Debu dan pecahan batu beterbangan di udara, menciptakan badai serpihan yang berkilauan di bawah cahaya kemerahan senja. Udara terasa panas, sarat dengan sisa energi dahsyat yang masih menggema di antara tebing-tebing Gunung Kabut Merah. Dua sosok itu terhuyung, tubuh mereka terpental ke belakang akibat benturan kekuatan yang luar biasa.Rendy mengatur napasnya yang memburu, dadanya naik turun dengan berat. Lututnya sedikit goyah saat ia menancapkan Pedang Kabut Darah ke tanah, bilahnya bergetar, memantulkan cahaya merah seperti bara yang masih menyala. Tangannya berlumuran darah—entah dari luka sendiri atau dari pertempuran yang baru saja terjadi.Di seberangnya, Patriark Zhu Long berdiri dengan jubah hitam yang terkoyak di beberapa tempat, ujung kainnya berkibar tertiup angin yang mulai mereda. Matanya menyipit, menatap Rendy dengan pandangan tajam yang sulit ditebak. Sejenak, keheningan melingkupi puncak gunung. Hanya ada suara batu-batu kecil yang menggelinding dari tebing, terdoro
Rendy berdiri tegak, matanya membara dengan keyakinan. "Aiden Lee adalah guruku!" suaranya menggema di dalam aula luas tempat mereka berdiri.Patriark Zhu Long, lelaki tua dengan janggut putih panjang yang menjuntai hingga dadanya, terdiam sejenak. Lalu, tiba-tiba ia meledak dalam tawa yang menggema, memenuhi ruangan. Suaranya berat, penuh ejekan. "Jangan mencoba menipuku, anak muda!" katanya sambil mengusap perutnya yang terguncang karena tawa. "Aiden Lee telah lama tiada, bahkan sebelum kau dilahirkan. Mana mungkin ia menjadi gurumu?"Tatapan Rendy tak goyah. Ia menarik napas dalam, lalu berkata dengan nada tegas, "Aku bertemu dengannya di Lembah Kultivator Hantu, tempat di mana Nisan Pedang Spiritual berada." Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap ke dalam benak Zhu Long sebelum melanjutkan, "Aku bisa ke sana berkat patung Jade Dragon yang diberikan ayahku!"Mata Zhu Long menyipit. Keraguan masih membayangi wajahnya, tetapi ada kilatan rasa ingin tahu yang tak bisa ia
Patriark Zhu Long tiba-tiba menghentikan langkahnya, matanya menatap tajam ke arah Rendy Wang. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat mengerut, seperti membaca sesuatu yang luar biasa. "Aku merasakan adanya peningkatan energi Qi yang besar di dalam dirimu, Rendy Wang!" suaranya bergema tegas, menciptakan aura yang berat di sekeliling mereka.Di saat yang sama, Giok Naga Merah di tangan Rendy mulai bergetar hebat, seolah ada sesuatu yang mencoba melarikan diri dari dalamnya. Cahaya merah pekat memancar dari giok itu, menerangi ruangan dengan kilatan-kilatan menyilaukan. Tiba-tiba, seekor naga merah muncul dari dalam giok, mengamuk dengan raungan yang menggema hingga membuat lantai bergetar. Aura panas dan tekanan luar biasa melingkupi sekitarnya, membuat udara terasa berat dan mencekik."Apa yang terjadi? Kenapa Naga Merah mengamuk?" ucap Rendy yang juga mulai merasakan adanya energi besar yang menekan dirinya.Rendy merasakan liontin giok yang dikenakannya mulai memanas, bercahay
Ketika Rendy melangkah melewati portal, hawa panas langsung menyambutnya, menusuk kulit seperti bara api yang tersembunyi di udara. Langit di atas Lembah Roh Kultivator membara, bercampur dengan gumpalan awan hitam yang menggulung seperti pusaran amarah. Aroma logam terbakar bercampur dengan bau anyir menyengat, menusuk hidung dan membuat napasnya berat.Di sekelilingnya, pilar-pilar batu raksasa menjulang seperti penjaga kuno yang telah hancur termakan waktu. Beberapa di antaranya sudah runtuh, menyisakan pecahan yang berserakan di tanah retak. Aura Qi yang suram menguar dari setiap retakan, berdenyut perlahan seperti bisikan dari dunia arwah. Di tengah lembah yang kelam, Nisan Pedang Spiritual berdiri dalam kehancuran. Pedang-pedang besar yang tertancap di sekelilingnya banyak yang telah patah, dan di antara retakan yang merayap di tanah, kegelapan merembes keluar seperti kabut beracun.Rendy mengencangkan rahangnya dan melangkah lebih jauh. Matanya tajam, menyapu setiap sudut denga
