Rendy berdiri di tepi Nirvana Hills, angin sejuk berhembus pelan, menggoyangkan pepohonan yang mengelilingi resor mewah itu. Di kejauhan, kota bersinar di bawah langit senja, namun pikirannya penuh dengan bayang-bayang Khan, musuh lama yang bisa muncul kapan saja. Rubikon miliknya terparkir tak jauh, siap membawanya kembali ke Kota Buitenzorg, tempat segala urusan penting menanti.Jessy berdiri di depannya, wajahnya menunjukkan kecemasan yang sulit disembunyikan. "Apa aku harus mendampingi Ketua ke Buitenzorg?" tanyanya dengan nada khawatir, matanya tak lepas dari Rendy yang bersiap pergi."Tidak perlu," jawab Rendy dingin, tangannya menyentuh permukaan mobil. "Kamu fokus pada Selina. Selidiki apa saja yang dia tahu tentang Khan."Jessy tampak ragu sejenak. "Bagaimana jika aku menemukan sesuatu tentang masa lalu Ketua dengan Selina?" tanyanya, mencoba meraba seberapa jauh Rendy masih terikat dengan masa lalu.Rendy mendesah pelan, memandang jauh ke cakrawala yang mulai memerah. "Aku s
"Aku tidak akan meninggalkan Khatulistiwa!" tegas Cindy. Matanya menatap Rendy tajam, menuntut jawaban tentang siapa The Killer sebenarnya dan apa hubungannya dengan masa lalu Rendy.Rendy menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. "Situasi di Khatulistiwa sangat berbahaya, Cin! Percayalah padaku. Aku janji akan menjelaskan semuanya setelah kamu aman, setelah kamu kembali ke sini."Namun, Cindy tidak bergeming. “Aku tahu kamu sedang berusaha melindungiku, Ren. Tapi aku tidak akan lari begitu saja.”Rendy frustrasi. "The Killer tidak akan pernah berhenti, Cin! Kalau kamu tetap di sini, dia akan mencarimu. Kamu harus pergi!"Dalam hati, Rendy menyesal tidak menghentikan The Killer dulu. "Sial... seharusnya aku habisi dia ketika ada kesempatan. Apakah hilangnya Clara ada hubungannya dengan dirinya?" batinnya bergejolak.Cindy menggeleng tegas. "Aku akan tetap di Khatulistiwa. Kalau aku pergi, mama akan menghabiskan pinjaman dari Wang Industries. Kau tahu sendiri, mama tidak bisa mengen
Rendy berjalan menjauh tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan Cindy di belakangnya. Ada beban berat yang menekan dadanya, sebuah rasa hampa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Apa aku benar-benar jatuh cinta pada Cindy?" gumamnya dalam hati, berusaha meraba perasaannya yang teraduk-aduk.Tak terasa, skuter bututnya mengarungi jalanan hingga berhenti di depan Kafe Kupi, sebuah kafe terkenal di Kota Buitenzorg. Nama kafe itu sederhana, hanya mengganti huruf ‘o’ pada kopi menjadi ‘u.’ Rendy datang dengan satu tujuan ... meredakan keresahan hatinya sebelum kembali ke Resor Lotus Merah di Underground City.Begitu memasuki halaman Kafe Kupi, pandangan tak ramah segera menyambutnya. Halaman luas itu penuh dengan mobil-mobil mewah yang terparkir rapi, seolah-olah kafe ini hanya terbuka bagi mereka yang mampu berkendara dengan mobil mahal. Tak ada ruang untuk skuter tua seperti milik Rendy, yang terlihat bagaikan benda asing di tengah parade kemewahan."Kenapa kaf
Suasana di halaman Kafe Kupi berubah tegang. Petugas keamanan yang tersisa saling melirik, tidak yakin harus bertindak seperti apa. Mereka baru saja menyaksikan satu dari mereka roboh dengan satu pukulan, dan kini pria yang berdiri di depan mereka memancarkan aura yang tak biasa—lebih dari sekadar tamu yang marah. Rendy berdiri tegak, dengan tatapan yang kini lebih tajam dan dingin. Hawa di sekitar terasa berat, menekan, seolah udara di tempat itu menjadi sulit dihirup.Salah seorang petugas memberanikan diri melangkah maju, meskipun ragu. "Kau pasti orang gila! Beraninya kau buat kekacauan di sini! Kami akan lapor pada Tuan Brawijaya, dan dia takkan memaafkanmu!" serunya, meski ada getar ketakutan di suaranya.Baru kali ini petugas keamanan merasakan nyawa mereka terancam walaupun mereka unggul dalam jumlah apabila terjadi pertarungan dengan Rendy.Rendy tak menanggapi. Ia hanya mendengus pelan sambil memandangi pria itu dengan tatapan seperti elang mengi
