“Ayo, sini! Come to papa! Ha ha ha!” Jay tertawa rendah. Wajahnya sudah mirip iblis pembantai dengan gelagat seperti dewa perang.Iblis Dewa Perang sedang beraksi di medan tempur.Ketika pertempuran semakin memanas, Jay mulai menyadari bahwa ini adalah pertempuran untuk bertahan hidup, bukan hanya melawan musuh fisik.Musuh semakin banyak dan serangan mereka semakin terkoordinasi. Namun, Jay tetap tak gentar.Setiap kali musuh mendekat, dia menghancurkan mereka dengan kekuatan dan kecepatan luar biasa.“Ayo! Ayo!” Jay seperti kesetanan, menebas ke kanan dan kiri, atas dan bawah, sehingga yang terdengar hanya teriakan musuh setiap berada di jangkauan Jay.Setelah beberapa saat, Jay mulai kehabisan musuh di sekitar.Erlangga yang berdiri di sampingnya terlihat tak tergores sedikit pun, meski mereka telah dikelilingi oleh lusinan musuh yang kini tergeletak di tanah."Aku sudah bilang, Lang, bahwa kita lebih pintar daripada mereka," ujar Jay sambil tersenyum tipis.Namun, matanya masih aw
“Tuan Jay, Anda sungguh luar biasa.” Kolonel Hangga memuji.Pertempuran sudah usai dan kemenangan jelas ada di pihak militer Astronesia. Meski ada korban jiwa, tapi itu sangat minimal. Berbanding terbalik dengan pihak pasukan pemberontak.“Oh, Kolonel terlalu memuji. Saya hanya berbuat sedikit.” Jay merendah untuk meroket.Memahami kesombongan Jay yang dibungkus tipis, Kolonel Hangga terpaku beberapa detik sebelum menyemburkan tawa basa-basi.“Ha ha ha. Sedikit dari Anda, merupakan bantuan besar bagi kami. Terima kasih. Baru kali ini kami meraih kemenangan yang demikian gemilang melawan pasukan pemberontak.”Meski begitu, Kolonel Hangga tidak mempermasalahkan kesombongan itu, karena Jay memang pantas untuk sombong setelah apa yang diperbuat dan apa yang mampu diperbuat.Mereka pun kembali ke barak darurat. Banyak prajurit yang baru saja bertempur merasa kagum dengan Jay.“Sungguhan! Aku pikir aku sedang menonton film laga tadi! Dia keren banget! Gerakannya cepat banget! Berasa nonton
Jay menatap layar laptop, sejenak merasakan ketegangan yang mulai memudar setelah Komandan Rahul memberikan izinnya.Meskipun rasa hormatnya besar pada militer, dia tidak ingin mengambil tindakan tanpa koordinasi."Terima kasih, Komandan. Untuk saat ini, tidak ada permintaan khusus. Namun, jika situasi memburuk dan kami memerlukan dukungan tambahan, saya akan secepatnya menghubungi Anda," jawab Jay dengan nada tegas.Kolonel Hangga yang berdiri di samping Jay mengangguk setuju. "Saya akan pastikan pasukan siap dan waspada. Anda bisa percaya pada kami di sini, Komandan," kata Hangga sambil memberi salut.Komandan Rahul menghela napas, terlihat sedikit lega. "Baik, Kolonel. Saya percayakan situasi di sana kepada Anda dan Tuan Jay. Tolong jaga Tuan Jay dan orang-orangnya. Mereka warga sipil yang pemberani. Jaga pula komunikasi tetap terbuka. Jika situasi memanas, segera hubungi saya. Kami akan siap mengirim bantuan secepat mungkin," katanya sebelum menutup sambungan.Setelah panggilan be
Jay terdiam sejenak saat mendengar kabar dari Erlangga. "Wartawan?" tanyanya, tidak percaya. "Mereka pikir ini apa, festival atau parade?"Erlangga mengangguk, meski wajahnya juga menandakan ketidaksetujuan yang sama. "Ya, Bos. Katanya mereka datang untuk melihat langsung penggunaan rompi NanoCorium di medan tempur dan ingin mewawancarai Anda."Jay mendengus dengan ekspresi sedikit kesal. "Konyol! Ini medan perang, bukan tempat untuk mencari sensasi atau berita eksklusif!" Dia menatap Baskara yang ada di layar. "Baskara, kamu sudah melaporkan ini ke Komandan?"Baskara di tempatnya, mengangguk. "Sudah, Bos. Komandan Rahul langsung memerintahkan anak buahnya untuk menghentikan para wartawan itu di Kota Mahoni sebelum mereka mendekat ke area konflik."Jay menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya. "Bagus. Yang terakhir kita butuhkan adalah lebih banyak gangguan di sini." Dia menoleh ke arah Erlangga. "Kita sudah cukup sibuk mengatasi musuh tanpa harus mengkhawatirkan orang-orang bodo
Jay terus melangkah dengan cepat, tak ingin menyia-nyiakan waktu setelah menemukan wartawan dan kameramannya.Pikirannya masih terganggu oleh kebodohan mereka yang nekat menyusup ke area konflik. Dua orang itu tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga mengganggu strategi militer yang sedang berlangsung."Bos, ada musuh lain yang mendekat dari arah barat," suara Baskara terdengar di telinga melalui alat komunikasi. Jay langsung merapatkan rahangnya, wajahnya menunjukkan ketegangan."Seberapa banyak?" tanya Jay, tatapannya menyapu hutan sekeliling."Banyak, sekitar satu regu penuh. Mereka tampaknya mencari rekan mereka yang sudah Anda kalahkan tadi," jawab Baskara.Jay menghela napas panjang. Situasi ini semakin rumit. "Erlangga, bawa wartawan ini kembali ke tenda utama. Aku akan menahan mereka di sini," ucap Jay, suaranya rendah namun penuh ketegasan.Erlangga menoleh, matanya terbelalak. "Bos, biar saya bantu—""Tidak! Kamu yang tanggung jawab membawa mereka keluar dari sini.
