keponakanmu jauh lebih jujur darimu, lihatlah dia begitu terpukul karena gadis itu. Tidak ada lagi yang
Yuasa bangun di salah satu kamar rumah sakit akademi. Rainsword dan Recca memperhatikan dirinya yang baru saja bangun dan langsung mendekat.“Bagaimana? Ada yang sakit?” Recca memperhatikan Yuasa yang tiba-tiba sudah banjir air mata.“Yuasa, apa sakit? Kupanggilkan ….”“Tidak perlu, Recca!Aaku tidak sakit sama sekali. Sepertinya paman Rafael yang membawaku ke sini.” Sela Yuasa sebelum Recca melengkapi kalimatnya.“Lalu kenapa?” Recca menunjuk ke arah sudut mata Yuasa yang kini sudah disekanya.Yuasa hanya diam, dia tidak mengatakan apapun. “Aku bahkan tidak tahu kenapa aku menangis, kenapa hatiku terasa sakit tapi aku tidak tahu alasannya,” batin Yuasa. “Semua kekacauan sudah mulai diatasi tetapi sepertinya banyak korban dan banyak pula yang terluka. Mereka juga sudah pergi, rasanya satu malam seperti setahun,” ucap Recca dia menatap Yuasa lalu duduk di sebelahnya. “Ayahku juga baik-baik saja, maksudku dia terluka tapi tidak masalah, dia akan sembu
Rafael sudah berada di depan gerbang akademi saat Yuasa keluar. Dia ditemani oleh Rainsword dan Recca."Duluan!" seru Yuasa berlari ke arah Rafael sambil melambaikan tangan ke arah kedua temannya yang membalas lambaian tangannya juga."Paman!" panggil Yuasa kepada pria jangkung dengan tubuh kekar berotot yang terlihat jelas dengan baju tanpa lengannya. Sebuah jubah hitam yang tergantung rapi di lengannya membuat pria itu terlihat garang. Tidak ada seorangpun yang berani mendekati pria ini."Kau ingin kembali ke istana atau ke rumahku?" tanya Rafael."Ke tempat Paman saja," jawab Yuasa. Baru satu langkah mereka meninggalkan gerbang akademi, Yuasa berhenti dan menoleh ke belakang."Ada apa?" tanya Rafael melihat Yuasa yang urung melangkah."Tidak ada," jawab Yuasa kembali melangkah. Namun, dalam hatinya dia merasa ada yang kurang. Seseorang yang seharusnya berada bersama dengan mereka."Kau pasti mencari sosok Rosaline, sepertinya dia benar," batin Rafael.Pria berambut hitam ini terin
Alma berjalan tanpa arah di kota Onyx. Dia hanya ingin menghilangkan rasa sedih dalam hatinya. Berjalan tanpa tujuan sekadar menghalau pikirannya dari Rafael. "Eh, pembukaan toko baru!?" Alma tertarik dengan sebuah toko yang baru saja dibuka. Keramaian akibat pembukaan toko pun belum terurai. Para pembeli mendapatkan voucher untuk pembelian pertama dengan harga khusus. Alma yang juga berdiri di depan toko ikut mendapatkan voucher tersebut. "Toko perhiasan," ucap Alma membaca bagian atas dari voucher tersebut kemudian dia meraba sakunya. "Sial aku bahkan tidak membawa dompet, gara-gara Rafael aku jadi setengah linglung," gerutu Alma. Alma sama seperti para wanita lainnya, dia menyukai perhiasan. Kakinya melangkah meskipun dia tahu tidak akan bisa membeli satupun barang di toko itu."Kenapa tidak gratis saja!" teriak Alma dalam hati. Matanya dimanjakan dengan perhiasan berbagai bentuk yang berkilau. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?" sapa seorang pria dengan setelan rapi dan senyum m
Rafael pulang ke rumahnya dengan kotak yang dia bawa dari tempat Alma. Dia langsung berjalan menuju ke kamar Yuasa tanpa peduli kedua anak kembar yang memperhatikan langkahnya. Keduanya mengikutinya dari belakang.“Benda apa itu?” Rasa penasaran Yui muncul saat melihat sebuah benda yang digantung dekat dengan tempat tidur kakaknya.“Ini penangkap mimpi, katanya kau tidak akan bermimpi buruk jika meletakkan penangkap mimpi di dekat tempat tidurmu,” jawab Rafael menjelaskan dan tersenyum melihat penangkap mimpi yang sudah terpasang dengan baik.“Aku mau satu, Paman!” rengek Yui. Dia sering bermimpi dan hal itu mengganggu tidurnya.“Nanti saja, tidak mudah mendapatkan benda ini,” balas Rafael dan gadis kecil itu menggembungkan pipinya lalu merajuk. Rafael hanya bisa menghela napas melihat tingkah Yui.“Light, di mana Yuasa?” tanya Rafael menoleh ke arah pemuda yang sedang memperhatikan penangkap mimpi yang dipasang Rafael.“Ada di balkon, dia bersama Fury,” jawab Light menyentuh penangka
Yuasa ditemani Rafael dan kedua adik kembarnya sudah berada di kaki pegunungan Jade. "Dengar Yuasa, yang ku lihat dan yang kau lihat akan berbeda. Di depan mataku hanya ada jalan setapak tanpa hambatan. Dan taman bunga mawar itu tidak pernah mau muncul saat aku ke sana. Akan tetapi, pasti berbeda denganmu. Semakin kuat cintamu semakin sulit ujian yang akan kau lalui, jangan menyerah hingga bunga itu muncul." Rafael memberikan penjelasan sebelum Yuasa melangkahkan kakinya di pegunungan Jade."Tenang saja, Paman, kami akan menemani kakak!" seru si kembar dengan percaya diri mereka berada di sebelah Yuasa."Taman mawar tidak akan muncul di hadapan kalian, bocah!" seru Rafael menyentil dahi kedua bocah yang ikut-ikutan ingin membantu."Yui mau mawarnya!" seru Yui."Mana ada pangeran yang mau bertaruh nyawa di sini demi dirimu," kelakar Light yang terlihat tertawa ringan. Yui cemberut melihat Light menertawakannya."Paman! Apa Yui tidak cukup berharga untuk dicin
Yuasa merasa naga merah yang bertarung dengannya tak kunjung menggigitnya hingga perlahan dia membuka matanya. Sebuah barrier transparan berwarna merah menyelubungi dirinya dan menghalangi naga itu mencabiknya dengan gigi-gigi tajam yang terlihat jelas saat mulutnya terbuka lebar-lebar.“Barier Rosaline!”Yuasa teringat hari itu saat blood moon belum terjadi, malam itu Rosaline menggambar dua rune di kedua lengan tangannya. Barrier pertama sudah hancur untuk melindunginya dari Xavier. Dan saat ini barrier kedua Rosaline melindunginya dari gigi-gigi tajam sang naga merah.Tak ingin membuang kesempatan, Yuasa segera memanggil pedangnya. “Golden lightning!”Pedang keemasan dengan kilatan-kilatan petir yang menyelubunginya. Yuasa mengarahk