Keesokan paginya, hari baru dimulai dengan penuh aktivitas. Dengan Fengyin kini menjabat sebagai Bunda Ketua dan mengasuh bayi naga, kalangan kaum hawa di pemukiman bawah tanah juga memiliki kesibukan baru mereka. Hal ini memberikan Yuan ketenangan tambahan saat dia meninggalkan Fengyin untuk menjalankan misi di permukaan.Peralatan tempur mereka sudah diperbaiki sepenuhnya. Zirah yang ditempa oleh Doanghai dan rekan-rekannya kini siap digunakan. Dengan bantalan lentur di dalam dan area tajam yang telah diperbaiki, mobilitas pemakainya tidak terpengaruh secara signifikan. Mereka bisa bergerak bebas di balik perlindungan besi Kraiman yang kokoh.Yuan, Hongli, Zhenwu, Dwei, Xiao, Tangfei, dan Enlai berkumpul di depan pintu masuk goa, siap melanjutkan misi mereka. Jika sebelumnya mereka hanya melakukan pengintaian, kali ini mereka berencana untuk merampok gerobak muatan yang dikirim ke Wuyan secara langsung. Dengan peralatan yang memadai, mereka memutuskan bahwa inilah saatnya untuk bera
“Enlai!!!”Saat Yuan berteriak, Hongli langsung mendongak ke arah tebing. Dalam sekejap, ia bergerak cepat melihat dua tubuh jatuh dari ketinggian menuju jurang curam di bawah pegunungan.“Bertahanlah, Enlai! Aku akan memegangmu!” Hongli berseru, berhasil menangkap tangan Enlai di udara sebelum tubuh anak itu jatuh lebih jauh.Namun, nasib berbeda menimpa prajurit Wuyan yang jatuh bersama dengannya. Ia terjerembab di atas batu-batu tajam di bawah sana, tubuhnya tertusuk bebatuan runcing hingga menembus perut.Sekuat tenaga Hongli coba menarik tubuh anak itu naik kembali ke tempat aman. Tubuh Enlai mati rasa. Dia gemetar lemas sampai tak bisa bergerak karena terguncang. Pikirannya kosong. Tubuhnya tak berdaya bahkan untuk berdiri.“Hei sadarlah! Ini bukan waktu yang tepat untuk pingsan! Kita sedang berada di medan tempur.” Hongli harus menampar wajah anak itu beberapa kali sampai kesadarannya kembali.“Ma-maaf, aku akan pergi ke tempat aman sekarang.” Enlai akhirnya menjawab setelah me
Selesai menjarah karavan milik Wuyan, batu Gogonit berhasil diamankan. Mereka semua memutuskan untuk kembali ke dalam goa dan pulang. Melalui rute yang sama, mereka tiba di pemukiman Ner’iatu dalam waktu setengah jam. Enlai masih merasakan tatapan tidak senang dari anggota kelompoknya akibat peristiwa hari ini. Dwei, Zhenwu, Xiao, dan Tangfei masih bingung mengapa Yuan bersikeras membawa Enlai, yang tidak pernah bertarung sebelumnya, dalam misi berbahaya ini.Begitu tiba di depan pintu masuk, mereka mendapati pemandangan yang mencengangkan. Seorang wanita menangis meronta-ronta dipegangi oleh Fengyin dan Wang Jing di depan ruangan Bunda Ketua. Tangan kanan wanita itu nampak terluka oleh sesuatu.“Ayolah Da Qiao, jangan seperti anak kecil begini,” Fengyin mencoba menarik tubuh wanita itu, tetapi kesulitan karena tenaga Da Qiao yang melawan.“Tidak mau! Lihatlah, aku terluka!” Da Qiao terus merintih, menunjukkan telunjuknya yang masih mengeluarkan darah sedikit.“Apa yang terjadi di sin
Pedang pria itu terhunus mengarah ke semak tempat Yuan bersembunyi. Adrenalin membuat jantung Yuan berdegup kencang. Dia harus bertindak cepat untuk menghindari kemungkinan terburuk.Plang!Pria itu menebas semak dengan amarah. Yuan berhasil menangkis dengan pisaunya, mencegah tebasan pedang tersebut menyayat dari leher. Keringat dingin membasahi wajah Yuan. Belum pernah dia merasa setakut ini.Tak ada pilihan lain, dia memutuskan untuk kabur secepat mungkin dari sana. Sebisa mungkin dia tidak ingin berhadapan langsung dengan seorang ahli pedang sekelas pria itu. Mendengar semak yang dia tebas berbunyi seperti besi, pria itu melompat ke dalam sana.Untungnya, Yuan sudah menjauh sebelum pria itu bisa menangkapnya. Dia berlari mendaki bukit menuju pintu masuk goa, satu-satunya tempat yang dianggapnya aman.Setibanya di bibir goa, Yuan kehabisan napas. Cahaya bulan memantul cerah dari keringat dingin di wajahnya. “Ini suasana yang menakutkan, pria itu jelas bukan orang sembarangan,” pik