"Ma-maafkan kami, Tuan Jay." Lina, si wartawan wanita berkata dengan suara menyesal. "Kakiku ... kakiku mendadak terasa sakit, mungkin terkilir, makanya kami ... lambat berjalan."Jay menatap Lina sebentar. Matanya menyipit, memeriksa kondisi wartawan yang berdiri di hadapannya dengan wajah penuh rasa bersalah.Kaki Lina tampak baik-baik saja, tetapi dia tahu betapa berbahayanya berada di medan perang tanpa daya, dan siapa pun bisa merasakan nyeri mendadak akibat kelelahan atau stres. Tidak ada waktu untuk berdebat. Ketika Jay hendak menyentuh kaki Lina untuk disembuhkan, suara Baskara sudah terdengar lagi melalui ear-piece dia. "Bos, musuh mendekat lagi ke lokasi Anda berempat. Sekitar 20 meter. Ada belasan orang," Baskara memberitahukan ancaman yang semakin mendekat.Jay menghela napas dalam-dalam, menyiapkan diri. Dia menoleh ke Erlangga. "Kita harus bertindak cepat. Kamu fokus bertarung. Aku akan membawa mereka."Erlangga mengangguk tegas, menghunus sangkurnya. "Baik, Bos."Denga
“Kenapa? Apa udah sembuh?” Jay bergerak menjauh.Sebenarnya dari tadi Jay sudah mengetahui bahwa kaki sakit Lina hanyalah sekedar sandiwara dari si wartawan wanita.Tujuannya apalagi kalau bukan ingin tetap dekat dengan Jay untuk mendapatkan berita paling akurat?“Itu … iya, sepertinya … udah sembuh, Tuan Jay.” Lina menundukkan kepalanya.“Pakai aja tendaku untukmu tidur. Besok aku antar kamu ke kota.” Jay berjalan keluar diikuti Erlangga dan kameraman.Lina hanya terdiam dan menerima.Besok dia dipulangkan? Ini terlalu rugi baginya. Tapi mau bagaimana lagi? Atau dia mungkin bisa melakukan sesuatu agar hal itu bisa ditunda?Lina mulai merebahkan dirinya di ranjang sederhana yang ada di tenda Jay.“Hm?” Lina mengernyitkan keningnya, tapi bukan dalam ekspresi negatif, justru sebaliknya. “Aroma Tuan Jay,” bisiknya.Bau tubuh Jay masih tertinggal di seprai itu, membawa aroma maskulin yang khas—perpaduan antara keringat, debu medan perang, dan sedikit wangi kayu dari parfum yang samar.Saa
“Baik, Bos!”Erlangga mengangguk dan mulai menyiapkan peralatan untuk Lina.Lina pun mulai mempersiapkan diri untuk meliput berita tentang NanoCorium dan Jay Mahawira.Setelah percakapan pagi itu, mereka kembali ke rutinitas harian di kamp.Jay terlihat sibuk, berbicara dengan Erlangga tentang strategi pertahanan jika musuh kembali menyerang.Lina, di sisi lain, memutuskan untuk ikut serta dalam kegiatan di kamp. Dia berpura-pura berinteraksi dengan tentara lainnya, mengambil gambar sesekali, sambil mencari celah untuk mendekati Jay.Di sela-sela kesibukan sore harinya, Lina menemukan Jay sedang memperbaiki senjata bersama Erlangga di salah satu tenda peralatan.Dengan penuh keberanian, dia mendekat, berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan."Apakah aku bisa membantu dengan sesuatu, Tuan Jay?" tanyanya, mencoba terdengar tulus.Matanya memperhatikan peralatan yang sedang diperbaiki Jay dan Erlangga.Jay menoleh sekilas, lalu tersenyum tipis. "Enggak perlu. Ini pekerjaan teknis, kamu