Rendy melangkah perlahan, setiap jejak kakinya meninggalkan noda darah di tanah yang dingin dan lembap. Hawa di sekitarnya semakin menyesakkan, udara terasa berat seakan dipenuhi oleh ribuan jiwa yang merintih dalam penderitaan. Angin yang berdesir membawa aroma anyir darah dan kehancuran, membuat bulu kuduknya berdiri. Kabut hitam berputar-putar di sekelilingnya, menggeliat seperti makhluk yang baru terbangun dari tidurnya.Di hadapannya, nisan pedang tua menjulang, menandai tempat di mana Pedang Penakluk Iblis tersegel. Ketika ia mendekat, tanah bergetar hebat, dan dari dalam kabut yang semakin pekat, muncul sesosok bayangan yang dipenuhi aura mengerikan. Mata sosok itu bersinar merah menyala, penuh kebencian dan kehancuran.“Berhenti!” suara itu bergema, berat dan menekan, seperti ribuan pisau yang menghujam langsung ke dalam jiwa. “Kau pikir pedang ini bisa digunakan oleh manusia sepertimu, Rendy Wang?”Rendy mengatur napasnya yang tersengal, tangannya mengepal kuat. Darah mengali
Langit di Gunung Kabut Merah diselimuti kabut tipis yang lembut, membawa aroma dedaunan basah yang menyegarkan. Patriark Zhu Long berdiri di ujung tebing, memandang jauh ke cakrawala yang bersemburat jingga keemasan. Saat langkah Rendy mendekat, deru napas pemuda itu sedikit tersengal, namun senyum puas terpancar di wajahnya.“Kamu tidak apa-apa?” Patriark Zhu Long memandangnya dengan sorot mata penuh perhatian, namun ada garis-garis kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.“Tidak apa-apa, Patriark! Aku mendapatkan Pedang Penakluk Iblis dari sana!” Rendy mengangkat pedang kuno itu dengan bangga. Kilatan cahaya dingin di bilahnya seperti menari di bawah sinar matahari yang memudar.Namun, seketika ekspresi Zhu Long berubah. Wajahnya pucat seperti kehilangan darah, dan matanya membelalak penuh keterkejutan. “Gawat!” desisnya, hampir tak terdengar namun menggetarkan udara di sekitarnya.Rendy mengerutkan kening, bingung dengan reaksi yang begitu tak terduga. “Ada apa, Patriark? Kenapa
Saat Rendy melangkah keluar dari Gunung Kabut Merah, hembusan udara dingin menyergapnya dengan kejam. Awalnya, hanya kesejukan tipis yang menyapu kulit, tetapi dalam hitungan detik, hawa es menggigit sampai ke tulang. Angin berembus kencang, membawa serpihan salju yang menari-nari di udara sebelum melebur di permukaan tanah berbatu. Ia mengerutkan kening, menyadari bahwa Pegunungan Huashan kini terbentang di hadapannya—sebuah wilayah yang tak hanya terkenal karena keindahannya, tetapi juga karena bahaya yang mengintai di balik kabut tebalnya.Tiba-tiba, suara nyaris seperti bisikan angin menyusup di antara deru badai."Berhenti di situ."Nada suara itu dingin, menggema seperti retakan es yang pecah di musim dingin. Dari balik kabut, sosok-sosok berbalut jubah putih keperakan bermunculan. Mereka berdiri dengan postur tegak dan mata penuh kewaspadaan, auranya tajam seperti udara beku yang menggigit. Rendy mengenali mereka dari emblem bersulam di dada: mereka adalah praktisi bela diri da
