Di tempat Vincen berlatih, dia masih belum menyadari bahwa Pak Tua Clark, Shancez, dan Veronica kini telah jadi tawanan Nelson. Meski begitu, dia tetap fokus melatih dirinya agar semakin kuat, dengan tujuan menggabungkan teknik Pengendalian Darah dan Pernapasan Alam.
Di dekat air terjun, Vincen terlihat sedang menguji kemampuannya melawan pria sepuh yang selama ini menjadi guru dan mentor latihannya.SwuzzDuak! Duak!Suara pukulan Vincen yang keras berbenturan dengan pertahanan pria sepuh, menghasilkan gelombang udara yang memecah keheningan sekitar. Semakin lama, pertarungan semakin sengit dan intens.Wajah pria sepuh tampak tenang, namun tetap waspada, seolah menggali potensi terpendam dalam diri Vincen yang belum sepenuhnya menguasai teknik Pengendalian Darah.SwutDuak!Tiba-tiba, pukulan Pernapasan Alam Vincen meluncur cepat dan kuat, menghantam pria sepuh yang terpaksa menahan serangan dengan kedua taMelihat tatapan Vincen yang penuh tekad, pria sepuh itu tak bisa menahan senyum yang terukir disudut bibirnya. Dengan langkah mantap, ia beranjak dari duduknya dan menghampiri sebuah laci yang ada di kamarnya. "Vincen, kemarilah!" serunya dengan suara yang lantang dan penuh wibawa.Sebelum beranjak, Vincen menoleh ke arah Noel yang menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Lantas, ia mengangguk pada Noel dan bergegas mengikuti pria sepuh itu. Noel pun segera mengikuti tuan mudanya dari belakang, rasa penasarannya memuncak. Di dalam kamar yang hanya diterangi cahaya lampu minyak, pria sepuh itu mempersilakan Vincen duduk. "Duduklah," perintahnya dengan suara lembut namun tegas. Vincen mengangguk, tak mengerti apa yang akan dilakukan pria sepuh tersebut. Namun, dengan patuh ia duduk bersila di atas ranjang bambu yang terasa sedikit keras di bawah tubuhnya. Pria sepuh itu duduk di hadapan Vincen, mengeluarkan sebuah liontin yang tampak antik. Dengan gerakan perlahan, ia membuka liontin
Sunny terkejut bukan ketika melihat kehadiran Sebastian di depan matanya, dia menelan ludah berkali-kali dan keringat dingin mulai bercucuran deras di dahinya."T-tuan Vettel, apa yang membuat Anda berada di sini?" tanya Sunny dengan suara tergagap, tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan."Seharusnya aku yang menanyakan hal itu padamu, mengapa kau yang seharusnya melayani tuan Nelson dan keluarganya malah berada di sini?!" ujar Sebastian dengan nada dingin dan wajah tanpa ekspresi. Pasalnya, dia memang dikendalikan untuk menjaga sekitar kediaman Pak tua Clark bersama anak buahnya.Berbeda dengan Veronica yang hanya dibuat diam tanpa berkata apa pun, kesadaran Sebastian sepenuhnya diambil alih oleh teknik tersebut.Sunny melirik Roy dengan pandangan penuh harap, rekannya itu memberikan kode agar membuat Sebastian sibuk. Dia mengepalkan tangannya erat, ragu apakah dirinya mampu melakukannya."T-tuan Vettel! Sebenarnya ada sesuatu yang ing
Roy terjatuh tengkurap, tak sadarkan diri, dengan tubuh Veronica yang terikat erat di punggungnya.Sebastian mengulurkan tangannya untuk melepaskan Veronica dari tubuh Roy. Namun, bagai petir yang menyambar, Vincen tiba-tiba muncul dan mencekal lengan Sebastian dengan kekuatan luar biasa. Dalam sekejap, Vincen melancarkan pukulan dahsyat ke dada Sebastian, membuat pria paruh baya itu terpental jauh ke belakang."Maaf sedikit terlambat, kerja bagus," ucap Vincen, melirik Roy yang terkapar, lantas menoleh menatap Sebastian yang terkena pukulannya. Seluruh tubuh Vincen berwarna merah darah, menandakan dia baru saja mengaktifkan teknik Pengendalian Darah. Dia berdiri dengan gagah di hadapan puluhan pengawal kakeknya yang sudah terjebak dalam teknik ilusi Nelson.Vincen menatap mereka semua dengan sorot mata tegas, penuh percaya diri, seolah tak takut dengan siapa pun meski dia berada di sana seorang diri. Aura kekuatan dan keteguhan hati Vincen terpancar begitu kuat.***Beberapa jam seb