Sebelas prajurit maju secara serentak, siap menghadapi Yuan sendirian. Keenam orang yang sedang bersembunyi menunggu sinyal dari bocah itu untuk bertindak.“Ingat, Enlai, jangan sampai kau merusak rencana ini,” kata Tangfei dengan nada tegas, matanya menatap tajam.“Benar, Enlai. Fokuslah pada satu musuh, setelah itu biar kami yang mengurus sisanya,” tambah Hongli, berusaha menenangkan anak itu.Enlai mengangguk, meski masih tampak cemas. Tangan kecilnya gemetar memegang pisau, dan ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan detak jantungnya. “Aku akan melakukan yang terbaik,” katanya, suaranya bergetar tetapi matanya menunjukkan tekad.Tak lama kemudian, saat posisi musuh yang hendak menyerang Yuan sampai pada titik yang diinginkan, bocah yang menjadi umpan hidup itu tersenyum penuh kemenangan melihat rencananya berjalan dengan mulus. Dia mengangkat tangan tinggi memberikan aba-aba pada rekan di atas sana. “Sekarang!”Hongli, Zhenwu, Dwei, Xiao, Tangfei, terjun bebas dari atas b
"Pangeran Yuan Qiancheng, apakah itu benar dirimu?" Wajah samurai itu menampilkan campuran antara haru dan ketidakpercayaan."Paman Xueyi!" Yuan segera memberikan pelukan hangat kepada sang paman."Oh, Yuan, aku tidak percaya bisa bertemu denganmu," jawab Xueyi sambil mengusap kepala ponakannya dengan air mata. "Aku kira hanya aku satu-satunya yang selamat dari kerajaan kita."Hongli dan Enlai saling berpandangan, tidak mengerti. Mereka tidak menduga bahwa Yuan dan pria ini ternyata saling kenal, padahal seminit yang lalu Yuan tampak sangat ketakutan hingga tidak bisa bergerak."Jadi, kalian berdua saling kenal?" tanya Hongli."Ya, kenalkan dia ini adalah pamanku, Xueyi Qiancheng.""Bagaimana kau bisa selamat dari penyerangan itu?""Ketika hari ulang tahun pangeran yang ke lima belas, aku ditugaskan oleh raja sebagai duta perdagangan di Bing Qing. Ketika aku kembali ke Qingce, semuanya sudah hancur. Ayahmu, ibumu, Yuan, seluruh keluarga kita tidak ada yang tersisa.""Aku tahu, ini sem
Setelah pesta penyambutan Xueyi, janji untuk melatih Yuan dalam mengendalikan hawa keberadaan di keesokan harinya segera ditepati. Kegembiraan membara di hati Yuan, bersemangat untuk bertemu kembali dengan gurunya setelah sekian lama. Kedua pisau hitam dan hijau siap di tangan, siap untuk digunakan. Namun, saat dia melangkah masuk ke arena latihan bersama pamannya, sesuatu yang tak terduga menanti.Xueyi, bukannya mempersiapkan pedangnya, malah duduk bersila dengan tenang di tengah arena. Matanya terpejam penuh kedamaian. Yuan, terkejut dan bingung, menggaruk kepalanya, tidak mengerti apa yang sedang dia pikirkan.“Aku kira kita akan berlatih,” cibir Yuan, mendekatinya dengan rasa tidak sabar.“Tentu saja, kemarilah, duduk bersamaku,” jawab Xueyi dengan suara lembut namun tegas.“Bukankah kita akan bertarung atau semacamnya?”“Aku tidak pernah mengatakan kita akan bertarung. Masalahmu tidak akan terselesaikan dengan kekerasan, melainkan dengan seni berkamuflase dan menyatu dengan alam
Di siang hari yang cerah, Yuan, Hongli, dan Xueyi menuju pintu gerbang utama di barat. Di depan gerbang, banyak tamu dari kerajaan lain mengantri untuk membayar administrasi perpajakan. Masing-masing tampak menyerahkan dua puluh koin emas sebagai upeti agar bisa melewati gerbang dengan barang bawaan mereka.“Apa kita juga harus membayar koin emas?” tanya Hongli dengan nada panik.“Tentu saja,” jawab Xueyi. “Di tanah kerajaan korup ini, tidak ada yang bisa masuk tanpa membayar. Untuk satu orang, biayanya sepuluh keping koin emas. Kalau ada barang bawaan, biayanya bisa dua kali lipat.”“Gawat, aku tidak punya satu keping pun,” kata Yuan, panik sambil meraba semua kantongnya mencari uang koin.“Jangan khawatir, kemarin lusa aku dapat banyak koin emas dari Wuyan. Kita bisa pakai ini.”Setelah membayar tiga puluh keping koin emas, mereka bertiga berhasil memasuki kerajaan tanpa masalah. Di dalam kerajaan Bing Qing, suasananya sangat ramai, hampir seperti pasar. Jalan-jalan dipenuhi berbaga