Noel, dengan tubuh yang sudah penuh luka dan darah, terkapar lemah di tanah yang keras. Nafasnya tersengal, matanya meredup namun ada sepercik tekad yang masih belum padam. Dia mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, menggerakkan tubuhnya yang terasa berat bagai timah.Perlahan, dengan susah payah, dia mencoba untuk berdiri, menggenggam erat tanah di bawahnya sebagai penopang.Di kejauhan, Norn yang menyaksikan upaya Noel untuk bangkit, merasakan amarah yang membuncah di dadanya. Matanya menyipit, penuh kebencian.Dengan kekuatan yang terkumpul, dia menghentakkan kaki ke tanah, menghasilkan getaran yang memecah kesunyian. Dari retakan tanah, sebuah bongkah batu besar terlempar ke udara. Dengan sebuah tendangan yang kuat, Norn mengarahkan batu itu dengan kejam ke arah Noel."Pergilah kau, ke neraka!" teriak Norn dengan nada sinis.SwuzzSuara gesekan bongkahan batu yang membelah angin terdengar nyaring. Batu itu melesat cepat menuju Noel, yang sudah tidak memiliki kekuatan untuk me
Mata Gyle membelalak tak percaya saat melihat pedangnya yang begitu keras itu patah menjadi dua bagian oleh hantaman Vincen.Di atasnya, Vincen masih melayangkan pukulan, raut wajahnya menegaskan kemenangan. Dengan sebuah teriakan yang menggelegar, dia melepaskan energi spiritual yang hebat, membuat udara disekitar menjadi bergetar. Tanah di bawah Gyle bergetar hebat, seakan-akan akan menelan dia bulat-bulat. Gyle merasakan tekanan yang luar biasa dari pukulan energi yang dilepaskan Vincen, seolah-olah ada gunung yang menindihnya. Kaki-kaki Gyle kokoh, kini amblas ke dalam aspal yang retak, tak mampu menahan tubuhnya yang terasa semakin berat. Dia menggertakkan giginya, mencoba bertahan dari serangan dahsyat itu, tetapi dia tahu ini adalah pertarungan yang tidak bisa dia menangkan dengan mudah."Kau tak akan pernah mengalahkanku!" teriak Gyle penuh emosi, sambil berusaha menahan serangan Vincen dengan sisa tenaga yang ada.Namun, Vincen
Vincen kembali ke mobilnya bersama Lotar, tergesa-gesa untuk menangkap John yang ditempat persembunyiannya. Sementara Noel yang terluka parah dibawa ke rumah sakit terdekat, dibantu Elma yang daritadi merawat luka-lukanya.Mobil melaju kencang, angin berdesir keras di telinga mereka. "Vincenzo," ucap Lotar dengan nada serius, "kamu harus lebih waspada mulai dari sekarang. Pecahan giok darah yang dimiliki nenekmu... ada yang mencuri."Kening Vincen berkerut, bingung. "Maksud Kakek...?"Menghela napas kasar, Lotar pun menjelaskan. "Nenekmu dan aku masing-masing menyimpan pecahan giok darah, sebagai peninggalan keluarga kita. Tetapi kemarin saat kami pergi untuk mengambil pecahan giok darah yang ada di rumah nenekmu, ada seseorang yang mengambilnya terlebih dahulu dan dia sepertinya bukan orang biasa."Mendengar penjelasan sang Kakek. Vincen hanya bisa mengepalkan tangan hingga mengeluarkan suara gemeretak. Ia tahu betul kekuatan yang terkandung dala
Vincen tiba di rumah sakit, terlihat dia tergesa-gesa masuk ke ruang perawatan Kakeknya. Para pengawal yang berjaga didepan ruangan itu mbungkuk saat melihat Vincen. Begitu pintu ruangan terbuka, suasana haru menyelimuti ruangan tersebut.Veronica dan Kakeknya yang tengah duduk di samping ranjang, menjaga Pak tua Clark, langsung berdiri ketika melihat Vincen yang datang bersama Lotar. Wajah mereka tampak sedih, mencerminkan kekhawatiran yang mendalam."Bagaimana keadaan Kakek?" tanya Vincen lirih sembari mendekat ke Pak tua Clark yang masih berbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya."Aku baik-baik saja," jawab Pak tua Clark dengan suara parau sambil berusaha tersenyum, menyembunyikan rasa sakit yang menghantui tubuhnya.Vincen berdiri di samping Kakeknya, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Mau sampai kapan Kakek menyembunyikan semua ini padaku? Apa Kakek tidak pernah memikirkan perasaanku?" ucapnya
Di kamar Pak tua Clark yang dipenuhi kenangan, Vincen duduk di kursi kayu tua milik kakeknya, mengelus-elus foto yang terletak di atas meja samping tempat tidur. Setiap inci ruangan itu mengingatkannya pada sosok yang telah banyak memberikan pelajaran hidup kepadanya.Veronica, dengan penuh perhatian, duduk di samping Vincen, mencoba menawarkan secercah kenyamanan. "Vin... dari kemarin kamu belum makan, makanlah ini," ucapnya lembut, sambil menyodorkan roti hangat yang baru saja dibelinya.Vincen melirik roti tersebut dan kemudian memandang Veronica. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum pahit, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak apa-apa, jangan khawatirkan aku," katanya, suaranya serak karena berusaha menahan emosi.Veronica menggelengkan kepalanya, rasa frustrasi dan keprihatinan bercampur menjadi satu. "Kamu harus makan, Vin. Kakekmu pasti tidak ingin melihatmu seperti ini," ujarnya sambil berusaha menahan air mata yang mulai menetes.