Kabut tebal bergulung di antara pepohonan yang meranggas, menciptakan siluet bayangan yang seakan bergerak dalam kegelapan. Udara membeku, membawa aroma es dan embusan angin yang tajam seperti bilah pedang. Di tengah senyapnya malam, suara berat nan dingin menggema."Berhenti di situ."Suara itu bagaikan belati yang menusuk sunyi, membuat dedaunan kering bergetar di dahan. Dari balik kabut yang berpendar oleh sinar bulan, tiga sosok berjubah putih keperakan muncul. Mata mereka seperti permukaan es, tanpa emosi, hanya ketegasan yang memancar dari dalam. Bai Zhongshan berdiri di tengah, wajahnya tak tergoyahkan seperti gunung bersalju, sementara di sisi kanan dan kirinya, Bai Xuemin dan Bai Lingfeng memancarkan aura yang menggigilkan tulang.“Kau telah menghabisi praktisi bela diri dari Keluarga Bai, anak muda,” ujar Bai Zhongshan dengan nada berat, seperti gunung yang hendak runtuh. "Perbuatanmu ini tak termaafkan!"Pedang es di tangannya berkilauan, memantulkan cahaya redup yang memot
Clara menatap tajam ke arah Rendy, matanya menyala dengan amarah yang tak tertahankan. "Jangan kau kira tindakanmu ini akan mengubah kebencianku padamu!" suaranya dingin, nyaris menggigit, tanpa sedikit pun nada terima kasih.Rendy menghela napas panjang, mencoba memahami kekerasan hati Clara. Wajahnya dipenuhi kebingungan, tetapi suaranya tetap tenang. "Aku terus mencarimu, Clara! Buat apa aku membunuhmu? Apa untungnya bagiku?" katanya, menatapnya lekat-lekat, mencari celah di balik tatapan penuh kebencian itu.Clara menyilangkan tangan di dadanya, dagunya sedikit terangkat, menegaskan keangkuhannya. "Aku tidak percaya padamu! Aku datang untuk memperingatimu. Berhenti mencari Kekuatan Tertinggi, atau kami akan menghancurkanmu!" suaranya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena tekad yang membaja.Rendy mengernyit. "Kekuatan Tertinggi? Apakah organisasi itu yang membuatmu membenci aku?" tanyanya, mencoba menelisik lebih dalam.Clara tak menjawab. Dengan santai, ia melangkah ke b
Rendy menatap tubuh wanita yang berdiri di tengah kekacauan Klub Red Lotus. Gaun merahnya berkibar pelan, seolah ikut menari bersama cahaya lampu temaram yang berpendar di langit-langit. Aroma alkohol, asap rokok, dan keringat bercampur menjadi satu dalam udara yang berat. Mata Rendy menyipit, mengamati siluet wanita itu."Kenapa aku merasa mengenalnya?" pikirnya, langkahnya perlahan mendekat."Nona, ada masalah apa sampai kamu mengacau di Klub Red Lotus ini?" tanyanya dengan suara tenang namun penuh kewaspadaan.Plok! Plok! Plok!Tepukan tangan menggema, menggantikan hiruk-pikuk yang sempat mereda. Wanita bergaun merah itu tetap membelakanginya, tubuhnya tegak, aura misterius menguar dari setiap gerakannya."Apa kita perlu memanggil bantuan, Tuan Muda?" suara manager klub terdengar penuh kehati-hatian."Tidak perlu! Aku bisa mengatasinya sendiri!" Rendy menjawab, tetap melangkah maju.Sebuah tawa kecil menggema, renyah namun menusuk."Hihihi ... selamat datang, Jendral Wang!"Suara i
Tok! Tok! Tok!Suara ketukan di pintu menggema di dalam ruangan, menginterupsi atmosfer hangat yang tercipta antara Rendy dan Jessy. Rendy yang duduk di sofa menoleh dengan malas, sementara Jessy menghela napas panjang, kesal karena momennya terganggu."Siapa?" tanya Jessy, suaranya tajam, penuh ketidaksabaran.Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah pucat seorang pria berseragam hitam. Ia adalah manager klub, tampak gelisah, peluh mulai bercucuran di pelipisnya."Gawat, Chief! Ada sedikit masalah di Klub!" katanya dengan suara bergetar. Matanya sekilas melirik ke arah Rendy, lalu cepat-cepat menunduk saat melihat ekspresi tajam pria yang dikenal sebagai Naga Perang—sosok legendaris di dunia gelap Khatulistiwa.Jessy melipat tangan di dadanya, wajahnya penuh kejengkelan. "Masalah kecil saja tidak bisa kamu tangani! Bagaimana kamu bisa mempertahankan jabatanmu?"Seakan darahnya terkuras, wajah manager itu semakin pucat. Ia menelan ludah, tidak berani menatap Jessy."Apa yang terjad