Vincen menghilang seketika dari tempatnya berdiri, kecepatannya meningkat secara drastis saat dia memfokuskan teknik gabungannya. Swut Duak! Duak! Bak kilat menyambar, Vincen menghantam tengkuk bawahan Sebastian satu per satu dengan kekuatan luar biasa, membuat mereka ambruk seketika, tidak sadarkan diri. Aksi cepat dan mematikannya membuat mereka tak sempat melancarkan serangan. Bawahan Sebastian terkejut, tidak mampu melihat pergerakan Vincen yang berada di luar jangkauan penglihatan manusia biasa dan hanya bisa pasrah menerima serangan Vincen.Setelah melumpuhkan semua bawahan Sebastian, Vincen melaju bagai angin kencang menuju Sebastian yang tengah mengumpulkan energi spiritualnya. Swut Duak! Mata Sebastian membelalak terkejut, saat melihat Vincen tiba-tiba muncul di hadapannya. Energi spiritual yang baru saja berkumpul di sekitar tubuhnya menguap begitu saja, seiring dengan pria paruh baya itu terlem
Kepala pelayan menyadari bahwa jika ia mengaku, maka para bawahannya akan selamat dari amarah Nelson. Maka dengan tekad yang bulat, ia memutuskan untuk melakukannya. Nelson melangkah mendekati kepala pelayan dengan tatapan dingin dan sinis. "Hoh, jadi kau yang telah mengkhianatiku?" ujarnya sambil tersenyum licik. "Tak heran tempat ini terasa begitu menyebalkan, karena kau yang menjadi kepala pelayan, namun tak mampu menjalankan tugas dengan baik!" Nelson berbicara dengan nada menghina, dan tanpa ragu, ia mencengkeram leher kepala pelayan dengan kekuatan penuh. Pria itu tercekik dan kesulitan bernapas. Namun, Nelson tak berhenti di situ. Ia menggunakan teknik ilusi dalam cincin yang dikenakannya, membuat kepala pelayan tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah ketika lehernya tercekik oleh Nelson. Para pelayan yang lain hanya bisa menahan amarah dan mengepalkan tangan mereka. Bagi mereka, kepala pelayan adalah sosok yang seperti orang tua di kediaman keluarga Clark. Dialah yan
Esok paginya di apartemen milik Vincen, Roy terbangun setelah semalaman tak sadarkan diri. Ia terkejut melihat Sunny duduk di samping tempat tidurnya, menemani dirinya. "Syukurlah, kau baik-baik saja, Roy!" ucap Sunny lega sambil memeluk erat Roy, sahabat sekaligus rekan kerjanya. Roy yang masih bingung dengan kejadian yang menimpanya, spontan mengeluarkan kata-kata yang tak terduga. "Apa kita ada di surga?" tanyanya heran, membuat Sunny segera melepaskan pelukannya. "Apa maksudmu?" tanya Sunny dengan alis berkerut, tidak mengerti maksud Roy. "Kita sudah mati, bukan?" tanya Roy lagi dengan wajah polos yang membuat Sunny semakin bingung. Sunny mencoba menenangkan Roy sambil mengecek suhu tubuhnya. "Astaga, apa kau jadi sakit, karena kejadian semalam?" ujarnya sambil menempelkan punggung tangannya di kening Roy. "Apa-apaan kau ini!" gerutu Roy, masih mencoba mengingat-ingat peristiwa kemarin. "Bukannya kemarin kamu dibunuh oleh Tuan Sebastian? Jika benar, aku juga seharu
Elma mendekati Vincen dengan langkah ragu, matanya berkaca-kaca penuh harap. Dalam hati, wanita tua itu merasa tak percaya bisa bertemu lagi dengan Vincen setelah sekian lama. Dengan perlahan, tangannya terulur, jemarinya menyentuh pipi Vincen lembut, seperti takut akan merusaknya. Vincen melirik pria sepuh yang mengajaknya ketempat tersebut, mencari petunjuk atas kehadiran wanita tua di depannya. Namun sosok yang sekarang menjadi gurunya itu hanya tersenyum mengangguk, memberikan isyarat bahwa wanita itu penting dalam hidupnya. Hati Vincen berdesir, ingin mengetahui siapa sebenarnya wanita tua tersebut. "Kamu sudah besar sekarang, maafkan nenek," ucap Elma dengan suara bergetar, air mata berlinang di sudut matanya."Nenek?" gumam Vincen bingung, mencoba mengingat kembali kenangan masa lalu yang terkubur. Elma menahan isak tangis, dia menoleh ke pria sepuh yang membawa Vincen ke rumahnya. "Apa kau tidak memberitahunya tentang kita, tu
Vincen dengan penuh perasaan menguraikan segala kisah yang dialami keluarganya kepada Elma, ia menjelaskan tentang teknik ilusi yang membuat orang-orang di sekitarnya tidak mengenali dirinya. Mendengar cerita itu, Elma segera memahami inti permasalahan yang dihadapi Vincen. Dengan sorot mata tajam, dia melirik Lotar, suaminya, sebelum pergi meninggalkan Vincen di ruang tamu, membuat Vincen merasa bingung dan penasaran. Namun, tak berapa lama, Elma kembali ke ruang tamu sambil membawa tas usangnya. Dengan nada tegas dan penuh antusias, Elma berkata, "Ayo berangkat, kita tidak punya banyak waktu lagi!" Vincen masih tertegun, tak tahu harus berkata apa. Lotar yang duduk di sampingnya dengan lembut menepuk bahu Vincen, memberi teguran agar pemuda itu segera bangkit. Mereka pun segera berdiri, mengikuti Elma yang telah melangkah lebih dulu keluar rumah. Di tengah kesibukan itu, Noel dengan hati-hati mendekati Vinc