Saat kabar kematian Pak tua Clark, pebisnis tersebar, kantor Central Clark Capital langsung dipenuhi kekacauan. Para pegawai bergumam, ada yang mencoba tetap fokus pada monitor mereka namun mata mereka sering teralihkan ke pintu kantor yang seolah-olah bisa dibuka oleh setiap orang yang ingin mengambil alih.Di negara lain, beberapa orang yang selama ini dikenal sebagai pesaing Pak tua Clark, terlihat sedang berkumoul bersama disebuah Restoran. "Kalian tentunya sudah dengan, bukan? Pak tua Clark akhirnya mati juga." seorang pesaing berkata sambil tersenyum licik. "Aku sudah dengar, ini kesempatan emas buat kita." teman sebelahnya berkata dengan semangat, "Kita harus manfaatkan situasi ini dan segera bergerak cepat." "Kamu benar, kalau kita bisa pengaruhi sahamnya sekarang, kita bisa ambil alih pasarnya." timpal yang lain."Aku setuju! Kita segera buat strategi yang matang. Ini saatnya kita jatuhkan saham Central Clark Capital!" sahut y
Melihat Vincen mendekat ke arahnya, perasaan ketakutan mulai menyelinap di dalam hati Loyd. Dia melirik ke sekeliling dengan cemas, menutup matanya rapat-rapat saat Vincen mengulurkan tangannya ke arahnya. Akan tetapi, Loyd tak merasakan hal yang buruk terjadi. Dengan ragu, dia membuka matanya perlahan dan menyaksikan Vincen tengah meluruskan kerah jasnya. "Jangan pernah menyebarkan rumor yang kebenarannya belum terbukti," tegas Vincen sambil menatap Loyd tajam, tangannya yang mengatur kerah Loyd berubah menjadi cengkeraman erat, lalu dia melanjutkan. "Kita di sini bekerja sebagai pebisnis, bukan wartawan yang menyebarkan gosip-gosip tak jelas saat perusahaan sedang dalam keadaan sulit. Ingat, kamu tidak perlu cemas tentang masalah perusahaan, karena aku sudah mengurus semuanya." Vincen melepaskan cengkramannya pada kerah Loyd, membuat pria paruh baya itu jatuh terduduk kembali ke kursinya. Namun, di tengah rasa takut yang memenuhi dirinya, Loyd tidak bisa menyembunyikan rasa p
Serdan, yang telah mempercayai Vincen sepenuhnya dan menjadi penanggung jawab proyek baru yang sedang berlangsung, tiba-tiba berdiri dengan geram. Dengan emosi memuncak, ia menggebrak meja dengan begitu keras hingga membuat semua orang terkejut. Tatapannya menembus ke dalam jiwa Loyd. "Loyd, kau brengsek! Tidak heran setiap kali aku berusaha melobi pemerintah, selalu saja gagal. Jadi, ternyata ini semua karena ulahmu!" teriak Serdan penuh amarah, sambil meremas berkas perjanjian kontrak antara Loyd dan pemerintah. "Aku benar-benar tidak menyangka, kau ternyata tidak berbeda dengan John," lanjutnya dengan wajah yang semakin menghitam. Vincen dengan tenang mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada Serdan untuk tenang. Serdan duduk kembali, namun wajahnya masih terlihat geram dan penuh kebencian terhadap Loyd. Vincen menatap Loyd yang mulai terlihat ketakutan. Semakin yakin akan dugaannya, lantas bertanya. "Jadi, apa kau masih mau mengelak, Loyd Sanders?" Loyd mengepalkan ta