Dalam keheningan yang hanya diisi suara dengungan komputer, Jessy menatap layar dengan penuh konsentrasi. Cahaya biru dari monitor memantul di wajahnya yang tegang, memperlihatkan garis-garis kelelahan yang tersembunyi di balik sorot matanya yang tajam. Jari-jarinya menari di atas keyboard, sesekali berhenti untuk meneliti setiap baris kode dengan seksama. Rendy berdiri di belakangnya, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik kencang, matanya tak berkedip menatap layar holografik yang terus berubah di hadapan mereka."Aku menemukannya," bisik Jessy, suaranya bergetar oleh ketegangan yang nyaris tak tertahankan. "Ada lokasi yang tersembunyi dalam sistem mereka... Ini bukan sekadar markas biasa, Ketua. Ini pusat dari segalanya."Rendy mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ada api yang menyala di matanya, kemarahan yang selama ini ia pendam akhirnya menemukan bentuknya. "Di situlah ibuku disekap?" tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar.Jessy menoleh padanya, menatap dalam-dal
Di balik kerlip lampu dan gemerlap modernitas Red Lotus Club and Resort, Rendy melangkah dengan penuh ketegasan, namun di balik mata dinginnya tersimpan segudang kenangan. Di tengah kekacauan hidupnya—konflik dengan Cindy dan keputusannya untuk mencari kebenaran tentang ibunya—hanya satu hal yang selalu ia rindukan yaitu kehadiran Jessy Liu.Jessy, wanita yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya, kini duduk di sebuah ruangan rahasia di balik dinding resort yang mewah. Di sana, di antara deretan monitor dan kode-kode digital yang menari, ia mungkin bisa menyusun petunjuk-petunjuk yang akan membongkar rahasia Kekuatan Tertinggi. Setiap detik tanpa Rendy terasa begitu lama baginya. Rindu yang selama ini tersembunyi di balik ketenangan profesional kini terpancar jelas saat ia melihat pintu terbuka perlahan."Ketua," panggilnya dengan nada lembut penuh harap, suaranya seakan melunakkan segala kegamangan. Saat Rendy melangkah mendekat, hatinya sejenak luluh oleh kehadiran wanita yang ta
Rendy tidak lagi menghiraukan Vera Huang. Wanita itu baginya bukan lagi seorang mertua, melainkan hanya semut yang bisa ia injak kapan saja jika ia mau. Matanya menatap kosong ke depan, tapi pikirannya dipenuhi kemarahan yang mendidih. Hatinya telah beku. Jika Cindy lebih memilih ibunya, maka ia akan pergi—mereka akan bercerai. Sesederhana itu."Masih ada hal yang lebih penting daripada mengurusi seorang mertua yang tidak berarti!" gumamnya, suara rendahnya nyaris seperti geraman. "Aku harus mencari tahu di mana ibuku yang ditahan oleh Kekuatan Tertinggi."Ia melangkah menuju gudang garasi, membuka pintu dengan sedikit tenaga. Derit engsel yang berkarat memenuhi udara, menyambutnya dengan suasana yang muram. Di dalam, skuter bututnya masih berdiri dengan setia, lapisan debu tipis menyelimutinya. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin tua itu, suara bisingnya langsung menggema di seantero garasi.Baru saja ia hendak memutar gas, suara langkah kaki yang terburu-buru menghentikannya."Ren...!"