Setelah kepergian Rendy, Bram berdiri kaku di halaman Kafe Kupi. Ketegangan perlahan mereda, namun rasa takut yang tertinggal dalam dadanya tak mudah hilang. Tangan Bram masih gemetar saat ia masih memegang ponsel canggih dengan desain yang sederhana namun elegan yang tadi masuk notifikasi Bank dan pesan singkat Naga Perang. Jemarinya seolah berat untuk bergerak, namun ia tahu bahwa insiden ini tak boleh diabaikan. Setelah beberapa tarikan napas dalam, Bram mulai mengetik pesan singkat yang hanya memuat satu kalimat ...[Sang Naga Perang sudah kembali]Pesan itu ditujukan kepada satu nomor yang tidak memiliki nama di ponselnya. Tidak ada tanda penerima. Hanya serangkaian kode yang tidak dimengerti orang biasa. Setelah dikirim, Bram menunggu dengan gelisah. Hatinya berdebar keras, seperti ia menunggu vonis atas nasibnya sendiri. Tak butuh waktu lama sebelum layar ponselnya bergetar pelan, menampilkan balasan yang hanya terdiri dari satu kata saja ...[Segera data
Setelah insiden di Kafe Kupi, Rendy—yang dikenal juga sebagai Naga Perang—memacu skuternya melewati jalan-jalan kota Buitenzorg dengan tatapan kosong. Hatinya masih diliputi amarah yang tersisa dari bentrokan tadi, namun rasa lelah dan kegelisahan mengalir deras dalam pikirannya. Kafe Kupi tidak memberinya ketenangan yang ia butuhkan, sebaliknya, hanya menambah keruwetan yang sudah lama menumpuk.Angin malam menghempas wajahnya ketika ia akhirnya tiba di Underground City, sebuah distrik bawah tanah yang tersembunyi dari hiruk pikuk permukaan. Tempat ini seakan menjadi ruang pelarian bagi mereka yang mencari suasana berbeda, di mana lampu neon berkilauan dan musik elektronik menggema dari dinding-dinding batu. Rendy, tanpa perlu berpikir panjang, melaju menuju salah satu tempat favoritnya, Equator Cafe & Resto.Equator Cafe & Resto berbeda jauh dari Kafe Kupi. Di sini, suasana terasa lebih tenang, meski tetap mewah dengan interior modern dan suasana nyaman. Peng
Rendy menghela napas pelan, kebingungan masih melingkupi benaknya. Ia berdiri di hadapan Inez yang menatapnya dengan pandangan penuh rahasia, senyum samar di wajahnya seakan menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan ringan. Namun, Rendy tak bisa menebak apakah ia hanya berkhayal, atau apakah ini benar-benar Clara yang telah berubah, atau mungkin seseorang yang memiliki kaitan dengan wanita yang hilang dari kehidupannya itu.“Maaf, aku cuma... terkejut,” ujar Rendy pelan, sambil menarik kursi di hadapan Inez dan duduk tanpa menunggu undangan lebih lanjut. “Kamu benar-benar mirip dengan seseorang yang dulu sangat dekat denganku."Inez tersenyum, tapi di balik senyuman itu ada sesuatu yang membuat Rendy semakin waspada. Apakah dia sedang menyembunyikan sesuatu? Atau ini hanyalah kebetulan belaka?"Kadang-kadang hidup mempertemukan kita dengan cerminan masa lalu," Inez berkata, suaranya lembut namun penuh makna, mengalir di antara dentin
Suara lembut yang begitu akrab mengalun di telinga Rendy, menggugah perhatiannya sebelum ia menyadarinya. "Senang melihatmu masih sehat, Dewa Perang," sapa seorang wanita, suaranya bagai angin malam yang menyentuh kulit. Tanpa menunggu jawaban, dia dengan anggun duduk di sebelahnya, tubuhnya memancarkan kepercayaan diri yang tak tergoyahkan."Kau tidak ingin membelikanku segelas minuman?" tanyanya dengan nada menggoda, senyumnya menawan, matanya berbinar penuh misteri.Rendy menoleh, pandangannya bertemu dengan sosok Sheila, wanita bergaun merah yang duduk di sampingnya. Tidak ada keterkejutan di wajahnya, seolah kedatangan Sheila adalah sesuatu yang sudah dia perkirakan."Sheila... Apa yang membawamu ke Khatulistiwa?" tanyanya dengan nada datar, menyembunyikan ketegangan yang berusaha diatasi. "Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak saling mengganggu?"Sheila tersenyum lebar, senyum yang penuh teka-teki. "Apa aku mengganggumu, Rendy?" balasnya manja, nadanya lembut tapi penuh tipu d