Vera menggertakkan giginya, rahangnya mengeras sementara napasnya memburu. Matanya menyala penuh kebencian, seperti bara api yang siap melalap habis apa pun di hadapannya. Dengan suara yang lebih tajam dari pisau belati, ia berdesis, "Aku tidak akan membiarkan ini terjadi! Huang Corporation tidak akan runtuh hanya karena seorang pria yang dulu kupandang sebelah mata! Kau bukan Naga Perang... Semua ini hanya kebetulan belaka."Rendy tetap berdiri dengan tenang, sikapnya tegap bagai gunung yang tak tergoyahkan oleh badai. Sorot matanya dingin, penuh ketegasan yang tak terbantahkan. "Sudah kubilang, Vera, ini baru permulaan. Kau pikir aku akan berhenti di sini? Tidak. Aku akan memastikan kau merasakan kehancuran yang lebih menyakitkan daripada sekadar kehilangan investasi. Kau telah mempermainkan hidupku, dan sekarang, aku yang akan menentukan nasibmu."Wajahnya yang dulu dikenal lemah lembut kini menampakkan ketegasan yang mengerikan. Rendy bukan lagi pria yang bisa diabaikan begitu saj
Di tengah ruangan yang remang, bayangan senja menari di dinding-dinding mewah, Vera mengeluarkan dengusan penuh ejekan. Matanya yang tajam dan dingin menembus kegelapan, seolah memancarkan bara amarah. Dengan suara yang menyeruak, ia mencaci,"Menolak? Hah! Kamu pikir dirimu siapa? Hanya seorang pecundang yang bahkan tidak mampu membeli dasi layak, berani menantangku!"Rendy, berdiri tegap bagaikan patung besi di tengah badai, menatap balik tanpa setitik ragu. Tatapannya yang tajam dan dingin menantang, seolah berkata bahwa ia telah lelah menjadi korban hinaan. Suaranya rendah namun menggema dengan kepastian, "Aku sudah muak dipandang rendah. Jika aku mengaku sebagai Naga Perang, maka aku memang Naga Perang! Dan jika kau memaksaku menceraikan Cindy demi keuntunganmu sendiri, kau akan merasakan penyesalan yang meendalam!"Rendy sudah habis kesabaran dengan sikap arogan Vera yang selalu menghinanya.Tawa sinis Vera pecah, melayang ke udara seperti asap pahit, "Oh, jadi sekarang kau meng
HA-HA-HA ...!!!Tawa itu meledak di udara, menggetarkan ruangan dengan gaungnya yang menusuk telinga. Vera Huang menepuk-nepuk pahanya, seolah ucapan yang baru didengarnya adalah lelucon paling konyol yang pernah ada."Ha-ha-ha! Astaga, Rendy! Aku tahu kamu ini miskin dan tidak berguna, tapi aku sungguh tidak menyangka kamu juga pintar membual!" katanya dengan nada mengejek, matanya menyipit penuh penghinaan.Rendy mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan penuh amarah. "Aku tidak berbohong! Aku memang Naga Perang yang akan menarik seluruh investasi Wang Industries dari Huang Corporation! Aku sudah muak hidup seperti ini, tanpa kejelasan dan tanpa harga diri!" suaranya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena tekad yang sudah tak bisa dibendung lagi"Mentang-mentang nama margamu sama dengan nama perusahaan Grade A, terus kamu klaim kalau itu perusahaanmu? Hah! Sungguh lucu dan tak masuk akal!" sind